- Beranda
- Komunitas
- Cinta Indonesiaku
Negeri Pancasila dalam Ironi; Sebuah Sajak dari Sang Amatir
TS
apatama
Negeri Pancasila dalam Ironi; Sebuah Sajak dari Sang Amatir

Negeri Pancasila dalam Ironi
Belakangan ini aku banyak melihat kebohongan yang dibicarakan lalu dibenarkan dan kejujuran yang disembunyikan lalu dilenyapkan. Kejahatan diperjuangkan dan kebaikan dilawan.
Sadarkah mereka bertindak sebagai Yang Mahakuasa yang selalu mengatur dan menuntun ke sana-kemari seakan mengetahui dimana letak sebuah kebenaran? Meraka yang berbicara atas dogma agama seakan adalah Tuhan Yang Maha Benar.
Sadarkah mereka bertindak mempertuhankan egonya masing-masing, memvonis kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan kemunafikan, kejujuran dan kebohongan yang seakan mengklaim golongan mereka adalah ciptaanNya yang paling disempurnakan? Meraka tak menyadari bahwa indahnya kehidupan berada di bawah payung kesempurnaan Tuhan Yang Maha Sempurna.
Aku bertanya, entah kepada siapa aku bertanya, „Dimana letak kebebasan? Dimana letak toleransi?“. Aku memimpikan sebuah negeri dimana sepasang semboyan diagungkan, yaitu kebebasan dan toleransi. Mungkin aku hanya bisa bermimpi dan terus bermimpi tanpa melakukan apa-apa.
Belakangan ini aku banyak melihat negeriku berlaku sungguh tak adil, negeriku berlaku sungguh biadab.
Sebuah hukuman atas tindakan amoral yang dengan mudah dapat dibeli oleh mereka yang menyebut diri mereka aristokrat. Sebuah hukuman yang tak memperhatikan sisi humanis dibiarkan berdiri, tegak berdiri, bagai mata pedang yang ditebaskan ke leher terpidana mati. Sebuah pembelaan akan kebenaran yang tak ada artinya. Sebuah pembelaan akan kesalahan yang berarti, jika penyokong pembelaan memiliki nilai yang berarti untuk beberapa golongan.
Negeri ini berdiri berdasarkan hukum seakan-akan hukum hanya menjadi alat agar negeri ini berdiri, kini hukum pun kembali tertidur pulas, kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Adil. Seraya hati ini merasa akan kejanggalan. Kemudian aku berpikir, lalu aku bertanya, kemudian aku berpikir kembali. Hati ini hanya merasa tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Belakangan ini aku banyak melihat pertumpahan emosi hingga pertumbahan darah pada negeri yang aku cintai. Menurunnya harmonisasi dalam kehidupan seakan hilang dan terus menghilang seiring berkembangnya zaman.
Perasaan senasib dan sepenanggungan sudah tak tampak lagi sebagai latar belakang negeri ini. Rasa kesatuan dan persatuan sudah berkurang dan terus berkurang. Semangat nasionalisme sudah beralih dari hati setiap mereka yang terlahir sebagai bangsa harum ini. Jiwa patriotisme tidak ditunjukkannya untuk tetap mencintai dan membela negeri ini pada garda terdepan. Aku pun kadang merasakan hal yang sama demikian.
Satu persatu tetangga menggerogoti kepulauan negeri ini. Satu persatu wilayah memisahkan diri dari negeri ini. Satu persatu ciri khas negeri ini diklaim, dicuri, diambil secara lembut tanpa perlawanan. „Apakah aku hanya diam?“, tanyaku kembali kemudian hening.
Belakangan ini aku banyak melihat kebijakan-kebijakan elit yang sangat responsif dan memihak.
Aku merasa kagum kepada elit. Mereka memihak kepada sesama mereka. Mereka hidup dengan nyaman. Aku merasa kagum kepada elit. Di pintu belakang Istana mereka mengemis kepada Yang Mulia, lalu Ia mengabulkan layaknya seorang konglomerat yang mengabulkan permintaan-permintaan para istri.
Aku merasa iri kepada proletar. Mereka makan dengan makanan sisa. Mereka hidup dengan damai. Aku merasa isi kepada proletar. Di depan muka Istana mereka mengemis kepada Yang Mulia, lalu Ia hanya diam, mengabaikan.
“Dimana letak sisi kebijaksanaan seorang yang menyebut dirinya pembela rakyat kecil? Apakah kebijaksaan hanyalah sebuah kata belaka?“, tanyaku heran, tak ada satupun jawaban dari sekitar. Mungkin aku belum pantas untuk bertanya, mungkin diam adalah jalan terbaik untuk diriku saat ini.
Belakangan ini aku banyak melihat ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi seluruh segi-segi kehidupan masyarakat.
Di antara pembangunan kota yang pesat, masih terlihat pembangunan desa yang terus tertinggal. Di antara kokohnya gedung-gedung bertingkat, berdiri sebuah rumah bak gubuk yang sekali saja tertiup angin dua-tiga menit sudah tak terlihat lagi.
Lagi-lagi yang miskin tetaplah miskin walau sudah bekerja keras, lalu mereka yang kaya hanya menikmati hasilnya demi kepentingan sesama. Lalu aku bertanya dan terus bertanya, ,, Dimana letak keadilan? Apakah keadilan hanyalah sebuah fatamorgana?“. Aku merasa kasihan, sangat kasihan. Aku bukan kasihan kepada mereka yang berada dikekang oleh garis kemiskinan. Lantas aku kasihan kepada siapa? Aku kasihan terhadap diriku sendiri yang belum bisa berbuat apa – apa.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada negeri ini? Aku pernah mendengar sebuah pepatah mengatakan bahwa diam adalah emas. Ya, aku harus diam, diam termenung, membisu dan masa bodoh dengan realita yang ada. Tidak. Tidak. Tidak. Lantas apa yang harus aku perbuat? Apakah aku hanya terdiam? Apakah aku hanya merenung? Membisu? Atau masa bodoh?
„Kini diam bukanlah emas, Anakku“, Bisik Ibu Pertiwi lirih dalam jiwaku.
Ditulis pada Tahun 2015 oleh,
AP
Seorang yang ingin mengerti dirinya sendiri dan orang lain
Mohon sekiranya thread ini menarik dan layak mendapatkan rate sila klik rate hehe
Diubah oleh apatama 03-07-2015 14:29
0
4.5K
2
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan