Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shadowbeeAvatar border
TS
shadowbee
AGENDA SETTING TERSEMBUNYI AMERIKA SERIKAT: Perang Non Militer Milenium Ketiga.
AGENDA SETTING TERSEMBUNYI AMERIKA SERIKAT: Perspektif Perang Non Militer Milenium Ketiga



Melihat perkembangan cara berperang abad 21 yang lebih mengutamakan Perang Non Militer mau tidak mau kita harus mengubah paradigma doktrin pertahanan keamanan yang sudah ada. Tapi pertama-tama kita harus merumuskan dahulu apa yang dimaksud dengan ancaman Non Militer – kemudian baru membuat kontra skema sesuai dengan skala prioritas ancaman.

POLITIK MINYAK AMERIKA DI EROPA

Sikap ganas yang ditampilkan oleh AS dalam campur tangannya di Yugoslavia adalah juga isyarat kepada kawan dan lawan untuk bekerjasama sesuai dengan tuntutan kepentingan AS. Efek pembantaian sipil oleh NATO di Yugoslavia ternyata cukup ampuh menekan Uni Eropa yang kemudian menjadi takut bahwa mereka dapat saja menjadi sasaran yang berikutnya dari aksi militer NATO, jika mereka melawan tuntutan-tuntutan AS. Jerman, Inggris dan Perancis cukup gelisah melihat tujuan-tujuan AS di Eropa bahkan diperoleh informasi bahwa Pentagon telah mempunyai rencana-rencana untuk perang dengan negara sekutunya sendiri.

Dibawah tanah, Kaum Borjuis Eropa tidak bisa menerima keadaan mereka yang ditekan dan didikte terus-menerus oleh Paman Sam. Perebutan sumber daya alam di Asia Tengah dan Eropa Timur antara AS, Jerman, Perancis, Inggris dan Italia dibayangi ketegangan yang sewaktu-waktu bisa saja meledak. Ketegangan-ketegangan itu telah kelihatan jelas. Kekuatan-kekuatan Eropa, telah lama mencari sebuah jalan untuk mengurangi peranan besar AS dalam perdagangan internasional. Salah satu kontra skema Uni Eropa adalah dengan penyatuan moneter dan menciptakan Euro untuk menandingi Dollar sebagai cadangan mata uang dunia. Sedangkan Jerman yang berada dibawah kontrol ketat AS – telah menjadikan Rusia sebagai perpanjangan tangan ekonominya. Oleh karena itu, bila terjadi konflik antara Amerika dan Rusia, maka Jermanlah yang paling merasakan dampaknya.

Bukan itu saja, ketegangan AS-Jepang juga akan berlanjut mengikuti perebutan sumber daya alam di Asia Tengah dan Eropa Timur. Kepentingan kedua belah pihak sebagai pengimpor minyak besar sangat membutuhkan cadangan pasokan baru dari wilayah-wilayah jarahan baru. Demikian pula ketegangan AS-China meningkat setelah AS semakin memperluas pengaruhnya menerobos Eropa Timur hingga Kaspia. Seperti kita ketahui, China memiliki kepentingan terhadap saluran pipa yang akan menyalurkan minyak Kaspia ke arah Timur yang ditandatangani pada 1997, sebuah transaksi bernilai 4,3 milyar dollar untuk mendapatkan 60 persen kepemilikan dalam fasilitas minyak Kazakhtan. Dan AS tanpanya terus berusaha dengan segala cara untuk mengurangi pengaruh China di daerah ini.

Sebuah perkembangan menarik yang perlu kita cermati juga kedepannya adalah dapatkah AS, Uni Eropa, Jepang dan China saling berbagi kavling secara damai menyangkut perebutan migas dan kontrak-kontrak pembangunan yang bernilai trilyunan dollar di Eropa Timur dan Asia Tengah. Bila perebutan dilakukan dengan pendekatan konflik maka ketegangan-ketegangan di wilayah yang dijarah pasti akan meningkat – perselisihan etnis bisa saja berubah menjadi sebuah konflik bersenjata bila milyaran dollar terus mengalir sebagai akibat hasil produksi minyak dan gas yang melimpah yang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Seperti konflik di Abkhazia, bila kita telusuri akar konflik di Abkhazia sudah berusia panjang. Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah dua negara Republik pecahan Georgia di Kaukasus. Keduanya telah berupaya melepaskan diri dari Georgia sejak tahun 1920-an. Setelah Revolusi Rusia tahun 1917, Abkhazia dan Ossetia Selatan ditetapkan sebagai dua republik otonom yang merupakan bagian dari Georgia dan termasuk di dalam wilayah Uni Soviet. Masalah kedaulatan keduanya semakin kompleks ketika Uni Soviet bubar dan Georgia menyatakan kemerdekaannya yang diikuti dengan konflik bersenjata pada 1992 dan 2008. Rusia kemudian mengakui kedua Republik tersebut sebagai negara merdeka yang terpisah dan berdiri sendiri. Putin bahkan berjanji akan memberikan bantuan militer dalam setiap konflik Abkhazia dengan Georgia.

Separatis Abkhazia, yang secara budaya dan agama berbeda dari penduduk Georgia, mengobarkan perang sengit setelah runtuhnya Uni Soviet yang menewaskan lebih dari 250.000 orang. Kremlin mengakui kemedekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 26 Agustus 2008 setelah pasukan Rusia memukul mundur pasukan Georgia yang ingin menguasai lagi Ossetia Selatan. Namun PBB, Uni Eropa dan NATO menolak mengakui kedaulatan Abkhazia dan Ossetia Selatan.

Beberapa saat setelah kemenangan tentara Rusia, Wakil Presiden AS Dick Cheney segera berkunjung ke Azerbaijan, Georgia, dan Ukraina, pada 3-5 September 2008. Kunjungan Cheney tersebut semakin menegaskan kepentingan AS di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet itu. Sejak awal tahun 1990-an, perusahaan-perusahaan raksasa migas AS telah berhasil menguasai hak untuk mengembangkan sejumlah proyek, seperti eksplorasi ladang minyak Tengiz di Kazakhstan, ladang Azeri – Chirag – Guneshi di Azerbaijan, dan ladang gas alam Dauletabad di Turkmenistan. Bukan itu saja, langkah strategis AS lainnya adalah membuat rute baru jaringan pipa migas menghindari Rusia dan Iran.

Jauh sebelum kenaikan harga minyak, yakni tahun 1998, seorang petinggi perusahaan minyak UNOCAL, John J Maresca, saat tampil di depan Komite Hubungan Internasional, sub-komite Asia-Pasifik, House of Representatives AS, memaparkan betapa besar potensi migas di sekitar Kaspia. Menurut Maresca, Kaspia punya cadangan hidrokarbon yang belum tersentuh. Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Sedangkan total cadangan minyak di wilayah itu kemungkinan lebih dari 60 miliar barrel. Bahkan, ada perkiraan cadangan minyak Kaspia mencapai 200 miliar barrel. Oleh karena itulah AS sangat berkepentingan membangun rute jaringan pipa migas baru di wilayah Asia Tengah karena jaringan pipa yang ada saat ini masih berada di bawah kekuasaan Rusia. Sampai-sampai Presiden George W Bush, yang mewakili kalangan industri migas AS, mengundang Vladimir Putin ke rumah peristirahatannya secara pribadi, memancing bersama.

Sebelum Bush, pada pertengahan tahun 1990-an, pemerintahan AS di bawah Presiden Clinton telah mendapatkan dua proyek jaringan pipa utama untuk mengekspor migas Kaspia, dengan tidak melalui wilayah Rusia, Iran dan China. Proyek pertama adalah ekspor gas Turkmenistan melalui Afganistan dan Pakistan ke Samudra Hindia, namun proyek ini gagal karena keamanan di Afganistan dan Pakistan yang tidak mendukung. Sedang proyek kedua membangun jaringan pipa melingkar ke barat melalui negara-negara di Kaukasus, yaitu Georgia dan Azerbaijan. Jaringan itu akan digabung dengan jaringan pipa bawah laut yang menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang menyambung dengan jaringan pipa Baku (Azerbaijan) – Tbilisi (Georgia) – Ceyhan (Turki). Jaringan pipa ini menjadi jalur utama ekspor energi Kaspia ke kawasan Mediterania, dan bila berhasil merupakan pukulan telak terhadap dominasi rute energi Rusia dari Kaspia ke Barat.

Tidak mengherankan bila Presiden Clinton menunjuk Condoleezza Rice sebagai Menteri Luar Negeri AS saat itu. Condoleezza Rice, adalah seorang pakar Uni Soviet sekaligus petinggi di perusahaan minyak Chevron, pada 1991-1995. Jadi wajar saja bila Chevron berhasil menguasai hampir seluruh ladang minyak Tengiz dan Kazakhstan yang memiliki cadangan potensial 25 miliar barrel. Demikian pula halnya dengan Wakil Presiden Dick Cheney yang juga merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur perminyakan Halliburton dan merupakan anggota Dewan Penasihat Tengizchevroil di Kazakhstan, perusahaan perminyakan yang didirikan Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya Uni Soviet, dengan kepemilikan Chevron 50 persen, Exxon Mobil 25 persen, dan Pemerintah Kazakhstan melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki LukArco Rusia.

Rusia tidak tinggal diam, pada Desember 2007, Rusia berhasil membuat kesepakatan dengan Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membangun sebuah jaringan pipa gas baru sepanjang Pantai Timur Kaspia menuju Rusia. Pembangunan jaringan pipa yang diharapkan bisa mengekspor 20 miliar meter kubik per tahun dipandang sebagai sebuah pukulan atas harapan AS yang menginginkan pemerintah negara-negara Asia Tengah berkomitmen mengirimkan migasnya ke jaringan pipa Trans–Kaspia yang bersambung dengan jaringan pipa di Kaukasus yang dibangun dengan dukungan AS.

China juga berusaha mengamankan suplai energi melalui jaringan pipa Asia Tengah dari negara-negara tetangganya di barat. Sebuah jaringan pipa minyak Kazakhstan-China, yang menghubungkan ladang minyak Kazakh di utara Kaspia dengan jaringan pipa di China di Wilayah Otonomi Xinjiang, barat laut China, tengah dibangun dan akan beroperasi Oktober 2009. Sebuah jaringan paralel pipa gas alam juga tengah dibangun menuju ladang-ladang di Uzbekistan dan Turkmenistan. Jadi persoalan utama konflik di Georgia lebih kepada memperebutkan sumber migas di Kaspia, ketimbang berita politik di media massa. AS lupa bahwa biar bagaimanapun Rusia masih jauh lebih berpengaruh di Asia Tengah ketimbang AS. Dan negara-negara di seputar Kaspia masih segan terhadap Rusia.

Salah satu dampak yang paling menyolok dari perebutan pengaruh imperialisme tersebut adalah telah memiskinkan orang-orang di kawasan Asia Tengah dan memperkaya segelintir orang di Rusia, Kaspia dan Republik Kaukasus yang memunculkan “oligarki” Kazakhs, Aseris, Kirgis, Tajiks, Uzbeks, dan sebagainya yang sangat kaya. Misalnya yang paling terkenal adalah Abramovich. Di Rusia, Abramovich adalah seorang Gubernur untuk provinsi Chukotka, ia terpilih pada tahun 2000. Di luar Rusia, ia terkenal sebagai pemilik klub sepak bola Liga Primer Inggris Chelsea.

Sebaliknya di Republik Kaukasus, yakni sebuah negara pegunungan yang terletak di Kaukasus Utara, yang sekarang lebih kita kenal dengan Republik Chechnya, Ingushetia, Ossetia-Alania Utara, dan Dagestan yang merupakan bagian dari Federasi Rusia, dimana Republik Ingushetia yang kaya akan marmer, kayu, dolomit, granit, batu-batuan, tanah liat, tanah air berkhasiat medis, logam langka, air mineral dan minyak dan gas – tetap menjadi salah satu wilayah termiskin dan tak berdaya di Rusia. Pada 2003, pendapatan perkapita Ingushetia hanya sekitar 678 dollar atau sekitar 7 jutaan rupiah pertahun.

Gambaran diatas adalah merupakan potret dari perkembangan perebutan penguasaan sumber daya alam dan jalur distribusinya pada milenium ketiga yang akan lebih banyak diputuskan oleh kekuatan-kekuatan imperialis utama dengan melibatkan perusahaan-perusahaan minyak raksasa mereka, The Seven Sisters. Konflik-konflik etnis dan militer mendatang tampaknya akan banyak disulut di daerah-daerah yang memiliki cadangan migas besar dunia, seperti di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet termasuk di Benua Nusantara tercinta. Tampaknya pernyataan Obama yang akan mengurangi impor minyaknya dari kawasan Timur Tengah ke Asia Tengah bukan basa-basi.

ANCAMAN NON MILITER

Memasuki millenium ketiga, secara teknis dominasi AS di dunia semakin menguat melalui jaringan Bank Sentral di setiap negara yang dikendalikan oleh Federal Reserve dengan IMF dan World Bank sebagai pelaksananya. Demikian pula kontrol perdagangan dunia melalui WTO yang dapat mengendalikan pertumbuhan negara-negara berkembang sesuai dengan kehendak AS. Survei-survei pertumbuhan ekonomi terhadap negara-negara berkembang yang rutin dirilis oleh AS melalui IMF, World Bank, Goldman Sach, StandChart dan lembaga-lembaga keuangan lain – merupakan bukti nyata dari sistem kontrol AS yang begitu ketat terhadap kemajuan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia ditempatkan dalam kelompok G20, dalam deretan negara dengan kekuatan ekonomi yang besar. Daging segar.

Melalui WTO AS berhasil menghilangkan batas-batas negara dan menaklukan negara berdaulat dengan menjalankan skema liberalisasi, pasar bebas dan privatisasi. Indonesia sendiri sejak Reformasi 1998 telah kembali menjadi ajang rebutan oleh negara-negara industri maju yang sangat membutuhkan bahan baku bagi kelangsungan industrinya. Melihat gejala bergesernya fokus pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia Timur – dimana Indonesia persis berada ditengah-tengah jalur strategis itu, tepat dipersilangan – maka dimasa depan tampaknya Indonesia akan menjadi arena pertempuran Non Militer antara kekuatan negara-negara imperialis utama pada 2020.

Siapa saja yang akan terlibat dalam Pertempuran Non Militer di Bumi Nusantara tersebut. Kita mulai saja dari pemain lama sejak zaman kuno, yakni Negeri Tiongkok. Dengan skema Jalur Sutera Maritim abad 21, China jelas-jelas ingin menguasai Indonesia seutuhnya, kalau bisa. Menteri Luar Negeri China Wang Yi ketika melawat ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka telah menegaskan bahwa Pemerintah China sangat “terkesan” dengan gagasan poros maritim yang hendak dikembangkan Presiden Joko Widodo lima tahun mendatang. China siap melakukan kerja sama sepenuhnya seperti investasi membangun pelabuhan di jalur tol laut yang dirancang pemerintahan Jokowi. Dan yang paling penting bagi Beijing adalah mengintegrasikan konsep poros maritim dengan Jalur Sutera Maritim Abad 21. Sekadar informasi, jalan sutera yang dimaksud adalah rute kapal dari China, melewati Vietnam, serta Thailand lalu melewati Indonesia terus ke Selat Malaka, melalui Riau, Dumai, dan Belawan. Atau masuk lewat Filipina terus melalui Selat Sulawesi, Bitung, Makassar, hingga Surabaya.

Jalur sutera maritim abad 21

Untuk itu tidak tanggung-tanggung, China telah menyiapkan dana tidak terbatas, teknologi serta sumber daya manusianya untuk menguasai Indonesia – proyek Jurong, sebut saja Jurong Limited di Singapura – merupakan salah satu skema Perang Non Militer yang telah disiapkan sejak lama. Sejak kepemimpinan PM Zhurong Ji dekade 1990-an, Jurong Ltd. memang di desain khusus untuk menginvasi Indonesia dalam bidang energi dan industri, baik industri otomotif, manufaktur, smelter dan industri lainnya, termasuk kilang minyak dan pembangkit listrik. Sebagai catatan saja, Sinopec Group telah lama menyiapkan dana sebesar US$ 850 juta untuk membangun kilang minyak di Batam dengan kapasitas 16 juta barel. Namun terus di delay oleh SBY. Sekarang, China telah siap menginvestasikan US$ 100 milyar di Indonesia, tinggal menunggu tanda tangan Presiden Jokowi saja. Sebagai informasi saja: bila kita bicara investasi perusahaan China artinya dana investasi itu berasal dari negara.

Dedengkot selanjutnya adalah Amerika yang tidak ingin hegemoni globalnya diganggu. Kepentingan nasional AS adalah menjaga stabilitas suplai minyak dan kebutuhan bahan baku bagi pemenuhan kelangsungan industri dalam negerinya. Jumlah impor minyak AS dari Indonesia sendiri masih misteri karena memang kita tidak pernah tahu berapa volumenya. Tapi yang jelas, AS sangat berkepentingan dengan Indonesia karena faktor minyak dan bahan baku tambang lain yang terkandung di Bumi Ibu Pertiwi. Free Port di Papua misalnya, sejak 1967 tidak pernah berhenti mengeruk emas dari Bumi Papua, demikian pula dengan Exxon dan kawan-kawan yang terus memompa minyak kita tanpa kenal lelah, baik di darat maupun di laut. Dan sekaligus menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran produk-produk pertanian AS dan sekutunya yang tidak terbatas yang diatur melalui tangan WTO. Diluar semua itu, ada agenda besar AS untuk membangun “Free Port” kedua di Kalimantan, tapi kali ini merupakan proyek raksasa Partai Demokrat Amerika. Konon investornya adalah Bill Gates, orang nomor satu terkaya di Amerika. Selamat bergabung Bill Gates!

Tidak mau ketinggalan adalah Belanda dan Uni Eropa (UE). Tampaknya krisis yang berkepanjangan telah menyadarkan Uni Eropa untuk bangkit bergabung dengan dinamika pertumbuhan ekonomi Asia Timur yang sedang menggeliat. Survei-survei lembaga keuangan dunia telah menunjukkan bahwa UE akan disalip oleh negara-negara berkembang seperti China, India, Korea Selatan dan Indonesia dalam satu sampai dua dekade mendatang. Dan tidak tanggung-tanggung konon Rp. 1.000 trilyun telah disiapkan oleh UE untuk membangun Great Garuda sebagi pusat keuangan dan perdagangan dunia di Utara Jakarta.

Tidak salah juga jika disebut VOC datang lagi. Proyek ini memang dibungkus sebagai sebuah bentuk kerjasama G to G, antara pemerintah Belanda dengan Indonesia. Tidak mengherankan bila Retno Lestari Priansari menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia yang memang karir dan pendidikannya ditempa di Uni Eropa sibuk menjadi tuan rumah yang baik.

Proyek Great Garuda Di Utara Jakarta

Masuknya UE ke Indonesia membangun proyek raksasa bukan sekedar pertarungan EURO dan DOLLAR dan transaksi minyak dunia – tetapi lebih perebutan penguasaan SDA Indonesia yang terbukti, seperti migas dan minerba yang sangat berlimpah mulai Aceh sampai Papua. Tinggal bagaimana AS dan UE membagi kavling daratan Sulawesi, Kalimantan dan Aceh yang tersisa. Sedangkan posisi China tampaknya sudah cukup nyaman dengan menguasai ekonomi, industri dan pasar Indonesia – tinggal bagaimana regulasi pemerintah Indonesia menyikapi investasi, relokasi pabrik dan sdmnya ke Indonesia. Skema Jalur Sutera abad 21, tinggal membereskan Malaysia dan menaklukkan Indonesia. China tampaknya telah menemukan skema yang pas untuk menguasai Malaysia. Namun menemui kesulitan besar untuk menaklukkan bangsa Indonesia – karena alam bawah sadar bangsa Indonesia memiliki reflek anti China. Nah, hal inilah yang menjadi ganjalan terbesar bagi mulusnya skema Jalur Sutera abad 21 tersebut.

Masalah yang krusial dalam waktu dekat ini adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang sudah di depan mata. Indonesia jelas tidak siap menghadapi persaingan “pasar bebas” dengan negara tetangga. Terbukanya bursa tenaga kerja asing tentu akan merugikan tenaga kerja potensial Indonesia di tanah air – yang memang kalah tingkat pendidikannya dengan negara tetangga. Belum lagi relasi konglomerasi asing yang membanjiri Indonesia tentu mereka lebih nyaman mempekerjakan orang mereka sendiri dilevel tertentu. Nah, ancaman paling serius mungkin di sektor pariwisata – dimana Indonesia kalah bersaing di kawasan – sehingga bisa saja sektor pariwisata kita akan dikuasai oleh Malaysia, Singapura dan Thailand. Dan seperti yang sudah-sudah Indonesia tetap dijadikan pasar yang sangat besar dan menguntungkan bagi MEA 2015 dengan 250 juta penduduknya yang sebagian besar sangat konsumtif dan rakus dengan dengan merk dagang asing. Sekali lagi, Indonesia adalah pasar tunggal MEA 2015. No way out!

KONTRA SKEMA

Dari uraian diatas dapat kita bayangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menjadi arena pertempuran Non Militer dari berbagai kepentingan di atas. Lalu apa persiapan Indonesia menghadapi skema Perang Non Militer tersebut. Hal pertama yang harus disadari oleh bangsa kita adalah bahwa Indonesia bukan lagi sebuah negara merdeka karena sudah memiliki ketergantungan kebutuhan primer yakni pangan dan energi kepada banyak negara. Indonesia memiliki ketergantungan impor pangan dan energi lebih dari 20 negara. Kalau dengan logika terbalik skema Perang Non Militer, Indonesia saat ini sedang digempur habis-habisan oleh lebih dari 20 negara dunia.

Friedrich Ratzel dengan tegas mengatakan bahwa, “suatu negara yang mempunyai ketergantungan atas kebutuhan primer, tidak dapat dikatakan lagi sebagai negara yang telah merdeka.” Oleh karena itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera membentuk sistem Ketahanan pangan dan energi nasional yang terintegrasi dalam rangka menciptakan keamanan nasional.

(Bersambung...)

http://www.theglobal-review.com/cont...9#.VQpr1cktzNE
0
4.1K
11
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan