eben97Avatar border
TS
eben97
Bangun Keadilan, Indonesia Jaya
Bangun Keadilan, Indonesia Jaya

OLEH : SRI ISWATI

Jadikan hukum sebagai panglima ! Petuah klise ini selalu menjadi harapan semesta. Tak terkecuali kita yang hidup di bumi Nusantara. Jika keadilan tidak ditegakkan, maka akan banyak jiwa yang terluka. Efeknya luas; apatisme, sensitivisme, terganggunya produktivitas, dan sederet ketidakpastian dalam menatap masa depan.

Keadilan mutlak kita kedepankan karena ia ibarat pilar dalam pembangunan suatu bangsa menuju kesejahteraan. Tegaknya keadilan juga merupakan jalan bagi sebuah negara demokrasi mencapai kejayaannya.

Indonesia nan jaya serasa sudah di gerbang pencapaian, tinggal sepenggal waktu saja, dan itu pasti mewujud apabila keadilan telah membaluri pelbagai sendi kehidupan. Persoalannya, keadilan itu terkoyak-koyak cukup lama sehingga kita tersengal-sengal memperbaikinya. Seiring itu pula perilaku korup meruyak di berbagai lini birokrasi, termasuk di institusi dan lembaga terhormat, serta di sederet tempat eksklusif yang tak mudah terjamah, yang dengan segala siasat merongrong kekayaan negara.

Praktek illegal fishing selama ini ada backing di kitarannya. Illegal loging pun perlu “pengamanan” kuat agar lolos dari hadangan petugas yang anehnya sering tak tahan godaan suap. Rakyat telah mendengar ini, juga melihat, tapi hukum tak berdaya, kendati ada sebagian suara-suara lantang meneriaki realitas itu.

Ibarat penyakit, korupsi sudah jadi epidemi akut. Di sisi lain, para mafia terus bersiasat mengeruk keuntungan besar. Tak perduli menggoyahkan tatanan perekonomian, menimbulkan gejolak, hingga mengganggu stabilitas keamanan. Keberadaan mafia telah menggurita, dan realitas ini acap tercanang dalam pemberitaan media massa ; di koran, TV dan online.

Puluhan tahun kita dengar mafia migas, lalu ada mafia beras, mafia daging sapi, mafia gula, mafia garam, mafia bawang putih, dan masih banyak lagi. Mereka mainkan strategi dalam impor hingga mendekte pasar. Peristiwa itu terus berulang, dan baru-baru ini muncul kegaduhan serupa yakni soal kelangkaan daging sapi, dan Polri pun cepat bergerak mengatasi.

Rakyat tak pernah putus berharap walau terasa penat menunggu agar sanksi tegas diberlakukan. Jangan sampai penanganan yang sudah terkesan sigap ini hanya lip service atau sekadar menjadi komoditas pemberitaan, setelah itu bubar.

Belum lama ini terungkap pula mafia bola. Permainan mafia Ini menyusup dalam laga-laga sepak bola nan bergengsi. Belum lagi mafia anggaran yang akhirnya menyeret para politisi dan pejabat tinggi menghuni bui. Bukankah hal ini makin merobek-robek kepercayaan khalayak dan harga diri bangsa ?!

Harus kita akui, masyarakat luas tahu bahwa sanksi penerjangan terhadap undang-undang pangan dan pelanggaran hukum lainnya tak setegas tindak kriminal yang bisa dihukum mati atau mendekam lama di penjara. Aparat berwenang tidak pernah bersikap garang menghadapi produsen nakal atau pedagang yang menjual makanan berbahaya (busuk, berformalin, dan kadaluwarsa). Biasanya hanya diperingatkan, sehingga tidak jera. Padahal eksesnya sama. Mematikan. Bedanya, tindak kriminal yang biasanya langsung menohok fisik korbannya bisa menewaskan seketika. Namun, makanan berbahaya bisa membunuh pelan-pelan, atau berupa gangguan kesehatan, bahkan bisa sepanjang hayat.

Persoalan ini kasatmata dan gamblang sehingga mudah diketahui dan dipahami masyarakat luas karena menyangkut kepentingan mendasar. Lantas bagaimana dengan bidang lainnya, semisal budaya yang terkait situs-situs purbakala, karya peradaban lainnya yang mudah berpindah tangan atau lenyap. Padahal itu bisa mengurangi eksistensi kita sebagai bangsa yang pernah memiliki peradaban besar dengan bukti jejak-jejak sejarah. Atau keberadaannya tidak lagi menunjukkan bekas kejayaan masa silam. Padahal jejak peradaban bagi generasi berikutnya bisa menjadi inspirasi untuk membangun peradaban yang lebih besar dan maju bagi bangsa dan negara. Tak hanya itu, jejak peradaban yang besar juga dapat membangun citra bahwa kita pantas berkembang menjadi bangsa yang besar dan disegani.

Jadi, yang menjadi tugas besar pemimpin kita saat ini menegakkan hukum, membangun keadilan ! Inilah yang kita harapkan. Memang, penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, seperti yang dikatakan Liliana Tedjosaputro, guru besar ilmu hukum Universitas 17 Agustus Semarang dalam wawancara dengan penulis. Karena menurutnya penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku untuk mencapai kedamaian dan keadilan, mengingat tujuan utama penegakan hukum mewujudkan keadilan.

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi, seperti “bersih-bersih” di pelbagai sektor untuk membangun transparansi birokrasi dan mempercepat hasil kerja yang biasanya terkait masalah perizinan, harus menjadi prioritas. Karena soal perizinan rawan suap, kongkalikong. Ini jelas berdampak pada lambannya aktivitas dan pengaruhnya terhadap produktivitas masyarakat dan negara.

Kita tentu terhenyak mendengarnya, dalam wawancara Metro TV, 17 Agustus lalu di istana, Presiden mengatakan sekitar Rp 700 trilyun/tahun uang negara bisa diselamatkan dari persoalan yang terjadi di pelabuhan Tanjung Priok.

Bayangkan betapa runyamnya, pelabuhan tersibuk yang menjadi urat nadi dalam memperlancar perekonomian negara, kinerjanya masih banyak yang harus dikoreksi. Kendati suara sumbang acap dilontarkan akibat tidak efisiennya proses kerja yang diterapkan. Padahal ibaratnya, Tanjung Priok hanya terletak selemparan batu dari istana Jakarta. Apalagi yang jauh nun di sana, transaksi-transaksi di wilayah perbatasan, misalnya. Tak heran jika muncul penilaian masyarakat bahwa selama ini banyak uang/ kekayaan negara dijadikan bancakan.

Revolusi mental yang dicanangkan Presiden sudah sepatutnya menjadi target utama dan mendesak. Bung Karno di awal kemerdekaan mengobarkan nation and character building. Epidemi korupsi yang akut hanya bisa diatasi dengan tindakan tegas dan revolusioner untuk Indonesia baru.

Fondasi kokoh kehidupan berbangsa dan bernegara berupa penegakan hukum dan keadilan, inilah yang sangat kita harapkan kepada Jokowi. Dimana bersemi nilai-nilai keadilan, termasuk dalam pemerataan pembangunan, di situ akan tumbuh geliat kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan.

Keadilan, acap dipersonifikasikan sebagai entitas suara langit. Ketika keadilan menjelma di tanah air yang subur ini, yang berserak pula potensi di lautnya, maka impian lahirnya negeri yang makmur dan sejahtera akan mewujud.

Esensi keadilan sangat bertuah. Ia tak hanya menyentuh hati tapi menggetarkan kalbu. Ekstremisme melemah di bawah payung keadilan. Riak-riak kecemburuan luar Jawa dan Jawa bisa memudar ketika “terjembatani” jalan keadilan. Apalagi bila “tol laut” atau pelabuhan-pelabuhan besar dan kecil di negara kepulauan ini telah berfungsi optimal, yang menandakan bangkitnya kejayaan negeri bahari.

Masa 5-10 tahun memang singkat untuk menyelesaikan pelbagai program pembangunan yang dicanangkan. Namun, dengan keadilan lebih dari separuh persoalan akan teratasi, Pak Jokowi! Dan itu akan mempercepat pencapaian cita-cita menuju Indonesia Jaya. ***

http://writing-contest.bisnis.com/ar...indonesia-jaya
0
764
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan