ageexAvatar border
TS
ageex
Solo Touring Menyusuri Pantai Selatan Jabar
Ijin share cerita ane gan, ketika solo touring menyusuri Pantai selatan Jabar lebaran tahun lalu, tepatnya 7 hari setalah Idul Fitri 2014 terwujudlah perjalanan perdana saya menggunakan motor, setelah hampir 5 tahun saya meninggalkannya.



Pesawat yang membawa saya dari Tanjung Pinang mendarat di Bandara Sukarno Hatta sesuai jadwal. Hari ini adalah hari yang saya tunggu sejak bulan puasa.lalu, dimana saya bisa melenggang pulang sendiri sementara istri masih ada keperluan di kampung halamannya. Yak, pulang sendiri berarti saya bisa menjajal motor baru saya jalan-jalan, paling tidak menyusuri jalur mudik yang saya belum putuskan, yang jelas bukan melewati jalur biasanya.

Setelah ambil barang bawaan di bagasi, saya langsung bergegas ke halte Damri dan langsung naik bus jurusan terminal Rawamangun. Di dalam kepala saya sibuk melakukan “absen” barang-barang apa saja yang harus disiapkan untuk dibawa dalam perjalanan nanti. Barang-barang yang akan dibawa harus pas dan tepat guna. Tidak mau kelebihan bawaan sehingga bertumpuk menjulang di sadel belakang atau sebaliknya, bawaan minimal tapi ketika keadaan darurat dijalan barang yang dibutuhkan tidak terbawa. Maklum ini adalah perjalanan jarak jauh pertama setelah 5 tahun absen bermotor jarak jauh jadi agak sedikit nervous bercampur excited. Sesampai di rumah ternyata anti-klimaks. Tidak tahu kenapa rasa kantuk mendera, menggiring saya ke tempat tidur dan akhirnya terlelap sampai menjelang Ashar.

Begitu terbangun, saya membuat checklist perlengkapan yang saya belum miliki, seperti matras, sleeping bag dan jas hujan dan langsung bergegas menuju ke gerai peralatan outdoor terdekat. Cukup lama saya melihat-lihat dan memilih-milih perlengkapan yang akan saya beli. Dan yes, saya sudah dapatkan semua perlengkapan yang harus saya bawa.

Saya berencana berangkat jam 3 pagi, tapi sekarang jam sudah menunjukan pukul 12 malam dan mata ini masih segar bugar. Agak pesimis juga apakah bisa terbangun tepat waktu. Dan memang akhirnya saya bangun jam 8 pagi, yay!



Setelah memeriksa ulang barang bawaan dan menata semuanya diatas sadel belakang motor, akhirnya saya berangkat, tepat jam 11 menjelang siang.

Di kepala saya sibuk berpikir bagaimana caranya sampai Sindangbarang diwaktu yang tepat untuk menikmati sunset. Dan sepertinya sulit terlaksana karena perjalanan Jakarta Bogor saja bisa memakan waktu 3 jam. Ya 3 jam, karena harus menembus jalanan yg semrawut mulai dari pasar kramat jati, dan di beberapa titik di sepanjang jalan raya bogor.
Dan akhirnya diambil keputusan untuk menunda perjalanan dengan bermalam di rumah kawan di Bogor. Berharap besok bisa bangun sebelum subuh dan melanjutkan perjalanan setelahnya.

Azan subuh terdengar dan saya langsung bergegas ambil wudu untuk sholat dan kemudian langsung bersiap menuju motor. Hari masih gelap, dan itu yang direncanakan, karena perjalanan menuju Sindangbarang masih 174km lagi, dengan kondisi jalan yg unknown sehingga ETA juga unknown.

Motor saya melaju dan udara dingin kota Bogor langsung menembus tulang tangan saya. Tapi tidak tahu kenapa saya menikmatinya, dan semakin menikmati ketika jalanan mulai menanjak menuju puncak pass. Walopun kadang kenikmatan menghirup udara sejuk terganggu oleh asap hitam mobil pickup pengangkut sayuran segar yang kebetulan di depan saya.

Semakin mendekati kota Cianjur, hawa dingin berangsur berkurang. Bukan hanya karena jalanan yang semakin turun menuju dataran yang lebih rendah tapi juga sinar matahari pagi yang mulai menyeruak diantara pohon-pohon di pinggir jalan. Di sepanjang jalan kota Cianjur terlihat ramai oleh warga yang berolahraga pagi sehingga memaksa saya melambatkan laju motor untuk jarak sekitar 5km. Lumayan sambil cuci mata sebelum masuk ke jalanan pegunungan di depan.

Oya, rute menuju Sindangbarang kalau dari kota Cianjur sangatlah mudah diingat: masuk kota, ketemu tugu, belok kanan dan ikuti jalan sampai mentok ketemu pantai.

Jalanan yang saya lalui selepas kota Cianjur pada mulanya mulus, sepertinya baru dilapis aspal baru. Namun kondisi seperti itu berakhir pada bilangan 20 kilometeran. Jalanan kembali “normal” dengan aspal kasar dengan lobang landai disana-sini. Kenapa saya bilang normal, karena kondisi jalan seperti inilah yang lazimnya kita temui di daerah yang mulai menjauh dari pusat kota sehingga sering luput dari prioritas peremajaan jalan. Namun sebagaimana pun kondisi jalan ternyata tidak menjadi perhatian saya karena hijau dan segarnya kebun teh dan pepohonan rindang seoanjang jalan lebih menarik perhatian saya. Yah walaupun pemandangan klise, kebun teh, tapi itu seperti candu yang menarik siapa pun untuk selalu kembali dan menikmatinya lagi dan lagi.

Semakin jauh ke selatan, semakin segar hawa pegunungan, semakin tipis pula sinyal handphone, dan akhirnya lenyap sama sekali. emoticon-Big Grin Kebetulan memang simcard yang terpasang di tablet yang saya gunakan untuk navigasi, terkenal hanya mumpuni di daerah perkotaan. Dan sekarang terbukti hilang lenyap sama sekali. Sambil jalan saya sambil.mencari kios yang menjual kartu perdana yang lebih tangguh di daerah pedalaman. Dalam hati ada juga keraguan akan menemukan kios handohone di daerah yang sepanjang jalan hanya kebun teh dan perbukitan, sampai akhirnya muncul di tikungan depan sebuah papan nama khas kios handphone dan melipirlah saya.

Kios ini betul-betul kios tunggal yang tidak ada duanya di sepanjang jalan yang saya lewati. Tidak heran pelanggannya banyak karena memang jalur tersebut, walaupun daerah kebun teh, ramai pemotor berlalu lalang. Barang daganganya pun beragam dari aksesoris, kartu perdana, handphone basic hingga android.

Setelah beberapa lama menunggu untuk dipasang simcard, registrasi dan aktifasi paket internet, akhirnya tablet saya siap dipakai dengan sinyal 3G full bar!

Rupanya tidak jauh dari kios handphone tersebut adalah puncak dari “pendakian”. Karena setelahnya, jalanan cenderung menurun dan udara menjadi lebih hangat dan cenderung panas. Perubahan lain yang terasa adalah perpindahan gigi motor menjadi agak keras karena hawa panas ternyata merasuk juga ke mesin dan oli sehingga daya lumasnya sedikit berkurang.



Memamg jalur ini menawarkan sensasi berkendara yang lain. Bayangkan, pemandangan pantai lengkap dengan pohon-pohon kelapanya di bibir pantai dan tidak jarang juga kombinasi pantai dan perbukitan hijau dapat dinikmati sepanjang jalan sejauh 200km! Yang lebih menyenangkan lagi berkendara di jalur ini tidak perlu berkompetisi dengan bus AKAP dan truk tronton yang kadang-kadang tidak menganggap keberadaan kendaraan-kendaraan yang lebih kecil termasuk motor dan kerap membahayakan nyawa siapa saja di jalan.

Harapan jalan mulus sepanjang 200km seketika terhapus ketika tiba-tiba menjumpai potongan tegas antara aspal hotmix denngan jalan koral. Tapi saya tetap berpikir positif kalau jalan rusak ini hanya sebagian kecil dari sebagian besar jalan beraspal hotmix sampai ke Pangandaran nanti. Tapi ternyata salah, jalan rusak yang saya lalui tidak kunjung habis. emoticon-Big Grin lima, sepuluh, dua puluh kilometer dan masih belum ada tanda-tanda berganti ke jalan aspal hotmix lagi. Untungnya standar ekspektasi saya cepat menyesuaikan sehingga akhirnya menikmati juga berkendara di jalan rusak sejauh puluhan kilometer.

Memasuki perbatasan Garut dengan Tasikmalaya, masih di jalan rusak, saya mendahului seorang pengendara Vespa. Dalam hati saya berkomentar betapa susahny…betapa susahnya berjalan di atas jalan koral dengan menggunakan roda berdiameter kecil ditambah shock absorber pendek ala Vespa. Saya berpikir demikian karena dengan roda berdiameter 18 inci dan shock absorber teleskopik panjang pun masih terasa sekali guncangan ketika menggilas batu-batu dijalan yang seukuran bola pingpong. Namun yang saya amati, pengendara Vespa itu dengan telaten memilih jalan untuk sekedar menghindari batuan yang berserak. Oleh sebab itu dengan kecepatan normal saya, dengan mudah saya mendahuluinya dengan mengacungkan jempol kiri saya tanda salut untuk dia.

Tidak jauh di depan saya memutuskan berhenti sebentar di sebuah jembatan. Di bawah jembatan adalah sungai besar yang bermuara di laut yang berjarak sekitar 100 meter dari jalan.

Tak lama saya berhenti, sang pengendara vespa tadi ikut berhenti dan menyapa “Dari mana bos?” tanya dia. Saya jawab “Dari Jakarta mas!”.
“Sendirian saja atau rombongan?”, lanjut dia.
“Sendirian aja, kebetulan sekalian mudik ke Kebumen” jawab saya kembali. “Ooh..orang Kebumen..hehe”, timpal dia sambil melepas helm.



Pembicaraan kami berkembang kemana-mana dan akhirnya saya ketahui namanya adalah Bahrul, seorang scooterist. Dia tinggal di daerah Garut dan baru saja menempuh jalan rusak berpuluh kilometer ke arah Sindangbarang hanya untuk mencari ATM emoticon-Big Grin Hebatt!

Obrolan saya dengan Bahrul ditutup dengan saya berpamitan akan melanjutkan perjalanan karena harus mencapai Pangandaran sebelum Magrib. Bahrul tertawa kecil yang sepertinya menyangsikan tenggat waktu yang saya set. Segera saya sadari juga kalau sepertinya tidak mungkin sampai Pangandaran sebelum Magrib mengingat kondisi jalan tidak memungkinkan motor saya berlari di atas 60 km per jam dan sekarang sudah jam 3 sore yang artinya Magrib sekitar 3 jam lagi. Tapi akhirnya perjalanan tetap harus dilanjutkan, jam berapa pun sampai Pangandaran tidak menjadi masalah.

Sampai daerah Pameumpeuk, matahari sudah makin condong. Sempat terpikir untuk mengakhiri perjalanan hari ini dan mencari penginapan di sini. Sempat beberapa kali melihat penginapan sederhana tapi tidak tahu kenapa antara kehendak hati dan fisik tidak sinkron. Beberapa penginapan lewat begitu saja karena ketika hati bersorak “itu ada penginapan!” tangan dan kaki sepertinya enggan mengurangi kecepatan motor dan akhirnya hanya lewat begitu saja.

Menjelang magrib saya sampai di daerah Leuweng Sancang dan suasana sudah mulai gelap.....BERSAMBUNG

Sumber http://www.nusaxplorer.com/menyusuri...selatan-jabar/
0
2.7K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan