Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

klapearAvatar border
TS
klapear
PERJALANAN DUA PULUH DUA RIBU KE BROMO
emoticon-Traveller emoticon-Traveller emoticon-Traveller

Perjalananmu adalah takdirmu, jangan biarkan orang lain yang menentukannya. Berjalanlah menurut hati dan pikiranmu.

Sedikit rasa pesimis bersarang dalam pikiran saya saat memulai mencari tumpangan ke Probolinggo dari Singosari, Malang, dengan bekal tulisan “Probolinggo. Bisa bantu nyetir” di belakang kalender bekas. Pertama kalinya dalam hidup saya mencari tumpangan gratis ke suatu tempat yang saya tidak tahu persis rutenya. Karena itu saya memutuskan untuk melakukannya paling lama 2 jam, jika tidak mendapatkan tumpangan maka akan menggunakan transportasi umum saja.

Satu jam berlalu tidak ada kendaraan yang merespon acungan jempol saya. Rasa pesimis mulai menghantui. Beberapa sopir truk melambaikan tangannya yang mungkin berarti mereka tidak ke tempat yang saya tuju. Tiba-tiba Daihatsu Grand Max hitam berhenti sekitar sepuluh meter di belakang saya. Sopirnya memberi isyarat, dan saya mendapatkan tumpangan pertama.

Toni, mahasiswa ITN Malang yang berasal dari Sorong, Papua, memberikan tumpangan pertama. Dia mengatakan di daerah asalnya sudah biasa memberi tumpangan pada orang lain, baik dikenal maupun tidak. Namun ketika dia melakukan hal yang sama di sini, memberikan tumpangan kadang dianggap sebagai sesuatu yang tidak sopan dan anggapan negatif lainnya. Saya turun di pertigaan Purwosari, walaupun tujuan kami berbeda, tumpangan dari dia sangat membantu saya karena makin mendekatkan saya dengan tujuan dan membangkitkan optimisme saya terhadap perjalanan ini.
Spoiler for Ane bareng Toni dari Sorong, Papua:

Baru saja saya ingin membentang kalender bekas untuk mencari tumpangan berikutnya, tiba-tiba motor Beat putih berhenti di depan saya. “Saya sudah melihat sampean di Malang tadi. Saya mau ke Pasuruan, nanti sampean bisa mencari tumpangan lain di sana” begitulah kata pak Agus setelah membuka kaca helmnya. Sebagai distributor kosmetik, pak Agus sering ke daerah sekitar Pasuruan sampai ke Probolinggo.

Pak Agus sangat mengejutkan saya ketika kami akan berpisah. Setelah mengucapkan terima kasih, saya menjabat tangan beliau. Dalam jabat tangannya pak Agus menyelipkan selembar uang 20 ribu. Sungguh saya terkejut menerima kebaikan yang berkali lipat dari bapak ini. Tidak ada yang bisa saya berikan untuk dia selain doa keselamatan dan kebahagiaan untuknya.
Spoiler for Pak Agus:

Saya menunggu tumpangan di jalan ke arah Probolinggo yang tadi ditunjukkan oleh pak Agus. Di depan pasar Kebon Agung saya membentangkan kalender bekas tadi. Lebih dari satu jam saya tidak melihat truk melintas ke arah Probolinggo dan mobil biasapun tidak banyak yang melintas di sana. Berbeda dengan arah sebaliknya. Ternyata jalan Panglima Sudirman tidak boleh dilewati oleh truk yang menuju ke arah Probolinggo atau ke arah timur. Karena tidak mendapatkan tumpangan saya memutuskan naik bus ke Probolinggo. Tujuh ribu menjadi pengeluaran pertama saya dalam perjalanan ini.

Di terminal Probolinggo saya sampai pada jam dua belas siang. Melanjutkan perjalanan dari Probolinggo ke Cemoro Lawang rencananya menggunakan mobil Elf dengan ongkos 35 ribu/orang jika penuh. Setelah menunggu sampai jam empat sore, hanya ada 7 calon penumpang sedangkan kapasitas mobilnya 15 orang. Jika ingin berangkat maka setiap penumpang membayar 75 ribu. Harga yang meningkat dua kali lipat membuat saya mencari alternatif tumpangan ke Cemoro Lawang.

Saya, Ulil dan Gilang teman dari forum backpackerindonesia memutuskan untuk mencari tumpangan mobil sayur ke Cemoro Lawang. Mobil pertama yang kami tanya saat mengisi bensin di pom dekat terminal Probolinggo langsung membawa kami ke Sukapura, dari sini Cemoro Lawang berjarak sekitar 18 kilometer lagi. Mas Sukur sopir L300 itu mengantarkan kami sampai pom bensin Sukapura, sekitar 2 kilometer setelah rumahnya.

Sekitar 10 menit menunggu, mobil pick up pertama yang kami tanya memberikan tumpangan sampai desa Nadas, sekitar 4 kilometer sebelum Cemoro Lawang. Dari sini kami menyewa pick up-nya yang dikendarai pak Yono untuk mengantarkan ke Cemoro Lawang dengan membayar 50 ribu untuk bertiga. 15 ribu menjadi pengeluaran kedua dan terakhir saya untuk transportasi.

Mushola di belakang pos masuk ke Bromo adalah tujuan kami sesampainya di Cemoro Lawang malam itu. Kami istirahat di sini setelah meminta ijin kepada petugas di sana sebelumnya. Jam dua malam kami bangun, setengah jam kemudian mulai jalan kaki menuju Pananjakan 2. Di tengah perjalan pemilik kuda menawari tumpangan dari harga 150 ribu sampai 50 ribu. Hanya Gilang yang mengambil tawaran itu karena sudah mulai capek. Jam empat subuh kami sampai di Pananjakan 2 untuk menunggu terbitnya matahari.

Di Pananjakan 2 kami tidak beruntung dapat menikmati keindahan terbitnya matahari. Ibu Mintasih, penjual minuman di sana meminta kami bersabar dulu, karena di sana banyak hal tidak terduga bisa terjadi, misalnya kabut bisa tiba-tiba saja naik. Saya duduk di dekat ibu Mintasih untuk menghangatkan diri dengan arang yang dia bakar. Kami bercerita mengenai keadaan di Bromo, keluarganya, pekerjaannya, dan bahasa Inggrisnya, serta perjalanan saya. Ibu Mintasih yang asli suku Tengger dan tinggal di lereng Pananjakan 1 memberi saya dan Ulil teh manis panas. Minuman yang memberikan kehangatan di tengah tiupan angin dan kabut tebal.

Dari Pananjakan 2 kami melanjutkan perjalan ke kawah Bromo. Setelah sempat nyasar ke kebun sayur untuk mencari jalan pintas, kami menumpang mobil petani sampai ke depan hotel Cemara Indah. Dari sini kami kembali berjalan kaki sekitar 15 menit menelusuri dataran pasir menuju kawah Bromo.

Keinginan mencapai puncak kawah Bromo terpenuhi dalam kabut tebal, angin kencang dan bau belerang yang menyesak. Jam sepuluh kami memutuskan kembali ke Cemoro Lawang untuk membersihkan diri dan bersiap pulang. Dari Bromo saya mendapat tumpangan sepeda motor dari Sahrul, mahasiswa Unair yang bersama teman-temannya juga berkunjung ke Bromo.

Setelah turun di Cemoro Lawang, Sahrul menawari saya tumpangan sampai ke Probolinggo karena satu arah dengan tujuannya, yaitu Surabaya. Suatu tawaran yang sangat membantu perjalanan saya, karena sebelumnya saya berencana untuk menumpang mobil sayur lagi. Saya mengendarai motornya sampai di Probolinggo. Setelah itu Sahrul melanjutkan perjalanannya dan saya mencari tumpangan selanjutnya.

Tidak sampai lima menit menunggu, truk pengangkut sepeda motor berhenti di depan saya yang mengacungkan jempol dan memegang kardus bertuliskan “Pasuruan”. Mas Rifa’i adalah sopir truk asal kota Batu yang baru pulang dari Jember memberikan bantuan selanjutnya. Menurut mas Rifa’i teman-temannya sesama sopir truk juga sering memberikan tumpangan gratis bagi para traveller yang membawa backpack dan tulisan pada kertas, kebanyakan para traveller itu adalah warga asing.

Di depan Pasar Kebon Agung saya berpisah dengan mas Rifa’i karena dia akan melanjutkan perjalanan ke Sidoarjo. Pengawai dealer motor bekas yang pada hari sebelumnya memperhatikan saya menunggu tumpangan, menanyakan kegiatan saya. Saya jelaskan lalu beliau memberi saya kardus bekas untuk dituliskan kota tujuan saya selanjutnya, Malang.

Setengah jam berlalu saya mengacungkan jempol dan memegang kardus bertuliskan “Malang/ Purwosari”. Keringat membasahi badan dan wajah saya. Tepat jam 2 siang, Honda Jazz warna keemasan berhenti di belakang saya. Mobil itu dikendarai oleh bapak Dian Candra, anggota Sabara Polres Pasuruan. Beliau dalam perjalanan Pasuran-Malang ke tempat orang tuanya memberikan tumpangan berikutnya. Bapak Dian yang akan menikah pada 14 Februari nanti bercerita kalau beliau juga sering memberikan tumpangan bagi orang lain.
Spoiler for Bapak Dian Candra:

Dari perjalanan ini saya menyadari bahwa banyak sekali kemudahan dan bantuan yang saya terima dari orang-orang di atas. Status, profesi, suku, agama, dan segala identitas lainnya tidak menjadi batasan dalam berbuat baik. Mungkin ada keraguan pada sikap cuek yang menjangkiti masyarakat pada masa sekarang, namun orang-orang di atas membuktikan kalau mereka bukanlah bagian dari masyarakat itu. Toni, mas Rifa’i, bapak Dian adalah orang-orang yang sudah sering memberikan tumpangan kepada orang lain sebelum saya. Saya yakin pada waktu mendatang mereka masih akan melakukan hal yang sama. Satu lagi keyakinan saya adalah, masih banyak Toni, mas Rifa’i dan bapak Dian lainnya di Indonesia ini.

Sebagai perbandingan ane kasih estimasi biaya normal untuk transportasi dan penginapan ke Bromo:
Bus Malang-Probolinggo: 35 ribu
Probolinggo-Cemoro Lawang: 35 ribu (Kalau bus penuh = 15 orang)
Home stay: 150 ribu/Kamar: 3 orang= 50 ribu
Jeep: 75-150 ribu/ orang
Cemoro Lawang-Probolinggo: 35 ribu (Kalau penuh)
Probolinggo-Malang: 35 ribu
TOTAL: 35+35+50+35+35= 190 ribu + biaya Jeep

Cek cerita lainnya dimari gan
Spoiler for Blog ane:
Diubah oleh klapear 14-05-2015 08:34
0
4.3K
30
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan