audiattoreAvatar border
TS
audiattore
Paparan Terbuka tentang....
Di kursi belajar baru aku duduk diam termangu, sepenglihat pucat. Tak ada satu orang pun yang ku kenal lebih awal. Semua nya nampak asing dan baru bersamaan dengan anak anak kecil ingusan yang begitu lucu dan lugu. Namun begitu, kami masih serempak berseragam sekolah dasar sembari meneriakkan yel-yel keliling lingkungan belajar. Kakak-kakak bilang kita wajib saling kenal. Ya, seorang kakak yang meminta kami mematuhi nya selama tiga hari.

Keesokan harinya kami masih mengikuti kegiatan tersebut. Kami sudah saling berkenalan satu sama lain, sebagian anak aku masih sangat hafal, sisanya sudah lupa, maklum hari kedua. Ibu dan Bapak guru yang tak dikenali keluar masuk kelas mengurus segala kebutuhan, memeriksa segala keamanan.

Syukurlah ini hari ketiga, hari dimana para kakak-kakak menangis tidak jelas dan meminta iba kepada kami siswa baru. Aku masih sangat malu bertegur sapa, tak apa besok lusa mungkin. Kegiatan orientasi selesai sore ini, kawan-kawan jalan berbondong keluar sembari melempar topi kerucut ke arah langit, mereka tampak tak sabar dengan seragam barunya. Kami dipersilahkan kembali ke kelas masing-masing. Hey, siapa itu? Gadis manis, teman sekelasku! ia berjalan melewati gerbang. Manisnya, rok pendek lucu dan rambut lurus panjang diikat ke belakang. Sayang, aku tak bisa berlama-lama menatapi nya, jemputan ku sudah menunggu diluar.

"Senja kita melihat jalan keluar
Nampak dekat,
Gadis manis melangkah gontai,
Ku lihat dari jauh tak tampak
Nyatanya ia sungguh dekat
Ya, Sungguh, Aku mengenalimu ; Manisku"

Hari mulai putih-biru. Segalanya serempak, ada yang beli 'jadi' adapun menjahit sendiri. Bukan itu urusanku, tapi dimana manisku? kulihat di segala sudut tak adaa kutemukan sosok maupun wangi nya. Tentu saja masih terlalu pagi, meskipun ini sudah pukul 11.30. Ya, kami siswa baru diberi jam belajar siang karena sekolah tersebut masih kekurangan kelas.

Mendekati lonceng masuk berbunyi, kutemui juga manis itu. Rambut yang ia ikat ke belakang menonjolkan betapa dahinya amat lucu. Ia berjalan melewati ku menuju pintu kelas sambil melemparkan senyum kepadaku. Entah apa maksudnya, Suka? Sapaan Belaka? Siapa tahu? Kucing berbulu lebat pun belum tentu ia senyumi.

Waktu terus berlalu mengitari hari, minggu, bahkan bulan. Aku dan Manisku sempat berbincang-bincang, ya sekali-kali, tak begitu intens, demi menjaga kesopanan. Rasa kagum ku yang awalnya sebatas rambut dan dahi nya, kini bertambah kepada wajahnya, tinggi badannya, gayanya, gesturnya, begitu juga cara ia berjalan, sungguh ia memang manisku.

Dan sampai pada suatu hari adalah mata pelajaran berkesenian. Manisku adalah orang yang lain, dia membawa biola ke sekolah. Ia memainkan beberapa instrumen menggunakan alat musik tersebut. Aku terkagum kagum. Sayang rasa kekagumanku itu diganggu guru mata pelajaran Seni Budaya, si Guru meminjam biola si manis. Guru tersebut berlagak memperkenalkan alat musik biola kepada para murid. Dan dia mulai mencoba memainkannya. Namun...
"Ko gini suaranya? Dania ini false ya?"
"Iya pak sedikit" *jawaban orang yang merasa tidak enak, karena biolanya tidak false, mungkin
"Bapak coba stem yah"
Si manis hanya mengangguk pasrah. Si bapak mulai memutar-mutar tunner biola, putar kanan putar kiri. Hampir lima menit. Kemudian ia kembali mainkan, dan bunyinya tambah false -_-.
Mungkin karena frustasi, malu, dan merasa tak berguna. Si bapak mengembalikan biola tersebut kepada sang pemilik.
"Aduh saya lupa cara tunning biola, dania nanti dibetulkan" *orang ini -_-


Hari demi hari seperti angin lalu, perasaanku masih sama; sebatas kagum. Aku tak melihat nya pada suatu sore sepulang sekolah. Mungkin ia bersama teman-temannya, sedangkan aku pulang berjalan kaki sendiri. Mengitari Jalan Raya kota, menuju rumah tercinta.

Dipinggiran jalan, disekitar toko-toko berhimpitan, ku terobos riuh orang berjalan, juga para pedagang yang membuka lapak atau sekedar berlalu lalang. Ku lihat cermat, amati tajam, di pintu hatiku terketuk. Pengemis, pedagang, pengamen, pembeli, semua membentuk satu mosaik unik.

Kupertegas jalan-ku, kupercepat langkahku. Ku sebrangi tiap simpang jalan, dan...
sesosok itu, berseragam dan beratribut sekolah yang sama persis dengan apa yang kukenakan, sedang berjalan berlawanan. Semakin aku berjalan, semakin dekat kami berhadapan. Sial, dia itu Manisku.
Baru saja turun dari angkot, dan berjalan menuju satu gang yang baru saja aku lewati. Aku tahu betul, ia begitu menyadari keberadaanku. setiap mikro detik kita begitu mendekat, begitu menghampiri.
Nyata nya kita saling melalui, kami tak tegur sapa. Kepalanya tertunduk, kepalaku tegak lurus kaku. Aku bingung akut, siapa yang menyapa duluan, kupikir ia pula demikian. langkah demi langkah kami kian menjauh. Kemudian sosok nya hilang dimakan satu gang, sedang aku menjauh darinya mendekati rumah.

"Sekali lagi manisku,
Di temu jalan kita berpapasan
Mata kita beradu,
Sayu..
Kau tunduk, aku buang muka
Berjalan lurus tembusi jalan rimbun kota"

Tahun berganti tahun, kami terpisah kelas pada tahun belajar kedua. Aku kehilangan perhatianku kepadanya, sibuk sekali, aku mulai kenal nikmatnya malas, serunya berandal.

Sampai suatu tamparan tepat di tenggelam dadaku. Teman baikku (sebut saja Audi) menyatakan rasa suka kepada Manisku, dan mereka berpacaran. aku belajar tidak peduli, namun sia-sia saja, nyatanya aku harus menerima kekalahan tersebut sebagai dhimaz chi jullex pengecutz.

Siapa sangka? mereka putus juga. Harusnya aku sadari ini, mereka itu bercinta dengan monyet, aku tak perlu sok melankolis.

Di tingkat akhir, kami kembali bersama (satu kelas). Aku bisa lagi padanya, bisa apa coba? bisa mendekati nya.

Sayang saat itu aku termasuk salah satu berandal kelas, berbanding terbalik dengan dirinya yang lugu, ditambah wajahku yang bentuknya ngaco, kami seperti beauty and the bis (ex. Marita, doa ibu, karunia bakti, parung indah, dll). Aku sempat diberi kesempatan mendekatinya, kami satu kelompok untuk tugas Tata Boga. Aku sengaja meminjam uang patungan pada si Manis, dengan alibi ia bakal menagih hutang kepadaku. Dan itulah, menjadi alasannya untuk menyapaku. Aku sengaja tak bayar hutangku biar ia terus menagih padaku.

Suatu saat aku berfikir, Ini adalah tahun terakhir kami bersama (di kelas plis -_-), Mungkin selulus nanti kita tak jumpa lagi, kenapa aku tak nyatakan saja? sepakat! besok siang kutunjukkan perasaanku!

Pagi hari aku tak bolos seperti biasanya dan masuk tepat waktu. Aku telah mengunci target, mempersiapkan diri dan beberapa kalimat kala menghadapinya.

Bel istirahat berbunyi, jantungku sudah berdegup saja. Iya, itu dia, aku lantas bangkit dari tempat dudukku dan menghampirinya. Suasana serasa sepi, padahal kelas begitu ramai. Aku sudah berhadapan depan mejanya, aku jadi diam. Tiba-tiba saja....
"Ih si dimas ngapain deketin si dania? Geli ih"
"Iya dania kaya ga punya selera aja?"
"Tapi kayanya si dania malu deh"
"ih si dimas punya apa sih, ganteng nggak, pinter nggak, kaya nggak, ko deketin dania?"
"Iwh, dania pasti tertekan"
Bunyi-bunyi gosip meracau di fikiranku, aku jadi ciut, dan sadar diri. Manis begitu heran melihatku bingung berdiri mematung tepat didepan meja belajarnya. Ia bertanya apa yang sedang kulakukan, aku terkejut dan tidak sadar berkata...

"Pinjem 2ribu dong? buat ongkos pulang"

Biarlah urung niatku, bukan waktu yang pas mungkin. Atau mungkin takkan ada waktu yang pas. (Update: Saya sudah mengutarakan hal ini ke Manis, namun...)

"Kita bertemu dalam pagut
Aku enggan berbicara,
Kau takkan perduli
Serupa pahatan-pahatan seniman.
Kita berpisah dalam Pagut
Kita pantang berduka,
Kita mudah berdiri
Ibarat kendara lalu lalang kota"

Terimakasih tiga tahun telah mengenalkanmu padaku.
Kau mungkin tak begitu butuh surat ini, atau mungkin sama sekali.
Aku sempat beberapa kali ingin mengatakan ini, tapi serak rasanya.
Apalagi sekarang kau telah menanggung 2 hati, seharusnya ini yang kukatakan ketika kita masih remaja.(ini masih yang lama ya)
Tapi apa daya, dari pada tidak sama selamanya. Aku hanya berbicara hal yang sempat diputuskan oleh keraguanku sendiri.
Ya atas nama anak-anakmu, teman-teman, dan masa laluku.
Aku begitu menyukaimu
Begitu mengagumimu.
Apalagi Nalurimu sebagai ibu.
Entah aku saja ataupun ada yang lain, mengakatan hal ini.
Biarlah aku tidak perduli, aku hanya perduli isi surat ini. Tanpa paksaan, tanpa ketidaksadaran.
Sayang nasib kita belum tentu sama. (Pengennya sih sebaliknya)
Sampaikan salamku pada anak-anakmu, padamu, pada hatimu.
Aku menyukaimu, aku menyukaimu, aku menyukaimu, mencintaimu Gadis Ibu "Manisku".
Jika kau perduli jangan cari aku, jika tidak apalagi.


Terima kasih
Dimas Prasetya
Diubah oleh audiattore 01-02-2016 07:19
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
990
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan