Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

duitgratismuAvatar border
TS
duitgratismu
Ayah Saya Mantan Narapidana - Sebuah kisah nyata di masa Indonesia sedang bergejolak

Quote:


Ini adalah sebuah kisah nyata, yang dialami oleh ayah saya. Sebenarnya ayah melarang saya untuk menceritakan kisah ini. Tapi saya ingin menceritakannya untuk berbagi kisah yang dialaminya, dan dialami oleh banyak orang di Indonesia di tahun tahun itu.
Kisah ini saya tulis bukan untuk mengorek luka lama, tetapi saya hanya ingin menceritakan sebuah kisah, yang bagi saya menarik untuk diceritakan. Sebuah kisah yang beberapa orang alami, namun mungkin tidak tahu bagaimana mengutarakannya. Kisah nyata yang semoga menginspirasi bagi Anda yang membacanya. Sebuah kisah perjuangan hidup dari orang yang sangat dekat dengan saya.

Namanya Soehadi Hartomo. Dia adalah anak dari kakek saya, Soebandrijo Djojokoemoro. Lahir di Pati, 13 Mei 1935.

Quote:


Ayah saya adalah seorang guru SD. Dia pertama kali mengajar di kota Kudus. Di SD Planggading, desa Margorejo, 12 kilometer dari kota Kudus. Jalan masih berbatu-batu, naik turun, dan di sekeliling banyak terlihat sawah sawah. Transportasi di masa itu tidak seperti sekarang, namun hanya sedikit, kebanyakan orang jalan kaki atau naik sepeda. Karena ayah saya tidak punya kendaraan, maka dia memutuskan untuk indekos di desa Lau, dukuh Pacikaran.
Dinamakan Pacikaran, karena dulu disitu banyak cikar, kendaraan yang ditarik sapi. Desa Lau terletak 1,5 km dari tempat kerja ayah saya, SD Planggading. SD ini termasuk sekolah yang sudah agak besar, karena ada jenjang pendidikan 6 tahun, dimana kelas 1 sd nya paralel.
Waktu ayah saya baru 1 bulan kerja, ternyata bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jadi, setelah 1 bulan kerja, ayah lalu mendapatkan libur 1 bulan, dengan tetap digaji selama libur puasa. Gaji yang terkumpul akhirnya dibelikan ayah sebuah sepeda untuk transportasi ke tempat kerjanya.
Setelah dia memiliki sepeda, dia memutuskan untuk indekos di tempat yang agak jauh, sekitar 12 km dari tempat kerja. Perjalanan dari kos ke SD Planggading membutuhkan waktu tempuh sekitar ¾ jam.
Ayah saya bekerja disana sampai tahun 1960.

Quote:


Spoiler for preview image:


Ayah saya memiliki citacita untuk bekerja di kedutaan besar di Jakarta. Maka di tahun 1960 ayah memutuskan untuk pindah dari Kudus ke Comal, karena dia berpikir bahwa ke Comal nanti dekat dengan Jakarta.
Ayah saya suka belajar. Di sela kesibukannya mengajar di SD, di waktu luangnya dia belajar bahasa Inggris. Maka saat dia bekerja di SD Comal 1, dia juga mengajar bahasa Inggris di SMP swasta di Comal. Pagi dia mengajar di SMP swasta, siang harinya mengajar di SD Comal 1.
Sebenarnya ayah saya tidak berhak untuk mengajar di SMP tersebut, karena pendidikannya baru SGB, Sekolah Guru Bawah. Maka agar dapat mengajar di SMP tersebut, beliau memutuskan untuk belajar lagi di SGA, Sekolah Guru Atas. SGA terletak di Pekalongan, kurang lebih 17 km dari Comal. Pendidikannya dari hari Senin sampai Jumat, hari Sabtu libur. Pendidikan di SGA dia jalani sampai dengan bulan Agustus 1965.
Ayah saya terbilang suka belajar dan tidak bisa diam. Dia selalu sibuk dengan pekerjaan mengajarnya. Bagi orang yang mengenalnya, orang-orang yang sehari hari bertemu dengan dia, bapak kos dan teman-temannya, tahu betul kesibukannya hanya mengajar dan belajar. Namun orang – orang yang melihatnya dari jauh, hanya melihat sepintas kesibukannya, mengira bahwa dia mengadakan rapat di desa-desa, menghimpun kekuatan rakyat, padahal dia hanyalah seorang guru yang menuntut ilmu sebelum dia dituntut lebih lagi oleh para muridnya.

Quote:


Saat itu terjadi peristiwa besar di Indonesia, peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan oleh kita semua. Ada rapat akbar, pemuda-pemuda pada demo, pulang pulang terjadi huru-hara, pada bawa pentungan semua. Teras teras rumah di hancurkan. Isunya pemuda PKI dilatih oleh angkatan darat untuk dipakai sebagai tentara pemerintahan. Selidik punya selidik, ternyata peristiwa tersebut tidak hanya terjadi di Comal, namun menyeluruh di Indonesia.
Ayah saya sibuk dengan pekerjaannya, mungkin bisa dibilang workaholic, sehingga mungkin tidak terlalu mengurusi rapat-rapat akbar semacam itu.
Saat terjadi rapat-rapat akbar itu, transportasi kereta pada telat. Ada sebuah perusahaan teh perorangan disana yang dibakar pemuda.
Melihat hal itu ayah saya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya di Mlangsen, Blora. Tiap hari ada huru-hara, pembakaran di mana-mana. Ayah berangkat jam 8 pagi dari Comal, jam 2 pagi baru sampai ke stasiun Cepu. Saat dia melihat ke atas, tampak komet/ lintang kemukus terlihat terang sekali di langit.
Ayah punya paklik di Cepu, sehingga dia memutuskan untuk menginap dulu di sana sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Setelah itu dia melanjutkan perjalanan ke Blora dengan naik kereta.
Dua minggu libur, ayah saya berada di Blora.
Kakek saya, Mbah Bandrijo (baca: Bandriyo), mengingatkan ayah kok ngga balik kerja, padahal sudah 2 minggu. Waktu itu Om saya, Soehadi Hartiyoso mau dipindah ke irian jaya. Besoknya ayah saya berencana pulang. Kakek saya biasanya selalu agak menahan ayah saya waktu dia pamit pulang kembali untuk bekerja, tapi saat itu, waktu ayah saya pamitan, dia hanya bilang “ya”, ngga ngasih restu, bilang hati hati atau bagaimana, hanya “ya” saja.
Waktu itu bulan Oktober 1965. Jam 12 siang ayah berangkat dari Blora. Biasanya jalur kereta melewati Cepu, namun saat itu jalur kereta berubah menjadi Blora-Purwodadi-Semarang- dan seterusnya sampai ke Comal. Ayah saya sampai Comal jam 6 malam.
Saat itu diberlakukan jam malam di Indonesia, orang – orang dilarang keluar malam dari jam 6 malam sampai jam 6 pagi. Karena sudah jam 6 malam di sana, ayah menginap di rumah temannya yang bernama Amsori. Rumahnya terletak di dekat stasiun Comal. Esoknya ayah pulang ke indekosannya di desa kedawung, Timur Comal.
Awal pindah ke Comal, indekos ayah terletak di dekat sekolah, di rumah seorang inspektur polisi. Dia mendapatkan indekos itu dengan bantuan kepala sekolah SD Comal. Namun karena keluarga polisi itu keluarga besar, ayah hanya kos selama 1 tahun, lalu pindah ke desa Kedawung.
Jam 6 pagi tiba-tiba pegawai kelurahan datang, bilang bahwa ayah saya dipanggil ke kantor polisi.
Dia dipanggil ke kantor polisi, ditanya banyak hal, diinterogasi, ditanya ikut organisasi apa saja, karena interogatornya bilang bahwa orang-orang bilang kalau ayah saya ikut organisasi macam-macam, ga pernah di rumah. Akhirnya malam itu ayah saya menginap di kantor polisi.
Bapak kos ayah saya, namanya pak Bendot – dia buta huruf, namun badannya kekar dan besar – mencari bapak di kantor kelurahan, lalu menyusulnya ke kantor polisi. Menanyakan kok ga pulang, lalu ayah saya bilang kalau dia ga boleh pulang dulu, ditahan 1 malam.
Pak Bendot lalu pulang ke rumahnya. Sesampainya di sana ,dia memendam buku – buku pelajaran ayah saya. Dia mengira buku – buku pelajaran itu adalah buku – buku organisasi politik yang bisa menyebabkan ayah saya masuk penjara.
Saat ayah saya menginap di kantor polisi itu, pemuda-pemuda pada membongkar kamar kosan ayah. Pak Bendot mengawasi, dia menjaga agar tidak ada usaha pemuda-pemuda itu untuk memfitnah ayah saya dengan meletakkan barang – barang yang sebenarnya bukan milik ayah saya, supaya ayah saya bisa dipersalahkan. Namun ternyata pemuda-pemuda itu tidak berencana demikian, mereka hanya membongkar kamar kos ayah saja.
Setelah 1 malam menginap di kantor polisi, esoknya ayah saya boleh pulang dan melanjutkan mengajar di sekolah. Lega rasanya, karena dia tahu, dia tidak macam-macam.
Di lain hari, ada operasi lagi oleh pemuda-pemuda. Lalu perangkat desa kembali memberitahukan kepada ayah saya, bahwa jam 8 nanti disuruh menghadap lagi ke kantor polisi. Tiga hari dia menginap di sel. Lalu ternyata ga boleh pulang rumah, dan dipindah ke Pemalang. Polisi hanya bilang, mereka mendapat perintah bahwa orang – orang yang ada disini tidak boleh pulang dulu. Dari beberapa hari, menjadi beberapa bulan menanti sidang. 20-an orang dari Comal di sel disana. Menunggu sidang, screening. Disuruh mengisi data-data kegiatan apa saja yang diikuti. Screening itu ada beberapa tahap, tidak hanya sekali dua kali. Nama yang ada di data harus diakui, walaupun nama sebenarnya bukanlah yang ada di data itu. Misal nama nya Hartomo, tapi di datanya namanya Hartono, ya harus mengakui namanya Hartono.
Ayah tidak boleh pulang,hanya diminta kirim surat ke rumah. Nenek dan Bulik saya, Soehadi Harti menyusul ke penjara Pemalang berniat menemui ayah saya. Tapi ngga ketemu, karena malam ayah berangkat ke Nusa Kambangan, esoknya baru Nenek & Bulik datang. Waktu itu kakek saya ngga boleh pergi-pergi keluar karena dikhawatirkan dikira macam-macam. Kala itu agak riskan bagi laki-laki keluar, kalau perempuan tidak terlalu resiko.
Di suratnya ayah saya berpesan agar buku-buku yang berharga, buku-buku bahasa inggris yang mahal-mahal waktu itu, surat-surat dinas kerja dibawa pulang Bulik Harti. Buku-buku serta surat dinas itu disimpan di almari rumah nenek, tapi waktu kemudian ayah saya pulang barang-barangnya malah dimakan rayap, hancur semua.

Quote:



Ayah pindah ke Nusa Kambangan. Pulau ini terletak di selatan Cilacap. Kala itu ada 9 rumah penjara. Batu, Gleger, Limus buntu, Karang Tengah, Karang Anyar, Kembang Kuning, Permisan, Besi, dan Nirbaya. Dinamai Gleger karena letaknya tinggi dan sering kena petir. Pada saat masuk ke penjara ini, para napi tidak boleh menerima paket bentuk apapun.
Pertama kali ayah ditempatkan di Batu. Disini tidak hanya tahanan politik yang dipenjara, namun terdapat juga napi hukuman berat yang ditaruh disana. Ayah saya disini hanya beberapa hari saja.
Kemudian beliau dipindahkan ke Gleger. Disini ayah saya agak lama, sekitar hitungan bulan.
Lalu beliau dipindahkan ke Permisan, sebelum akhirnya beliau dipindahkan ke pulau Buru.
Para napi di Nusa Kambangan dikaryakan dan diberikan keahlian, seperti membuat keset. Menurut ayah saya: tahanan politik tidak seperti tahanan kriminal. Mereka diusahakan supaya mati. Saat itu para napi mendapatkan menu penjara jagung rebus (bahasa jawanya grontol), nasi dicampur teri yang dihaluskan, serta sayur seadanya, sayuran tua yang di buat sayur.
Setiap pagi para napi apel pagi. Keluar per 2 orang untuk mengambil kayu di hutan untuk dipakai memasak. Lalu masuk ke penjara lagi, di absen lagi. Kalo kayu habis, sore ambil lagi . istilahnya korvee, mencukupi kebutuhan sendiri, diambil dari bahasa Belanda.
Napi harus menjaga satu sama lain. Kalo ga lengkap orangnya alias minggat, napi itu dicari. Kalau ketemu dipukulin, dihajar karena mencoba kabur.
Rutinitas para napi: pagi ambil kayu, masuk sarapan, pembagian kerja. Jam 16.00 masuk penjara. Tidak boleh duduk menggerombol, terlebih lagi membahas masalah negara. Kalau ketahuan, selnya disendirikan. Banyak yang tidak tau apa2 dimasukkan ke penjara. Kesempatan bagi orang-orang yang ngga suka satu sama lain untuk memfitnah orang lain, sehingga masuk penjara. Ada teman ayah, kakak beradik, namanya hampir sama. Saat screening kakaknya ga ketemu, yang ada adiknya, ya adiknya itu yang dipenjara. Setelah kakaknya ketemu, adiknya tetap ga boleh keluar penjara juga.
Pernah suatu saat ada pembagian tugas harian. Ayah saya kan badannya kecil, ga terlalu gede. Saat itu dibagi – bagi tugas, ada yang tugas pertanian, ada yang lain – lain. Nah, ayah saya kebagian tugas yang berat menurut dia, yaitu penggergajian, tugas ini benar-benar menghabiskan tenaga fisik. Saat dia mendapat tugas itu, untungnya komandan grupnya melihat dia lalu berkata “Lho, itu badannya kurus kering gitu suruh gergaji, balik ke pertanian.” Ayah saya pun jalan balik ke bagian pertanian dengan perasaan lega.
Di Nusa Kambangan karena banyaknya napi yang masuk, tidak berbanding dengan jumlah makanan yang tersedia. Akibatnya mereka kekurangan makanan. Karena kekurangan makanan, sampai-sampai pakaian napi ditukar dengan makanan. Dan lebih parahnya saat makanan sulit, muncul tungau yang nempel di celana mereka, juga ada tinggi. Mereka mematikannya di tembok, sampe warna merah-merah temboknya.
Pada tahun 1966-1967 banyak napi yang meninggal, karena tanaman makanan tidak banyak, akibatnya napi sering puasa. Setiap sore pada banyak yang teriak, “ pak kamar 3 minta makan.”, “pak, kamar 4 kelaparan”. Sedih sekali. Baru setelah ada napi yang disangka terkait PKI, orang2 mulai menanam padi, jagung, dsb.
Banyak yang menyangka ayah saya ga kuat, ibu kos ngadain acara selamatan di kosan. Ayah saya ada yang menyenangi dulu pas kerja, Atin namanya. Tapi ayah saya ga senang sama dia. Dulu di panas-panasin sama temannya yang namanya Mariah. “Tin, coba perhatiin guru itu, ga macem2, kerjanya rajin. Kalo km jadi sama dia, kamu pasti bahagia”. Sejak itu dia berusaha mengejar ayah saya. Hampir tiap sore dia main ke kosan ayah saya waktu itu. Tapi ayah saya ga nanggapi. Dia selalu mendahului ayah saya datang ke kosan sebelum ayah saya pulang kerja. Nyari-nyari kegiatan biar bisa disana. Tapi ayah saya malah cm baca koran, ngga nanggapin, karena dia cemburuan, haha..
Ceritanya suatu hari si Atin ini masuk rumah sakit, karena terserempet dokar. Ibu kos ayah saya bilang ke ayah saya biar besuk ke rumah sakit, tapi karena ayah saya memang ngga ada rasa sama dia ya dia cuman bilang “ya, nanti saya jenguk”, tapi ya ngga dijenguk karena emang dia ngga ada dasar suka sama si Atin ini. Cewek itu meninggal karena ngga kuat menunggu ayah saya ngga keluar-keluar dari penjara.

Quote:


Spoiler for preview image:


Babak baru dimulai. Para napi dipindahkan ke pulau Buru. Mereka dipindahkan dengan kapal laut yang kecil. Ada 3 gelombang perpindahan dari nusakambangan ke pulau Buru. Ayah saya termasuk gelombang kedua. Sekitar 10.000-an orang dipindah ke Buru. Lucunya, ada jatah dari beberapa tempat untuk dimasukkan ke dalam orang-orang yang dibuang ke Buru itu. Jadi misal dari Comal berapa orang, dari Cilacap berapa orang, dari daerah lain berapa orang.
Karena lewat laut selatan pulau Jawa, banyak yang mabuk laut, karena ombak besar dan kapal yang dipakai kapal penumpang relatif kecil. Termasuk tentara yang menjaga para tahanan kena mabuk laut juga. Nama nama kapalnya diantaranya Tobelo, Tokala, Tomini, dsb). Perjalanan dari Nusa Kambangan ke pulau Buru memakan waktu 6 hari 6 malam.
Pada saat ayah saya masuk ke pulau Buru, masih banyak alang-alang, hanya didirikan barak-barak sementara, alam masih asli. Kurang lebih seminggu untuk bersihkan alang-alang. Pembangunan barak-barak permanen kurang lebih sekitar 1 tahunan.
Disini 1 rombongan, dibagi 3 unit, berjumlah sekitar 3000 an orang.
Awalnya Ada 14 unit disana. Unit untuk mahasiswa dan sarjana dinamai unit Savana Jaya. Pak Pramoedya Ananta Toer termasuk di unit ini. Beberapa karyanya seperti Rumah Kaca dikarang disana. Di tahun berikutnya ada tahanan yang dikirim lagi ke sana, sehingga unit bertambah. Terakhir ada total 18 unit. Ayah saya di unit 6, dinamai unit WanaWani. Ada beberapa rumah di setiap unitnya.
Pulau Buru, berisi semak belukar dan berawa-rawa, tidak ada hutan besar disana. Tidak terlalu banyak binatang buas. Banyak sapi dan menjangan/ kijang yang berkeliaran.
Keistimewaan penduduk asli pulau Buru: laki lakinya pada nginang dengan menggunakan rumah-rumah kerang yang dibakar dan dipakai abunya dicampur jambe, sirih. Yang perempuan malah ngga nginang.
Pernah suatu ketika orang asli Buru dan tentara nembak babi hutan, tapi ga kena, lalu babi nya kesakitan dan menyerang orang – orang, padahal bukan orang orang itu yang menyerangnya. Ya itulah tindakan membabi buta, ga kenal siapa yang nyerang, semua diserang sama babinya. Saking besarnya babi itu, sampai tentaranya keder mau nembak babinya. Dan sampai ada yang mati juga gara2 diserang babi itu dan banyak yang luka-luka.
Keadaan di Buru lebih leluasa, karena pengawasan dari jauh, masih boleh berkunjung ke Unit lain pada saat libur. Para napi bisa memelihara hewan ternak. Saat ada pertandingan olahraga antar unit, tamu dari unit lain dijamu makan sepuasnya. Para napi lebih akrab satu sama lain. Tapi jangan sampai ada yang hilang dari satu napi. Kalau ada yang hilang, semua napi harus mencarinya. Kalau ngga ketemu, semua nya dihukum. Kalau sakit, pemimpin kelompoknya harus tau sakit apa, kalau mati, harus ada jenazahnya. Kalau hilang tanpa jejak, tidak boleh.
Kehidupan penjara harus tertib. Lewat pos, kalau tidak mengucapkan salam , atau hormat bisa ditempeleng.
Tanaman disana ada yang mengandung fosfor. Ada kunyit yang mengandung fosfor, kalau malam hari terlihat seperti lampu. Ada yang mencoba memasaknya, waktu membersihkan kurang bersih, pas dibuat jamu trus diminum, oranngya jadi teler. Maunya sehat, malah sakit.
Ayah mendapatkan pekerjaan di koperasi, tidak terlalu banyak fisik, tapi kerjanya lebih lama dari kerja fisik lainnya. Dia bekerja bersama 2 orang lainnya.
Keadaan para napi di Buru lebih baik daripada keadaan di nusakambangan, karena mereka sudah mandiri, bisa mengolah lahan pertanian dan beternak, sumber makanan sudah bisa diatur dan tidak tergantung dari sumber lain, tapi diusahakan sendiri. Ada beberapa napi yang akhirnya menikah dengan orang setempat.
Penduduk asli disana mengakunya beragama Hindu, tapi ga tahu gimana sembahyangnya, ritualnya, dan segala atribut ke-Hinduan. Kebanyakan namanya ada “Shiwa” – nya, kalau perempuan ada nama “Muka” nya, misalnya Mukaronjang, Mukadima, kalau laki-laki ada “Mana”-nya Manakoe, Manalagi, Manamuni, Sarashiwa, dll.
Ada kampung yang namanya Kubilai, isinya cuma 4 keluarga. Jika ada yang meninggal, mereka semua pindah, ga mau tinggal disitu semua. Dan sepertinya Jepang pernah mendarat disana, karena ada tulisan Jepang disana.
Barang barang disana didapat dari Namlea. Jadi karena ayah bekerja di koperasi, tugasnya adalah menyuplai kebutuhan napi.
Di pulau Buru, tidak ada orang yang meninggal karena kelaparan, kalau ada yang meninggal biasanya karena sakit atau kecelakaan.
Suatu saat ada petugas penjaga napi yang dekat dengan napi, menyatakan kalau ada kabar baik. Bahwa mulai 1977 ada pembebasan besar-besaran. Tapi prioritas pertama yang dipulangkan adalah orang-orang tua dan yang sakit-sakitan. Kira – kira Oktober 1979 ayah saya keluar dari pulau Buru. Dari unit-unit lewat sungai Way Apo, ke Namlea. Lalu ke Surabaya dan dikembalikan ke daerah-daerah melalui truk. Ayah saya gelombang terakhir karena dia masih mengurus koperasi disana.

13 tahun di penjara ayah saya hanya dikasih ganti rugi 1000 rupiah waktu itu. Setelah itu kehidupannya tidak terlalu mulus, karena buku-buku serta surat dinas yang disimpan di almari rumah nenek malah dimakan rayap, hancur semua. Bagaimana dia bisa melanjutkan karirnya?

Quote:


Spoiler for preview image:


Dia akhirnya kerja serabutan, apa saja dikerjakannya. Jadi tukang cat atau apapun.
Seperti orang normal pada umumnya, dia pun berpikir untuk...nikah. Tapi bagaimana mungkin orang mau menikah dengan orang yang sudah tua dan mantan napi? Ingat, dia lahir di tahun 1935...

bersambung ke http://ayahsayanarapidana.zz.vc/ayah...an-narapidana/(ga muat gan. fotonya juga banyak di web itu).
foto foto di tahun sebelum 1960 (http://ayahsayanarapidana.zz.vc/foto...um-tahun-1960/)
foto foto pulau buru pada masa 1971-1979 (http://ayahsayanarapidana.zz.vc/foto...uru-1971-1979/)

Rate N Komen welcomed
Diubah oleh duitgratismu 12-03-2015 07:51
nona212Avatar border
nona212 memberi reputasi
1
11.1K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan