industrykidAvatar border
TS
industrykid
Pembangunan tanpa arah, Indonesia perlu GBHN kembali .....
Tak Punya Arah, GBHN Perlu Dihidupkan Kembali


KALANGAN pengamat dan partai politik (parpol) menilai saat ini pembangunan di Indonesia tidak terarah akibat selalu berubahnya program dan kebijakan pemerintah dalam menyusun pembangunan bangsa dan negara yang kerap terjadi ketika pergantian presiden. Agar hal tersebut tidak terulang, maka wacana untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu segera direalisasikan dengan menguatkan kewenangan Presiden.

Pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), M Imam Nasef mengatakan, saat ini pemerintah tidak mempunyai haluan secara makro untuk pembangunan bangsa dan negara. Rencana-rencana program pemerintah saat ini hanya dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang terkadang justru tidak sinkron antara satu sama lain dan bersifat temporer misalnya setiap ganti Presiden diubah lagi rencana pembangunan yang telah disusun Presiden sebelumnya.

"Jadi GBHN memang perlu dihidupkan kembali sebagai panduan dan pedoman penyelenggara negara khususnya Presiden dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan," kata Nasef, Minggu (4/1/2015).

Dia mengungkapkan, salah satu penyebab GBHN dihapuskan pada tahun 1999 setelah reformasi dari UUD 1945 adalah karena seringkali GBHN dijadikan 'bom waktu' oleh MPR untuk menjatuhkan atau memakzulkan Presiden. Menurutnya, hal itu memang terjadi karena dalam sistem ketatanegaraan sebelum amandemen UUD 1945, Presiden adalah mandataris MPR dan kedudukan MPR saat itu sangat kuat sebagai lembaga tertinggi negara dan pelaksana kedaulatan rakyat.

Untuk saat ini, lanjutnya, hal demikian tidak perlu ditakutkan lagi, sebab Presiden bukan lagi mandataris MPR. Di mana, berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen kedudukan Presiden dan MPR itu sejajar. "Jadi tidak perlu ada kekhawatiran apabila nanti GBHN dihidupkan akan menjadi alat bagi MPR untuk menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya," ungkapnya.

Dia mengakui, untuk merealisasikan hal tersebut tidak mudah karena harus melalui perubahan konstitusi. Di mana, mengamandemen UUD 1945 bukanlah hal yang mudah karena pasti banyak pertarungan kepentingan politik dan lainnya. Namun, katanya, apabila ada komitmen yang kuat dari para pemangku kepentingan di eksekutif maupun legislatif untuk memajukan bangsa, maka hal itu bisa dapat segera teralisasikan.

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten, Fatkhul Muin menambahkan perlu dipahani bahwa GBHN sebagai landasan operasional NKRI tentu diperlukan. Namun, katanya, GBHN sebagai landasan oprasional perlu diformulasikan agar tidak melahirkan kekuasaan yang berlebihan dengan berorientasi kepada rencana pembangunan negara dalam 5 tahunan.

Sebab, ungkapnya, GBHN perlu dihidupkan kembali karena Indonesia harus memiliki 3 landasan, yaitu landasan idil, landasan konstitusional, dan landasan operasional. "Landasan idiil adalah idiologi negara, landasan konstitusional adalah UUD dan pelaksana dari keduanya adalah GBHN sebagai landasan oprasional," kata Fatkhul Muin.

Senada, Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) di MPR, TB Hasanuddin mengakui selama ini pembangunan di Indonesia tidak terarah karena tidak adanya acuan utama yang berkelanjutan. Sehingga, ia setuju GBHN dihidupkan kembali agar terjadi kesinambungan pembangunan bangsa dan negara di setiap masa pemerintahan.

"Saya pribadi setuju, tapi khusus yang menyangkut pembangunan fisik/pertumbuhan ekonomi saja. Tak usah sampai masalah-masalah lain," tegas TB Hasanuddin.

Anggota DPR ini menjelaskan, GBHN harus difokuskan ke bidang pembangunan ekonomi karena hal itu menyangkut anggaran dari APBN. "Kalau kebijakan berubah-ubah terlalu ekstrim maka rakyat juga yang rugi. Contoh membuat bendungan, butuh waktu 8 tahun misalnya. Maka siapapun presidennya ya harus konsisten meneruskannya," jelasnya.

Menurutnya, dibutuhkan komitmen dari eksekutif dan legislatif dalam menghidupkan GBHN dengan cara mengamandemen UUD. Bahkan, dia menilai hal itu bisa saja terjadi pada tahun ini. "Bisa saja (amandemen UUD), namanya juga politik," katanya. O lut


SUMBER


DPD RI Terima Naskah Akademik Penyususunan GBHN


Metrotvnews.com, Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menerima naskah akademik tentang penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dari Forum Rektor Indonesia (FRI). Naskah tersebut berjudul “Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Kepada Penyelenggara Negara”.

Ketua FRI Ravik Karsidi menyerahkan naskah tersebut kepada Ketua DPD Irman Gusman di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2014). Selain itu, Ravik dan Irman juga menandatangani memorandum of understanding (MoU) di bidang kajian penyusunan GBHN.

“Salah satunya, kegiatan ini berkaitan dengan tugas DPD RI, kami sedang memikirkan solusi berkesinambungan. Meskipun kita sekarang memiliki dokumen perencanaan pembangunan nasional, yang esensial adalah kesinambungannya,” kata Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Ravik Karsidi berdasarkan siaran rilis yang diterima Metrotvnews.com, Jumat (2/1/2015).

Penyerahan naskah akademik tersebut bertujuan supaya wacana penyusunan GBHN mendapat telaah. Apabila tujuh komponen negara (Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, Wantimpres dan partai peserta pemilu) menerima wacana itu, maka beberapa implikasinya adalah memulihkan wewenang MPR (joint session DPR-DPD) dalam penyusunan GBHN dan penetapannya.

“Kami siap mempersentasikannya di hadapan para senator sekalian, kemudian marilah kita memikirkannya bersama-sama. Kita berdiskusi. Insya Allah, kerjasama ini bermanfaat buat kita semua,” imbuh Ravik.

Sebelumnya, dalam naskah akademik tersebut, FRI mempertimbangkan konsekuensi amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebabkan MPR bukan lembaga negara tertinggi yang melaksanakan kedaulatan rakyat, seperti menyusun GBHN dan menetapkannya. Pra-amandemen UUD 1945, MPR menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara. Pasca-amandemen UUD 1945, MPR berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.
SUR


SUMBER

Untuk Indonesia yang konsisten dalam pembangunan.

Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia ( MP3EI ) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( RPJMN ) ternyata tidak cukup untuk menggantikan peran GBHN.
0
7.4K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan