- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Figur polisi teladan yang dirindukan masyarakat


TS
rajorjorjor
Figur polisi teladan yang dirindukan masyarakat

Bantu di rate ya gan

"Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng” - Alm. Gus Dur
Gak selamanya yang namanya polisi itu punya imej yg kurang sreg di masyarakat. seorang polisi harusnya menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya. nah berikut ini adalah mereka yang bisa disebut sebagai polisi teladan
Spoiler for Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (7 Juni 1908 - 24 Agustus 1993):

Catatan sejarah sering menuliskannya dengan sebutan akrab RS Soekanto, seorang yang dikenal pula sebagai Bapak Kepolisian Republik Indonesia. RS Soekanto lahir di Kampung Sawah, Bogor, tanggal 7 Juni 1908. Dari namanya saja sudah tersirat keturunan ningrat atau tepatnya putera dari seorang priayi yang cukup terpandang. Tidak seperti kebanyakan anak keturunan ningrat, Soekanto lebih memilih untuk masuk ke Sekolah Aspiran Komisaris Polisi. Paska kemerdekaan, Presiden Soekarno memberikan kepercayaan kepada Soekanto untuk segera membentuk lembaga Kepolisian Negara di mana Soekanto sendiri ditunjuk sebagai Kepala Djawatan Kepolisian Negara (sekarang bernama Polri) selama periode 29 September 1945 hingga 14 Desember 1959.
Tidak seperti kebanyakan mantan petinggi polisi, selepas pengunduran dirinya di tahun 1959, Soekanto kembali ke tugas kepolisian. Beliau terlahir sebagai anak orang berada dan terhubung ke jajaran keluar ningrat. Tidak begitu sulit bagi Soekanto apabila mau memanfaatkan gelar ningratnya untuk mencari tambahan pendapatan. Apalagi dengan mengetahui reputasinya sebagai mantan petinggi polisi dan pimpinan polisi pertama yang ditunjuk oleh Soekarno, tentu akan semakin dimudahkan untuk mencari peluang melakukan KKN. Dari sejumlah sumber yang belum bisa diklarifikasikan, di akhir hayatnya, Soekanto hidup sederhana di sebuah rumah yang setara dengan rumah dinas perwira menengah di masa itu. Ada yang menyebutkan rumah tersebut adalah rumah kontrakan, tetapi ada pula yang mengatakan rumah terakhir yang ditempatinya tidak begitu besar.
Spoiler for Mohammad Jasin (1920 - 3 Mei 2012):

Beliau dikenal sebagai Bapak Brigade Mobil (Brimob) Polri dan sekaligus menjadi komandan Brimob yang pertama dibentuk pada tahun 1946. Termasuk salah satu petinggi Polri dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi. Putera kelahiran Sulawesi ini turut berjasa selama masa transisi kemerdekaan, mulai dari keterlibatannya pada 10 November 1945 hingga perlawanan Agresi Militer Belanda dan penumpasan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, serta berbagai operasi penumpasan pemberontakan di tanah air. Dari sederet reputasinya, termasuk jabatan yang pernah disandang, Mohammad Jasin ternyata menyimpan sejumlah kisah yang patut untuk diteladani.
Kisahnya bermula dan berbarengan dengan Peristiwa 10 November 1945 di mana situasi cukup memanas setelah terjadinya persaingan di antara pucuk pimpinan TKR di Surabaya. Perilaku mereka diibaratkan seperti 'Warlord' yang saling bersaing dengan pimpinan TKR lainnya untuk berebut pengaruh dan kekuasaan. Salah satu di antaranya adalah Mayor Sabaruddin, Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR). Perilaku Mayor Sabaruddin dianggap telah melampaui batas setelah menculik Mayor Jenderal Mohammad, seorang petinggi TKR di Surabaya. Mayor Sabaruddin tidak hanya melakukan pembasmian terhadap pesaing-pesaingnya, melainkan melakukan perampasan pula, termasuk perampasan atas benda-benda yang seharusnya menjadi milik negara.
Singkat kata, Pimpinan Markas Besar Angkatan Perang, yaitu Jenderal Soedirman menugaskan Inspektur Polisi Jasin untuk melucuti pasukan Sabaruddin dan menangkapnya. Inspektur Polisi Jasin pada masa itu menjabat sebagai Komandan P3 atau Pasukan Polisi Perjuangan yang sekarang ini disebut Brigade Mobil. Setelah mendapatkan kartu perintah dari Jenderal Soedirman, Inspektur Polisi Jasin pun memobilisasi pasukannya di Surabaya untuk menangkap Mayor Sabaruddin. Dalam penangkapan tersebut ditemukan sejumlah empat karung penuh yang berisi emas batangan, perhiasan, dan berlian. Benda-benda tersebut diperkirakan dirampas oleh Sabaruddin dari kamp-kamp tahanan Eropa yang masih tersisa sejak ditinggalkan oleh Jepang. Menurut cerita, tidak ada satupun di antara benda-benda berharga tadi yang dikutip oleh Jasin. Padahal perintah Soedirman hanya meminta untuk melucuti persenjataan dan menangkap komplotan Mayor Sabaruddin, bukan termasuk mengumpulkan barang-barang bukti hasil kejahatan.
Kisah tentang Inspektur Polisi Jasin di Surabaya 1945 di atas disadur berdasarkan buku “Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia” yang ditulis oleh Ridwan Jasin, terbitan Gramedia edisi tahun 2010.
Spoiler for Inspektur Polisi I Anwar Maksoem (1920 - 12 Februari 2009):
Tidak banyak yang mengetahui kiprah, kisah, dan sejarah hidup salah satu putera terbaik asal Sumatera Barat. Anwar Maksoem dikenal kekayaannya tidak bertambah setelah selama 7 tahun lamanya menjabat sebagai Walikota Bukittinggi (1960-1966). Kiprahnya di Kepolisian RI tidak bisa dipandang sebelah mata dalam konteks sejarah kepolisian RI maupun sejarah nasional. Sebelum kemerdekaan RI, Anwar Maksoem bahkan sudah pernah menjabat sebagai Komandan Polisi pada tahun 1943. Kemudian pernah pula menjabat sebagai Camat Militer di Lubukbegalung di tahun 1949, Wakil Direktur SPN Sabang (1951-1953), Wakil Kepala Reserse Kodak III Sumatera Utara, dan Wakil Kepala Polisi di Sibolga (1955-1959) (Padang-Today.Com, Jumat, 13 Februari 2009, 15.43).
Petikan kisah yang diulas oleh Merdeka.Com menyebutkan betapa miris kondisi ekonomi Anwar Maksum setelah tidak lagi menjabat sebagai Walikota. Seorang senior kepolisian, lalu pernah menjabat posisi sebagai pejabat publik, tetapi Anwar Maksoem hidup dalam kekurangan. Kisah tersebut diceritakan oleh anak buahnya yang pernah dimintakan uang untuk membeli rokok. Bisa dibayangkan, seorang inspektur polisi dan senior bisa tidak punya uang untuk hanya membeli sebatang rokok. Ketika itu, Anwar Maksoem meminjam uang ke anak buahnya yang bernama Ahmadsjah yang sehari-hari bertugas sebagai pegawai sipil di Polda Sumbar. Petikan percakapannya dituliskan sebagai berikut
"Mad ada uang Rp 25? Bapak pinjam dulu," kata Anwar.
Ahmadsjah menyangka bosnya bercanda. Masak seorang perwira, mantan Wali Kota mau pinjam uang Rp 25 untuk beli rokok? "Bapak becanda ya?" balas Ahmad.
Anwar menggeleng. "Tidak, bapak benar-benar tidak punya uang," akunya.
Maka Ahmad pun memberikan pinjaman Rp 25 dengan hati bingung. Tapi Inspektur Anwar cuek saja. Dia menikmati rokoknya dengan nikmat.
Sungguh miris bukan? Selepas tidak menjabat sebagai polisi, harta satu-satunya yang paling berharga mungkin cuma tanda pangkat (balok emas) yang ternyata sudah dijual. Uangnya pun sudah habis untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Kisah ini dicertakan oleh Jenderal Polisi Kaharoedin dalam bukunya “Gubernur di Tengah Pergolakan” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1998). Uang Rp 25 di masa itu untuk membeli rokok satu batang mungkin setara dengan nilai Rp 1.000 saat ini. Bisa dibayangkan, seorang mantan petinggi polisi itu bahkan pernah tidak punya uang sepeser pun di kantongnya. Sangat bertolak belakang dengan pernyataan Wakapolri Nana Sukarna yang mengeluh gaji polisi yang kecil (Kompas, Kamis, 11 Oktober 2012, 16.28). Sebagai mantan pejabat daerah tentunya sosok Anwar Maksoem pun bertolak belakang dengan kebanyakan pejabat, bahkan mungkin rata-rata kepala daerah sekarang ini yang hidup di atas kemapanan ekonomi.
Anwar Maksoem sejatinya adalah seorang polisi, abdi Bhayangkara sejati hingga akhir hayatnya. Sangat disayangkan, berita tentang kepulangannya tidak diekspos secara meluas oleh media, bahkan oleh pemerintah pusat di ibukota. Ironisnya, Google tidak menemukan satu pun foto dari Anwar Maksoem. Polri seharusnya memajang tokoh-tokohnya sendiri untuk disebarluaskan ke masyarakat sebagai wujud penganyomannya kepada masyarakat.
Petikan kisah yang diulas oleh Merdeka.Com menyebutkan betapa miris kondisi ekonomi Anwar Maksum setelah tidak lagi menjabat sebagai Walikota. Seorang senior kepolisian, lalu pernah menjabat posisi sebagai pejabat publik, tetapi Anwar Maksoem hidup dalam kekurangan. Kisah tersebut diceritakan oleh anak buahnya yang pernah dimintakan uang untuk membeli rokok. Bisa dibayangkan, seorang inspektur polisi dan senior bisa tidak punya uang untuk hanya membeli sebatang rokok. Ketika itu, Anwar Maksoem meminjam uang ke anak buahnya yang bernama Ahmadsjah yang sehari-hari bertugas sebagai pegawai sipil di Polda Sumbar. Petikan percakapannya dituliskan sebagai berikut
"Mad ada uang Rp 25? Bapak pinjam dulu," kata Anwar.
Ahmadsjah menyangka bosnya bercanda. Masak seorang perwira, mantan Wali Kota mau pinjam uang Rp 25 untuk beli rokok? "Bapak becanda ya?" balas Ahmad.
Anwar menggeleng. "Tidak, bapak benar-benar tidak punya uang," akunya.
Maka Ahmad pun memberikan pinjaman Rp 25 dengan hati bingung. Tapi Inspektur Anwar cuek saja. Dia menikmati rokoknya dengan nikmat.
Sungguh miris bukan? Selepas tidak menjabat sebagai polisi, harta satu-satunya yang paling berharga mungkin cuma tanda pangkat (balok emas) yang ternyata sudah dijual. Uangnya pun sudah habis untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Kisah ini dicertakan oleh Jenderal Polisi Kaharoedin dalam bukunya “Gubernur di Tengah Pergolakan” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1998). Uang Rp 25 di masa itu untuk membeli rokok satu batang mungkin setara dengan nilai Rp 1.000 saat ini. Bisa dibayangkan, seorang mantan petinggi polisi itu bahkan pernah tidak punya uang sepeser pun di kantongnya. Sangat bertolak belakang dengan pernyataan Wakapolri Nana Sukarna yang mengeluh gaji polisi yang kecil (Kompas, Kamis, 11 Oktober 2012, 16.28). Sebagai mantan pejabat daerah tentunya sosok Anwar Maksoem pun bertolak belakang dengan kebanyakan pejabat, bahkan mungkin rata-rata kepala daerah sekarang ini yang hidup di atas kemapanan ekonomi.
Anwar Maksoem sejatinya adalah seorang polisi, abdi Bhayangkara sejati hingga akhir hayatnya. Sangat disayangkan, berita tentang kepulangannya tidak diekspos secara meluas oleh media, bahkan oleh pemerintah pusat di ibukota. Ironisnya, Google tidak menemukan satu pun foto dari Anwar Maksoem. Polri seharusnya memajang tokoh-tokohnya sendiri untuk disebarluaskan ke masyarakat sebagai wujud penganyomannya kepada masyarakat.
Spoiler for Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (17 Januari 1906 - 1 April 1981):

Satu lagi kisah dari putera Minang (Sumatera Barat) yang layak untuk menjadi teladan tentang karakter kejujuran dan kesederahaan dalam memberantas perilaku korup. Sama halnya dengan Anwar Maksoem, Kaharoedin Datuk Rangkayo Basa pernah pula menjabat sebagai kepala daerah, yaitu Gubernur Sumatera Barat selama periode 1958-1965, serta sekaligus menjadi gubernur pertama di Sumatera Barat. Kiprahnya di kepolisian sudah dimulai sejak menjabat Asisten Demang dan Kepala Kepolisian lokal sebelum masa kemerdekaan di tahun 1926. Kiprah dan jasanya yang tidak bisa diabaikan adalah keteguhan dan keberaniannya ketika menghadapi tekanan dari PRRI Sumatera Barat yang memberontak ke NKRI.
Kisah berikut ini disadur oleh Merdeka.Com (11 September 2012, 06.33) tentang kejadian ketika menerima kotak roti berisi uang. Kaharoedin ditemui oleh rekanan pemprov yang datang mengunjungi kantor Kaharoedin. Dengan sengaja, pengusaha tadi meninggalkan sebuah kotak roti berisi uang. Ternyata setelah diperiksa oleh Kaharoedin, isinya uang. Beliau pun spontan langsung memanggil ajudannya, lalu diucapkan, “Kembalikan uang ini pada pengusaha yang menemui saya tadi. Bilang kalau mau menyumbang bukan sama gubernur, tapi ke jawatan sosial," kata Kaharoeddin tegas. Kisah ini dikutib dari bukunya berjudul “Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan” yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1998.
Ketika menikahkan anaknya, beliau dengan tegas menolak menggunakan fasilitas milik gubernuran. Selama hidupnya, anak-anak dan keluarganya pun tidak ada yang boleh naik mobil dinas untuk keperluan pribadi.
Ketika pernikahan anaknya itu pula, Kaharoedin meminta untuk tidak mengundang kalangan pengusaha. Beliau sangat paham celah-celah masuk seperti ini akan menjebak dirinya. Itu berarti tamu undangannya cuma kalangan keluarga, kerabat, dan teman-teman di kepolisian. Acara pernikahannya itu pun sangat sederhana dengan membatasi tamu untuk menyesuaikan biaya pernikahan.
Sosok Kaharoedin memang dikenal cukup keras dan tidak mengenal sedikitpun kompromi apalagi sikap transaksional. Selama menjabat di Kepolisian, Kaharoedin melarang keras polisi berpakaian dinas nongkrong di kafe ataupun restoran, serta tempat-tempat umum. Menurut Kaharoeddin, hal ini bisa disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Karena itu pula Mariah, istri Kaharoeddin, berkisah dirinya sering mengantarkan makan siang untuk makanan suaminya di kantor. Walau sudah menjadi istri gubernur, Mariah tetap mencucikan pakaian dan memasak untuk suaminya. Sangat bertolak belakang dengan perilaku kebanyakan polisi di masa sekarang yang tidak malu-malu mendapatkan voucher atau sekedar makan gratis, bahkan di Singapura beserta keluarganya.
Ada pula dikisahkan tentang amanah untuk mengelola uang negara yang dititipkan kepadanya di masa pergolakan politik di Sumatera Barat. Ketika itu, menjelang akhir 1950, situasi politik di Sumatera Barat semakin memanas, hingga mencapai puncaknya setelah sejumlah tokoh masyarakat, polisi, dan militer bergabung untuk mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pergolakan politik tersebut tidak lain dipicu oleh ketidakpuasan terhadap sikap politik Presiden Soekarno terhadap sejumlah tokoh-tokoh asal Sumatera Barat, terutama yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin Prawiranegara. Sekalipun demikian, Kaharoeddin yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Polisi Sumatera Tengah tetap tidak bergeming untuk pertahankan loyalitasnya kepada NKRI.
Selaku Komandan Polisi Sumatera Tengah, Kaharoedin mendapatkan kunjungan dari Wakil Komandan Brimob Kepolisian Negara, Kombes Sutjipto Judodihardjo. Kedatangannya tidak lain untuk menyerahkan sejumlah uang operasional untuk menghadapi situasi genting di Sumatera Tengah sebesar Rp 5 juta. Sesuai dengan amanah yang diberikan, Kaharoedin pun membagikan secara merata ke seluruh kepolisian tingkat Kabupaten/Kota serta kecamatan, hingga akhirnya tersisa Rp 3,2 juta. Sekedar informasi, gaji Kaharoedin sebagai Komandan Polisi Sumatera Tengah (setara dengan Kapolda) di masa itu sebesar Rp 1.230. Artinya, sisa uang Rp 3,2 juta tadi setara dengan gaji 2.601 kapolda. Apabila menggunakan acuan gaji kapolda saat ini sebesar Rp 10 juta, maka sisa uang tadi setara dengan uang sebanyak Rp 26,01 miliar. Mengetahui masih ada sisa uang, Kaharoedin bertekad untuk menjaganya sebaik mungkin, serta hanya digunakan untuk keperluan operasional yang sangat mendesak.
Di masa pergolakan tadi, Kaharoedin bergabung dengan pasukan TNI-AD yang masih loyal dengan NKRI. Kekuatan personila yang tersisa dari Kepolisian Negara dan TNI di Sumatera Barat tidak lagi mampu membendung kekuatan PRRI yang ditopang persenjataan yang lebih moderen. Satu ketika, sempat seorang komandan pasukan TNI-AD hendak meminjam uang untuk keperluan pasukannya, tetapi tidak dikabulkan. Sikapnya yang keras tadi membuatnya cukup was-was, sehingga Kaharoedin meminta tolong kepada istrinya, Mariah untuk menjaga uang sebanyak Rp 3,2 juta. Uang itu pun tetap utuh ketika Kaharoedin mengambilnya kembali. Setelah Sumatera Tengah dan Bukittinggi berhasil dikuasai oleh pasukan republik, uang sisa tadi kemudian diserahkan kepada penggantinya, Kombes Soewarno, lengkap dengan segala tanda terima atas penggunaannya.
Agar pembaca mengetahui, dalam hukum perang tidak ada dikenal istilah pertanggungjawaban penggunaan dana. Apabila komandan di atasnya telah menitipkan dana sebesar sekian, maka angka sekian tadi yang akan dipertanggungjawabkan melalui operasi yang didanai. Bandingkan dengan perilaku perwira tinggi kepolisian dan militer yang cenderung menghambur-hamburkan uang untuk pembelian alat, senjata, ataupun operasional. Mereka lebih senang me-markup sebesar-besarnya, ketimbang nanti ketahuan akan meminta tambahan. Sungguh bertolak belakang dengan keteladanan yang diperlihatkan oleh Kaharoedin.
Kaharoedin dikenal dengan prinsipnya, “Datang dengan satu tas, pulang juga dengan satu tas”. Prinsip tersebut diterapkan benar selama hidupnya menjabat di segala lini jabatan kepolisian, hingga akhirnya menjadi Gubernur Sumatera Barat. Dalam bukunya disebutkan, jabatan bukan untuk memperkaya diri. Maka Kaharoeddin pun mengembalikan seluruh fasilitasnya. Termasuk perabotan rumah dinasnya. Termasuk mobil dinas berplat BA 1. Kaharoeddin memang tegas memisahkan urusan dinas dan urusan pribadi. Hampir tak pernah dia menggunakan fasilitas dinas untuk keperluan pribadi.
Hingga akhir hayatnya, Kaharoeddin tak punya rumah pribadi. Dari dulu, Kaharoeddin menempati rumah dinas polisi di Jl Tan Malaka, Kota Padang. Saat menjabat gubernur, Kaharoeddin memilih tetap tinggal di rumah yang tidak seberapa besar itu. Ketika hendak diberi rumah oleh Pemprov, dia menolak mentah-mentah. Begitu juga ketika polisi menawarinya sebuah rumah. Kembali dia menolak. Beliau sempat punya sepetak lahan (tanah), tetapi sdah habis dijual untuk mengongkosi keperluan haji bersama istrinya.
Spoiler for Hoegeng Imam Santoso (9 Mei 1968 - 2 Oktober 1971):

Kisah mengenai keteladanan Hoegeng selama menjabat di Kepolisian hingga akhir hayatnya dituliskan ke dalam buku, “Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyamanan” yang ditulis oleh Abrar Yusra dan Ramadhan KH (diterbitkan Pustaka Sinar Harapan). Satu ketika, seseorang sempat menyindirnya dengan kabar burung (gosip), apabila Hoegeng punya Mercy baru. Hoegeng dengan tegas langsung bereaksi, “Jangan macam-macam. Saya tak punya Mercedez, bahkan tak punya mobil pribadi. Tak mampu beli!”, tegas Hoegeng. Faktanya memang demikian, Hoegeng hingga akhir hayatnya bahkan tidak memiliki mobil pribadi. Jabatan bukanlah menjadi kesempatan untuk menambahkan pundi-pundi kekayaan, tetapi menjadi sebuah pengabdian. Sungguh bertolak belakang dengan perwira-perwira polisi saat ini yang sudah memiliki sendiri mobil pribadi, bahkan mobil mewah dengan jumlah lebih dari satu unit.
Sejak awal kemerdekaan, jawatan imigrasi dikenal sebagai sarang korupsi dan penyelundupan. Itulah alasan Presiden Soekarno mengkaryakan Hoegeng di posisi tersebut. Benar saja, Hoegeng tak memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk kekayaan. Padahal imigrasi dikenal sebagai 'lahan basah' bagi para PNS untuk memperkaya diri. Semasa dikaryakan sebagai kepala jawatan Imigrasi, Hoegeng masih tetap mengenakan seragam polisi. Dia hanya mau mengambil gajinya dari kepolisian. Gaji dan tunjangan sebagai kepala jawatan imigrasi tak disentuh. Padahal, kondisi ekonomi di masa itu merupakan masa-masa sulit.
Mengenai kejujurannya, Presiden Soekarno pun mengakuinya. Bangsa Indonesia di masa itu cukup beruntung memiliki putera bangsa seperti Hoegeng Imam Santoso. Pada tahu 1965, Hoegeng berhenti menjabat kepala jawatan imigrasi. Dia diangkat menjadi menteri iuran negara (kini disebut bea dan cukai). Di sinilah Hoegeng membongkar kasus penyelundupan tekstil besar-besaran. Tahun 1966, setelah bertugas di luar Polri selama enam tahun, Hoegeng kembali ke Korps Bhayangkara. Dia menjabat Wakapolri yang pada saat itu bernama Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Tahun 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri. Lagi-lagi dia masih mempertahankan gaya sederhananya. Hoegeng menolak mobil dinas sedan mewah dan memilih jip.
Selepas tidak menjabat lagi sebagai Kapolri, Hoegeng masih terlihat aktif memberikan perhatian kepada Polri. Sebagai sosok polisi yang paling dihormati di masa itu, Hoegeng seringkali mendapati laporan dari tokoh masyarakat tentang perilaku personil kepolisian. Puncaknya di tahun 1977, Hoegeng mendapat informasi dari seorang perwira menengah polisi berdinas sebagai provos tentang dugaan tindakan korupsi sejumlah perwira tinggi polisi di bagian jawatan keuangan. Setelah melakukan investigasi, Hoegeng segera menulis sebuah memo pribadi kepada Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Widodo Budidarmo, isinya, Hoegeng mengkritik habis-habisan perilaku polisi bergaya hidup mewah. Dalam memo tersebut dituliskan:
"Wid, sekarang ini kok polisi sudah kaya-kaya, sampai-sampai sudah ada yang punya rumah mewah di Kemang. Dari mana duitnya itu," tanya Hoegeng kepada Widodo dalam memo.
Karena tidak mendapatkan respon baik dari kapolri, Hoegeng mengambil langkah tegas untuk membongkar kasus itu. Hoegeng sengaja membocorkan dugaan korupsi di jawatan keuangan Polri itu kepada beberapa media. Hasilnya, tidak lama kemudian meledaklah kasus dugaan korupsi mencapai Rp 6 miliar itu di surat kabar nasional. Ibarat bola salju yang terus menggelinding, hingga akhirnya mendapatkan tindak lanjut dari penegak hukum.
Gak semua polisi itu buruk gan mereka adalah teladan bagi masyarakat. dan gak semuanya bertipe cuma mengejar uang.

kalo mau nambahin boleh gan sapa tau di tempat agan ada polisi yang terkenal karena ke baikannya bukan karena bikin video di yutub

Spoiler for polisi yang keren juga gan:

bisa stand up juga

sumur
Diubah oleh rajorjorjor 14-12-2014 18:38


tien212700 memberi reputasi
1
3.7K
Kutip
12
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan