- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ini Pertarungan Cicak Vs Buaya Jilid 3. Where are you Mr. Joko Widodo?
TS
vanluster
Ini Pertarungan Cicak Vs Buaya Jilid 3. Where are you Mr. Joko Widodo?
Pak Presiden Jokowi harusnya belajar dari SBY dalam menyelesaikan kasus Cicak vs Buaya.
Inilah cerita Cicak Vs Buaya sebelumnya :
Akankah Jokowi bisa menyelesaikan kasus ini secara berkeadilan? Atau malah tambah besar, kalau Jokowi tak segera bertindak bisa-bisa Abraham Samad pun bisa di tersangkakan, Tujuannya kan jelas, untuk melemahkan KPK. Saya setuju dengan pernyataan Effendi Ghazali, pernyataan Jokowi kemarin siang tidak tegas, malah Jokowi seperti berperan sebagai penonton, Sebagai kepala tertinggi seharunya Jokowi bisa menginstruksikan,
Jokowi hanya meminta Polri dan KPK menyelenggarakan proses hukum secara Objektif dan tanpa gesekan. Itu pernyataan yang biasa, tanpa di beritahu KPK dan Polri juga udah tahu.. Bahkan Polri mengatakan tak ada masalah dengan KPK.
Inilah cerita Cicak Vs Buaya sebelumnya :
Quote:
Cicak Vs Buaya Jilid 1 : (kRIMINALISASI Antashari Ashar, Bibit dan Candra)
Dalam episode pertama ini, mungkin bisa disebut Cicak Vs Buaya yang sangat sulit dihadapi KPK. Polri hampir menang telak ! Jika Presiden tidak bertindak apa jadinya KPK. Dalam Episode ini, POLRI berhasil menyingirkan 3 Pimpian KPK, alhasil KPK berada dititik terlemahnya, hampir tak berdaya. Dulu ada 5 Petinggi KPK, dan tinggal 2 petinggi saja yang masih "selamat" . Bagimana cara SBY menyelamatkan lembaga ini? Bagaimana nasib KPK selanjutnya?
Inilah cerita selengkapnya :
Kasus ini bermula dari sebuah testimoni dari ketua KPK non aktif Antasari Azhar. Antasari kala itu sedang ditahan oleh pihak kepolisian karena diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnain. Dalam testimoninya Antasari menulis bahwa telah terjadi penerimaan uang sebesar Rp 6,7 Miliar oleh sejumlah pimpinan KPK. Testimoni itu dibuat pada 16 Mei 2009 dan dibuat berdasarkan rekaman pembicaraan antara Antasari sendiri dengan Anggoro Widjojo, Dirut PT Masaro Radiokom yang dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan.
Selanjutnya testimoni ini ternyata tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Maka Antasari lalu membuat sebuah laporan resmi ke Polda Metro Jaya pada 6 Juli 2009 mengenai dugaan suap. Kemudian oleh Polda Metro Jaya laporan itu dilimpahkan ke Mabes Polri. Lalu diadakanlah penyelidikan dan penyidikan oleh Mabes Polri.
Dari hasil penyidikan, pada 7 Agustus 2009 ditemukan fakta bahwa ada tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh Bibit dan Chandra yang melanggar pasal 21 ayat (5) UU No. 30/2002 tentang KPK. Fakta itu ditemukan berkaitan dengan bahwa SK Pencekalan dan pencabutan pencekalan oleh Bibit dan Chandra tidak dikeluarkan secara kolektif sebagaimana diatur dalam UU. Pencekalan Anggoro dilakukan oleh Chandra, pencekalan Joko Candra dilakukan oleh Bibit, dan pencabutan pencekalan terhadap Joko Candra dilakukan oleh Chandra. Dari penyidikan terhadap kasus pencekalan Anggoro ditemukan adanya aliran dana. Temuan ini dituangkan dalam laporan polisi pada 25 Agustus 2009. Selain penyalahgunaan wewenang, Bibit dan Chandra juga diduga terlibat dalam pemerasan dan penyuapan. Dalam dugaan pemerasan, penyidik memeriksa saksi dan alat bukti lain. Pada penyalahgunaan wewenang, penyidik memeriksa 22 saksi dan saksi ahli dan ditemukan beberapa dokumen. Pasal yang disangkakan adalah pasal 23 UU No. 31/1999 jo pasal 421 KUHP. Dari alat bukti, keterangan saksi dan saksi ahli didapatkanlah empat alat bukti. Maka pada 16 September 2009 pukul 23.20 status Bibit dan Chandra ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka dengan sangkaan pemerasan (pasal 12 huruf e jo pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor) dan penyalahgunaan wewenang.
Dengan ditetapkannya Bibit dan Chandra sebagai tersangka, maka sesuai UU KPK pimpinan KPK yang menjadi tersangka dalam tindak pidana harus dinonaktifkan. Maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres 74/P/09 yang dikeluarkan pada 21 September 2009 menonaktifkan Bibit dan Chandra sebagai wakil ketua KPK. Dengan demikian maka pimpinan KPK tinggal dua orang yaitu M. Jasin dan Haryono Umar. Sedangkan ketua KPK Antasari Azhar sudah lebih dulu nonaktif pada 1 Mei 2009 karena menjadi tersangka kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain. Dengan nonaktifnya tiga pimpinan KPK dan hanya dua orang saja yang aktif maka menimbulkan kekhawatiran bahwa kinerja KPK tak akan maksimal. Kalau memilih pimpinan KPK yang baru perlu proses yang lama karena harus dilakukan dulu fit and proper test para calon yang diajukan presiden ke DPR, kemudian DPR pun harus bersidang cukup lama untuk memilih pimpinan KPK yang baru. Hal ini tentu dapat menyebabkan kegiatan pemberantasan korupsi menjadi terhambat karena KPK sibuk dengan proses pemilihan pimpinan baru, sedangkan kasus korupsi masih banyak harus segera diusut dan ditindak. Lagipula jika dipilih pimpinan yang baru maka akan menimbulkan masalah nantinya jika seandainya tiga pimpinan non aktif KPK tadi ternyata tidak bersalah. Bagaimana nasib pimpinan KPK yang baru terpilih tadi, dan bagaimana pula nasib pimpinan KPK sebelumnya yang menjadi tersangka? Tentu akan sangat menyesakkan bagi pimpinan KPK non aktif jika mereka tidak dapat kembali menjadi pimpinan KPK karena ada pimpinan yang baru padahal mereka tidak bersalah melakukan tindak pidana.
Untuk itu maka SBY pun turun tangan dan mengeluarkan Perppu No. 4/2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30/2002 tentang KPK. Yang diubah terutama mengatur cara pengangkatan pimpinan sementara KPK untuk menggantikan pimpinan KPK yang dinonaktifkan. Sebelum Perppu ini keluar public sudah ribut karena menganggap Perppu ini menunjukkan intervensi Presiden terhadap KPK. Mereka menduga bahwa isi Perppu itu adalah presiden menunjuk langsung pimpinan sementara KPK, yang berarti presiden memilih orang-orang menurut kehendaknya saja. Pertanyaannya darimana mereka tahu padahal Perppu itu sendiri belum keluar. Ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Melalui Perppu itu presiden membentuk sebuah tim 5 yang berisikan Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Taufikurrahman Ruki, Andi Mattalatta, dan Widodo AS yang bertugas merekomendasikan nama-nama kepada presiden untuk menjadi pelaksana tugas pimpinan KPK. Kemudian tim 5 mengajukan nama Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Ahmad Santosa ke presiden dan presiden menyetujuinya. Maka pada 6 Oktober 2009 presiden melantik ketiganya menjadi Plt pimpinan KPK melalui Keppres 77/P/09 yang dikeluarkan pada 5 Oktober 2009. Sesudah itu perhatian masyarakat teralihkan dengan isu pelantikan presiden dan wakil presiden serta isu mengenai nama-nama yang akan masuk ke dalam kabinet baru.
Ketika Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka saja, masyarakat sudah bereaksi karena menganggap dijadikannya keduanya sebagai tersangka adalah sebagai balas dendam Polri kepada KPK karena KPK pernah menyadap Kabareskrim Pori Komjen Susno Duadji secara tidak sengaja berkaitan dengan kasus Bank Century. Kecurigaan masyarakat semakin terbukti karena pada 16 Oktober 2009 tim kuasa hukum Bibit dan Chandra mengaku memiliki bukti rekaman penyadapan yang berisi pembicaraan dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Tim kuasa hukum Bibit dan Chandra berjanji akan membuka rekaman tersebut.
Ternyata sebelum bukti itu dibuka secara sah, transkrip pembicaraan sudah beredar luas di publik. Dalam transkrip itu ada pembicaraan antara orang yang diduga sebagai Anggodo Widjojo (adik Anggoro) dan seseorang yang diduga sebagai petinggi kejaksaan atau kepolisian. Dalam transkrip itu ada disebut nama-nama Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, Kabareskrim Komjen Susno Duadji, bahkan RI-1 pun disebut-sebut.
Kemudian pada 29 Oktober 2009 Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materil UU KPK. Dalam persidangan MK meminta agar tim kuasa hukum membuka rekaman itu pada persidangan berikutnya. Tanpa diduga, sesudah menghadiri sidang itu Bibit dan Chandra langsung ditahan oleh Polri. Polri beralasan bahwa penahanan dilakukan karena hukuman yang diancamkan pada keduanya di atas lima tahun, dan mereka dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana serta menghilangkan alat bukti. Namun alasan sebenarnya adalah karena Bibit dan Chandra melakukan tindakan yang mempersulit jalannya pemeriksaan, dengan menggiring opini publik melalui pernyataan di media massa serta forum diskusi mengenai adanya rekayasa penyidikan yang merujuk pada transkrip rekaman.
Penahanan ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Jika dilihat memang dalam melakukan penahanan, harus memenuhi syarat materil dan formil seperti diatur dalam pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP. Syarat materil yaitu diancam dengan hukuman di atas lima tahun memang terpenuhi sesuai pasal yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra. Namun syarat formilnya tidak terpenuhi. Sebagaimana diketahui menurut pasal 21 ayat (1) KUHAP, penahanan dapat dilakukan apabila tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Kekhawatiran Polri ini tidak beralasan. Kalau dikhawatirkan melarikan diri, jika melihat bahwa Bibit dan Chandra selalu menghadiri panggilan untuk diperiksa, rasanya tidak mungkin mereka akan melarikan diri. Kalau dikhawatirkan menghilangkan alat bukti juga tidak beralasan karena bukti-bukti itu ada pada KPK dan mereka tidak berhak melakukan sesuatu terhadap bukti itu karena status mereka masih non aktif. Kemudian jika dikhawatirkan mengulangi tindak pidana juga tidak mungkin, karena Bibit dan Chandra sudah nonaktif dari pimpinan KPK, sedangkan salah satu tindak pidana yang disangkakan yaitu penyalahgunaan wewenang hanya bisa dilakukan apabila mereka sedang menjabat suatu jabatan, dalam hal ini sebagai wakil ketua KPK. Alasan lain Polri yang tidak ada dalam KUHAP yaitu menggiring opini publik juga tidak dapat diterima, sebab memberikan keterangan-keterangan seperti dalam konferensi pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi, yaitu kebebasan berpendapat dan menyatakan pikiran. Karena penahanan ini tidak beralasan, maka timbul dimana-mana gerakan yang menuntut agar Bibit dan Chandra dibebaskan dari tahanan, mulai dari gerakan mahasiswa, LSM, sampai gerakan di dunia maya. Selain menuntut pelepasan Bibit dan Chandra, mereka juga meminta agar presiden menyelesaikan kasus ini.
Karena terus didesak oleh masyarakat, akhirnya SBY sesuai permintaan publik membentuk suatu tim pencari fakta dari kasus ini. Tim ini dibentuk pada 2 November 2009 yang dinamai Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra Hamzah dan Sdr. Bibit S. Riyanto. Tim beranggotakan delapan orang, yaitu DR. Iur. Adnan Buyung Nasution (ketua); Irjen Pol (Purn) Prof. Drs. Koesparmono Irsan (wakil ketua); Denny Indrayana, SH, LLM, PhD(sekretaris); DR Todung Mulya Lubis, SH, LLM; DR Amir Syamsuddin, SH, MH; Prof Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD; DR Anies Baswedan; dan Prof DR Komaruddin Hidayat. Tim ini sering juga disebut tim 8 dan diberi waktu dua pekan untuk memverifikasi fakta dan proses hukum kasus ini.
Sehari sesudah pembentukan tim 8, pada 3 November 2009 MK membuka rekaman penyadapan yang berisi pembicaraan mengenai rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Dalam rekaman berdurasi 4 ½ jam itu memang terlihat ada suatu skenario dari beberapa pihak untuk menghancurkan KPK. Sesudah rekaman itu diputar, maka Polri beberapa saat kemudian mengeluarkan penangguhan penahanan terhadap Bibit dan Chandra.
Tim 8 dalam melaksanakan tugasnya memanggil para pihak yang terkait seperti KPK, Jaksa Agung dan jajarannya, Civil society, pemimpin redaksi media massa, Kapolri dan jajarannya, Anggodo Widjojo, Chandra dan Bibit, Susno Duadji, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ari Muladi, Eddy Sumarsono, Antasari Azhar, Ade Raharja, Bambang Widjojanto, AH Ritonga, dan Wisnu Subroto. Setelah melakukan gelar perkara dengan pihak-pihak tadi, maka pada 17 November 2009 tim 8 menyerahkan laporan dan rekomendasi kepada SBY terkait kasus ini. Kesimpulan laporan ini adalah kasus ini dipaksakan dan bukti-buktinya lemah. Untuk itu tim 8 memberikan rekomendasi. Isi dari rekomendasi itu adalah :
1. menghentikan proses hukum terhadap Bibit dan Chandra, dengan opsi:
– kepolisian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika perkara ada di tangan kepolisian
– kejaksaan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) jika perkara sudah dilimpahkan ke kejaksaan
– jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas oportunitas Jaksa Agung dapat mendeponir perkara ini.
2. meminta presiden memberikan sanksi kepada pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam kasus yang dipaksakan
3. presiden memprioritaskan pemberantasan makelar kasus dalam semua lembaga penegak hukum
4. menuntaskan kasus terkait, seperti kasus Bank Century dan kasus pengadaan SKRT Dephut
5. presiden disarankan membentuk suatu komisi baru untuk membenahi lembaga penegak hukum.
SBY tidak serta merta menanggapi rekomendasi ini. Ia baru menyatakan sikapnya seminggu kemudian yaitu pada 23 November 2009. Dalam pidatonya secara tersirat SBY memerintahkan agar kasus ini diselesaikan di luar pengadilan, yaitu dalam bentuk SP3, SKPP, ataupun deponering.
Selama ini sudah terjadi tiga kali bolak balik pengembalian Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kejaksaan ke penyidik. Setelah tiga kali pengembalian itu, Kejaksaan pun menyatakan bahwa BAP sudah lengkap alias P21. Dengan demikian secara yuridis perkara sudah berada di tangan kejaksaan. Karena itu kejaksaan lah yang akan menutup perkara ini, sesuai perintah presiden tadi.
Opsi bagi kejaksaan untuk menutup perkara ada dua, yaitu SKPP atau deponering. Ternyata kejaksaan memilih untuk menerbitkan SKPP. SKPP dikeluarkan dengan alasan perkara ditutup demi hukum, karena perbuatan yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra adalah dalam rangka menjalankan UU, maka mereka tidak dapat dipidana (pasal 50 KUHP). Pasal ini dijadikan alasan yuridis dikeluarkannya SKPP. Dengan pasal ini berarti Bibit dan Chandra tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana kepada mereka. Dalam teori pidana hal ini disebut dengan alasan pembenar, yaitu alasan yang membenarkan suatu perbuatan pidana yang dilakukan seseorang karena alasan tertentu sehingga dia dilepaskan dari segala tuntutan. Termasuk alasan pembenar itu adalah menjalankan UU tadi. Maka dengan dikeluarkannya SKPP ini, berakhirlah segala proses hukum terhadap Bibit dan Chandra.
The End
Dalam episode pertama ini, mungkin bisa disebut Cicak Vs Buaya yang sangat sulit dihadapi KPK. Polri hampir menang telak ! Jika Presiden tidak bertindak apa jadinya KPK. Dalam Episode ini, POLRI berhasil menyingirkan 3 Pimpian KPK, alhasil KPK berada dititik terlemahnya, hampir tak berdaya. Dulu ada 5 Petinggi KPK, dan tinggal 2 petinggi saja yang masih "selamat" . Bagimana cara SBY menyelamatkan lembaga ini? Bagaimana nasib KPK selanjutnya?
Inilah cerita selengkapnya :
Kasus ini bermula dari sebuah testimoni dari ketua KPK non aktif Antasari Azhar. Antasari kala itu sedang ditahan oleh pihak kepolisian karena diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnain. Dalam testimoninya Antasari menulis bahwa telah terjadi penerimaan uang sebesar Rp 6,7 Miliar oleh sejumlah pimpinan KPK. Testimoni itu dibuat pada 16 Mei 2009 dan dibuat berdasarkan rekaman pembicaraan antara Antasari sendiri dengan Anggoro Widjojo, Dirut PT Masaro Radiokom yang dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan.
Selanjutnya testimoni ini ternyata tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Maka Antasari lalu membuat sebuah laporan resmi ke Polda Metro Jaya pada 6 Juli 2009 mengenai dugaan suap. Kemudian oleh Polda Metro Jaya laporan itu dilimpahkan ke Mabes Polri. Lalu diadakanlah penyelidikan dan penyidikan oleh Mabes Polri.
Dari hasil penyidikan, pada 7 Agustus 2009 ditemukan fakta bahwa ada tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh Bibit dan Chandra yang melanggar pasal 21 ayat (5) UU No. 30/2002 tentang KPK. Fakta itu ditemukan berkaitan dengan bahwa SK Pencekalan dan pencabutan pencekalan oleh Bibit dan Chandra tidak dikeluarkan secara kolektif sebagaimana diatur dalam UU. Pencekalan Anggoro dilakukan oleh Chandra, pencekalan Joko Candra dilakukan oleh Bibit, dan pencabutan pencekalan terhadap Joko Candra dilakukan oleh Chandra. Dari penyidikan terhadap kasus pencekalan Anggoro ditemukan adanya aliran dana. Temuan ini dituangkan dalam laporan polisi pada 25 Agustus 2009. Selain penyalahgunaan wewenang, Bibit dan Chandra juga diduga terlibat dalam pemerasan dan penyuapan. Dalam dugaan pemerasan, penyidik memeriksa saksi dan alat bukti lain. Pada penyalahgunaan wewenang, penyidik memeriksa 22 saksi dan saksi ahli dan ditemukan beberapa dokumen. Pasal yang disangkakan adalah pasal 23 UU No. 31/1999 jo pasal 421 KUHP. Dari alat bukti, keterangan saksi dan saksi ahli didapatkanlah empat alat bukti. Maka pada 16 September 2009 pukul 23.20 status Bibit dan Chandra ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka dengan sangkaan pemerasan (pasal 12 huruf e jo pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor) dan penyalahgunaan wewenang.
Dengan ditetapkannya Bibit dan Chandra sebagai tersangka, maka sesuai UU KPK pimpinan KPK yang menjadi tersangka dalam tindak pidana harus dinonaktifkan. Maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres 74/P/09 yang dikeluarkan pada 21 September 2009 menonaktifkan Bibit dan Chandra sebagai wakil ketua KPK. Dengan demikian maka pimpinan KPK tinggal dua orang yaitu M. Jasin dan Haryono Umar. Sedangkan ketua KPK Antasari Azhar sudah lebih dulu nonaktif pada 1 Mei 2009 karena menjadi tersangka kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain. Dengan nonaktifnya tiga pimpinan KPK dan hanya dua orang saja yang aktif maka menimbulkan kekhawatiran bahwa kinerja KPK tak akan maksimal. Kalau memilih pimpinan KPK yang baru perlu proses yang lama karena harus dilakukan dulu fit and proper test para calon yang diajukan presiden ke DPR, kemudian DPR pun harus bersidang cukup lama untuk memilih pimpinan KPK yang baru. Hal ini tentu dapat menyebabkan kegiatan pemberantasan korupsi menjadi terhambat karena KPK sibuk dengan proses pemilihan pimpinan baru, sedangkan kasus korupsi masih banyak harus segera diusut dan ditindak. Lagipula jika dipilih pimpinan yang baru maka akan menimbulkan masalah nantinya jika seandainya tiga pimpinan non aktif KPK tadi ternyata tidak bersalah. Bagaimana nasib pimpinan KPK yang baru terpilih tadi, dan bagaimana pula nasib pimpinan KPK sebelumnya yang menjadi tersangka? Tentu akan sangat menyesakkan bagi pimpinan KPK non aktif jika mereka tidak dapat kembali menjadi pimpinan KPK karena ada pimpinan yang baru padahal mereka tidak bersalah melakukan tindak pidana.
Untuk itu maka SBY pun turun tangan dan mengeluarkan Perppu No. 4/2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30/2002 tentang KPK. Yang diubah terutama mengatur cara pengangkatan pimpinan sementara KPK untuk menggantikan pimpinan KPK yang dinonaktifkan. Sebelum Perppu ini keluar public sudah ribut karena menganggap Perppu ini menunjukkan intervensi Presiden terhadap KPK. Mereka menduga bahwa isi Perppu itu adalah presiden menunjuk langsung pimpinan sementara KPK, yang berarti presiden memilih orang-orang menurut kehendaknya saja. Pertanyaannya darimana mereka tahu padahal Perppu itu sendiri belum keluar. Ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Melalui Perppu itu presiden membentuk sebuah tim 5 yang berisikan Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Taufikurrahman Ruki, Andi Mattalatta, dan Widodo AS yang bertugas merekomendasikan nama-nama kepada presiden untuk menjadi pelaksana tugas pimpinan KPK. Kemudian tim 5 mengajukan nama Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Ahmad Santosa ke presiden dan presiden menyetujuinya. Maka pada 6 Oktober 2009 presiden melantik ketiganya menjadi Plt pimpinan KPK melalui Keppres 77/P/09 yang dikeluarkan pada 5 Oktober 2009. Sesudah itu perhatian masyarakat teralihkan dengan isu pelantikan presiden dan wakil presiden serta isu mengenai nama-nama yang akan masuk ke dalam kabinet baru.
Ketika Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka saja, masyarakat sudah bereaksi karena menganggap dijadikannya keduanya sebagai tersangka adalah sebagai balas dendam Polri kepada KPK karena KPK pernah menyadap Kabareskrim Pori Komjen Susno Duadji secara tidak sengaja berkaitan dengan kasus Bank Century. Kecurigaan masyarakat semakin terbukti karena pada 16 Oktober 2009 tim kuasa hukum Bibit dan Chandra mengaku memiliki bukti rekaman penyadapan yang berisi pembicaraan dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Tim kuasa hukum Bibit dan Chandra berjanji akan membuka rekaman tersebut.
Ternyata sebelum bukti itu dibuka secara sah, transkrip pembicaraan sudah beredar luas di publik. Dalam transkrip itu ada pembicaraan antara orang yang diduga sebagai Anggodo Widjojo (adik Anggoro) dan seseorang yang diduga sebagai petinggi kejaksaan atau kepolisian. Dalam transkrip itu ada disebut nama-nama Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, Kabareskrim Komjen Susno Duadji, bahkan RI-1 pun disebut-sebut.
Kemudian pada 29 Oktober 2009 Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materil UU KPK. Dalam persidangan MK meminta agar tim kuasa hukum membuka rekaman itu pada persidangan berikutnya. Tanpa diduga, sesudah menghadiri sidang itu Bibit dan Chandra langsung ditahan oleh Polri. Polri beralasan bahwa penahanan dilakukan karena hukuman yang diancamkan pada keduanya di atas lima tahun, dan mereka dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana serta menghilangkan alat bukti. Namun alasan sebenarnya adalah karena Bibit dan Chandra melakukan tindakan yang mempersulit jalannya pemeriksaan, dengan menggiring opini publik melalui pernyataan di media massa serta forum diskusi mengenai adanya rekayasa penyidikan yang merujuk pada transkrip rekaman.
Penahanan ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Jika dilihat memang dalam melakukan penahanan, harus memenuhi syarat materil dan formil seperti diatur dalam pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP. Syarat materil yaitu diancam dengan hukuman di atas lima tahun memang terpenuhi sesuai pasal yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra. Namun syarat formilnya tidak terpenuhi. Sebagaimana diketahui menurut pasal 21 ayat (1) KUHAP, penahanan dapat dilakukan apabila tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Kekhawatiran Polri ini tidak beralasan. Kalau dikhawatirkan melarikan diri, jika melihat bahwa Bibit dan Chandra selalu menghadiri panggilan untuk diperiksa, rasanya tidak mungkin mereka akan melarikan diri. Kalau dikhawatirkan menghilangkan alat bukti juga tidak beralasan karena bukti-bukti itu ada pada KPK dan mereka tidak berhak melakukan sesuatu terhadap bukti itu karena status mereka masih non aktif. Kemudian jika dikhawatirkan mengulangi tindak pidana juga tidak mungkin, karena Bibit dan Chandra sudah nonaktif dari pimpinan KPK, sedangkan salah satu tindak pidana yang disangkakan yaitu penyalahgunaan wewenang hanya bisa dilakukan apabila mereka sedang menjabat suatu jabatan, dalam hal ini sebagai wakil ketua KPK. Alasan lain Polri yang tidak ada dalam KUHAP yaitu menggiring opini publik juga tidak dapat diterima, sebab memberikan keterangan-keterangan seperti dalam konferensi pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi, yaitu kebebasan berpendapat dan menyatakan pikiran. Karena penahanan ini tidak beralasan, maka timbul dimana-mana gerakan yang menuntut agar Bibit dan Chandra dibebaskan dari tahanan, mulai dari gerakan mahasiswa, LSM, sampai gerakan di dunia maya. Selain menuntut pelepasan Bibit dan Chandra, mereka juga meminta agar presiden menyelesaikan kasus ini.
Karena terus didesak oleh masyarakat, akhirnya SBY sesuai permintaan publik membentuk suatu tim pencari fakta dari kasus ini. Tim ini dibentuk pada 2 November 2009 yang dinamai Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra Hamzah dan Sdr. Bibit S. Riyanto. Tim beranggotakan delapan orang, yaitu DR. Iur. Adnan Buyung Nasution (ketua); Irjen Pol (Purn) Prof. Drs. Koesparmono Irsan (wakil ketua); Denny Indrayana, SH, LLM, PhD(sekretaris); DR Todung Mulya Lubis, SH, LLM; DR Amir Syamsuddin, SH, MH; Prof Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD; DR Anies Baswedan; dan Prof DR Komaruddin Hidayat. Tim ini sering juga disebut tim 8 dan diberi waktu dua pekan untuk memverifikasi fakta dan proses hukum kasus ini.
Sehari sesudah pembentukan tim 8, pada 3 November 2009 MK membuka rekaman penyadapan yang berisi pembicaraan mengenai rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Dalam rekaman berdurasi 4 ½ jam itu memang terlihat ada suatu skenario dari beberapa pihak untuk menghancurkan KPK. Sesudah rekaman itu diputar, maka Polri beberapa saat kemudian mengeluarkan penangguhan penahanan terhadap Bibit dan Chandra.
Tim 8 dalam melaksanakan tugasnya memanggil para pihak yang terkait seperti KPK, Jaksa Agung dan jajarannya, Civil society, pemimpin redaksi media massa, Kapolri dan jajarannya, Anggodo Widjojo, Chandra dan Bibit, Susno Duadji, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ari Muladi, Eddy Sumarsono, Antasari Azhar, Ade Raharja, Bambang Widjojanto, AH Ritonga, dan Wisnu Subroto. Setelah melakukan gelar perkara dengan pihak-pihak tadi, maka pada 17 November 2009 tim 8 menyerahkan laporan dan rekomendasi kepada SBY terkait kasus ini. Kesimpulan laporan ini adalah kasus ini dipaksakan dan bukti-buktinya lemah. Untuk itu tim 8 memberikan rekomendasi. Isi dari rekomendasi itu adalah :
1. menghentikan proses hukum terhadap Bibit dan Chandra, dengan opsi:
– kepolisian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika perkara ada di tangan kepolisian
– kejaksaan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) jika perkara sudah dilimpahkan ke kejaksaan
– jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas oportunitas Jaksa Agung dapat mendeponir perkara ini.
2. meminta presiden memberikan sanksi kepada pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam kasus yang dipaksakan
3. presiden memprioritaskan pemberantasan makelar kasus dalam semua lembaga penegak hukum
4. menuntaskan kasus terkait, seperti kasus Bank Century dan kasus pengadaan SKRT Dephut
5. presiden disarankan membentuk suatu komisi baru untuk membenahi lembaga penegak hukum.
SBY tidak serta merta menanggapi rekomendasi ini. Ia baru menyatakan sikapnya seminggu kemudian yaitu pada 23 November 2009. Dalam pidatonya secara tersirat SBY memerintahkan agar kasus ini diselesaikan di luar pengadilan, yaitu dalam bentuk SP3, SKPP, ataupun deponering.
Selama ini sudah terjadi tiga kali bolak balik pengembalian Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kejaksaan ke penyidik. Setelah tiga kali pengembalian itu, Kejaksaan pun menyatakan bahwa BAP sudah lengkap alias P21. Dengan demikian secara yuridis perkara sudah berada di tangan kejaksaan. Karena itu kejaksaan lah yang akan menutup perkara ini, sesuai perintah presiden tadi.
Opsi bagi kejaksaan untuk menutup perkara ada dua, yaitu SKPP atau deponering. Ternyata kejaksaan memilih untuk menerbitkan SKPP. SKPP dikeluarkan dengan alasan perkara ditutup demi hukum, karena perbuatan yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra adalah dalam rangka menjalankan UU, maka mereka tidak dapat dipidana (pasal 50 KUHP). Pasal ini dijadikan alasan yuridis dikeluarkannya SKPP. Dengan pasal ini berarti Bibit dan Chandra tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana kepada mereka. Dalam teori pidana hal ini disebut dengan alasan pembenar, yaitu alasan yang membenarkan suatu perbuatan pidana yang dilakukan seseorang karena alasan tertentu sehingga dia dilepaskan dari segala tuntutan. Termasuk alasan pembenar itu adalah menjalankan UU tadi. Maka dengan dikeluarkannya SKPP ini, berakhirlah segala proses hukum terhadap Bibit dan Chandra.
The End
Quote:
Cicak Vs Buaya Jilid 2 (Kriminalisasi Kasus Kompol Novel Baswedan)
Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi pada awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Pada Jumat malam 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brigade Mobile mengepung gedung KPK.
Tuduhan Bareskrim kepada Novel bukan kasus baru melainkan peristiwa yang terjadi pada 2004 atau delapan tahun sebelumnya.
Polri memberi penjelasan bahwa polisi akan menangkap Novel terkait kasus penganiayaan berat. Anehnya, kasus penganiayaan ini terjadi pada 2004 lalu.
Kadiv Humas Mabes Polri saat itu Irjen Pol Suhardi Aliyus mengatakan penyidik KPK dari Polri berinisial N terlibat kasus penganiayaan berat terhadap seseorang hingga meninggal dunia.
Sebelum Mabes polri mengumumkan Novel sebagai tersangka, sekitar pukul 20.00 WIB, puluhan polisi berseragam lengkap dan preman berdatangan secara bergelombang ke Gedung KPK. Belasan dari mereka terlihat memakai pakaian resmi Provost. Mayoritas mereka berasal dari Polda Bengkulu. Hingga pukul 24.00 WIB, sebagian dari mereka masih berada di KPK.
Saat sejumlah anggota Polri berniat menangkap Novel, ratusan aktivis antikorupsi membuat pagar betis di gedung KPK. Mereka memberikan dukungan terhadap KPK karena menduga kasus yang dituduhkan ke Novel hanya rekayasa.
Hari ini hanya berselang jam setelah Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim, aksi dukungan terhadap KPK mulai menguat. Aktivis anti korupsi siang ini berencana berkumpul di KPK di jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka memberikan dukungan untuk KPK.
Di jejaring sosial, tanda pagar (tagar) #saveKPK menjadi trending tropik. Seruan yang sama disampaikan banyak akun twitter publik figur dan para aktivis antikorupsi. Pembelaan untuk KPK terasa sangat nyata di dunia maya.
"#SaveKPK #SaveIndonesia," kicau sutradara tenar Joko Anwar.
Cara Penyelesaian oleh SBY :
Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara.
"Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru," kata SBY saat memberikan pidato di Istana Negara pada Senin, 8 Oktober 2012.
Menurut SBY, apabila KPK dan Polri bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas maka kasus cicak vs buaya jilid II tidak akan terjadi.
"Laporan yang saya terima dugaan pelanggaran hukum terhadap anggota Polri di KPK tidak terkait tugasnya sebagai penyidik KPK, tetapi terjadi 8 tahun yang lalu. Di dalam hukum semuanya harus merujuk secara baik dalam hukum dan UU yang berlaku. Jangan misalnya ada anggota Polri yang melaksanakan tugas untuk melakukan penyidikan kasus SIM tersebut, tidak boleh. Sebaliknya, ada anggota yang divonis dilihat sebagai upaya kriminilisasi KPK.
Menurut pandangan saya sangat tidak tepat kalau ada proses Komisari Polisi Novel Baswedan sekarang ini, timingnya tidak tepat dan pendekatan dan caranya juga tidak tepat. "
Pagi nya Kompol Novel Baswedan dibebaskan, dapat bertugas seperti biasanya.
Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi pada awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Pada Jumat malam 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brigade Mobile mengepung gedung KPK.
Tuduhan Bareskrim kepada Novel bukan kasus baru melainkan peristiwa yang terjadi pada 2004 atau delapan tahun sebelumnya.
Polri memberi penjelasan bahwa polisi akan menangkap Novel terkait kasus penganiayaan berat. Anehnya, kasus penganiayaan ini terjadi pada 2004 lalu.
Kadiv Humas Mabes Polri saat itu Irjen Pol Suhardi Aliyus mengatakan penyidik KPK dari Polri berinisial N terlibat kasus penganiayaan berat terhadap seseorang hingga meninggal dunia.
Sebelum Mabes polri mengumumkan Novel sebagai tersangka, sekitar pukul 20.00 WIB, puluhan polisi berseragam lengkap dan preman berdatangan secara bergelombang ke Gedung KPK. Belasan dari mereka terlihat memakai pakaian resmi Provost. Mayoritas mereka berasal dari Polda Bengkulu. Hingga pukul 24.00 WIB, sebagian dari mereka masih berada di KPK.
Saat sejumlah anggota Polri berniat menangkap Novel, ratusan aktivis antikorupsi membuat pagar betis di gedung KPK. Mereka memberikan dukungan terhadap KPK karena menduga kasus yang dituduhkan ke Novel hanya rekayasa.
Hari ini hanya berselang jam setelah Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim, aksi dukungan terhadap KPK mulai menguat. Aktivis anti korupsi siang ini berencana berkumpul di KPK di jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka memberikan dukungan untuk KPK.
Di jejaring sosial, tanda pagar (tagar) #saveKPK menjadi trending tropik. Seruan yang sama disampaikan banyak akun twitter publik figur dan para aktivis antikorupsi. Pembelaan untuk KPK terasa sangat nyata di dunia maya.
"#SaveKPK #SaveIndonesia," kicau sutradara tenar Joko Anwar.
Cara Penyelesaian oleh SBY :
Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara.
"Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru," kata SBY saat memberikan pidato di Istana Negara pada Senin, 8 Oktober 2012.
Menurut SBY, apabila KPK dan Polri bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas maka kasus cicak vs buaya jilid II tidak akan terjadi.
"Laporan yang saya terima dugaan pelanggaran hukum terhadap anggota Polri di KPK tidak terkait tugasnya sebagai penyidik KPK, tetapi terjadi 8 tahun yang lalu. Di dalam hukum semuanya harus merujuk secara baik dalam hukum dan UU yang berlaku. Jangan misalnya ada anggota Polri yang melaksanakan tugas untuk melakukan penyidikan kasus SIM tersebut, tidak boleh. Sebaliknya, ada anggota yang divonis dilihat sebagai upaya kriminilisasi KPK.
Menurut pandangan saya sangat tidak tepat kalau ada proses Komisari Polisi Novel Baswedan sekarang ini, timingnya tidak tepat dan pendekatan dan caranya juga tidak tepat. "
Pagi nya Kompol Novel Baswedan dibebaskan, dapat bertugas seperti biasanya.
Quote:
Cicak Vs Buaya Jilid 3 (Kriminalisasi Bmbang Widjayanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dinilai sebuah bentuk kesalahan yang bermula dari pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Menurut mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Purnawirawan Oegroseno kesalahan beruntun terjadi mulai dari penyaringan dan pengusulan Budi Gunawan oleh Menkopolhukam dan juga Kompolnas.
Lebih jauh lagi, Oegroseno menilai keputusan DPR untuk menerima pencalonan Budi Gunawan juga dinilai salah. Menurutnya, DPR tidak menjalankan fungsi check dan balance.
Oleh sebab itu, dia mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk segera menjaring ulang calon kapolri dengan meminta masukan dari KPK dan PPATK. Tak hanya itu, Presiden Jokowi juga sebaiknya meminta saran dari pihak yang mengerti keorganisasian Polri agar dalam waktu dekat sudah ada Kapolri definitif.
"Cek siapa yang bagus, bukan yang ada kepentingan. Kapolri itu bukan seperti Jaksa Agung. Menkopolhukam itu angkatan laut, masa tahu organisasi Polri?" tuturnya.
Perseteruan antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimulai sejak penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka penerima hibah dan gratifikasi.
Tak lama kemudian, muncul foto mesra manipulasi mirip Ketua KPK Abraham Samad dengan Puteri Indonesia 2014 Elvira Denamira. Permintaan KPK kepada saksi kepolisan, diantaranya Wakil Kepala Kepolisian Resor Jombang Sumardji, Kepala Biro Perencanaan dan Administrasi Inspektorat Pengawasan Umum Brigadir Jenderal (Purn) Heru Purwanto dan Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Andayono, tak digubris.
Hanya satu saksi yang datang memenuhi panggilan KPK, yakni pengajar di Sekolah Pimpinan Polri Inspektur Jenderal (Purn) Syahtria Sitepu. Sementara yang lainnya, mangkir dengan alasan sama: keluar kota.
KPK tak mau kalah, terus menerus melakukan penyidikan. Hingga akhirnya, pihak kepolisian mengeluarkan peluru berupa penangkapan Bambang Widjojanto dengan alibi tersangka kasus sengketa pilkada Kotawaringin Barat.
Jakarta, CNN Indonesia -- Penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dinilai sebuah bentuk kesalahan yang bermula dari pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Menurut mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Purnawirawan Oegroseno kesalahan beruntun terjadi mulai dari penyaringan dan pengusulan Budi Gunawan oleh Menkopolhukam dan juga Kompolnas.
Lebih jauh lagi, Oegroseno menilai keputusan DPR untuk menerima pencalonan Budi Gunawan juga dinilai salah. Menurutnya, DPR tidak menjalankan fungsi check dan balance.
Oleh sebab itu, dia mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk segera menjaring ulang calon kapolri dengan meminta masukan dari KPK dan PPATK. Tak hanya itu, Presiden Jokowi juga sebaiknya meminta saran dari pihak yang mengerti keorganisasian Polri agar dalam waktu dekat sudah ada Kapolri definitif.
"Cek siapa yang bagus, bukan yang ada kepentingan. Kapolri itu bukan seperti Jaksa Agung. Menkopolhukam itu angkatan laut, masa tahu organisasi Polri?" tuturnya.
Perseteruan antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimulai sejak penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka penerima hibah dan gratifikasi.
Tak lama kemudian, muncul foto mesra manipulasi mirip Ketua KPK Abraham Samad dengan Puteri Indonesia 2014 Elvira Denamira. Permintaan KPK kepada saksi kepolisan, diantaranya Wakil Kepala Kepolisian Resor Jombang Sumardji, Kepala Biro Perencanaan dan Administrasi Inspektorat Pengawasan Umum Brigadir Jenderal (Purn) Heru Purwanto dan Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Andayono, tak digubris.
Hanya satu saksi yang datang memenuhi panggilan KPK, yakni pengajar di Sekolah Pimpinan Polri Inspektur Jenderal (Purn) Syahtria Sitepu. Sementara yang lainnya, mangkir dengan alasan sama: keluar kota.
KPK tak mau kalah, terus menerus melakukan penyidikan. Hingga akhirnya, pihak kepolisian mengeluarkan peluru berupa penangkapan Bambang Widjojanto dengan alibi tersangka kasus sengketa pilkada Kotawaringin Barat.
Akankah Jokowi bisa menyelesaikan kasus ini secara berkeadilan? Atau malah tambah besar, kalau Jokowi tak segera bertindak bisa-bisa Abraham Samad pun bisa di tersangkakan, Tujuannya kan jelas, untuk melemahkan KPK. Saya setuju dengan pernyataan Effendi Ghazali, pernyataan Jokowi kemarin siang tidak tegas, malah Jokowi seperti berperan sebagai penonton, Sebagai kepala tertinggi seharunya Jokowi bisa menginstruksikan,
Jokowi hanya meminta Polri dan KPK menyelenggarakan proses hukum secara Objektif dan tanpa gesekan. Itu pernyataan yang biasa, tanpa di beritahu KPK dan Polri juga udah tahu.. Bahkan Polri mengatakan tak ada masalah dengan KPK.
tien212700 memberi reputasi
1
2.4K
Kutip
9
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan