orang.hutanAvatar border
TS
orang.hutan
Guru Besar IPB Kritik Lumbung Padi Merauke yang Digagas Jokowi
Jakarta -Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang mengembangkan konsep lumbung pangan khususnya padi (food estate) di Merauke, Papua. Hal ini sebagai salah satu cara agar Indonesia mandiri pangan, namun kebijakan ini menuai kritikan.

Swasembada beras sulit tercapai bila hanya terkonsentrasi pada lahan di Jawa dan Sumatera. Sehingga menjadi alasan dibentuknya lumbung padi nasional di Papua.

Pemerintah melakukan pengembangan Papua sebagai lumbung pangan, tepatnya di Papua bagian selatan khususnya Merauke. Data menunjukkan, ada 2,5 juta hektar lahan potensial untuk pangan dan 1,9 juta hektar lahan basah.

Guru Besar Bidang Pangan IPB Dwi Andreas Santosa mengkritik konsep tersebut. Menurutnya, sulit untuk menjadikan Merauke, Papua sebagai lumbung padi, banyak persoalan yang dihadapi. Apalagi secara pengalaman, banyak yang tak berhasil.

"Food Estate mendulang kegagalan. Tidak ada sejarah keberhasilan food estate terutama padi di Indonesia. Persoalan sosial yang luar biasa besar," katanya dalam seminar berjudul "CORE 2015 Mid-Year Review: Managing Economic Slowdown", di Graha Sucofindo, Jakarta, Selasa (28/7/2015).

Andreas mencoba memaparkan sejarah gagalnya pengembangan lumbung padi di Merauke, Papua beberapa waktu silam. Tahun 1939 pemerintah kerajaan Belanda mengembangkan Kumbe Rice Estate.

April 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono panen raya di Merauke dan memunculkan ide Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 1,9 juta hektar.
Agustus 2008 Saudi Bin Laden Group berencana investasi US$ 4 miliar untuk mengembangkan 500.000 hektar lahan di Merauke.

Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan di Arab Saudi dan negara-negara teluk. Kemudian pada bulan Maret 2009 gagal karena global financial downturn.

"Untung tidak jadi, kalau jadi kita di sini saja kekurangan lahan, ini mau digarap mereka," katanya.

Di tahun 2008, MIRE berubah nama menjadi MIFEE yaitu The Merauke Integrated Food and Energy Estate.

Ada total lahan 1,23 juta hektar, 50% tanaman pangan, 30% tebu, dan 20% sawit.

Hasil yang diharapkan 1,95 juta ton beras, 2,02 juta ton jagung, 167.000 ton kedelai, 64.000 sapi, 2,5 juta ton gula, 937.000 ton minyak sawit per tahun. "Tapi mana? Apa yang terjadi?," ucapnya.

Kemudian Mei 2010 sudah ada 36 investor pangan, dari angka tersebut hanya 2,9% yang minat menanam padi.
Menurutnya, konsep Food Estate selalu mendulang kegagalan, tidak ada sejarah keberhasilan food estate terutama padi di Indonesia.

Rencana hingga tahun 2019 seluas 1 juta hektar sawah di Merauke. Perlu tenaga kerja 500.000 orang, sementara penduduk Merauke 174.000 jiwa, penduduk asli 55.000 jiwa.

"Ini tidak efisien karena berisiko besar. Jadi, gerakan kembali ke petani kecil yaitu reforma agraria, petani kecil dan tuna tanah memiliki dan mengontrol lahan. Sejak dulu kita khawatir. Kritikan kami, tidak ada keberhasilan food estate, tidak ada. Jadi betapa pentingnya petani kecil karena 70 persen mereka yang menyokong pangan kita," jelas Andreas.


sumur

Setahu saya di Food Estate di Papua sana, sawit lebih favorit dibanding nanam padi. CMIIW bahkan mungkin klo proporsi lahan tanaman pangan itu ditawarkan ke perusahaan sawit bisa jadi rebutan.

Daripada dicibir panastak yg suka komen harus kasih solusi, solusi dari gw hampir sama dengan guru besar IPB itu mengenai reformasi agraria.

Landbank milik perusahaan2 properti di Jawa-Sumatra itu harusnya diwajibkan menyediakan lahan sekian puluh persen atau luas yg sama untuk tanaman pangan dalam radius beberapa kilometer dari lokasi landbank mereka yg dikelola dan dimiliki oleh masyarakat setempat dan lahan tersebut mandatory harus tanaman pangan klo peruntukannya di lapangan bukan buat pangan maka pengurusan kepemilikan lahan bagi masyarakat setempat akan disuspend dan digusur. Dan bila landbank tersebut tidak dilakukan pembangunan diatasnya dalam rentang waktu yg ditolerir, maka perusahaan properti tersebut kena penalty tambahan porsi sumbangan lahan tanaman pangan. Besarannya berimbang sesuai lama tahun landbank tersebut menganggur, semakin lama lahan menganggur maka semakin besar penaltynya. Tambahan penalty lainnya adalah perusahaan pemilik landbank tersebut harus menyewakan gratis lahannya kepada masyarakat setempat hanya untuk tanaman pangan, bukan tempat tinggal, dan lama sewa gratisnya tergantung lama siklus tanaman pangan tersebut, jadi menghindari masyarakat ngebangun gubuk/tempat tinggal. Berat? Ahh ngga, harga lahan naik terus dan bubblenya bisa pecah, daripada pecah lebih baik landbank nganggur tersebut harus dipaksa produktif. Tambahan solusi lainnya adalah bagi pekerja/buruh lokal yg mendapat lahan pengelolaan pangan serta memiliki BPJS JHT 10 tahun dapat mencairkan uangnya 100% untuk program tanaman pangan dengan konsep vertikal (lahan di Jakarta sudah terlalu sempit) ditambah modal Kredit Usaha Rakyat buat memperlengkapi komposisi permodalan (toh jaminannya lahan sumbangan pemilik landbank tersebut), sehingga dapat juga mencetak pertumbuhan entrepreneur, supaya buruh itu tidak selamanya menjadi buruh.

Jadi perusahaan developer property itu sudah siap financial dan lain sebagainya buat ngebangun bangunan diatasnya terlebih dahulu dibanding mereka beli lahannya dulu trus dibiarkan menganggur. Klo peraturan seperti itu diterapkan yg ada palingan perusahaan pemilik landbank itu langsung buru2 jual aset landbanknya kepada perusahaan yg benar2 sudah siap buat ngebangun dibanding mereka kena penalti. Lahan produktif di Indonesia semakin naik, target persentase entrepreneur juga bisa tercapai 2%, masalah pangan pun lumayan terbantu.
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
-1
11.9K
156
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan