bioskopweddingAvatar border
TS
bioskopwedding
Bila Muslim AS Salat Jumat di Gereja Katedral


am - Suara azan itu mengalun merdu. Menggema ke seluruh ruangan. Puluhan orang duduk, terdiam di hamparan permadani. Khusyuk menyimak panggilan salat sang muazin: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha Illallah...”

Orang-orang yang duduk berderet itu langsung berdiri. Berjajar tujuh saf. Empat barisan depan diisi kaum lelaki. Tiga baris perempuan berhijab berada di bagian belakang. Kaum Muslim Amerika Serikat itu tengah melaksanakan Salat Jumat.

Namun, ada yang beda kala itu. Tempat salat kali ini tak biasa. Bukan musala. Bukan pula masjid raya. Salat Jumat pada 14 November 2014 itu mereka helat di gereja Negeri Paman Sam. Di Gereja Katedral Nasional Washington. Tempat ibadah terkemuka umat Kristiani.

Di depan bangku-bangku jemaat gereja itu, karpet salat dibentangkan. Dipasang menyamping. Menghadap ke salah satu sudut gereja. Lurus arah ke Mekah. Umat Muslim pun dipastikan tak melihat mimbar, salib, maupun ikon Kristen lainnya. Sehingga bisa salat dengan khusyuk.

Salat Jumat di Katedral Nasional Washington ini ditujukan sebagai simbol toleransi, koeksistensi, dan berbagi untuk kemanusiaan. Ide ini digagas Direktur Kerja Sama Katedral, Pendeta Gina Gilland Campbell, dan Duta Besar Afrika Selatan, Ebrahim Rasool. Ide ini muncul saat keduanya menyelenggarakan upacara peringatan lintas agama untuk Nelson Mandela pada tahun silam.

“Ibadah ini menandai sebuah momen bersejarah. Ibadah ini melambangkan harapan besar bagi masyarakat kami, seperti bagaimana kita mengenal satu sama lain,” tutur Campbell sebagaimana dikutip dari Washington Post, Sabtu 20 Desember 2014.

Hubungan antarumat beragama di Amerika memang sangat mengkhawatirkan dalam satu dekade belakangan. Toleransi di negeri adidaya itu koyak setelah insiden pengeboman menara kembar World Trade Center di New York. Kelompok Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden mengaku bertanggung jawab atas serangan yang menewaskan hampir tiga ribu manusia itu.

Setelah tragedi 11 September 2001 itu, hidup warga Amerika penuh prasangka. Islamphobia atau kecurigaan terhadap kaum Muslim merebak. Umat Islam Amerika yang jumlahnya sekitar delapan juta hidup pengawasan ketat. Mereka semakin tersudut.

Kegiatan salat di gereja ini menjadi salah satu sarana membangun kembali kerukunan antarumat beragama di Amerika Serikat. “Jembatan lain telah dibangun dan hanya ada sedikit ruang untuk kebencian dan prasangka di antara kami,” tambah dia.

Dan Jumat siang itu, toleransi kembali dirajut. Warga Muslim di Washington yang diundang melenggang tenang ke dalam Gereja Katedral. Masuk ke tempat ibadah itu dengan damai. Melintasi bangku-bangku kosong yang selalu padat pada ibadah Minggu. Mereka melepas jaket dan sepatu. Melaju hingga ke depan. Tempat karpet salat digelar.

Sebagian umat Muslim yang datang ada yang menyempatkan diri berkeliling Katedral. Mereka mengagumi keindahan arsitektur tempat ibadah yang diresmikan pada tahun 1990 itu. Ada pula yang berfoto, mengabadikan momen bersejarah itu dengan kamera telepon seluler.

“Sebagai anggota dari komunitas Muslim Amerika, saya telah menyaksikan banyak peristiwa yang terjadi dalam hidup saya. Ini menandakan menguatnya hubungan masyarakat,” ujar Raula Allouch, Kepala Badan Hubungan Islam Amerika.

***

Dalam khutbahnya, Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika, Ebrahim Rasool, menekankan pentingnya hidup damai, berdampingan dengan umat agama lain. Salat Jumat ini menjadi contoh nyata bagaimana umat Kristiani memperkenankan kaum Muslim mengingat, memuja, dan berdoa, kepada Tuhan dalam gereja mereka.

“Kita berkumpul untuk mengingat Allah untuk menjawab panggilan (azan) yang terdengar di Katedral Kristen. Kami menanggapi kebaikan Gereja Episkopal dan energi dan visi Pendeta Canon Gina Campbell, yang didasarkan pada keyakinannya, berkomitmen untuk agamanya, tapi penuh dengan sensitifitas untuk orang-orang dari semua agama,” kata Rasool.


“Kita datang ke Katedral ini dengan sensitifitas dan kerendahan hati, tetapi sangat menyadari bahwa ini bukan waktunya untuk berkata klise, karena kejahatan tengah mengancam dunia,” tambah dia.

Dalam ceramah itu, Rasool juga mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok militan di Timur Tengah, yang dengan brutal membunuh umat Kristen dengan mengatasnamakan agama. Dia mengimbau agar umat Muslim ikut menghentikan aksi kekerasan itu. “Jika kita tidak menghentikan aksi mereka di biara-biara, mereka akan melakukan kekerasan di masjid-masjid,” tutur dia.

Tak hanya mengecam aksi terorisme. Rasool juga meminta umat Muslim mengkritisi kebijakan pemerintah yang mendiskreditkan Islam. “[Muslim] Ditantang untuk menemukan konsistensi antara mengutuk kekerasan yang mengatasnamakan Islam dan memprotes kesalahan negara dan pemerintah kita,” kata dia.

Dalam khutbah Jumat itu pula, Rasool mengaku kecewa karena tidak bisa menjamin kebebasan agama lain untuk beribadah di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim. “[Kaum Muslim Amerika] Harus mengelola kekecewaan karena di saat kita mencari kebebasan beribadah [di AS], kita tidak bisa menjamin hak umat Kristen untuk beribadah di negara mayoritas Muslim.”

Setelah khutbah, sikap saling menghormati antarumat beragama terlihat jelas. Saat kaum Muslim mulai melaksanakan salat, seluruh perwakilan agama lain yang diundang turut berdiri di belakang. Mereka tetap berdiri saat kaum Muslim melakukan gerakan rukuk dan juga sujud. Sebuah pemandangan yang sangat menyejukkan.

***

Salat Jumat ini merupakan yang pertama digelar di Katedral Nasional Washington. Kegiatan ini diselenggarakan oleh sejumlah organisasi Muslim terkemuka di Amerika, seperti ISNA (Islamic Society of North America), CAIR (Dewan Hubungan Islam Amerika), dan MPAC (Muslim Public Affairs Council), yang didukung oleh komunitas Muslim setempat, the All Dulles Area Muslim Society dan Masjid Muhammad.

Namun sejatinya, gereja ini telah berulang kali menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara untuk meningkatkan toleransi antarumat beragama. “Kami telah melaksanakan banyak kegiatan di sini. Pada 2008, kami melaksanakan buka puasa bersama pada bulan Ramadan. Namun, hari ini, untuk pertama kalinya kami melaksanakan Salat Jumat di sini untuk kebebasan beragama,” tutur Rizwan Jaka, anggota the All Dulles Area Muslim Society.

Kegiatan Salat Jumat ini diharapkan bukan menjadi acara terakhir yang digelar untuk memupuk toleransi antarumat beragama. Ada harapan akan ada lebih banyak lagi kegiatan serupa. “Mudah-mudahan, selain kegiatan ini akan ada beberapa kegiatan kerja sama yang lain,” kata Pendeta Canon Gita Campbell.

Meski demikian, niat baik belum tentu mendapat tanggapan baik. Di tengah acara menjalin kerukunan itu, seorang perempuan menyeruak, menyerukan protes, melarang kaum Muslim menggelar salat Jumat. Di dunia maya, juga muncul banyak perdebatan terkait kegiatan ini.

Tapi, kelompok-kelompok yang ingin membangun toleransi ini tidak akan berhenti. “Ini merupakan momen dramatis di dunia dan dalam hubungan Muslim dan Kristiani,” ujar Rasool.

Salat Jumat di Katedral Nasional Washington itu menunjukkan indahnya toleransi. Perbedaan keyakinan tak harus diwujudkan dalam bentuk kekerasan. Hidup bersama secara damai dalam perbedaan itu nyatanya jauh lebih indah. Seperti indahnya suara azan Salat Jumat yang bergema di dalam gereja itu… (eh)

sumber :
http://www.dream.co.id/dinar/bila-mu...l-1412222.html
0
3.2K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan