iustitiaAvatar border
TS
iustitia
Pembuktian hukum dalam kasus pembunuhan Alm. Engeline
Dalam proses peradilan perkara pembunuhan, kita harus lebih waspada, karena salah menilai / terjebak dalam prasangka pada kasus pembunuhan berarti menghukum orang yang tidak bersalah dan membiarkan pelaku pembunuhan yang sebenarnya bebas berkeliaran di tengah masyarakat, mengancam nyawa orang-orang terdekat kita.

Belakangan ini media ramai membicarakan kasus pembunuhan Alm. Engeline di Bali. Seorang anak perempuan yang berusia 8 tahun tersebut dikisahkan oleh media sebagai seorang anak perempuan yang hidupnya selama ini menderita. Pemberitaan tentang guru tempat Alm. Engeline bersekolah yang memberi kesan seolah-olah selama ini Alm. Engeline sering mengalami penyiksaan, ditambah cuplikan raut wajah Ibu angkatnya yang diulang terus-menerus di TV, telah berhasil menggiring opini masyarakat bahwa Ibu angkatnya tersebut adalah pelaku pembunuhan Alm. Engeline.

Secara hukum, pembuktian kasus pembunuhan, termasuk kasus pembunuhan Alm. Engeline memang tidak mudah. Tata cara pembuktian secara hukum memang sengaja dibuat sedemikian rupa supaya Majelis Hakim tidak menghukum orang yang tidak bersalah, karena pada dasarnya tidak ada yang tahu (apalagi Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim) siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya selain si korban dan si pelaku itu sendiri, kecuali kasus pembunuhan yang pelaku nya tertangkap tangan (kejadian pembunuhan disaksikan oleh orang lain atau terekam dalam media tertentu).

Contoh kasus pembunuhan yang terkenal adalah kasus pembunuhan pasangan suami-istri yang sedang hamil muda (Sulaeman & Siti Haya) di tahun 1974. Kasus ini sering dijadikan contoh sejarah “peradilan sesat” / miscarriage of justice di Indonesia (istilah yang dipakai untuk menggambarkan kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana yang putusannya menghukum orang tidak bersalah). Kasus tersebut menyeret 2 orang tertuduh: Sengkon & Karta. Mereka ditahan sejak bulan Desember 1974 dan dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan pada tanggal 20 Oktober 1977.

Jika kita membaca Putusan Hakim dalam perkara tersebut (Putusan No. 2/K.T.S/Bks./1977 tanggal 20 Oktober 1977), sama seperti pemberitaan di media tentang kasus pembunuhan Alm. Engeline, saya yakin agan-agan akan tergiring untuk setuju dan sependapat dengan Putusan tersebut, karena di dalam persidangan terungkap: Pertama, Sengkon mempunyai kebiasaan membawa golok di pinggangnya; Kedua, Korban (Sulaeman) dalam perjalanan ke rumah sakit sempat berbicara kepada Ayah dan Iparnya bahwa yang melakukan pembacokan adalah Sengkon & Karta, karena sakit hati masalah pinjaman uang; Ketiga, ada Saksi yang melihat Karta berdiri di depan sebelah kanan rumah Korban, memegang sebilah golok dan mengejar Saksi sambil berkata "gue matiin lu"; Keempat, menurut masyarakat sekitar Sengkon pernah bersumpah di hadapan seorang dukun bahwa apabila dia/Sengkon berbuat kejahatan dia akan dipatok ular dan ternyata beberapa hari kemudian kakinya Sengkon dipatok ular; Kelima, Sengkon pernah dihukum penjara selama 6 tahun karena melakukan perampokan & pembunuhan; Ketujuh, hasil visum et repertum membuktikan bahwa tubuh korban penuh luka-luka bacokan;

Jika kita baca kembali seluruh fakta persidangan tersebut, kita tidak dapat menemukan satu orang-pun saksi yang melihat langsung peristiwa pembunuhan, namun Fakta tentang sakit hati Sengkon & Karta kepada korban, dengan mudah akan membangkitkan kecurigaan/prasangka kita, bahwa sangat mungkin Sengkon & Karta telah membunuh korban karena sakit hati tentang uang. Ketika prasangka telah memenuhi hati dan pikiran kita, maka fakta persidangan yang lain akan dengan mudah kita anggap sebagai konfirmasi yang mendukung prasangka kita. Apalagi selama ini kelakuan Sengkon & Karta sering dianggap meresahkan masyarakat, sehingga aparat penegak hukum-pun menjadi satu suara untuk mendukung prasangka yang ada. Saking yakinnya sehingga kemudian persidangan tidak menghadirkan dokter pembuat visum et repertum ke muka persidangan, dan golok yang disita juga tidak diuji (forensik), apakah cocok/sesuai dengan jenis luka berdasarkan hasil visum et repertum. Sampai kemudian pada tanggal 24 Januari 1981 Majelis Hakim Peninjauan Kembali yang diketuai oleh Hakim Agung Oemar Seno Adji membebaskan Sengkon & Karta, karena seorang bernama Gunel bin Kuru mengaku sebagai pelaku pembunuhan Sulaeman & Siti Haya, dan sudah dihukum di Pengadilan Negeri Bekasi pada tahun 1980.

Dalam kasus pembunuhan Alm. Engeline, penemuan jasad di dalam pekarangan rumah dan wajah marah/jutek Ibu angkatnya yang sangat sering ditampilkan di media tentunya mengundang kecurigaan/prasangka dalam hati dan pikiran kita. Ditambah dengan kondisi rumah yang berantakan (penuh kandang ayam) dan keterangan Guru di sekolah Alm. Engeline, seolah memberikan konfirmasi atas kecurigaan kita. Dengan penuh prasangka, tentunya kita akan mudah tergiring untuk sepakat dengan keterangan Saksi Agus yang menuduh Ibu angkat Alm. Engeline sebagai pelaku pembunuhan (padahal sebelumnya Saksi Agus dalam pra rekonstruksi mengaku telah membunuh Alm. Engeline). Apalagi kemudian media memberitakan tentang masalah warisan, yang dengan mudah akan kita jadikan sebagai motif pembunuhan Alm. Engeline. Kita akan terhanyut dan menjadi lupa bahwa tidak ada satupun Saksi yang melihat pembunuhan Alm. Engeline – hampir mirip dengan perkara Sengkon & Karta diatas : fakta atau keterangan saksi yang mendukung kecurigaan kita, dianggap sebagai konfirmasi/terbuktinya kecurigaan kita tersebut.

Dalam masyarakat awam hal tersebut sangat wajar, namun secara hukum sangat berbahaya apabila fakta yang mendukung kecurigaan kita, digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai alat bukti yang sah menurut hukum – hal itulah yang membuat Sengkon & Karta dinyatakan bersalah dan dihukum. Salah satu penyebab terjadinya peradilan sesat di perkara Sengkon & Karta adalah sikap aparat penegak hukum yang terlalu mempercayai keterangan para saksi, padahal tidak ada satupun saksi yang melihat langsung peristiwa pembunuhan, sehingga tidak dilakukan pemeriksaan forensik atas barang bukti golok yang disita dari Sengkon. Hal mana penting untuk membuktikan apakah golok yang disita adalah golok yang digunakan untuk membunuh.

Demikian juga dalam kasus pembunuhan Alm. Engeline, keterangan saksi Agus bertentangan dengan keterangan saksi Margareth (Ibua angkat), keduanya saling menyalahkan, sehingga aparat penegak hukum harus mencari dan mengumpulkan alat bukti lain yang sah dan ilmiah/forensik – tidak mengandalkan alat bukti keterangan saksi. Contoh lain terkait pentingnya hasil forensik dalam pemecahan kasus pembunuhan adalah kasus pembunuhan Asrori di Pengadilan Negeri Jombang. Majelis Hakim menghukum Imam Hambali alias Kemat dan David Eko Priyanto atas pembunuhan Asrori, sampai kemudian Very Idham Henyansyah alias Ryan mengaku sebagai pembunuh Asrori. Demikian juga dalam kasus pembunuhan Alta Lakoro di Pengadilan Negeri Limboto yang menghukum kedua orang tuanya (Risman & Rostin) sebagai pelaku pembunuhan. Pada saat menjalani hukuman penjara, tiba-tiba sang anak yang selama ini kabur dari rumah, muncul kembali. Peradilan sesat dalam beberapa perkara tersebut seharusnya dapat dihindari apabila aparat penegak hukum melakukan uji forensik secara utuh (khususnya DNA) – mengedepankan pembuktian ilmiah.

Di Inggris pada tahun 1910 Dr. Crippen digantung sampai mati karena dituduh membunuh istrinya (Cora Crippen). Selama persidangan, ekspresi wajah dan sikap tubuh Dr. Crippen dianggap mendukung tuduhan pada dirinya. Kemudian pada tahun 2007 Professor David Foran (ahli forensik dari Amerika Serikat) menemukan fakta-berdasarkan test DNA (forensik)-bahwa ternyata potongan tubuh yang dijadikan bukti dalam persidangan adalah potongan tubuh seorang laki-laki (bbc.com). Kasus pembunuhan Putten di Belanda (tahun 1994) dan perkara pembunuhan di taman Schiedam, Belanda / The Schiedam Park Murder (tahun 2000) juga menunjukkan bahwa pengungkapan kasus pembunuhan harus mengedepankan alat bukti yang ilmiah/uji forensik, karena dalam kasus pembunuhan biasanya Penyidik kesulitan untuk mendapatkan alat bukti, sementara tekanan media dan masyarakat dalam kasus pembunuhan sangat besar. Jika terseret arus pemberitaan media, maka aparat penegak hukum berpotensi mengulangi terjadinya peradilan sesat/ miscarriage of justice.

Uji forensik harus dilakukan secara profesional, obyektif dan independen untuk membongkar kasus pembunuhan, bukan semata-mata untuk meng-konfirmasi kecurigaan-kecurigaan berdasarkan opini semata. misalnya : karena jasad Alm. Engeline ditemukan terkubur bersama bonekanya, maka pembunuh Alm. Engeline pasti orang dekat Alm. Engeline, yaitu Ibu angkatnya. Pendapat ini adalah spekulasi yang tidak ilmiah yang digunakan sebagai konfimasi atas kecurigaan bahwa Ibu angkat Alm. Engeline adalah pelaku pembunuhan. Hubungan boneka dan pelaku pembunuhan hampir serupa dengan kebiasaan Sengkon yang selalu membawa golok dan keterangan Ayah & Ipar Korban dalam perkara Sengkon & Karta diatas, apalagi jika ditambah dengan fakta bahwa Sengkon sebelumnya pernah dihukum karena membunuh orang. Berdasarkan sejarah pengungkapan kasus pembunuhan, maka fakta-fakta tersebut lebih tepat digunakan sebagai fakta pendukung, yang baru dapat digunakan apabila ditemukan bukti yang ilmiah dan terpercaya, yang menghubungkan antara pelaku pembunuhan dengan peristiwa pembunuhan. Fakta-fakta tersebut sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar untuk menghukum orang.

Bukti forensik tentang darah siapa yang ditemukan dalam kamar Ibu angkat/Margareth dan kamar Agus akan lebih tepat untuk digunakan sebagai bukti yang ilmiah. Jika tidak ditemukan bercak darah Alm. Engeline di kamar Agus atau kamar Margareth maka seharusnya Penyidik mengembangkan kasus lebih jauh lagi, apakah mungkin ada orang lain yang terlibat dalam kasus tersebut. Apabila ternyata Tim Forensik kasus pembunuhan Alm. Engeline mengalami hambatan/kendala teknis (termasuk peralatan) ketika melakukan uji forensik, maka demi keadilan, aparat penegak hukum, termasuk Majelis Hakim nantinya, harus membuka pintu terhadap penggunaan tenaga ahli forensik yang independen dan profesional, untuk menemukan siapapun pelaku pembunuhan Alm. Engeline dan kemudian menghukumnya dengan hukuman yang setimpal, agar pembunuh tidak berkeliaran di tengah-tengah masyarakat.
--
frookiezAvatar border
frookiez memberi reputasi
1
2.5K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan