- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[True Story] Seandainya Waktu Bisa Diputar Kembali
TS
galaxy13
[True Story] Seandainya Waktu Bisa Diputar Kembali
Selamat malam warga SFTH, disini saya mau berbagi cerita berdasarkan kisah nyata yang saya alami sendiri, kisah ini terjadi 19 tahun silam (tahun 1996), saat saya masih sekolah kelas 1 SMU, sebelumnya mohon maaf jika gaya tulisan di dalam cerita kurang menarik, dan sebelum memulai cerita, saya ingin berpesan ke warga SFTH:
Perkenalan saya dengan Teten dan Ivan saat masih satu kelas di SMU Trisula 1 Pariaman, Jakarta Selatan pada tahun 1996. Saat itu kami memiliki hobi yang sama-sama menyukai musik punk, lalu memutuskan untuk membuat band. Saya bermain Drum, Teten bermain Gitar dan Ivan bermain Bass.
Setiap sabtu malam kami rutin latihan di sebuah studio musik yang terletak di Jembatan Merah. Setiap pulang latihan band, kami selalu mampir ke rumah Teten yang berlokasi di Jl. Swadaya 2, keluarganya sangat ramah dan mendukung kegiatan positif kami, Teten memiliki 3 saudara, 2 lelaki dan 1 perempuan. Ayahnya merupakan alumni STM Boedoet angkatan tahun 80 an dan bekerja sebagai sopir pribadi.
Sementara Ivan tinggal di Palbatu dan hanya memiliki 1 saudara perempuan, keluarga Ivan sangat taat dengan agama dan tak pernah meninggalkan shalat ataupun melewatkan pengajian, sementara saya tinggal di Menteng Tenggulun, Jakarta Selatan. Sebuah kawasan yang tak lepas dari tawuran sekolah dan tawuran antar kampung dengan persoalan awal yang sangat sepele. Saat itu kondisi ayah saya sudah mulai sakit-sakitan. Kadang saya mengantarkannya ke rumah sakit untuk berobat jalan.
Karena keakraban kami bertiga itulah, masing-masing keluarga kami mengenal satu sama lain karena seringnya berkunjung kerumah secara bergantian. Sementara hari-hari saya dilalui dengan aktifitas sekolah, latihan band tiap sabtu malam, kadang bermain di beberapa acara punk yang saat itu masih sangat jarang. Sesekali kami bertiga melakukan kenakalan remaja bolos sekolah, menghisap ganja dan kadang minum alkohol.
Setiap kali ingin menghisap ganja dan minum alkohol, kami selalu melakukannya di kamar Teten, sebelum berangkat ke sekolah dan terkadang sesudah pulang sekolah. Ayah Teten tidak mempersoalkan jika kami minum alkohol dan menghisap ganja asalkan minum alkohol dan menghisap ganja di rumahnya, tidak di pinggir jalan lalu membuat kekacauan, karena dahulunya ayahnya juga seorang peminum dan pengguna ganja, hanya saja untuk narkoba jenis obat, dia melarangnya.
Kami bertiga melakukan hal tersebut tidak setiap hari dan ada kalanya, karena merasa bebas ditambah lagi saat itu kami sedang memasuki proses pubertas, sehingga kenakalan-kenalan tersebut hampir lost control. Setiap kali pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, dan saya selalu menundukkan kepala saat memasuki rumah.
Dan setiap pulang sekolah, saya dan Ivan selalu mampir ke rumah Teten, entah untuk briefing sebelum latihan, menumpang merokok, menenggak alkohol ataupun menghisap ganja, saat itu saya dan Ivan belum dibebaskan merokok oleh orang tua masing-masing, karena larangan itulah yang membuat saya dan Ivan harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi, berangkat atau pulang sekolah seperti anak yang baik-baik.
Hingga akhirnya kami naik ke kelas 2 dan masih satu kelas dengan Ivan dan Teten. Keakraban saya dengan Teten dan Ivan semakin hari semakin erat, Namun pada suatu hari Teten mengajak saya untuk bolos sekolah dan nongkrong di warung kopi belakang sekolah lalu memberikan saya sebutir obat lexotan, tanpa saya pikirkan lagi dengan segera saya pun menenggak obat tersebut dengan kopi hitam yang kami pesan, sementara Ivan menolak tawaran Teten.
Karena tidak merasakan efek apapun, saya pun meminta sebutir lagi lalu menenggaknya dan mulai merasakan efek dari obat tersebut, dan sejak itulah saya kecanduan dengan obat tersebut, dua hari kemudian Teten mengajak saya ke Jalan Kwitang untuk membeli obat tersebut, kami membeli 2 lempeng sekalian untuk stok kami berdua, 1 lempeng berisikan 25 butir dengan harga Rp.25.000 per lempeng.
Sebelum berangkat sekolah, saya selalu menenggak 2 butir setiap harinya, hal ini saya lakukan karena efek dari obat tersebut bawaannya selalu santai dan tingkat kepedean yang sangat tinggi. Sampai suatu hari, sekolah saya terlibat tawuran dengan sekolah lain yang awal mulanya karena persoalan sepele. Dan mau tidak mau saya pun turut andil di dalam tawuran tersebut setiap jam pulang sekolah. Dan sebelum memulai tawuran, saya dan Teten memberikan teman-teman yang lain untuk menenggak obat terlebih dahulu untuk meredam rasa takut saat tawuran terjadi.
Hampir setiap hari, saat bel pulang berbunyi, kami berkumpul di warung kopi yang berada di pinggir jalan, lalu jalan bersama dengan menaiki bus menuju Persojo, Tebet untuk mencegat musuh sekolahan lain, lalu tawuran di jalan yang menyebabkan kemacetan dan kerusakan.
Musuh kami saat itu SMU Muhammadyah 5 yang berlokasi di Tebet, sementara sekolah tersebut berteman dengan STM Boedoet Dan SMU Saudara basis Menteng Tenggulun, sementara sekolah saya pun berteman dengan STM Boedoet dan SMU Saudara, karena tawuran tersebut akibat persoalan sepele, pihak STM Boedoet dan SMU Saudara pun menjadi mediator untuk mendamaikan kami.
Saat pertemuan tersebut yang digelar di sebuah taman, sempat terjadi tegangan tinggi dan hampir tawuran di tempat lagi, namun hal tersebut tidak terjadi dan pada akhirnya sekolah saya damai dengan SMU Muhammadyah 5 dan mulai berkongsi dengan mereka.
Tak terasa waktu pun cepat berlalu dan sudah memasuki tahun ajaran 1999/2000, kami sama-sama naik kelas 3 dan masuk jurusan IPS. Saat memasuki tahun ajaran baru, terdapat siswi baru di kelas 2 yang bernama Lisa pindahan dari Yogyakarta. Seperti sekolah-sekolah yang lain, jika ada siswi baru selalu menjadi bahan godaan kakak kelas. Lisa bukanlah sosok wanita yang sombong, dia begitu cepat beradaptasi dengan kami, bahkan kami sering mengajaknya nongkrong bareng di warung kopi belakang sekolah ataupun di pinggir jalan. Karena sering nongkrong bareng, Teten pun jatuh cinta kepada Lisa, dan mereka menjalin hubungan.
Namun dengan kehadiran sosok Lisa di kehidupan Teten, membuat keadaan berubah yang sangat signifikan, kami sudah jarang latihan band lagi, sementara Teten jarang masuk ke sekolah, mereka berdua selalu bolos entah kemana.
Dan pada suatu hari saat Teten masuk sekolah, sementara pelajaran sudah berjalan, terlihat Lisa yang memberikan kode ke Teten melalui jendela lalu Teten mengajak saya untuk keluar kelas.
“Mau ikut ga lo ?”, tanya Teten dengan nada yang pelan.
“Kemana ?”, tanyaku balik.
“Ke kamar mandi”, jawab Teten singkat.
“Ngapain ?”, tanyaku lagi.
“Udah ikut aja”, jawab Teten mengajak.
Saya terdiam dan berpikir sejenak.
“Pak....ijin mau buang air kecil”, ujar Teten sambil berdiri meminta ijin kepada sang guru yang sedang mengajar.
“Silahkan”, ucap sang guru singkat memberikan ijin.
Entah kenapa saya pun ikut berdiri dan mengikutinya dari belakang.
“Kamu mau kemana ?”, tanya sang guru lagi.
“Mau ijin ke kamar mandi pak”, sahutku sambil berjalan menyusul.
“Silahkan”, ucap sang guru singkat memberikan ijin.
Dan kami keluar kelas bersama lalu berjalan ke kamar mandi, sementara Lisa sudah menunggu di lorong kamar mandi.
“Hai lisa”, ucapku saat melihat ada Lisa.
“Hai der”, balas Lisa dengan senyum.
“Ada apaan ten ?”, tanyaku saat di dalam kamar mandi.
“Nih cobain der”, ucap teten sambil mengeluarkan sebuah paketan kecil yang terbungkus koran.
“Tapi ini apaan ?”, tanyaku lagi penuh keheranan.
“Putaw.....barangnya mantap”, ucap Teten dan mengajak saya untuk berjongkok di dalam kamar mandi dengan pintu yang ditutup dan terasa sempit karena berisikan 3 orang.
Karena saya berpikir Teten adalah seorang sahabat, Saya pun menuruti ajakan Teten, lalu mengeluarkan sendok dan sebuah jarum suntik.
“Tangan lo tahan yang kencang hingga uratnya menyembul”, ujar Teten sambil memegang jarum suntik yang sudah berisikan cairan putaw.
Saya mengikuti apa yang Teten ucapkan.
“Jleeebbbbbbbb........”, jarum suntik tersebut menancap di urat pergelangan tanganku.
3 kali Teten memompa suntikan tersebut dan perlahan-lahan pikiran saya pun melayang serasa terbang ke langit tujuh, dalam hitungan detik kepala saya langsung jatuh menunduk diantara tangan yang tertumpu oleh lutut kaki dan tak sadarkan diri.
Tak lama kemudian
“Plak....Plak....Plak”, Teten menampar-nampar pipi saya berkali-kali.
“Der bangun der jangan dibawa tidur”, teriak Teten yang mencoba menyadarkan saya.
“A..a...a...aaddaaa...a...a...a...aappaann ten ?”, tanyaku terbata-bata dengan kondisi mabuk dan sedikit mual sambil membuka mata yang begitu berat secara perlahan-lahan.
“Ayo masuk kelas”, ajak Teten sambil meraih tangan saya untuk segera berdiri.
“Se...ben...tar...ten”, ujarku sambil merontah dari genggaman tangannya dan berusaha berdiri dengan tergopoh-gopoh lalu saya merapatkan tangan diantara dinding kamar mandi.
Kemudian Teten memeluk saya agar tidak terjatuh dan membasuh muka saya berkali-kali dengan air yang diambil dari dalam kolam kamar mandi, hal tersebut dilakukannya untuk menyegarkan kondisi saya.
“Mu...aaalll....ba...ngeeett ten”, ucapku sambil menundukkan kepala lalu keluarlah muntah yang berwarna kuning berkali-kali.
Setelah muntah itu keluar, kondisi tubuh saya sedikit segar, namun keringat dingin mengucur di sekujur tubuh saya. Teten kembali membasuhkan air ke wajah saya.
“Lo bisa jalan ga ?”, tanya Teten dengan mata yang memerah.
“Bisa...bisa”, jawabku dengan memaksakan diri untuk berjalan perlahan-lahan masuk ke kelas kembali.
Kemudian saya dan Teten berjalan menuju kelas, begitu juga dengan Lisa. Dan saat di depan pintu kelas, jantung saya terasa berdebar-debar ketika ingin masuk.
“Tok...Tok...Tok”
“Masuk”, teriak sang guru yang sedang mengajar di dalam kelas.
Saya dan Teten segera masuk ke dalam kelas dengan menundukkan kepala untuk menghindari sang guru melihat wajah kami.
“Dari mana saja kalian ?”, tanya sang guru dengan nada keras.
“Habis buang air besar pak”, ucapku spontan dengan menoleh sebentar lalu menunduk lagi sementara Teten terus berjalan ke tempat duduknya tanpa menghiraukan pertanyaan sang guru.
“Ya sudah duduk”, ujar sang guru tanpa banyak bertanya lagi dan melanjutkan pelajaran.
Posisi duduk kami paling belakang namun tidak satu meja, saat itu pertama kalinya saya merasakan narkoba jenis putaw, hari-hari berikutnya pun kami melakukan hal yang sama, menyuntikkan putaw ke dalam tubuh di dalam kamar mandi.
Barang tersebut pemberian dari Lisa dan selama 3 hari kami memakai secara gratis, namun setelah itu saya harus membelinya. Lisa bukanlah seorang bandar narkoba, dia seorang pemakai kelas berat. hal itu terlihat dari kedua sendi tangannya yang terdapat banyak bekas suntikan dan sudah membentuk layaknya kelabang.
Saya dan Teten melupakan obat yang pernah kami konsumsi sebelumnya dan beralih memakai putaw, hampir setiap hari kami memakai barang tersebut dengan dosis yang lambat laun meningkat dari 5 mili, 7 mili hingga menjadi 10 mili setiap kali pakai. Saya dan Teten menjadi malas untuk pergi ke sekolah, kadang kami bolos lalu memalak siswa lain yang sedang lewat di hadapan kami untuk membeli barang tersebut dan nongkrong di suatu tempat untuk menikmati efek dari barang tersebut.
Rasa kecanduan itulah yang membuat kami menjadi berubah, tingkat emosi yang selalu tinggi, kriminalisasi sering kami lakukan, bahkan saya dan Teten sudah tidak saling percaya lagi satu sama lain saat sedang memakai barang tersebut bersama-sama untuk meningkatkan dosis. Hingga akhirnya pada suatu hari saat pulang sekolah, saya, Teten dan Lisa memakai putaw terlebih dahulu di kamar mandi sekolah saat suasana sudah sepi sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Setelah memakai narkoba, Teten mengajak saya untuk nongkrong di suatu tempat namun saya menolaknya dan ingin segera pulang ke rumah dalam kondisi yang sangat mabuk, dan kami pun berpisah di tengah jalan. Teten dengan Lisa pergi ke suatu tempat, sementara saya pulang sendirian dengan perasaan was-was takut ketemu dengan musuh sekolah lain di pertengahan jalan.
Jarak dari sekolah ke rumah saya tidak begitu jauh, saat menuju ke sekolah atau pulang, saya hanya berjalan kaki. Dalam keadaan was-was, saya melewati gang-gang sempit dan sesekali melirik ke dalam rumah orang untuk melihat jam, karena setiap jam 5 sore, musuh sekolah lain melintasi jalan raya yang saya lalui.
Selama sekolah saya tidak pernah membawa tas, hanya membawa satu buku dan pulpen yang saya taruh di kantong belakang. Setelah menyebrangi jalan raya dan situasi aman, saya menyebrangi kali dengan perahu kerek lalu melanjutkan jalan lagi hingga akhirnya tiba di rumah. Sesampainya di rumah setelah melepas sepatu dan seragam sekolah, saya langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu sepanjang waktu.
Akibat kecanduan barang tersebut membawa saya ke pergaulan yang lebih liar lagi diluar lingkungan sekolah, berteman sesama pecandu, membeli barang dari hasil kriminal dan menggunakannya secara bersama-sama. Keliaran itu membuat saya berkali-kali harus dikejar-kejar massa yang kerapkali saat melakukan aksi kriminal di dalam bus.
Namun saat itu, Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk hidup, beberapa kali saya lolos dari kejaran massa yang siap menghabisi nyawa saya karena geramnya aksi kriminal yang terjadi di dalam bus.
Bersambung.......
"JANGAN PERNAH MENGGUNAKAN NARKOBA"
Quote:
Kenakalan Remaja Yang Mejerumuskan Ke Lobang Setan
Perkenalan saya dengan Teten dan Ivan saat masih satu kelas di SMU Trisula 1 Pariaman, Jakarta Selatan pada tahun 1996. Saat itu kami memiliki hobi yang sama-sama menyukai musik punk, lalu memutuskan untuk membuat band. Saya bermain Drum, Teten bermain Gitar dan Ivan bermain Bass.
Setiap sabtu malam kami rutin latihan di sebuah studio musik yang terletak di Jembatan Merah. Setiap pulang latihan band, kami selalu mampir ke rumah Teten yang berlokasi di Jl. Swadaya 2, keluarganya sangat ramah dan mendukung kegiatan positif kami, Teten memiliki 3 saudara, 2 lelaki dan 1 perempuan. Ayahnya merupakan alumni STM Boedoet angkatan tahun 80 an dan bekerja sebagai sopir pribadi.
Sementara Ivan tinggal di Palbatu dan hanya memiliki 1 saudara perempuan, keluarga Ivan sangat taat dengan agama dan tak pernah meninggalkan shalat ataupun melewatkan pengajian, sementara saya tinggal di Menteng Tenggulun, Jakarta Selatan. Sebuah kawasan yang tak lepas dari tawuran sekolah dan tawuran antar kampung dengan persoalan awal yang sangat sepele. Saat itu kondisi ayah saya sudah mulai sakit-sakitan. Kadang saya mengantarkannya ke rumah sakit untuk berobat jalan.
Karena keakraban kami bertiga itulah, masing-masing keluarga kami mengenal satu sama lain karena seringnya berkunjung kerumah secara bergantian. Sementara hari-hari saya dilalui dengan aktifitas sekolah, latihan band tiap sabtu malam, kadang bermain di beberapa acara punk yang saat itu masih sangat jarang. Sesekali kami bertiga melakukan kenakalan remaja bolos sekolah, menghisap ganja dan kadang minum alkohol.
Setiap kali ingin menghisap ganja dan minum alkohol, kami selalu melakukannya di kamar Teten, sebelum berangkat ke sekolah dan terkadang sesudah pulang sekolah. Ayah Teten tidak mempersoalkan jika kami minum alkohol dan menghisap ganja asalkan minum alkohol dan menghisap ganja di rumahnya, tidak di pinggir jalan lalu membuat kekacauan, karena dahulunya ayahnya juga seorang peminum dan pengguna ganja, hanya saja untuk narkoba jenis obat, dia melarangnya.
Kami bertiga melakukan hal tersebut tidak setiap hari dan ada kalanya, karena merasa bebas ditambah lagi saat itu kami sedang memasuki proses pubertas, sehingga kenakalan-kenalan tersebut hampir lost control. Setiap kali pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, dan saya selalu menundukkan kepala saat memasuki rumah.
Dan setiap pulang sekolah, saya dan Ivan selalu mampir ke rumah Teten, entah untuk briefing sebelum latihan, menumpang merokok, menenggak alkohol ataupun menghisap ganja, saat itu saya dan Ivan belum dibebaskan merokok oleh orang tua masing-masing, karena larangan itulah yang membuat saya dan Ivan harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi, berangkat atau pulang sekolah seperti anak yang baik-baik.
Hingga akhirnya kami naik ke kelas 2 dan masih satu kelas dengan Ivan dan Teten. Keakraban saya dengan Teten dan Ivan semakin hari semakin erat, Namun pada suatu hari Teten mengajak saya untuk bolos sekolah dan nongkrong di warung kopi belakang sekolah lalu memberikan saya sebutir obat lexotan, tanpa saya pikirkan lagi dengan segera saya pun menenggak obat tersebut dengan kopi hitam yang kami pesan, sementara Ivan menolak tawaran Teten.
Karena tidak merasakan efek apapun, saya pun meminta sebutir lagi lalu menenggaknya dan mulai merasakan efek dari obat tersebut, dan sejak itulah saya kecanduan dengan obat tersebut, dua hari kemudian Teten mengajak saya ke Jalan Kwitang untuk membeli obat tersebut, kami membeli 2 lempeng sekalian untuk stok kami berdua, 1 lempeng berisikan 25 butir dengan harga Rp.25.000 per lempeng.
Sebelum berangkat sekolah, saya selalu menenggak 2 butir setiap harinya, hal ini saya lakukan karena efek dari obat tersebut bawaannya selalu santai dan tingkat kepedean yang sangat tinggi. Sampai suatu hari, sekolah saya terlibat tawuran dengan sekolah lain yang awal mulanya karena persoalan sepele. Dan mau tidak mau saya pun turut andil di dalam tawuran tersebut setiap jam pulang sekolah. Dan sebelum memulai tawuran, saya dan Teten memberikan teman-teman yang lain untuk menenggak obat terlebih dahulu untuk meredam rasa takut saat tawuran terjadi.
Hampir setiap hari, saat bel pulang berbunyi, kami berkumpul di warung kopi yang berada di pinggir jalan, lalu jalan bersama dengan menaiki bus menuju Persojo, Tebet untuk mencegat musuh sekolahan lain, lalu tawuran di jalan yang menyebabkan kemacetan dan kerusakan.
Musuh kami saat itu SMU Muhammadyah 5 yang berlokasi di Tebet, sementara sekolah tersebut berteman dengan STM Boedoet Dan SMU Saudara basis Menteng Tenggulun, sementara sekolah saya pun berteman dengan STM Boedoet dan SMU Saudara, karena tawuran tersebut akibat persoalan sepele, pihak STM Boedoet dan SMU Saudara pun menjadi mediator untuk mendamaikan kami.
Saat pertemuan tersebut yang digelar di sebuah taman, sempat terjadi tegangan tinggi dan hampir tawuran di tempat lagi, namun hal tersebut tidak terjadi dan pada akhirnya sekolah saya damai dengan SMU Muhammadyah 5 dan mulai berkongsi dengan mereka.
Tak terasa waktu pun cepat berlalu dan sudah memasuki tahun ajaran 1999/2000, kami sama-sama naik kelas 3 dan masuk jurusan IPS. Saat memasuki tahun ajaran baru, terdapat siswi baru di kelas 2 yang bernama Lisa pindahan dari Yogyakarta. Seperti sekolah-sekolah yang lain, jika ada siswi baru selalu menjadi bahan godaan kakak kelas. Lisa bukanlah sosok wanita yang sombong, dia begitu cepat beradaptasi dengan kami, bahkan kami sering mengajaknya nongkrong bareng di warung kopi belakang sekolah ataupun di pinggir jalan. Karena sering nongkrong bareng, Teten pun jatuh cinta kepada Lisa, dan mereka menjalin hubungan.
Namun dengan kehadiran sosok Lisa di kehidupan Teten, membuat keadaan berubah yang sangat signifikan, kami sudah jarang latihan band lagi, sementara Teten jarang masuk ke sekolah, mereka berdua selalu bolos entah kemana.
Dan pada suatu hari saat Teten masuk sekolah, sementara pelajaran sudah berjalan, terlihat Lisa yang memberikan kode ke Teten melalui jendela lalu Teten mengajak saya untuk keluar kelas.
“Mau ikut ga lo ?”, tanya Teten dengan nada yang pelan.
“Kemana ?”, tanyaku balik.
“Ke kamar mandi”, jawab Teten singkat.
“Ngapain ?”, tanyaku lagi.
“Udah ikut aja”, jawab Teten mengajak.
Saya terdiam dan berpikir sejenak.
“Pak....ijin mau buang air kecil”, ujar Teten sambil berdiri meminta ijin kepada sang guru yang sedang mengajar.
“Silahkan”, ucap sang guru singkat memberikan ijin.
Entah kenapa saya pun ikut berdiri dan mengikutinya dari belakang.
“Kamu mau kemana ?”, tanya sang guru lagi.
“Mau ijin ke kamar mandi pak”, sahutku sambil berjalan menyusul.
“Silahkan”, ucap sang guru singkat memberikan ijin.
Dan kami keluar kelas bersama lalu berjalan ke kamar mandi, sementara Lisa sudah menunggu di lorong kamar mandi.
“Hai lisa”, ucapku saat melihat ada Lisa.
“Hai der”, balas Lisa dengan senyum.
“Ada apaan ten ?”, tanyaku saat di dalam kamar mandi.
“Nih cobain der”, ucap teten sambil mengeluarkan sebuah paketan kecil yang terbungkus koran.
“Tapi ini apaan ?”, tanyaku lagi penuh keheranan.
“Putaw.....barangnya mantap”, ucap Teten dan mengajak saya untuk berjongkok di dalam kamar mandi dengan pintu yang ditutup dan terasa sempit karena berisikan 3 orang.
Karena saya berpikir Teten adalah seorang sahabat, Saya pun menuruti ajakan Teten, lalu mengeluarkan sendok dan sebuah jarum suntik.
“Tangan lo tahan yang kencang hingga uratnya menyembul”, ujar Teten sambil memegang jarum suntik yang sudah berisikan cairan putaw.
Saya mengikuti apa yang Teten ucapkan.
“Jleeebbbbbbbb........”, jarum suntik tersebut menancap di urat pergelangan tanganku.
3 kali Teten memompa suntikan tersebut dan perlahan-lahan pikiran saya pun melayang serasa terbang ke langit tujuh, dalam hitungan detik kepala saya langsung jatuh menunduk diantara tangan yang tertumpu oleh lutut kaki dan tak sadarkan diri.
Tak lama kemudian
“Plak....Plak....Plak”, Teten menampar-nampar pipi saya berkali-kali.
“Der bangun der jangan dibawa tidur”, teriak Teten yang mencoba menyadarkan saya.
“A..a...a...aaddaaa...a...a...a...aappaann ten ?”, tanyaku terbata-bata dengan kondisi mabuk dan sedikit mual sambil membuka mata yang begitu berat secara perlahan-lahan.
“Ayo masuk kelas”, ajak Teten sambil meraih tangan saya untuk segera berdiri.
“Se...ben...tar...ten”, ujarku sambil merontah dari genggaman tangannya dan berusaha berdiri dengan tergopoh-gopoh lalu saya merapatkan tangan diantara dinding kamar mandi.
Kemudian Teten memeluk saya agar tidak terjatuh dan membasuh muka saya berkali-kali dengan air yang diambil dari dalam kolam kamar mandi, hal tersebut dilakukannya untuk menyegarkan kondisi saya.
“Mu...aaalll....ba...ngeeett ten”, ucapku sambil menundukkan kepala lalu keluarlah muntah yang berwarna kuning berkali-kali.
Setelah muntah itu keluar, kondisi tubuh saya sedikit segar, namun keringat dingin mengucur di sekujur tubuh saya. Teten kembali membasuhkan air ke wajah saya.
“Lo bisa jalan ga ?”, tanya Teten dengan mata yang memerah.
“Bisa...bisa”, jawabku dengan memaksakan diri untuk berjalan perlahan-lahan masuk ke kelas kembali.
Kemudian saya dan Teten berjalan menuju kelas, begitu juga dengan Lisa. Dan saat di depan pintu kelas, jantung saya terasa berdebar-debar ketika ingin masuk.
“Tok...Tok...Tok”
“Masuk”, teriak sang guru yang sedang mengajar di dalam kelas.
Saya dan Teten segera masuk ke dalam kelas dengan menundukkan kepala untuk menghindari sang guru melihat wajah kami.
“Dari mana saja kalian ?”, tanya sang guru dengan nada keras.
“Habis buang air besar pak”, ucapku spontan dengan menoleh sebentar lalu menunduk lagi sementara Teten terus berjalan ke tempat duduknya tanpa menghiraukan pertanyaan sang guru.
“Ya sudah duduk”, ujar sang guru tanpa banyak bertanya lagi dan melanjutkan pelajaran.
Posisi duduk kami paling belakang namun tidak satu meja, saat itu pertama kalinya saya merasakan narkoba jenis putaw, hari-hari berikutnya pun kami melakukan hal yang sama, menyuntikkan putaw ke dalam tubuh di dalam kamar mandi.
Barang tersebut pemberian dari Lisa dan selama 3 hari kami memakai secara gratis, namun setelah itu saya harus membelinya. Lisa bukanlah seorang bandar narkoba, dia seorang pemakai kelas berat. hal itu terlihat dari kedua sendi tangannya yang terdapat banyak bekas suntikan dan sudah membentuk layaknya kelabang.
Saya dan Teten melupakan obat yang pernah kami konsumsi sebelumnya dan beralih memakai putaw, hampir setiap hari kami memakai barang tersebut dengan dosis yang lambat laun meningkat dari 5 mili, 7 mili hingga menjadi 10 mili setiap kali pakai. Saya dan Teten menjadi malas untuk pergi ke sekolah, kadang kami bolos lalu memalak siswa lain yang sedang lewat di hadapan kami untuk membeli barang tersebut dan nongkrong di suatu tempat untuk menikmati efek dari barang tersebut.
Rasa kecanduan itulah yang membuat kami menjadi berubah, tingkat emosi yang selalu tinggi, kriminalisasi sering kami lakukan, bahkan saya dan Teten sudah tidak saling percaya lagi satu sama lain saat sedang memakai barang tersebut bersama-sama untuk meningkatkan dosis. Hingga akhirnya pada suatu hari saat pulang sekolah, saya, Teten dan Lisa memakai putaw terlebih dahulu di kamar mandi sekolah saat suasana sudah sepi sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Setelah memakai narkoba, Teten mengajak saya untuk nongkrong di suatu tempat namun saya menolaknya dan ingin segera pulang ke rumah dalam kondisi yang sangat mabuk, dan kami pun berpisah di tengah jalan. Teten dengan Lisa pergi ke suatu tempat, sementara saya pulang sendirian dengan perasaan was-was takut ketemu dengan musuh sekolah lain di pertengahan jalan.
Jarak dari sekolah ke rumah saya tidak begitu jauh, saat menuju ke sekolah atau pulang, saya hanya berjalan kaki. Dalam keadaan was-was, saya melewati gang-gang sempit dan sesekali melirik ke dalam rumah orang untuk melihat jam, karena setiap jam 5 sore, musuh sekolah lain melintasi jalan raya yang saya lalui.
Selama sekolah saya tidak pernah membawa tas, hanya membawa satu buku dan pulpen yang saya taruh di kantong belakang. Setelah menyebrangi jalan raya dan situasi aman, saya menyebrangi kali dengan perahu kerek lalu melanjutkan jalan lagi hingga akhirnya tiba di rumah. Sesampainya di rumah setelah melepas sepatu dan seragam sekolah, saya langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu sepanjang waktu.
Akibat kecanduan barang tersebut membawa saya ke pergaulan yang lebih liar lagi diluar lingkungan sekolah, berteman sesama pecandu, membeli barang dari hasil kriminal dan menggunakannya secara bersama-sama. Keliaran itu membuat saya berkali-kali harus dikejar-kejar massa yang kerapkali saat melakukan aksi kriminal di dalam bus.
Namun saat itu, Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk hidup, beberapa kali saya lolos dari kejaran massa yang siap menghabisi nyawa saya karena geramnya aksi kriminal yang terjadi di dalam bus.
Bersambung.......
anasabila memberi reputasi
1
3.1K
Kutip
9
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan