Jakarta, GATRAnews - Negara regional ASEAN akan memberlakukan kebijakan Open Sky 2015, sehingga penerbangan negara ASEAN bebas mengudara di langit Indonesia. Menghadapi kebijakan tersebut, industri penerbangan Indonesia dikhawatirkan kalah bersaing akibat industri penerbangan dalam negeri tertinggal dibandingkan negara ASEAN lain.

"Sekarang saja sudah masuk penerbangan asing seperti Air Asia dan Tiger Air. Ketika Open Sky nanti bahkan Filipina akan masuk untuk penerbangan kecil," kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia, Danang Parikesit saat diwawancarai GATRAnews di Jakarta, Rabu (17/9).

Menurut Danang terdapat beberapa hambatan pada industri penerbangan nasional. Ia menilai tingginya harga bahan bakar avtur membuat biaya operasi penerbangan semakin tinggi. "Harga avtur Indonesia lebih mahal 45% dibandingkan negara ASEAN lain," kata Danang.

Ia juga mengatakan pemerintah bersama Pertamina sebagai produsen avtur perlu melakukan efesiensi produksi avtur. "Perlu kerja sama dengan pemerintah bersama pertamina agar avtur untuk penerbangan murah," kata Danang.

Kondisi rupiah yang tidak stabil juga memengaruhi membengkaknya hutang dari perusahaan penerbangan. Menurut Danang, utang perusahaan penerbangan banyak didapat dalam bentuk dolar sehingga saat terjadi tekanan terhadap rupiah dapat meningkatkan biaya hutang. "Pinjamannya dalam dolar tetapi penghasilannya rupiah," kata Danang.

Ia mengatakan untuk mengatasi kondisi tersebut, regulator perlu meminta perusahaan penerbangan melakukan lindung nilai. "Perusahaan penerbangan dapat melakukan hedging," kata Danang. Selain itu, pemerintah perlu melakukan kebijakan pengurangan biaya masuk bagi komponen pesawat. "Biaya masuknya bisa 0%. Perlu uji coba 3 bulan supaya bisa diketahui kalau ada yang perlu diperbaiki," kata Danang.
Penulis: JNR
Editor: Nur Hidayat