zitizen4rAvatar border
TS
zitizen4r
Mengapa Dubes AS ke Papua Disorot ndan Dicurigai?
MENGAWAL DUBES AMERIKA SERIKAT DI PAPUA
SABTU, 16 JANUARI 2016 , 13:04:00 WIB
OLEH: DEREK MANANGKA


DEREK MANANGKA


KABAR terbaru mengungkapkan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Blake, besok, Minggu 17 Januari 2016, akan berkunjung ke Papua.

Diplomat nomor satu Amerika Serikat di Indonesia itu, kabarnya didampingi oleh sebuah tim dari Merdeka Selatan, yang relatif cukup besar atau komplit.

Jumlah delegasi tidak kurang dari 8 orang. Di antaranya ada Atase Pertahanan, Atase Angkatan Udara dan Ketua Tim Perluasan. Sementara agendanya, selain bertemu dengan para pejabat tinggi daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat, mereka juga bertemu dengan sejumlah aktivis.

Dubes AS dan rombongan akan berada di bumi Papua selama kurang lebih satu minggu. Sebuah waktu yang relatif sangat panjang.

Melihat jumlah rombongan, agenda, momen dan waktu kunjungan yang relatif cukup lama, lawatan Dubes AS ini, jelas bukan sebuah perjalanan wisata. Kunjungan ini juga tidak bisa dianggap sebagai lawatan biasa dari seorang kepala perwakilan negara sahabat di Indonesia.

Hasil dari kunjungan ini mungkin baru akan bisa dilihat beberapa waktu mendatang.

Untuk menebak apalagi mencurigainya, tentu saja sangat tidak bijak. Bahkan mungkin kalau tebakan atau spekulasi itu dilakukan, bisa dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Sebab mengkritisi sebuah kunjungan diplomatik, bisa ditafsirkan menebar sebuah kecurigaan yang tak berdasar. Lagi pula perjalanan itu merupakan bagian dari hak yang melekat dari sebuah perwakilan negara sahabat.

Namun entah mengapa, begitu membaca berita tersebut di website kantor berita nasional Antara, perasaan untuk menulis apa yang sedang anda baca saat ini, begitu kuat.

Kunjungan itu jelas menyisakan berbagai pertanyaan.

Sebab selama ini baru sekarang Kedubes Amerika Serikat memutuskan untuk mengirim diplomatnya ke Papua. Sementara Papua selama ini menjadi pulau yang ramai diberitakan banyak mendapat gangguan dari kelompok separatis. Dan separatis ini dicurigai memperoleh bantuan dari pihak asing.

Selain itu, kunjungan ini jatuh pada waktu pemerintah Indonesia sedang dikejar-kejar permintaan oleh pengusaha raksasa tambang Amerika Serikat. Perusahaaan dimaksud adalah PT Freeport yang menginginkan agar segera dipastikan bisa atau jadi tidaknya perpanjangan kontrak kerja perusahaan tersebut beroperasi terus di bumi Papua.

Sementara di Indonesia sendiri masih terbelah pendapat tentang eksisnya PT Freeport di Papua.

Sejumlah opini dirumorkan, pihak Amerika Serikat sangat berkepentingan atas bertahannya PT Freeport untuk terus beroperasi di Papua. Sehingga setiap persoalan yang berkaitan dengan PT Freeport selalu dikaitkan dengan pemerintah Washington.

Dalam agenda rombongan Dubes AS ke Papua tidak ada kunjungan ke lokasi PT Freeport di Timika. Kendati demikian, hal tersebut tidak berarti mengurangi makna kepedulian pemerintah Amerika Serikat terhadap perusahaan itu.

Sebab sudah menjadi rahasia umum, Amerika Serikat memiliki kebijakan korporat yang selalu melindungi atau membela setiap warga, aset atau perusahaan yang berbendera Amerika Serikat, di manapun itu berada.

Sehingga kalaupun tidak ada kunjungan ke PT Freeport, tidak berarti, Kedubes AS tidak memberikan perhatiannya ke perusahaan tambang terbesar di Indonesia itu. Kepedulian itu bisa dilakukannya lewat Gubernur Papua di ibukota provinsi atau melalui cara-cara lain.

Namun apapun bentuk dan hasilnya, kunjungan diplomat AS ke bumi Papua ini, tetap memiliki banyak sisi yang harus dicermati.

Oleh sebab itu kita juga patut bertanya, mengapa baru kali ini Kedubes Amerika Serikat memutuskan mengirim Dubes dengan anggota delegasinya yang cukup besar ke Papua. Ada apa gerangan ?

Pertanyaan ini mengemuka, sebab sudah menjadi bahan pembicaraan publik bahwa Amerika Serikat dicurigai memiliki agenda tersendiri di Papua.

Negara ini, setidaknya melalui sejumlah aktivis di Amerika Utara dan kawasan Pasifik, disebut-sebut sebagai pihak yang mendorong diadakannya evaluasi atas status Papua sebagai bagian dari NKRI.

Ini dibuktikan dengan terbentuknya kaukus di Amerika Serikat yang berisikan politisi atau pemerhati yang menginginkan agar Papua harus dilepaskan keterikatannya dengan Indonesia.

Kunjungan Dubes AS ke Papua ini, mengingatkan sebuah peristiwa kecil tapi dampaknya sangat besar.

Sebelum keputusan diadakannya referendum di Timor Timur, Dubes Australia untuk Indonesia, John McCarthy, mendesak Indonesia untuk mengizinkan pembukaan Konsulat Jenderal negara itu di Dili.

Spekulasi sekaligus kecurigaan pun mengemuka. Sebab pada tahun itu - 1998, jumlah warga Australia yang menetap atau berkunjungan ke Dili, ibukota provinsi Timor Timur, relatif sangat kecil. Dari sisi data ini, Australia sebenarnya tidak memerlukan kantor perwakilan.

Namun Indonesia tidak bisa menolak. Akhirnya perwakilan Australia itu dibuka di provinsi termuda Indonesia tersebut.

Indonesia baru sadar, belakangan, perwakilan Australia di Dili itu menjadi basis penggerak dukungan negara tetangga itu untuk memisahkan dari Indonesia.

Diawali dengan dipilihnya jenderal Australia memimpin pasuka PBB di Timor Timur menjelang referendum. Sampai akhirnya referendum dimenangkan pihak yang anti-Indonesia. Australianisasi di Timor Timur menjadi sesuatu yang mengejutkan, ketika di wilayah itu, mata uang Australia lebih laku ketimbang rupiah.

Dalam konteks Papua, sepintas tidak ada relevansinya dengan peristiwa lepasnya Timor Timur di tahun 1999.

Tetapi Profesor Bilveer Singh, seorang pengamat politik dari Singapura pada satu kesempatan di tahun 2010 telah mengingatkan bahaya atas kemungkinan lepasnya Papua dari Indonesia.

Sebab situasi Papua relatif lebih sulit ditahan Indonesia ketimbang Timor Timur. Infiltrasi asing di Papua jauh lebih muda sementara kemampuan Indonesia mendeteksi relatif lemah. Terutama karena wilayah Papua yang lebih luas serta masih terdiri dari banyak hutan perawan.

Nah untuk yang ringan saja (Timor Timur), kata Singh, Indonesia tidak mampu mempertahankannya, bagaimana dengan yang lebih berat (Papua)?

Pernyataan itu disampaikannya pada satu pesta di Hotel Danau Sunter, Jakarta Utara. Acara itu bukanlah sebuah pertemuan politik. Melainkan sebuah perayaan pesta yang digelar Sugeng Sarjadi (almarhum) untuk menghormati sahabatnya yang juga berkewargaan negara Singapura, keturunan India. Namun yang hadir antara lain para bekas petinggi militer. Mereka adalah jenderal pensiunan seperti Wiranto, Sutiyoso dan Ryamirzad Ryacudu.

"Separatisme di Papua tidak boleh dianggap enteng. Saya khawatir dengan krisis berkepenjangan yang dihadapi Indonesia saat ini, Jakarta tidak akan bisa mempertahankan Papua", ujar Singh pada malam lima tahun lalu itu.

Dalam dokumen penulis, selain ketiga jenderal itu, saya sempat bertukar kartu nama dengan Komisaris Besar Tito Karnavian (kini Kapolda Metro berangkat bintang dua dan sebelumnya Kapolda Papua) dan Kolonel Agus Surya Bhakti (kini Panglima Kodam Hasanuddin)

Ketika saya renungkan analisa Bilveer Singh, analisanya, memiliki kebenaran dengan apa yang dihadapi Indonesia terhadap Papua saat ini.

Itu sebabnya, kunjungan Dubes AS di Papua, perlu kita kawal. Dalam arti seluas-luasnya.
http://www.rmol.co/read/2016/01/16/2...ikat-Di-Papua-


MENGAPA DUBES AS KE PAPUA DISOROT DAN DICURIGAI?
SENIN, 18 JANUARI 2016 , 10:18:00 WIB
OLEH: DEREK MANANGKA

KUNJUNGAN seorang Duta Besar negara sahabat ke sebuah wilayah di Indonesia, sebetulnya hal yang lumrah. Sehingga tak perlu disorot dan dicurigai. Tapi hal yang berbeda terjadi pada Dubes AS untuk Indonesia, Robert Blake.

Ketika kemarin, Minggu 17 Januari 2016 Blake diketahui melakukan kunjungan selama seminggu ke Papua, berbagai reaksi pun bermunculan. Baik dari kalangan profesional, pemerhati sosial politik maupun ibu rumah tangga.

Budi Setiawan yang pernah bekerja untuk Radio Singapura dan Voice of America termasuk yang bereaksi cepat dan spontan. Budi menulis kunjungan Blake ke Papua penting untuk dipantau.

"Karena jika kita lengah, Papua bisa jadi bola liar, seperti manuver dia (Robert Blake) di Sri Lanka".

"Dubes ini", kata Budi melanjutkan, yang membikin Sri Lanka kelabakan sampai sekarang.

Ketika Blake sebagai Dubes AS di Sri Lanka, saat itulah Komisi HAM PBB memasukan pemerintahan Sri Lanka sebagai pelanggar berat HAM (Hak Azasi Manusia).

"Presiden Sri Lanka akhirnya mengambil jarak dengan AS. Tapi kemarin di Pemilu Sri Lanka presiden itu tumbang secara mengejutkan", tulis Budi Setiawan.

"Harap diingat Dubes Blake adalah diplomat pertama yang mengaitkan Prabowo Subianto dan HAM", tambah Budi Setiawan, pernyataan mana menandakan diplomat ini tak segan-segan "mencampuri" urusan Indonesia. Sesuatu yang dalam hubungan diplomasi, dianggap melanggar etika.

Setelah Budi, menyusul warga Papua lainnya, seorang mantan wartawan "Metro TV". Sebelum diplomat AS dan rombongannya tiba di Papua, Ricky Ca Dayoh wartawan senior yang kini menetap di Papua itu menngingatkan, "masalah Papua, tinggal menunggu waktu...",

Ricky yang kini menjadi penduduk Jayapura, ibukota provinsi Papua melanjutkan : "Simpatisan cukup banyak mulai dari NGO sampai lembaga resmi di separuh dunia. Jadi tidak usah kaget dengan tim Amrik yang ke Papua. Tanpa mereka datang, juga sudah cukup banyak laporan yang masuk ke PBB dan lembaga-lembaga pemantau Papua yang lebih akurat....yang pasti Amrik itu mau action.", Ricky menegaskan.

Penilaian wartawan senior ini, mengingatkan saya pada sebuah pernyataan dari Arifin Siregar, bekas Dubes RI untuk Amerika Serikat.

Saya lupa persisnya kapan dan dalam kesempatan apa. Tetapi pernyataan bekas Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Perdagangan di era Orde Baru itu cukup membekas.

Pada intinya Arifin Siregar melihat semua laporan dari para misionaris Kristen dan Katolik yang berada di Papua, jauh lebih dipercaya oleh Washington, ketimbang yang berasal dari sumber lain.

Jadi masih menurut Ricky Dayoh sebaiknya yang harus kita pikirkan bagaimana agar tidak semua keputusan tentang Papua diambil dan berpusat di Jakarta saja.

Sementara Siti Rachmah, seorang ibu rumah tangga dari Surabaya mengajak agar bangsa Indonesia merapatkan barisan, kuatkan rasa nasionalisme dan singkirkan dulu segala perbedaan.

"Kredibilitas bangsa sedang dipertaruhkan.... waspadalah bangsa ku tercinta..." tulis Siti Rachmah di laman komentar akun ini.

Yah, kunjungan Dubes Robert Blake ke Papua itu pantas memancing kecurigaan. Sebab kunjungan ini terjadi ketika di Jakarta ada debat panas tentang Papua.

Soal Papua sudah terjadi di era pemerintahan sebelum Joko Widodo. Di era pemerintahan SBY sejumlah pemuka warga Papua pernah menemui Presiden RI yang ke-6 tersebut di Istana Cikeas, kediaman pribadi SBY.

Tujuan mereka menyampaikan tiga hal. Yaitu persoalan, mengeluh dan solusi agar Papua tidak lepas dari NKRI.

Pertemuan itu akhirnya berbuah dibentuknya sebuah lembaga yang khusus menangani persoalan Papua. Kantor pusat lembaga inipun di Papua. Bukan lagi di tanah Jawa. Lembaganya dipimpin seorang Jenderal bintang dua dari TNI AD. Tapi nyatanya lembaga itu tidak pernah beroperasi hingga SBY lengser di bulan Oktobetr 2014. Konon penyebabnya, ketiadaan dana.

Di awal tahun 2015, saat Joko Widodo belum setengah tahun bertugas sebagai Presiden, Gubernur Papua Lukas Enembe secara terbuka menyatakan tidak akan pernah mau menyambut atau menerima kunjungan Presiden RI yang ke-7 tersebut. Padahal Joko Widodo justru sudah melontarkan gagasan akan membangun Kantor Kepresidenan di Papua. Tujuannya agar rakyat Papua bisa merasakan kedekatannya dengan pusat pengambil keputusan nasional. Tapi gagasan Presiden Joko Widodo seolah tak punya magnitude bagi Gubernur Papua.

Pernyatan penolakan ini dikeluarkan Gubernur Papua dengan alasan, siapapun yang menjadi Presiden RI, kebijakan mereka tentang Papua tidak mengubah kehidupan rakyat Papua menjadi lebih baik.

Substansi atau pesan moral dari pernyataan ini ditafsirkan bahwa pemimpin Papua sudah tidak memiliki rasa respek pada pemerintah Jakarta. Mereka tidak melihat perbedaan agenda antara Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Memang tidak diucapkan, tetapi pernyataan Gubernur Papua itu ada yang mengartikan, begitulah cara warga Papua menyindir pemimpin Indonesia yang berasal dari etnik Jawa. Orang Jawa tidak paham persoalan warga Papua.

Kunjungan Dubes Blake ini juga terjadi pada saat PT Freeport baru saja menawarkan sebagian sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Tawaran bernilai sekitar Rp. 21,- triliun itu, mau tak mau - dalam situasi seperti sekarang menjadi seperti "pusing kepala berbi".

Harus ditanggapi, sementara pada saat tawaran itu diluncurkan, di Jakarta terjadi serangan teroris di Sarinah, Thamrin, Jakarta.

Hal ini memicu kecurigaan, seolah persoalan mendesak yang dihadapi Indonesia, mulai dari Freeport, terorisme dan agenda Amerika di Papua, terjadi karena adanya semacam skenario. Atau ada satu paket politik sensitif yang harus dihadapi Indonesia.

Selain itu di tengah suasana "pusing kepala berbi" tersebut, para anggota Kabinet pemerintahan Joko Widodo masih terbelah soal perlu tidaknya perpanjangan kontrak karya PT Freeport.

PT Freeport merupakan salah satu perusahaan asing yang sudah beroperasi di Indonesia sejak 1967.

Presiden Joko Widodo sendiri sudah berkali-kali menyatakan akan membangun infrastruktur Papua. Tujuannya untuk membuktikan, Jakarta tidak hanya mengeruk kekayaan bumi Papua. Tapi juga mengembalikannya dalam bentuk pembangunan.

Akan tetapi semua pihak tahu, termasuk pemerintah Amerika Serikat bahwa kemampuan Indonesia membangun infrastruktur Papua, sangat terkendala oleh keterbatasan dana.

Kalau akhirnya Indonesia mau dana cepat, harus meminjam. Dan lembaga yang mudah memberi pinjaman cepat adalah Bank Dunia dan IMF, dua lembaga keuangan internasional yang berpusat di Washington.

Ironisnya, kedua lembaga itu dikontrol oleh Amerika Serikat.

Jadi pinjaman itu dilakukan, ketergantungan Indonesia pada Amerika semakin menjadi-jadi.

Disandingkan dengan persoalan Papua, posisi tawar Indonesia terhadap Amerika termasuk Freeport, menjadi lebih lemah.

Jadi ada nuansa yang berproses, kedatangan rombongan diplomat AS ke Papua ini, tidak dalam konteks positif ataupun mau membantu Indonesia.

Dubes Blake melakukan kunjungan yang momentumnya tepat bagi Washington, tetapi berpotensi melemahkan wibawa Jakarta.

Kalimat singkatnya adalah : memperkeruh suasana namun menimbulkan empati untuk Amerika. Sebaliknya menciptakan anti-pati bagi pemerintahan Indonesia sehingga kepercayaan warga Papua bagi pemerintah pusat akan terus tergerus.

Dubes Blake juga dicurigai ingin menggali informasi dan pendapat dari penduduk Papua. Apakah rakyat Papua merasa nyaman dengan situasi yang dihadapi mereka selama ini ?

Kecurigaan itu muncul sebab dalam agendanya, Robert Blake dan rombongan, tidak hanya bertemu dengan para pejabat tinggi daerah setempat. Blake juga bertemu dengan sejumlah aktifis.

Dan biasanya para aktifis merupakan pihak yang bisa digolongkan dengan mereka yang tidak begitu senang dengan cara Jakarta atau konsep pemerintah pusat mengurus dan menangani Papua.

Kunjungan Dubes AS ini juga wajar dicurigai sebab sudah menjadi semacam tradisi, bahwa Washington selalu menerapkan kebijaksanaan standar ganda.
Lain yang diucapkan dan beda dengan tindakan.

Pada satu sisi Washington mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI. Washington akan selalu menyatakan tidak mendukung setiap gerakan separatis dan seterusnya.

Tetapi di sisi lain, antara ucapan dan perbuatannya, saling bertentangan.

Pada akhirnya diam-diam muncul kecurigaan bahwa bahwa Amerika Serikat sedang atau bakal "mengobok-obok" Indonesia lewat persoalan Papua.

Dan kunjungan Dubes Blake ini merupakan bagian awal dari sebuah skenario besar
http://www.rmol.co/read/2016/01/18/2...dan-Dicurigai-


Freeport Tunjuk Robert Schroeder Jadi Presdir Gantikan Maroef
19 JAN 2016

Rimanews - PT Freeport Indonesia akhirnya menunjuk Robert Schroeder sebagai presiden direktur (Presdir) sementara menggantikan Maroef Sjamsoeddin yang mengundurkan diri dari jabatannya, Senin (18/1).

Presiden dan CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, Richard C Adkerson, dalam pengumuman internalnya kepada karyawan Freeport Indonesia, Senin (18/1/2016), mengatakan pihaknya masih menjalani proses pergantian Maroef tersebut.

"Untuk sementara, Robert Schroeder akan menjalankan tanggung jawab manajemen Pak Maroef," sebutnya.

Sementara itu, Juru Bicara Freeport Indonesia Riza Pratama saat dikonfirmasi enggan menjawab perihal penunjukan Schroeder yang kini menjabat salah satu Direktur Freeport Indonesia.

"Tunggu saja," jawabnya singkat.

Dalam pesan tertanggal 18 Januari 2016 itu, Adkerson juga mengatakan, Maroef telah menyampaikan pengunduran dirinya karena alasan pribadi dan perusahaan sudah menerima pengunduran tersebut.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mundur dari jabatannya. Hal itu terungkap dalam memo internal Maroef ke manajemen perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu. Pengunduran diri Maroef itu, dibuat Senin (18/01/2016).

"Dengan berakhirnya masa kontrak kerja saya selama setahun sebagai karyawan pada posisi jabatan yang dipercayakan sebagai Presiden Direktur PT freeport Indonesia dan tawaran perpanjangan dari Pimpinan Freeport McMoran. Saya telah berkirim surat pengajuan pengunduran diri sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia," demikian bunyi surat pengunduran diri tersebut.

Maroef juga mengucapkan terima kasih kepada PT Freeport Indonesia atas kesempatan yang diberikan kepadanya.

"Saya menyampaikan ucapan terima kasih atas kerjasama yang baik dari semua pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung," tulis Maroef.
http://nasional.rimanews.com/peristi...antikan-Maroef

---------------------------------

Elit di negeri ini, penguasa di negeri ini, pemimpin rakyat dan ummat di negeri ini, sehrusnyalah mereka semua itu ... takutnya hanya kepada Allah swt semata ... tidak takut kepada Thogut yang dianggap lebih sakti dari "figur"-Nya!


emoticon-Berduka (S)
0
1K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan