FilmPerang.comAvatar border
TS
FilmPerang.com
Sinopsis Film Everest : Antara Obsesi, Ambisi, Nyawa dan Kekuatan Gunung


Baca Juga 20 Film Petualangan Terbaik
http://www.pendakigunung.com/2015/09...ing-films.html

Film Everest yang diangkat dari kisah nyata tentang pendakian Puncak Everest di tahun 1996 itu sudah mulai diputar di bioskop. Film bertema petualangan yang bisa dikatakan cukup jarang beredar tentunya menjadi sebuah tontonan menarik khususnya bagi pencinta petualangan. Apalagi film ini berkisah tentang petualangan dengan segala dinamika dan tantangannya menuju ke Puncak Gunung tertinggi atau lebih sering di sebut sebagai The Roof of the World, Everest.

Awalnya aku mengira film Everest ini adalah versi terbaru dari film Into Thin Air yang diangkat dari Buku karya Jon Krakauer dengan judul yang sama, Into Thin Air, a Personal Account of the Everest Disaster. Namun ternyata dugaanku meleset. Meskipun terinspirasi kejadian dan pelaku yang sama, namun film Everest ini melihat bencana terhebat yang pernah terjadi di Everest tahun 1996 itu dari sudut pandang berbeda.

Film ini menceritakan tentang orang-orang kaya dari berbagai belahan dunia yang memiliki obsesi untuk menjejakkan kaki di titik tertinggi di dunia itu. Mereka tak segan-segan merogoh kantong dan mengeluarkan uang sebesar USD 65,000 (setara dengan Rp.910 Juta saat ini) demi memenuhi obsesi mereka. Beberapa diantara mereka telah beberapa kali mendaki Everest namun belum berhasil mencapai puncak. Sekedar tambahan bahwa meski seseorang yang telah membayar sejumlah uang dengan angka yang fantastis itu namun belum jaminan dia bisa menjejakkan kaki di puncak Everest. Faktor Alam, fisik, skill dan tentunya keberuntungan turut berperan.

Pendaki-pendaki kaya yang ke Everest akhirnya menjadi sebuah fenomena dan peluang bisnis yang menggiurkan. Tak pelak, ratusan bahkan ribuan Travel Agent dan Climbing Provider baik di Nepal maupun di seluruh belahan dunia bermunculan. Target mereka adalah orang-orang kaya yang memiliki obsesi menjelajahi tempat yang di klaim sebagai “The Most Dangerous Place in the World”. Sesuatu yang awalnya hanya menjadi obsesi bagi seseorang kemudian berubah menjadi sebuah ambisi, dalam hal ini ambisi bisnis yang tak luput dari persaingan dan tentunya kontroversi.

Hal itulah yang ingin diangkat ke permukaan sekaligus menjadi tujuan awal seorang Jon Krakauer, petualang yang lebih sering bepergian seorang diri sekaligus seorang freelance writer yang kerap menulis di majalah Outside Magazine. Buku Into Thin Air adalah buku yang dibuatnya setelah selamat dari bencana yang menimpa Everest dan menelan nyawa beberapa orang rekannya. Meskipun menjadi Best Seller, buku itu sempat menuai kontroversi khususnya dari para korban selamat ataupun dari keluarga korban yang meninggal. Buku berbahasa Inggris setebal 292 halaman itu memang menceritakan segala sesuatunya dari sudut pandang Krakauer berdasarkan apa yang dia lihat dan rasakan. Juga melalui hasil interview dengan rekan-rekannya selama proses pendakian termasuk para Sherpa. Dengan judul yang sama, buku itu telah diangkat ke layar lebar namun entah apakah film itu pernah beredar di Indonesia atau tidak. Aku sempat membeli DVD-nya di Thamel Street di Kathmandu dan telah menontonnya sebanyak 4x!

Jika anda telah membaca buku dan atau menonton film Into Thin Air, mungkin anda akan bisa lebih banyak mengerti tentang hal yang diangkat dalam film Everest. Ada perbedaan yang cukup mendasar dari kedua film tersebut, meskipun menceritakan 1 hal dan pelaku yang sama, bencana di Everest. Bedanya adalah, jika di buku dan film Into Thin Air lebih banyak mengangkat dan menyajikan hal yang terjadi mulai dari proses awal pendakian, saat terjadinya bencana badai di Puncak hingga selesainya pendakian. Tentunya disajikan dari sudut pandang sang penulis, Jon Krakauer. Meski dia mengakui di halaman terakhir bukunya bahwa bisa saja dia ‘salah’ mengingat sesuatu khususnya kejadian yang terjadi selepas Camp 3 dimana dia sudah mulai ‘tidak sehat’.

Sementara Film Everest menyajikannya dari sudut pandang berbeda dengan menggunakan banyak nara sumber, tentunya salah satunya adalah Jon Krakauer dengan Into Thin Air-nya. Film ini lebih mengedepankan unsur ‘human touch’-nya dalam hal ini keluarga. Tak heran jika porsi ‘drama’ antara Rob Hall, warga negara New Zealand yang menjadi Kepala Guide sekaligus pemilik Adventure Consultants Guided Expedition, dengan istrinya yang sedang menantikan kelahiran putri pertamanya digunakan untuk ‘mempermainkan’ emosi penonton. Adegan saat Hall berbicara dengan istrinya lewat telepon di detik-detik terakhir sebelum meninggal menjadi klimaks Film Everest ini. Ditambahkan pula dengan adegan Dr.Seaborn Beck Weathers saat berjuang untuk bangkit dari ‘kematian’ karena melihat anak dan istrinya memanggil ikut pula mendapatkan porsi ‘drama’ dalam film ini. Dokter Pathology berkebangsaan Amerika yang dianggap mendapatkan keajaiban dan perlu di tangani khusus langsung oleh Dubes AS di Kathmandu. Ini pendapat pribadiku, adegan ini ingin menggambarkan betapa ‘pedulinya’ AS dalam menangani warganya. Meski antara buku Into Thin Air dan cerita dalam film Everest ini cukup berbeda. Di buku Into Thin Air dijelaskan (bahkan dengan foto) bahwa Beck diangkut dengan helicopter dari Base Camp menuju Kathmandu setelah melalui proses evakuasi yang dramatis dari camp 4 hingga ke Base Camp namun di film Everest digambarkan bahwa Beck di selamatkan dengan Helicopter dari Camp 4 langsung ke Kathmandu. Sang Pilot helicopter berusaha mati-matian hingga mempertaruhkan nyawa terbang hingga ke ketinggian di atas 7000 mdpl meskipun sangat berat karena mendapat instruksi langsung dari Dubes AS.

Berbicara soal Amerika, ini yang menarik mengingat film ini diproduksi oleh Universal Picture yang ‘Hollywood’. Mohon maaf jika aku menggunakan buku Into Thin Air beserta filmnya sebagai referensi utama meskipun Krakauer menyebutkan bahwa dia bisa saja salah dalam mengingat suatu kejadian. Tapi kesalahan itu terjadinya setelah melewati Camp 3 menuju Camp 4 atau camp terakhir. Hingga proses aklimatisasi di Camp 3, Krakauer selalu mencatat semua kejadian untuk bahan tulisannya. Dalam buku Into Thin Air dan film berjudul sama berdurasi 89 menit itu, akan membuat penonton Film Everest yang diputar saat ini lebih mudah menelaah apa sebenarnya yang terjadi di tanggal 10 Mei 1996 di Puncak Everest. Aku jelaskan sedikit meskipun menggunakan sudut pandang Jon Krakauer sebagai referensi utama.

Film ini sebenarnya berkisah tentang sebuah persaingan usaha. Bukan hanya persaingan dalam merebut client yang notabene adalah orang ‘berduit’ namun juga persaingan dalam memperebutkan publikasi di media massa. Krakauer menceritakan bahwa awalnya dia sudah sepakat dengan Scott Fischer untuk menjelajahi Everest di tahun 1995. Scott dan Krakauer pernah beberapa kali bertemu di Amerika. Rencana awalnya Krakauer tak akan sampai puncak namun hanya sampai di Everest Base Camp, seperti yang diminta oleh editor Outisde Magazine untuk meliput bagaimana bisnis guide di Everest yang melibatkan orang-orang kaya. Krakauer akan bergabung dengan team ekspedisi Scott dengan iming-iming Mountain Madness Guided Expedition akan di ‘tampilkan’ di halaman Outside magazine. Tentu saja Krakauer akan mendapatkan diskon dari USD 65,000 yang harus dibayar tiap orang. Namun beberapa bulan sebelum keberangkatan tiba-tiba Krakauer mendapat kabar dari Outside Magazine bahwa dia akan segera ke Everest namun tidak akan bergabung dengan team Scott Fischer tapi bergabung dengan Team Adventure Consultant Guided Expedition milik Rob Hall. Kabarnya Rob akan membebaskan biaya expedisi dengan imbalan Rob akan tampil di halaman sampul. Sejak saat itulah Scott merasa bahwa ‘client’-nya di curi. Percakapan ini ada di dalam film Everest dalam adegan saat Scott menawarkan Hall untuk duduk dan minum kopi bareng sesaat setelah tiba di Everest Base Camp.






Scott tak mau kalah, entah bagaimana caranya dia bisa mendapatkan seorang pewarta warga negara Amerika asal Los Angeles, Sandy Hill Pittman, untuk bergabung dalam team ekspedisinya. Seorang sosialita glamour yang telah mendaki 6 dari 7 summit di dunia. Sandy sering di wawancarai oleh majalah dan stasiun radio dan TV terkenal semisal Vogue dan CNBC. Hal inilah yang dianggap Scott sebagai ‘ticket’ untuk mendapatkan klien dari kaum berduit Amerika dan dunia. Dalam buku dan filmnya, Krakauer menggambarkan Sandy lebih sebagai ‘Social Climber’ dan bukan ‘Mountain Climber’. Saat melakukan proses aklimatisasi di EBC, Sandy membawa semua peralatannya, mulai dari laptop, satellite, hingga mesin pembuat cappuccino-nya. Bahkan beberapa peralatan seberat hampir 40 kg itu diangkut oleh Sherpa hingga ke Camp 4 agar dia bisa memberikan live report kepada beberapa media.

Satu hal penting sehubungan dengan Sandy yang sayang sekali tidak diangkat di Film Everest. Hal ini berhubungan dengan respect terhadap aturan lokal yang berlaku bukan hanya di Everest tapi di semua gunung dan tempat. Saat melakukan aklimatisasi di Camp 1, Sandy sempat dikunjungi teman lelakinya dan mereka tidur bersama dalam 1 tenda. Informasi dari beberapa Sherpa bahwa mereka bahkan melakukan ‘Sauce Making’ sesuatu yang sangat terlarang dilakukan di Everest untuk pasangan yang bukan suami istri (sebenarnya bukan hanya di Everest sih aturan itu…). Hal itu dianggap tidak respect terhadap sang Chomolungma, Dewa yang ada di Everest dan bisa mengakibatkan sang Dewa marah dan bisa mendatangkan bencana. Setidaknya begitulah yang diyakini masyarakat Himalaya. Sherpa sudah berusaha berbicara dengan Scott selaku leader Sandy namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Mengapa hal ini tidak dimasukkan dalam film Everest ini yak?

Kembali ke masalah Scott Fischer dan Rob Hall. Meskipun mereka berdua bersaing, namun saat melakukan pendakian mereka berdua sepakat untuk menjadi 1 team. Sesaat setelah melakukan aklimatisasi di Camp 4, ke-2 team ini bergerak menuju puncak. Saat briefing semalam sebelumnya, baik Rob dan Hall sudah sepakat bahwa 1 orang Sherpa dari ke 2 team akan berjalan lebih awal di depan untuk memasang tali melewati Hillary Step, trek terakhir dan tersulit menuju puncak. Namun saat Krakauer dan team lain tiba di kaki Hillary Step, mereka mendapati Ang Dorji, Sherpa dari tim Rob Hall hanya duduk seorang diri tak melakukan apa-apa. Juga tak ada tali yang terpasang di Hillary step. Ketika ditanya, Ang Dorji menjawab bahwa dia tidak bisa memasang tali sendiri dan sesuai kesepakatan dia akan memasangnya bersama dengan Lhopsang, Sherpa dari team Scott. Lalu kemana Lhopsang? Ternyata dia masih tertinggal jauh di belakang karena dia sangat kelelahan membawa barang berat milik Sandy hingga ke Camp 4 dan saat itu sedang sibuk menarik Sandy dengan tali!

Akhirnya team yang terdiri dari Krakauer, Anatoly, Andy (Harold) dan Ang Dorji berjibaku memasang tali. Mereka membutuhkan waktu 1,5 jam untuk memasang tali. Di saat menunggu di ketinggian 8800 mdpl itulah mereka semua kelelahan dan mulai terserang penyakit ketinggian seperti Edema, AMS dan Hypotermia. Ditambah lagi dengan semakin menipisnya persediaan oxygen di dalam tabung yang mereka bawa. Hal itulah yang menyebabkan mereka terlambat mencapai puncak dan juga terlambat turun ke Camp 4. Sesaat setelah mereka semua mencapai puncak, badai salju pun terjadi yang merenggut 5 nyawa dari ke- 2 team termasuk 2 rival yang saling ‘berseteru’, Rob Hall dan Scott Fischer.

Secara keseluruhan film ini cukup menghibur dan khusus bagiku cukup mengobati kerinduan akan suasana Himalaya khususnya perjalanan dari Kathmandu hingga ke EBC. Adegan di Tribhuvan Airport, Thamel Street, Lukla, Namche Bazaar, Tyangboche, Gorak Sheep hingga Base Camp. Kenangan saat menjelajah di sana setahun lalu kembali tergambar dengan jelas di pikiranku.

Selain itu film berdurasi 2 jam ini memberikan banyak pelajaran diantaranya mengenai solidaritas, professionalisme, team work dan bagaimana cara bertahan dalam badai dan bencana terburuk yang pernah melanda Everest. Yang paling penting adalah soal sikap (attitude) selama berada di gunung. Seperti di salah satu dialognya, Scott Fischer meyebutkan bahwa, “It’s not about the altitude, it’s about attitude”. Jaga sikap selama berada di gunung atau gunung akan ‘bersikap’ kepadamu dan itu nyawa taruhannya!


sumur 1
http://www.kompasiana.com/rahmathadi...7a61d412ead034

sumur 2
http://www.pendakigunung.com/2015/09...ing-films.html











.
Diubah oleh FilmPerang.com 19-09-2015 15:45
tata604Avatar border
nona212Avatar border
nona212 dan tata604 memberi reputasi
2
9.5K
31
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan