saikiaeAvatar border
TS
saikiae
Grand Syekh Al-Azhar Cerita Perempuan Masuk Neraka Karena Kucing




Grand Syekh Al-Azhar Cerita Perempuan Masuk Neraka Karena Kucing

Jakarta, NU Online
Duta Grand Syekh Al-Azhar Mesir Prof DR Abdul Mun’im Fuad mengingatkan kembali rahmatan lil alamin sebagai ajaran utama dalam Islam. Dalam kunjungan rombongan Al-Azhar ini, Mun’im Fuad membawa hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan kisah seorang perempuan yang dimasukkan ke dalam neraka hanya karena menganiaya seekor kucing.

“Dakhalatim ro’atun naro fi hirroh (seorang wanita masuk neraka karena menyiksa kucing). Sementara seorang lelaki diperkenankan masuk surga hanya karena memberikan minum seekor anjing haus. Inilah ajaran rahmatan lil alamin yang dibawakan Rasulullah SAW,” kata Mun’im Fuad dalam bahasa Arab di hadapan pengurus harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU di Jakarta, Rabu (27/5) sore.

Mun’im mempertanyakan aktivitas kekerasan dan teror sejumlah kelompok atas nama Islam. “Kalau kekerasan sebagai ajaran Islam itu hanya klaim mereka. Adapun budaya kita ialah budaya Rasulullah SAW,” kata Mun’im Fuad yang menyebut kedatangan rombongannya sebagai dukungan terhadap gerakan Islam Nusantara yang dikembangkan NU.

Grand Syekh Al-Azhar, kata Mun’im Fuad, menyatakan sepakat dengan gerakan tasamuh NU. Al-Azhar mengecam keras aktivitas kekerasan atas nama apapun dalam konteks ini kekerasan atas nama agama.

“Padahal al-muslim man salimal muslimun min lisanihi wa yadih (Yang disebut orang Islam itu ialah orang yang menjaga tangan dan perkataannya agar tidak menyakiti orang lain),” jelas Mun’im mengutip hadits Rasulullah SAW.

Begitulah cara berpikir Al-Azhar dalam beragama. Paham seperti ini mirip betul dengan paham Aswaja NU. Mun’im Fuad lalu menutup pertemuan 10 menit dengan pengurus harian PBNU dengan mengutip ayat Quran, “Wa in ahadun minal musyrikinastajaroka fa ajirhu (jika ada seorang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka berilah perlindungan).”

Menyambung Mun’im, Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, “Begitulah Islam. Agama ini sangat mengedepankan kasih sayang. Kalau menganiaya binatang saja sanksinya berat, apalagi menganiaya anak Adam.” (Alhafiz K)


Abdurrahman Mas’ud: Militansi Beragama Seringkali Abaikan Toleransi

Tangerang Selatan, NU Online
Akhir-akhir ini muncul aksi kekerasan demi menegakkan ajaran agama. Padahal, setiap agama tidak mengajarkan kekerasan. Kekerasan dilarang setiap agama. Namun, umat beragama dengan militansi menegakkan agama seringkali mengabaikan toleransi. Sebaliknya, yang dikedepankan justru watak kekerasan. Bahkan, yang paling ekstrim diwujudkan dalam bentuk aksi terorisme.

Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud saat didaulat sebagai Keynote Speaker mewakili Menteri Agama pada Annual Conference of Religious Colleges Student in Indonesia (ACCROSS). Simposium nasional tersebut dihelat di Auditorium Prof Dr Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (27/5).

Permasalahan di Republik yang dikenal sebagai negara yang ramah dan toleran ini, kata Abdurrahman, salah satunya adalah arus radikalisme yang terjadi di masyarakat. Radikalisme terlihat mulai menguatnya sikap permusuhan antarumat beragama, hasutan, provokasi, hingga aksi kekerasan. Eksklusivisme dalam beragama mengarahkan penganutnya untuk tidak toleran terhadap perbedaan dan kemajemukan.

Abdurrahman menambahkan, eksklusivisme juga bisa ditarik ke titik ekstrim dengan berbuat kekerasan, baik intelektual, psikologis maupun fisik terhadap siapa pun yang dianggap berbeda. “Tapi kita harus ingat violence and revenge will never become part of any major religion. Semua agama pada dasarnya mengajarkan peace and justice,” terang doktor jebolan Amerika ini.

Menurut dia, kelompok eksklusif biasanya cenderung mengintepresikan agama secara literal dan sempit serta menganggap orang lain yang tidak sependapat berada di luar kelompoknya. Mereka siap menolak orang-orang yang tidak menerima cara berfikir yang berbeda. “Bahkan, aksi kekerasan tidak hanya terbatas pada orang-orang yang tidak seagama, tetapi juga ditujukan kepada anggota-anggota komunitas mereka sendiri yang mengikuti cara berfikir berbeda,” tandasnya.

Balitbang dan Diklat Kemenag, lanjutnya, pernah melakukan penelitian dengan tema Pola Aktivitas Kelompok Keagamaan di Kalangan Mahasiswa Pasca Reformasi. Penelitian ini merupakan kajian atas studi kasus di enam Perguruan Tinggi (PT). Hasil penelitian itu, berhasil memotret realitas kehidupan sosial-keagamaan di enam PT tersebut, antara lain adanya corak metode penerapan ideologi Khilafah Islamiyah, metode menjaga idelogi berbasis hukum Islam, dan metode penyebarluasan idelogi berupa dakwah dan jihad.

“Pergerakan ini antara lain dipengaruhi oleh penggunaan sumber rujukan dari buku-buku terjemahan karangan ulama Timur Tengah yang mengedepankan doktrin Islam bernuansa fundamentalis,” ungkapnya.

Potensi radikalisme di semua agama

Ada juga penelitian tentang Potensi Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama yang dilakukan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Tahun 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan potensi radikalisme berbasis pada pemahaman ideologis yang cenderung kaku dan hitam-putih terjadi di semua agama, baik di lingkungan mahasiswa muslim, Katolik, Kristen, Hindu maupun Buddha.

Abdurrahman Mas’ud menegaskan, dalam rangka menghadapi paham radikalisme, tentu tidaklah cukup berbekal wacana. Harus pula diimbangi gerakan ideologisasi keagamaan perspektif humanitarian, yaitu dengan cara melakukan counter intellectual movement terhadap pemahaman keagamaan radikalistik tersebut.

“Kita harus melakukan ‘gerakan intelektual’ keagamaan moderat dalam mengimbangi ‘gerakan ideologis’ radikal itu. Selama ini kita cenderung silent majority,” tandas mantan Kapuslitbang Penda ini.

Menurut pria kelahiran Kudus ini, pendidikan berbasis nilai perdamaian (peace values based education) diperlukan dalam upaya menyelesaikan konflik sosial-keagamaan. “Untuk itu, diperlukan penyegaran sikap, komitmen seluruh warga masyarakat termasuk mahasiswa tentang metode dan pendekatan pendidikan yang lebih integratif-interkonektif. Keluasan teori dan praktik pendidikan perlu dijadikan acuan untuk perbaikan dan penyempurnaan yang telah dilakukan selama ini,” tegasnya.

Simposium nasional bertema “Peran Mahasiswa dan Perguruan Tinggi Agama terhadap Resolusi Konflik Keagamaan di Indonesia” ini terlaksana berkat kerjasama Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Insan Cendekia Indonesia. (Musthofa Asrori/Fathoni)

Via Warta Nu Online

0
3K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan