asiikmantapasoyAvatar border
TS
asiikmantapasoy
Ada Apa Dengan Pelindo II ?


Pembentukan Pansus Pelindo II DPR RI menimbulkan pertanyaan mengenai apa sesungguhnya tujuan pembentukannya. Seorang pakar hukum tata negara, Dr Refli Harun, menyebut kasus Pelindo II terlalu kecil untuk dipansuskan, sebagai bagian dari pengawasan dewan. Ini merupakan wujud dari fungsi check and balance antara eksekutif dan legislatif. Namun, muncul pertanyaan, apa sesunguhnya tujuan akhir dari pembentukan pansus tersebut?

Apakah tujuannya ialah menemukan miss-conduct atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino, segalanya dapat diselidiki dari berbagai data mengenai Pelindo II yang ‘sesungguhnya terang benderang’. Jika RJ Lino diduga melakukan tindak pidana korupsi dan katanya sudah ada tiga alat bukti yang cukup, baik yang terkait dengan pembelian crane maupun peralatan lainnya, toh Bareskrim sudah mulai memanggil RJ Lino untuk dimintai keterangan sejak Senin, 9 November lalu.

Jika RJ Lino dituduh memiliki kerja sama bisnis dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau petinggi negeri lainnya terkait dengan PT Pelindo II, mengapa tidak diaudit saja data proyek yang dimiliki PT Pelindo II?

Kita patut bertanya, adakah motif ekonomi dan politik dari pembentukan Pansus Pelindo II ini? Apakah DPR sedang membongkar ketidak-beresan yang terjadi di Pelindo II? Apakah ini hanya terkait dengan RJ Lino, ataukah juga terkait dengan posisi Menteri BUMN Rini Soemarno?

Dengan Kata lain, pansus ibarat sedang melakukan ‘satu tumpukan’ yang tujuannya agar Menteri BUMN Rini Soemarno dan Direktur PT Pelindo II RJ Lino dicopot dari jabatan mereka. Atau, ada motif lain terkait dengan pendanaan Pemilu 2019

Terang Benderang

Bila kita lihat Pelabuhan Tanjung Priok sebelum dan sesudah RJ Lino menjadi Direktur Utama PT Pelindo II sejak 2009, perbandingannya ibarat bumi dan langit. Dulu pelabuhan Tanjung Priok begitu kumuh, alat-alatnya kuno, truk-truk berderet dalam kemacetan di dalam pelabuhan, perusahaan-perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) begitu banyak di dalam pelabuhan dan segala bongkar muat barang bergerak secara lamban. Manajemen pelabuhan juga sangat kuno alias Old Fashion.

Kini, Tanjung Priok begitu bersih tak berdebu, alat-alat crane-nya banyak dan baru, truk-truk keluar masuk pelabuhan secara nyaman dan lancar, oungutan liat (pungli) dikatakan hampir lenyap seluruhnya, manajemenya juga modern. Jika sebelum 2009 kontainer yang bongkar muat hanya 3,6 juta TEUs, kini sudah dua kali lipat menjadi 7,2 juta TEUs.

Bila dilihat dari gaji karyawan/buruh, mungkin akan mencegangkan kita semua. Jika sebagian besar pekerja di DKI Jakarta baru akan mendapatkan upah Rp 3,1 juta pada 2016, di Pelabuhan Tanjung Priok sudah mendapatkan Rp 10 juta pada 2015! Mereka yang bekerja di Jakarta International Container Terminal (JICT) memperoleh pendapatan bulanan lebih mencengangkan lagi. Mereka yang berstatus manajer mendapat gaji dan berbagai tunjangan mencapai Rp 92.692.020 per bulan.

Tak Cuma itu, para manajer tersebut juga mendapatkan berbagai tunjangan nontunai seperti BPJS plus yang mencapai Rp 6.529.111 sehingga total pendapatan bulanan menjadi Rp 99.221.131. Mereka yang pada posisi paling rendah mendapat gaji dan upah hampir dua kali lipat dari gaji buanan para menteri yaitu Rp 33.743.424 ditambah tunjangan non tunai yang mencapai Rp 3.975. (gaji bulanan menteri Rp 19.500.000).

Mengubah Pelabuhan Tanjung Priok dari tahun 2009 hingga sakarang 2015 dari kondisi lama ke kondusi saat ini bukanlah suatu hal yang mudah. Seperti juga pelabuhan-pelabuhan di Indonesia lainnya, banyak preman kecil dan preman besar berkerah putih yang hidup dan mendapatkan keuntungan dari kesemrawutan manajemen pelabuhan di masa lalu. Mereka tentunya menjadi pengganjal dari berbagai upaya Lino untuk mengubah wajah Pelabuhan Tanjung Priok menjadi pelabuhan modern dan bersih.

Soal dwelling time

PT Pelindo II sering dituduh sebagai penyebab dari kelambatan bongkar muat barang di pelabuhan. Padahal, dwelling time bukanlah urusan manajemen pelabuhan, melainkan panjangan birokrasi yang harus dilalui dalam penyelesaian dokumen, dari proses pemberitahuan impor barang (PIB) hingga keluarnya surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB) atau surat persetujuan pengeluaran barang (SBBP) atau surat penyerahan peti kemas (SP2) untuk delivery. Sebuah surat PIB harus diproses lebih dari satu kementrian atau lembaga.

Sebagai contoh, surat masuk ke Kementrian Perdanganan bisa mencapai 365 ribu per tahun yang berarti sekitar 1.000 surat per hari. Belum lagi kalau itu terkait dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), kepolisian, atau lembaga lain.

Di era Presiden Soeharto, pemerintah pernah merumahkan puluhan pegawai Bea dan Cukai di seluruh Indonesia dan menggantikannya dengan Societe Generale de Surveillace (SGS) Swiss agar proses dwelling time berjalan lancar. Kini, Bea dan Cukai dapat dikatakan sudah modern dan baik, tapi proses di kementrian/ lembaga lainnya masih perlu dibenahi.

Proses pembelian 10 unit crane juga bisa diselidiki atau disidik apakah terjadi korupsi atau tidak. Menurut data yang saya miliki, pelelangan pembelian mobile crane mencapai Rp 58,9 miliar dan setelah proses penilaian dan negoisasi malah menkadi Rp45,6 miliar. Jika pembeliannya jauh lebih murah daripada penawaran, apakah terjadi korupsi? Kalau pun ada tuduhan mobile crane tersebut banyak tak berfungsi, kita bisa membaca logbook penggunaan crane-crane tersebut sejak dibeli hingga kini.

Begitu pun soal perpanjangan kontrak JICT dan Hutchison Port Holding (HPH), Hong Kong, juga dapat ditelusuri datanya. Dari berbagai penelusuran data terkait dengan hal itu, pansus dapat membuat kesimpulan akhir apakah RJ Lino itu seorang nasionalis yang rasional, ataukah ia seorang kolaborator asing yang merugikan rakyat dan negara Indonesia.

Jika ingin mengganti Rini Soemarni dan RJ Lino amatlah mudah, tinggal meminta Presiden Joko Widodo untuk memecat mereka jika memang benar mereka bekerja tidak profesional dan korup. Kita juga berharap proses hukum yang terkait dengan RJ Lino benar-benar berjalan baik. Jika demikian mudah dan terang benderagnya kasus Pelindo II, kenapa mesti dipersulit dan politisasi?

Penulis : Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta


0
1.1K
1
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan