Kaskus

News

rembulanjinggaAvatar border
TS
rembulanjingga
Kuntoro Mangkusubroto Penggagas Liberalisasi Migas, Akan Rusak TRISAKTI
Ini Alasan Jokowi Tunjuk Kuntoro Sebagai Komut PLN

Jakarta -Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Kuntoro Mangkusubroto sebagai Komisaris Utama (Komut) PT PLN (Persero) menggantikan Chandra M. Hamzah. Salah satu alasannya karena Kuntoro dianggap paham betul mengenai sektor energi.
"Kenapa Presiden menyebut nama beliau, karena PLN butuh orang yang paham betul mengenai energi dan beliau lama di energi," kata Menteri ESDM Sudirman Said usai bertemu dengan Presiden Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (13/10/2015).
Apalagi kata Sudirman, salah satu pertimbangan Jokowi lainnya, karena Kuntoro pernah menjadi Menteri Pertambangan dan Energi serta pernah memimpin PLN pada 2000-2001.

"Beliau juga pernah jadi Menteri Energi, juga pernah jadi Direktur Utama PLN. Jadi ada kebutuhan untuk memperkuat kursi komisaris sehingga tadi tugasnya jelas membantu direksi mendorong reformasi secara mendasar, karena memang cakupan tugas PLN ke depan itu tidak bisa disamakan dengan sekarang," ungkap Sudirman.
Sudirman mengambahkan, apalagi PLN juga harus didorong semaksimal mungkin karena kebutuhan listrik masyarakat Indonesia tiap tahun terus meningkat.

"5 tahun lagi butuh 53.000 MW menjadi hampir 100.000 MW. Kemudian harus menjalankan fungsi semua yang dominan itu, PLN harus mengurusi pembangkit sendiri, nanti lama-lama yang lebih dominan adalah pembangkit swasta, jadi harus ada perubahan mendasar, dan Pak Kuntoro diberi tugas memberesi manajemen," tutup Sudirman.http://finance.detik.com/read/2015/1...agai-komut-pln

SEPERTINYA BANYAK PUBLIK TAK YAKIN JIKA PRESIDEN JOKOWI REKOMENDASIKAN KUNTORO MANGKUSUBROTO. INI ULAH MENTERI ESDM YANG SELALU BIKIN BLUNDER PRESIDEN JOKOWI. MULAI DARI LISTRIK 35.000 MW YANG TERNYATA MASIH RANCANGAN PERPRES, PERPANJANGAN FREEPORT YANG LANGGAR UU MINERBA


Kuntoro Mangkusubroto Resmi Diganti

Liputan6.com, Jakarta: Akhirnya spekulasi pergantian pucuk pimpinan di PT Perusahaan Listrik Negara tuntas. Hal tersebut berakhir setelah Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Kuntoro Mangkusubroto menyerahkan jabatannya kepada Eddie Widiono, Rabu (7/3) pukul 11.00 WIB. Kuntoro secara resmi diganti oleh Eddie Widiono yang selama ini menjabat sebagai Direktur Pemasaran dan Distribusi PLN. Sedangkan posisi Eddie bakal ditempati Hardiv Situmeang, mantan direksi PLN.

Kuntoro enggan menjawab pertanyaan seputar pergantian tersebut. Mantan Menteri Pertambangan dan Energi itu hanya menjelaskan prioritas tugas-tugas yang mesti dijalankan Dirut PLN baru. Pekerjaan berat itu antara lain menyangkut restrukturisasi PLN dan renegosiasi listrik swasta. Jika dua problema itu beres, tambah Kuntoro, akan membantu mengurangi beban keuangan PLN yang hingga kini memiliki utang sebesar Rp 30 triliun. PLN menargetkan menyusutkan kewajiban sebesar Rp 54,7 triliun dari renegosiasi 27 listrik swasta. Dia menambahkan, apabila masalah listrik swasta tak segera diselesaikan, dalam 30 tahun ke depan, PLN memikul utang mencapai US$ 130 miliar.

http://www.liputan6.com/read/9132/ku...-resmi-diganti

BERBEDA LANGKAH Dr RIZAL RAMLI yang berhasil selamatkan PLN seperti yang bisa kita baca di buku LOKOMOTIF PERUBAHAN " Operasi Penyelamatan PLN" http://www.rmol.co/Buku_Lokomotif_Pe...n/RR_BAB_3.pdf

Zakir: Di Era Kuntoro Mafia Migas Menggurita

RMOL. Nama Kuntoro Mangkusubroto dan Raden Priyono dikabarkan masuk dalam kandidat menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menanggapi hal itu, praktisi hukum M. Zakir Rasyidin menilai bahwa Kuntoro maupun Raden Priyono merupakan nama-nama yang patut diduga bagian dari integral rusaknya tata kelola migas dan tata kelola energi nasional.

"Nama-nama tersebut sebelumnya sudah diberi kesempatan oleh UU untuk menata ulang serta memperbaiki tata kelola migas. Namun kenyataannya, justru ketika mereka mengisi pos-pos strategis di Kementerian ESDM mafia migas makin menggurita dalam sistem ekonomi politik," jelas Zakir melalui keterangannya kepada redaksi, Sabtu malam (25/10).
Atas dasar itu, dia menganggap kedua nama tersebut tidak perlu dilibatkan lagi dalam agenda pembaharuan pembangunan dan tata kelola migas yang akan dijalankan pemerintahan Jokowi.

Zakir membeberkan, dari catatan yang ada, Kuntoro sempat bersinggungan dengan hukum dalam dugaan suap penanganan pajak PT Master Steel tahun 2013 lalu. Dalam kasus itu, Kuntoro yang menjabat ketua Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sempat menolak untuk bersaksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan tidak jelas.
Selain itu, Kuntoro juga berperan penting dalam masuknya kapitalis asing di sektor migas nasional. Pada awal 1999, saat menjabat menteri ESDM dia meminta bantuan USAID untuk mereview draft RUU Migas.

"Salah satu jasa penting Kuntoro adalah disahkannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dia punya peran sangat vital dalam masuknya kepentingan asing sejak pembuatan draft RUU sampai disahkan," jelas Zakir.

"Sisi lain yang menyebabkan dia tak pantas menjabat menteri di kabinet Jokowi karena telah berusia lanjut yakni 67 tahun. Sementara, Presiden Jokowi berharap para pembantunya berusia muda dan energik serta berpengalaman di sektor energi dari hulu hingga hilir," demikian Zakir. [ian] [URL="S E N S O RuTipZv4uRo"]S E N S O RuTipZv4uRo[/URL]

Anggota Tim Transisi Ungkap Perjalanan Mafia Migas
Minggu, 21 September 2014 19:02 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES), Erwin Usman, mengatakan mafia migas di Indonesia sudah ada sejak era Orde Baru atau pemerintahan Presiden Soeharto. Target utamanya yakni PT Pertamina (Persero) dan seluruh anak usahanya.
Menurutnya, dari hasil kejahatan ini, mafia migas berusaha memperkaya diri dan menguatkan kelompoknya.

"Para mafia ini yang salah satunya membuat Soeharto jaya sampai 32 tahun. Mereka mulai pestapora sejak booming minyak pada 1980 hingga 1990-an. Ketika itu Indonesia mampu memproduksi minyak 1,6 juta barel per hari," kata Erwin dalam diskusi di galeri cafe, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (21/9/2014).
Lebih jauh, menurut Erwin, dalam perjalanannya, keberadaan mafia migas semakin menggurita. Terlebih pascadisahkannya Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.

"Mafia migas sempat vakum di era Gus Dur, namun kerja sindikasi ini makin menohok paska sukses melucuti tata kelola dan tata niaga migas melalui UU Migas 2001," kata Tim Pokja Energi Rumah Transisi Presiden Joko Widodo dan wakilnya Jufus Kalla tersebut.
Erwin menambahkan, modus mafia migas, biasanya dengan melakukan intervensi terhadap UU. Mereka akan menguasai atau merusak sistem dan tata kelola dan tata niaga migas. Mulai dari mempreteli perangkat aturan, sistem, lalu mengkader mafia dan pengikutnya, guna menguasai seluruh jaringan tata kelola dan tata niaga dalam sistem negara.

Orang-orang di balik mafia migas, terang Erwin, adalah kombinasi dari kekuatan birokrat, politisi dan pebisnis.
Mereka bergerak dan menciptakan kaderisasi apik dari hulu sampai hilir yang teramat rakus. Bahkan, tak segan menghabisi siapapun yang mencoba membongkar jaringan kartelnya itu.

"Jadi seperti Kuntoro Mangkusubroto, Purnomo Yusgiantoro, Ari Soemarno, Muhammad Reza Chalid, R. Priyono hingga Karen Agustiawan adalah sederet nama yang tidak boleh dilepaskan dari perhatian kita soal amburadulnya tata kelola migas Indonesia di level hilir," kecamnya.
Dari hitungannya, Erwin melanjutkan, kerugian negara dari para mafia migas ini mencapai 4,2 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 37 triliun per tahun.
http://www.tribunnews.com/pemilu-201...an-mafia-migas

Waspada, Kaum Neolib Jaringan Mafia Migas Kembali Kuasai Istana!

Rabu, 26 November 2014 - 20:56

Jakarta, Seruu.com - Belakangan ini beredar kabar bahwa Jokowi akan menunjuk Kuntoro Mangkusubroto sebagai kepala staf kepresidenan. Hal ini sangat disayangkan, karena rekam jejak akademisi ITB ini kurang begitu baik, mudah dikendalikan asing dan sarat dengan konflik kepentingan.
“Kuntoro lah yang pertama kali memperjuangan draft UU Migas titipan Amerika, terhitung sejak akhir Orde Baru. Jadi kurang tepat kalau orang menyalahkan SBY dan Mega atas keberadaan UU yang kontroversial ini, karena biangnya adalah Kuntoro,” ujar peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra, di Jakarta, Rabu (26/11/2014).

Gede menekankan, bahwa mantan kepala UKP4 di era SBY ini memang dikenal keranjingan apapun yang berbau Amerika. Sejak lama memang Kuntoro dikenal sebagai mitra dekat perusahaan konsultan asal AS McKinsey. Bahkan ia mempunyai mimpi membuat semacam west wing Gedung Putih di lingkungan istana Merdeka nanti. Maka wajar bila ideologi liberalisme menjadi keyakinan Kuntoro.

Selain neolib, Gede mengkungkapkan, Kuntoro juga bermasalah dengan KKN. Bahkan, Kuntoro, kata Gede, pernah dipecat dari jabatannya sebagai Direktur PLN pada masa Gus Dur karena memiliki konflik kepentingan dengan perusahaan raksasa batubara milik sahabatnya semasa kuliah, Suharya, sehingga tidak mampu melakukan renegosiasi harga listrik Paiton.

Yang cukup mengejutkan, Kuntoro juga diduga cukup dekat dengan Mafia Migas. Karena dalam putusan KPPU tahun 2004 terkait VLCC, ada disebutkan bahwa Kuntoro Mangkusubroto adalah anggota dewan komisaris PT Perusahaan Pelayaran Equinox. Seperti diketahui, bahwa pemilik dari Equinox tak lain adalah Sang Mafia Migas.

“Jadi sebenarnya menjadi pertanyaan besar, mengapa Menteri ESDM Sudirman Said malah mengundang Kuntoro, yang diduga sangat dekat dengan Mafia Migas, ke Kantor ESDM beberapa hari setelah dilantik Jokowi? Itu jauh sebelum tim pemberantasan Mafia Migas pimpinan Faisal Basri berdiri,” pungkas Gede.
http://esdm.seruu.com/read/2014/11/2...-kuasai-istana

Pergeseran Paradigma Neoliberal
24 June 2015

PENATAAN Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama ini, tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh paradigma ekonomi mainstream dan hegemonik yang mendasari pembangunan di negara-negara bangsa di dunia. Sulit untuk membantah bahwa paradigma ekonomi neoliberal yang diinjeksi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, utamanya Bank Dunia dan IMF, telah menjadi landas pijak tata kelola ekonomi yang dijalankan pemerintah Indonesia selama puluhan tahun.

Sejauh ini, konsep dan kebijakan neoliberalisme telah menjadi kosakata publik yang kontroversial. Neoliberalisme sendiri sebetulnya tidak berwajah tunggal. Dalam sejarahnya, neoliberalisme telah mengalami tiga kali pergeseran secara paradigmatik. Saad-Filho (2010) mencatat tiga kelompok pandangan utama dalam neoliberalisme, yaitu paradigma Neoliberal pra-Konsensus Washington, Neoliberal Konsensus Washington, dan Neoliberal Paska-Konsensus Washington (PKW). Tulisan berikut hendak menguraikan tentang tiga pergeseran paradigma ekonomi neoliberal tersebut, sebuah paradigma ekonomi hegemonik yang telah menjadi landasan berpikir dan praktik dalam tata kelola ekonomi dan sosial negara-negara bangsa di dunia.


Generasi I: Neoliberal Pra-Konsensus Washington

Pandangan Neoliberal Pra-Konsesus Washington ditandai oleh dominasi gagasan modernisasi dan teori pembangunan. Gagasan ini meyakini bahwa ketimpangan di tingkat global disebabkan oleh mengakarnya kemiskinan di belahan dunia Selatan. Menurut gagasan ini, masalah kemiskinan dan keterbelakangan di Dunia Ketiga dapat diatasi jika negara-negara di Dunia Ketiga melakukan transisi melalui modernisasi ke tipe ideal kapitalisme maju dengan lima tahapan yang dipopulerkan oleh Rostow (1960). Para pendukung pandangan ini percaya bahwa kemiskinan di Dunia Ketiga disebabkan oleh buruknya modal (mesin, infrastruktur, dan uang). Pembangunan sebagai proses transformasi sistematis—melalui modernisasi, industrialisasi, dan akumulasi modal dan konsumsi domestik—diyakini mampu menyelesaikan masalah kemiskinan dan keterbelakangan di Dunia Ketiga.

Pembangunan dan industrialisasi sebagai salah satu tahap modernisasi dijalankan dengan melembagakan kebijakan ekonomi di bawah koordinasi negara atas proyek-proyek investasi berskala besar—termasuk kepemilikan publik atas sektor-sektor kunci—untuk membangun infrastruktur ekonomi yang penting bagi industrialisasi yang dipimpin oleh sektor swasta. Pendekatan “big push” ini diasumsikan akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang cepat yang merangsang penciptaan kesempatan kerja, stabilitas makroekonomi, dan keseimbangan pembayaran berkelanjutan, yang pada gilirannya akan mampu menghapus kemiskinan melalui “tetesan ke bawah” (trickle down effect). (Saad-Filho 2000).

Pandangan ini banyak menuai kritik setelah didapati kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak menghasilkan kesetaraan dalam ekonomi global dan gagal menghapus kemiskinan dan ketimpangan domestik. Paradigma ini justru melahirkan rejim-rejim pembangunan yang otoriter secara politik. Paradigma pembangunan ini dilembagakan dalam proses pembangunan di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia pada era Soeharto (Mas’oed 1989). Pendekatan kaum moneterian kemudian mengoreksi pandangan ini dengan memberikan tekanan pada deregulasi dan privatisasi untuk membatasi pencari rente, korupsi, dan menekan kebijakan distribusi (Saad-Filho 2000).

Generasi II: Neoliberal Konsensus Washington
Pandangan Neoliberal Konsensus Washington muncul pada 1980-an dan akhir 1990-an. Pandangan ini melekat pada ideologi neoliberal universal dengan komitmen absolut pada pasar bebas dan membayangkan bahwa negara merupakan sumber korupsi dan inefisiensi. Hal ini setidaknya tampak dalam birokrasi yang berwatak pencari rente. Menurut Saad-Filho (2010), KW mengandung empat unsur, yaitu:
Hegemoni teori neoklasik modern yang mengandaikan pasar sebagai ”efisien” dan negara sebagai ”tidak efisien”. Pasar, dan bukan negara, yang seharusnya berperan dalam pembangunan ekonomi, pertumbuhan industri, penciptaan kesempatan kerja, dan penyetaraan kompetisi internasional. Mobilitas modal dan globalisasi dipandang bagus bagi ekonomi dunia dan semua individu. Investasi asing dilihat sebagai instrumen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang dapat dilakukan dengan dukungan kebijakan domestik. Teori ini memprioritaskan kebijakan moneter di atas kebijakan fiskal dan tingkat bunga. Teori ini percaya tingkat bunga yang benar dapat mewujudkan keseimbangan pembayaran, inflasi yang rendah, level keberlanjutan konsumsi dan investasi, meningkatkan alokasi sumber daya, dan tingkat pertumbuhan tinggi dan panjang.

Kebijakan ekonomi neoklasik. KW memandang bahwa suatu negara akan tetap miskin karena konsep yang salah tentang intervensi negara, korupsi, inefisiensi, dan insentif ekonomi. Negara miskin akan mengejar ketinggalan dan mengambil bentuk ideal seperti negara maju jika negara tersebut memprioritaskan pengetatan anggaran, privatisasi, penghapusan intervensi negara dalam harga, fleksibilitas pasar buruh dan perdagangan, keuangan, dan liberalisasi modal.
Intervensi negara dalam bentuk penyediaan lembaga dan fungsi yang bertujuan untuk menjamin kebebasan dan kemurnian pasar. Intervensi negara diperbolehkan sepanjang dilakukan dalam konteks promosi sistematik pada kapitalisme global. Tidak mengherankan jika kebijakan KW sering diasosiasikan dengan otoritarianisme meski dalam retorikanya mendukung demokrasi politik. Ilustrasi tentang Chili dan Indonesia di bawah Orde Baru mengonfirmasi proposisi ini.

Standar ortodoksi dalam ekonomi pembangunan dan penguatan kebijakan yang dipaksakan kepada negara-negara miskin yang menghadapi krisis keseimbangan pembayaran, anggaran, dan keuangan.
Di samping empat elemen itu, deregulasi dan privatisasi menjadi dua kata kunci penataan kemurnian pasar. Neoliberalisme di bawah KW juga merupakan label yang merujuk pada proyek politik khusus (Thatcherisme dan Reaganomics) dan dipakai secara lebih luas dalam gagasan rasionalisme ekonomi, moneterisme, neokonservatisme, manajerialisme, dan kontraktualisme (Wendy Larner 2000).

Pandangan KW mengundang kritik sebagai berikut: 1. Pada semua kasus ditemukan bahwa negara telah melanggar semua prinsip KW melalui perencanaan jangka panjang, proteksionisme, keuangan langsung, dan penyimpangan lainnya dari pasar bebas; 2. Di bawah koordinasi KW, kemiskinan makin meruyak akibat proses penyesuaian struktural dan stabilisasi, terutama terjadi di Amerika Latin pasca-Program Penyesuaian Struktural ala IMF; 3. Kebijakan ekonomi KW melahirkan resistensi dari komunitas politik mayoritas karena menjadikan politik domestik menjadi tidak ramah terhadap politik demokratik.

Generasi III: Neoliberal Pasca-Konsensus Washington (PKW)
Pandangan Neoliberal PKW dikembangkan dari teori ekonomi institusional baru yang dipopulerkan oleh Stiglitz—seorang mantan pejabat teras Bank Dunia. PKW menggeser fokus analisis dari penekanan neoklasik pada kompetisi dan pasar menuju setting kelembagaan aktivitas ekonomi, signifikansi ketidaksempurnaan pasar, dan dampak potensial perbedaan atau perubahan dalam lembaga. Inti proses kebijakan berada dalam pergeseran hubungan sosial, distribusi hak milik, jaminan sosial, dan pengurangan kemiskinan. Paradigma ini bertujuan memperluas pasar dalam kehidupan sosial, namun mengabaikan isu hubungan kekuasaan di dalam pasar. PKW membangun sebuah pendekatan manajerial-teknokratik ke dalam politik yang berdampak pada depolitisasi konflik dan perjuangan kelas dalam pembangunan (Carroll 2007).

Di sini tampak ada pergeseran paradigma dari paradigma Neoliberal KW ke paradigma Neoliberal PKW. Paradigma pertama menekankan pada bentuk baru tata kelola ekonomi politik yang didasarkan pada premis ortodoks tentang perluasan hubungan pasar dan preferensi negara minimal (Wendy Larner 2000). Sementara penghampiran kedua menekankan pada proyek yang memperluas disiplin pasar ke dalam kehidupan sosial dengan mengusung kebijakan berdimensi sosial, utamanya pengurangan kemiskinan dan ketimpangan, dalam tata kelola pemerintahan (Carroll 2000, Jayasuriya 2006).

Perbedaan paradigma kebijakan itu tidak berarti Neoliberal PKW dan Neoliberal KW saling bertentangan satu sama lain. Neoliberal PKW justru berposisi sebagai pelengkap yang menyempurnakan proposisi Neoliberal KW tentang penyesuaian struktural. Neoliberal PKW memberi perhatian pada pembuatan kebijakan yang membuat pasar bekerja dengan baik. Stiglitz menekankan pentingnya elemen, seperti regulasi, kompetisi, dan transparansi—sesuatu yang absen dalam Neoliberal KW. Paradigma ini menekankan langkah terbaik untuk memperluas pasar liberal dan meraih efisiensi pasar liberal dengan pengaturan kapitalisme dan peran negara yang lebih aktif dalam kebijakan ekonomi berdimensi sosial. Kebijakan pro-poor dan pelibatan warga (miskin) dalam perencanaan penganggaran pembangunan merupakan bentuk-bentuk kebijakan yang didorong kuat oleh para penganut paradigma neoliberal PKW.***

http://indoprogress.com/2015/06/perg...ma-neoliberal/

JADI KITA HARUS WASPADA & KRITIS TERHADAP LANGKAH-LANGKAH MENTERI ESDM & SELURUH KAKI TANGAN PENDUKUNG PASAR BEBAS (NEOLIBERAL) YANG INGIN MERUSAK REVOLUSI MENTAL, TRISAKTI & NAWACITA
Diubah oleh rembulanjingga 15-10-2015 09:18
0
1.9K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan