- Beranda
- Komunitas
- News
- Melek Hukum
[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Habis Ketertiban? Datang Kekacauan
TS
hukumprogresif
[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Habis Ketertiban? Datang Kekacauan
Prof. Satjipto Rahardjo mengawali studi kesarjanaamnya di Fakulas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1960. Pada tahun 1979, ia melanjutkan puncak studinya di program doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro. Prof Tjip telah berpulang ke Rahmatullah, pada tanggal 8 Januari 2009 tetapi buah pemikirannya berupa gagasan Hukum Progresif terus berkembang hingga kini. Untuk memahami paradigma Hukum Progresif yang digagas oleh Prof. Tjip tidak mungkin dilakukan tanpa membaca tulisan-tulisan beliau. Ane akan berbagi tulisan beliau yang pernah dimuat di beberapa surat kabar nasional. Semoga bermanfaat
Quote:
Habis Ketertiban? Datang Kekacauan
(Ditulis untuk Kompas, 05 April 2003)
DI tengah suasana carut-marut dan keterpurukan, kini ada pertanyaan mendasar yang ingin diajukan. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi? Bagaimanakah akhir dari semua kejadian kini?
SUASANA carut-marut itu bisa disebut kekacauan (disorder). Itulah keadaan kita kini; bangsa yang sedang mengalami kekacauan. Keadaan itu memukul kehidupan bangsa ini dan kita menjadi penasaran ke mana proses akan membawa kita dan bagaimana akhirnya nanti.
Kita ingin segera lepas dari keadaan serba kacau ini, tetapi tidak tahu apakah bisa keluar atau akan terus terjebak di situ. Apakah kita bisa mengharapkan, bahwa ketertiban (order) akan datang kembali? Adakah pengalaman dan teori yang bisa meyakinkan kita, bahwa “dari kekacauan akan muncul ketertiban” (from disorder to order)?
Ketertiban dan kekacauan
Kita semua ingin hidup dalam suasana tertib, karena itu adalah modal utama kehidupan produktif. Proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang produktif membutuhkan ketertiban sebagai landasan. Selama ini kita menjalani kehidupan yang didasarkan asumsi, ketertiban melekat dan akan selalu melekat di masyarakat.
Ketertiban adalah satu-satunya keadaan yang mungkin terjadi di masyarakat. Itulah keyakinan kita. Karena itu, kita kaget dan panik saat mengalami kehidupan yang kacau, bahkan untuk waktu panjang.
Rakyat dan akademisi “berjumpalitan”, mencoba memahami keadaan yang dialami. Reaksi normal rakyat, menghadapinya secara emosional dan mencari kambing-hitam sebagai penyebab kekacauan.
Sementara itu, akademisi kita kelabakan menjelaskan keadaan yang terjadi. Teori-teori yang umum diketahui, berhenti pada penjelasan mengenai keadaan tertib di masyarakat. Bahwa proses di masyarakat berjalan menurut irama yang teratur. Bahwa hukum merupakan penjamin ketertiban. Bahwa sudah seharusnya hukum dipatuhi. Bahwa legislatif membuat peraturan, pengadilan mengadili, dan seterusnya. Secara singkat dikatakan, satu-satunya keadaan yang mungkin atau terpikirkan adalah ketertiban.
Mungkin kepanikan kita dimulai dari situ, bahwa yang ada dan harus ada dalam file kita adalah suasana tertib. Titik. Maka begitu terjadi kekacauan berkepanjangan, masyarakat panik. Kekacauan yang terjadi tidak dapat dipahami dengan menggunakan kode yang selama ini ada dalam file kita. Dengan kode itu kita hanya bisa membaca ketertiban.
Setelah “terbiasa” dengan kekacauan, datang saat untuk merenung dan meninjau kembali kebenaran dari konsep tentang ketertiban yang selama ini kita pegang. Betulkah, ketertiban merupakan satu-satunya kualitas kehidupan sosial yang mungkin? Apakah ia sesuatu yang statis atau dinamis? Apakah ketertiban dan kekacauan itu dua hal berseberangan, sesuatu dikotomi hitam putih? Kode yang bagaimana yang perlu ditemukan untuk bisa membaca keadaan yang kacau ini?
Bila kita jujur mengamati masa lalu bangsa ini, kita akan terperanjat menemukan, cukup banyak terjadi masa-masa kekacauan di masyarakat kita.
Kemerdekaan kita, misalnya, sebenarnya lahir dalam dan dari kekacauan. Dari kacamata normatif perubahan sebuah koloni menjadi negara merdeka tidak berlangsung dalam suasana tertib (baca: tertib hukum). Kemerdekaan Indonesia terjadi sepihak dengan merudapaksa tertib hukum yang ada saat itu, yaitu hukum Hindia-Belanda.
Mengakhiri ketertiban hukum dan sosial Hindia-Belanda lahir kekacauan di bidang hukum, administrasi, sosial dan lainnya. Dalam suasana kekacauan itu lahir suatu ketertiban baru. Berbagai kekacauan masih terjadi, seperti di tahun-tahun usaha berbagai daerah untuk memisahkan diri dari pusat serta kekacauan hebat di sekitar tahun 1965-an. Keadaan memang kacau, namun berangsur ketertiban pulih kembali.
Berdasar data sejarah kita berkesimpulan, ketertiban bukan satu-satunya keadaan yang mungkin terjadi. Ternyata kekacauan dan ketertiban datang silih berganti dan itulah yang lebih mendekati apa yang bisa disebut sebagai normal. Tidak hanya Indonesia mengalami hal-hal seperti disebutkan di muka, tetapi juga semua negara dan bangsa lain di dunia.
Konsep ketertiban
Bagaimana kita memahami pengalaman sejarah? Salah satu implikasinya, meninjau kembali konsep kita tentang ketertiban itu sendiri. Dari data sejarah diketahui, ketertiban adalah sesuatu yang dinamis. Lebih dari itu sebenarnya kita berhadapan dengan sesuatu yang kompleks dan cair (fluid). Ketertiban dan kekacauan sama-sama ada dalam aras proses sosial yang bersambungan (continuum).
Keduanya tidak berseberangan, tetapi sama-sama ada dalam satu aras kehidupan sosial. Ketertiban bersambung dengan kekacauan dan kekacauan membangun ketertiban baru, demikian seterusnya.
Berdasar pengalaman sejarah kita mengatakan, dalam ketertiban ada benih-benih kekacauan, sedangkan dalam kekacauan tersimpan bibit-bibit ketertiban. Keduanya adalah sisi-sisi dari mata uang yang sama.
Teori kekacauan
Pemahaman secara statis atas ketertiban terbukti telah gagal dalam menjelaskan keadaan yang kita hadapi. Kita hanya bisa mengatakan, kekacauan itu menyimpang dan bersalah atas kehidupan sosial yang kita sebut normal. Titik. Memang hanya sampai di situlah kemampuan teori-teori normatif-positivistis yang dominan untuk memberi penjelasan. Maka kita menjadi bingung saat harus memberi penjelasan secara memuaskan atas keadaan yang “tidak diinginkan” (baca: kekacauan) itu.
Suatu teori yang diharapkan bisa memberi penjelasan lebih memuaskan adalah teori kekacauan (chaos theory) atau teori kompleksitas (complexity theory) yang relatif baru. Teori itu berawal dari ilmu fisika, yaitu sejak fisika Newton yang berjaya selama ratusan tahun tidak mampu menjelaskan fenomena dalam alam secara lengkap.
Alam yang oleh teori Newton dipersepsikan sebagai proses yang berjalan tertib, mekanistis dan deterministik ternyata tak dapat menjelaskan aneka kenyataan menyimpang (aberrant data) yang sama dan nyata-nyata terjadi di alam. Ternyata alam tidak bisa dimasukkan ke kotak teori yang mekanistis itu. Berbagai kejadian di alam tidak dapat didisipliner oleh teori Newton. Teori kekacauan dimulai dengan bertolak dari dan memunguti kenyataan yang “dibuang” teori Newton dan mencoba menjelaskan bagaimana kekacauan itu bisa muncul dari ketertiban dan bagaimana perkembangannya.
Bila kita bertolak dari ketertiban, maka ketertiban awal itu diibaratkan sebagai air yang mengalir dengan mulus, sampai nanti ia membentur sesuatu yang menyebabkan aliran itu menjadi kacau. Kekacauan ini muncul dalam bentuk aliran yang berputar-putar dan berbusa-busa karena membentur sesuatu. Dalam perkembangan selanjutnya aliran itu kembali menjadi mulus. Dalam teori kekacauan, sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dari keadaan yang semula tertib itu disebut sebagai faktor penggerak yang datang dari luar atau asing (strange attractor). Jadi ada ketertiban, ada kekacauan, dan ada kekuatan yang bisa memulihkan ketertiban.
Dalam suasana kacau, seperti terjadi di negeri kita, teori kekacauan menjanjikan penjelasan yang lebih baik, dan dari situ sekaligus akan memberi preskripsi tentang jalan keluarnya.
Teori kekacauan
Setidaknya persepsi teori kekacauan bisa menghibur diri kita sehingga tidak menjadi terlalu panik dan putus asa. Namun tentu lebih daripada itu yang diharapkan tidak hanya sekadar terhibur, tetapi bagaimana teori itu mampu memberi dimensi baru kepada kita dalam melihat ke depan keluar dari keterpurukan sekarang ini.
Seperti dikatakan di muka, teori kekacauan memusatkan diri pada kenyataan yang menyebabkan peralihan dari keadaan tertib menjadi kekacauan. Pekerjaan besar di sini adalah bagaimana kita berusaha agar aliran air yang kacau (turbulent) itu kembali menjadi mulus dan lancar. Setidaknya ada dua usaha yang dapat dicatat untuk memulihkan kelancaran atau ketertiban.
Pertama dengan menghimpun dan mendorong kekuatan positif untuk kembali kepada ketertiban. Kedua, kita akan mencari tahu faktor luar yang menjadi sebab (strange attractor) dan menyingkirkannya. Contoh: pada abad ke-18 Inggris disebut-sebut sebagai negara yang paling korup di dunia, tetapi pada hari ini kita mengenal Inggris sebagai negara yang amat berbeda, yaitu negara yang amat tertib dan teratur. Apa yang telah dilakukan negeri itu sehingga menjadi berubah sama sekali? Dua abad lalu di Inggris semua bisa dibeli, termasuk kursi di parlemen. Pegawai negeri juga tak dapat dipercaya, semua bisa dibeli. Lalu ditemukan, sumbernya adalah sistem perizinan yang meluas yang sudah berubah menjadi barang dagangan. Karena diharuskan ada izin, maka orang berusaha membeli izin itu, tanpa bersusah payah memenuhi persyaratan untuk mendapat izin. Maka langkah tegas yang diambil adalah menghapus izin-izin itu, sehingga tidak ada alasan untuk adanya sesuatu yang bisa dibeli atau diperjualbelikan. Sejak itu berangsur-angsur negeri itu mampu keluar dari kondisi sosialnya yang buruk itu (Milton Friedman, Singapore Lecture).
Hongkong merupakan contoh lain. Negeri koloni itu harus berjuang memerangi korupsi selama 20 tahun sebelum menjadi baik dan tertib seperti kini. Disadari saat itu, korupsi yang sudah meluas hanya bisa diatasi dengan cara-cara luar biasa pula. Maka kepada penegak hukum diberi kekuasaan lebih besar dari sebelumnya untuk memberantas korupsi.
Akhir-akhir ini kita menyaksikan lahirnya berbagai gerakan sosial yang pada dasarnya ingin memulihkan ketertiban di masyarakat. Ini contoh bekerjanya suatu kekuatan otonom yang tersimpan (latent) dalam masyarakat yang berusaha membalikkan kekacauan menjadi ketertiban. Kejadian yang masih hangat dalam ingatan kita adalah kasus pengadilan rakyat di Keboromo (Kompas, 17 dan 25/1/2003). Itu adalah contoh bagus mengenai kekuatan otonom yang terpendam diam- diam disebabkan bekerjanya hukum formal. Tetapi begitu hukum formal gagal memenuhi rasa keadilan masyarakat, kekuatan otonom yang sementara itu terpendam (latent) akhirnya muncul ke permukaan (manifest). Ternyata perjalanan hukum tidak selalu tertib dan tunduk pada peraturan begitu saja, tetapi ia bisa juga menjadi “kacau”. Kekacauan ini tidak bisa dilihat secara negatif saja, tetapi telah menjadi faktor yang mengoreksi berbagai kegagalan hukum formal.
Rakyat diam-diam mengamati bagaimana hukum mengalami kegagalan demi kegagalan untuk menghukum para koruptor. Tetapi dengan sekali gebrakan, rakyat mampu membuat para pamong desa yang korup bertekuk lutut dan mengembalikan uang yang mereka tilep. Lebih menarik lagi, rakyat lalu menyerahkan proses hukum selanjutnya kepada hukum formal. Dalam kasus ini terlihat betapa kompleks dan cairnya hukum itu yang dipertontonkan dalam bentuk kaitan antara ketertiban dan kekacauan.
Teori kekacauan memberi harapan dan semangat untuk keluar dari keterpurukan dan krisis yang kini kita alami. Aneka ketertiban-kekacauan ternyata ada pada aras sama yang beranyaman satu sama lain dan bersambungan.
Bila kita ingin keluar dari penderitaan keterpurukan, maka kita harus berbuat sesuatu untuk di satu sisi menyingkirkan hambatan dan di sisi lain mendorong kekuatan-kekuatan atau proses yang positif-produktif. Dengan teori kekacauan kita tetap memiliki harapan besar bahwa pada suatu saat nanti Indonesia akan kembali menjadi negara yang tertib, teratur, dan sejahtera.
(Ditulis untuk Kompas, 05 April 2003)
DI tengah suasana carut-marut dan keterpurukan, kini ada pertanyaan mendasar yang ingin diajukan. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi? Bagaimanakah akhir dari semua kejadian kini?
SUASANA carut-marut itu bisa disebut kekacauan (disorder). Itulah keadaan kita kini; bangsa yang sedang mengalami kekacauan. Keadaan itu memukul kehidupan bangsa ini dan kita menjadi penasaran ke mana proses akan membawa kita dan bagaimana akhirnya nanti.
Kita ingin segera lepas dari keadaan serba kacau ini, tetapi tidak tahu apakah bisa keluar atau akan terus terjebak di situ. Apakah kita bisa mengharapkan, bahwa ketertiban (order) akan datang kembali? Adakah pengalaman dan teori yang bisa meyakinkan kita, bahwa “dari kekacauan akan muncul ketertiban” (from disorder to order)?
Ketertiban dan kekacauan
Kita semua ingin hidup dalam suasana tertib, karena itu adalah modal utama kehidupan produktif. Proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang produktif membutuhkan ketertiban sebagai landasan. Selama ini kita menjalani kehidupan yang didasarkan asumsi, ketertiban melekat dan akan selalu melekat di masyarakat.
Ketertiban adalah satu-satunya keadaan yang mungkin terjadi di masyarakat. Itulah keyakinan kita. Karena itu, kita kaget dan panik saat mengalami kehidupan yang kacau, bahkan untuk waktu panjang.
Rakyat dan akademisi “berjumpalitan”, mencoba memahami keadaan yang dialami. Reaksi normal rakyat, menghadapinya secara emosional dan mencari kambing-hitam sebagai penyebab kekacauan.
Sementara itu, akademisi kita kelabakan menjelaskan keadaan yang terjadi. Teori-teori yang umum diketahui, berhenti pada penjelasan mengenai keadaan tertib di masyarakat. Bahwa proses di masyarakat berjalan menurut irama yang teratur. Bahwa hukum merupakan penjamin ketertiban. Bahwa sudah seharusnya hukum dipatuhi. Bahwa legislatif membuat peraturan, pengadilan mengadili, dan seterusnya. Secara singkat dikatakan, satu-satunya keadaan yang mungkin atau terpikirkan adalah ketertiban.
Mungkin kepanikan kita dimulai dari situ, bahwa yang ada dan harus ada dalam file kita adalah suasana tertib. Titik. Maka begitu terjadi kekacauan berkepanjangan, masyarakat panik. Kekacauan yang terjadi tidak dapat dipahami dengan menggunakan kode yang selama ini ada dalam file kita. Dengan kode itu kita hanya bisa membaca ketertiban.
Setelah “terbiasa” dengan kekacauan, datang saat untuk merenung dan meninjau kembali kebenaran dari konsep tentang ketertiban yang selama ini kita pegang. Betulkah, ketertiban merupakan satu-satunya kualitas kehidupan sosial yang mungkin? Apakah ia sesuatu yang statis atau dinamis? Apakah ketertiban dan kekacauan itu dua hal berseberangan, sesuatu dikotomi hitam putih? Kode yang bagaimana yang perlu ditemukan untuk bisa membaca keadaan yang kacau ini?
Bila kita jujur mengamati masa lalu bangsa ini, kita akan terperanjat menemukan, cukup banyak terjadi masa-masa kekacauan di masyarakat kita.
Kemerdekaan kita, misalnya, sebenarnya lahir dalam dan dari kekacauan. Dari kacamata normatif perubahan sebuah koloni menjadi negara merdeka tidak berlangsung dalam suasana tertib (baca: tertib hukum). Kemerdekaan Indonesia terjadi sepihak dengan merudapaksa tertib hukum yang ada saat itu, yaitu hukum Hindia-Belanda.
Mengakhiri ketertiban hukum dan sosial Hindia-Belanda lahir kekacauan di bidang hukum, administrasi, sosial dan lainnya. Dalam suasana kekacauan itu lahir suatu ketertiban baru. Berbagai kekacauan masih terjadi, seperti di tahun-tahun usaha berbagai daerah untuk memisahkan diri dari pusat serta kekacauan hebat di sekitar tahun 1965-an. Keadaan memang kacau, namun berangsur ketertiban pulih kembali.
Berdasar data sejarah kita berkesimpulan, ketertiban bukan satu-satunya keadaan yang mungkin terjadi. Ternyata kekacauan dan ketertiban datang silih berganti dan itulah yang lebih mendekati apa yang bisa disebut sebagai normal. Tidak hanya Indonesia mengalami hal-hal seperti disebutkan di muka, tetapi juga semua negara dan bangsa lain di dunia.
Konsep ketertiban
Bagaimana kita memahami pengalaman sejarah? Salah satu implikasinya, meninjau kembali konsep kita tentang ketertiban itu sendiri. Dari data sejarah diketahui, ketertiban adalah sesuatu yang dinamis. Lebih dari itu sebenarnya kita berhadapan dengan sesuatu yang kompleks dan cair (fluid). Ketertiban dan kekacauan sama-sama ada dalam aras proses sosial yang bersambungan (continuum).
Keduanya tidak berseberangan, tetapi sama-sama ada dalam satu aras kehidupan sosial. Ketertiban bersambung dengan kekacauan dan kekacauan membangun ketertiban baru, demikian seterusnya.
Berdasar pengalaman sejarah kita mengatakan, dalam ketertiban ada benih-benih kekacauan, sedangkan dalam kekacauan tersimpan bibit-bibit ketertiban. Keduanya adalah sisi-sisi dari mata uang yang sama.
Teori kekacauan
Pemahaman secara statis atas ketertiban terbukti telah gagal dalam menjelaskan keadaan yang kita hadapi. Kita hanya bisa mengatakan, kekacauan itu menyimpang dan bersalah atas kehidupan sosial yang kita sebut normal. Titik. Memang hanya sampai di situlah kemampuan teori-teori normatif-positivistis yang dominan untuk memberi penjelasan. Maka kita menjadi bingung saat harus memberi penjelasan secara memuaskan atas keadaan yang “tidak diinginkan” (baca: kekacauan) itu.
Suatu teori yang diharapkan bisa memberi penjelasan lebih memuaskan adalah teori kekacauan (chaos theory) atau teori kompleksitas (complexity theory) yang relatif baru. Teori itu berawal dari ilmu fisika, yaitu sejak fisika Newton yang berjaya selama ratusan tahun tidak mampu menjelaskan fenomena dalam alam secara lengkap.
Alam yang oleh teori Newton dipersepsikan sebagai proses yang berjalan tertib, mekanistis dan deterministik ternyata tak dapat menjelaskan aneka kenyataan menyimpang (aberrant data) yang sama dan nyata-nyata terjadi di alam. Ternyata alam tidak bisa dimasukkan ke kotak teori yang mekanistis itu. Berbagai kejadian di alam tidak dapat didisipliner oleh teori Newton. Teori kekacauan dimulai dengan bertolak dari dan memunguti kenyataan yang “dibuang” teori Newton dan mencoba menjelaskan bagaimana kekacauan itu bisa muncul dari ketertiban dan bagaimana perkembangannya.
Bila kita bertolak dari ketertiban, maka ketertiban awal itu diibaratkan sebagai air yang mengalir dengan mulus, sampai nanti ia membentur sesuatu yang menyebabkan aliran itu menjadi kacau. Kekacauan ini muncul dalam bentuk aliran yang berputar-putar dan berbusa-busa karena membentur sesuatu. Dalam perkembangan selanjutnya aliran itu kembali menjadi mulus. Dalam teori kekacauan, sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dari keadaan yang semula tertib itu disebut sebagai faktor penggerak yang datang dari luar atau asing (strange attractor). Jadi ada ketertiban, ada kekacauan, dan ada kekuatan yang bisa memulihkan ketertiban.
Dalam suasana kacau, seperti terjadi di negeri kita, teori kekacauan menjanjikan penjelasan yang lebih baik, dan dari situ sekaligus akan memberi preskripsi tentang jalan keluarnya.
Teori kekacauan
Setidaknya persepsi teori kekacauan bisa menghibur diri kita sehingga tidak menjadi terlalu panik dan putus asa. Namun tentu lebih daripada itu yang diharapkan tidak hanya sekadar terhibur, tetapi bagaimana teori itu mampu memberi dimensi baru kepada kita dalam melihat ke depan keluar dari keterpurukan sekarang ini.
Seperti dikatakan di muka, teori kekacauan memusatkan diri pada kenyataan yang menyebabkan peralihan dari keadaan tertib menjadi kekacauan. Pekerjaan besar di sini adalah bagaimana kita berusaha agar aliran air yang kacau (turbulent) itu kembali menjadi mulus dan lancar. Setidaknya ada dua usaha yang dapat dicatat untuk memulihkan kelancaran atau ketertiban.
Pertama dengan menghimpun dan mendorong kekuatan positif untuk kembali kepada ketertiban. Kedua, kita akan mencari tahu faktor luar yang menjadi sebab (strange attractor) dan menyingkirkannya. Contoh: pada abad ke-18 Inggris disebut-sebut sebagai negara yang paling korup di dunia, tetapi pada hari ini kita mengenal Inggris sebagai negara yang amat berbeda, yaitu negara yang amat tertib dan teratur. Apa yang telah dilakukan negeri itu sehingga menjadi berubah sama sekali? Dua abad lalu di Inggris semua bisa dibeli, termasuk kursi di parlemen. Pegawai negeri juga tak dapat dipercaya, semua bisa dibeli. Lalu ditemukan, sumbernya adalah sistem perizinan yang meluas yang sudah berubah menjadi barang dagangan. Karena diharuskan ada izin, maka orang berusaha membeli izin itu, tanpa bersusah payah memenuhi persyaratan untuk mendapat izin. Maka langkah tegas yang diambil adalah menghapus izin-izin itu, sehingga tidak ada alasan untuk adanya sesuatu yang bisa dibeli atau diperjualbelikan. Sejak itu berangsur-angsur negeri itu mampu keluar dari kondisi sosialnya yang buruk itu (Milton Friedman, Singapore Lecture).
Hongkong merupakan contoh lain. Negeri koloni itu harus berjuang memerangi korupsi selama 20 tahun sebelum menjadi baik dan tertib seperti kini. Disadari saat itu, korupsi yang sudah meluas hanya bisa diatasi dengan cara-cara luar biasa pula. Maka kepada penegak hukum diberi kekuasaan lebih besar dari sebelumnya untuk memberantas korupsi.
Akhir-akhir ini kita menyaksikan lahirnya berbagai gerakan sosial yang pada dasarnya ingin memulihkan ketertiban di masyarakat. Ini contoh bekerjanya suatu kekuatan otonom yang tersimpan (latent) dalam masyarakat yang berusaha membalikkan kekacauan menjadi ketertiban. Kejadian yang masih hangat dalam ingatan kita adalah kasus pengadilan rakyat di Keboromo (Kompas, 17 dan 25/1/2003). Itu adalah contoh bagus mengenai kekuatan otonom yang terpendam diam- diam disebabkan bekerjanya hukum formal. Tetapi begitu hukum formal gagal memenuhi rasa keadilan masyarakat, kekuatan otonom yang sementara itu terpendam (latent) akhirnya muncul ke permukaan (manifest). Ternyata perjalanan hukum tidak selalu tertib dan tunduk pada peraturan begitu saja, tetapi ia bisa juga menjadi “kacau”. Kekacauan ini tidak bisa dilihat secara negatif saja, tetapi telah menjadi faktor yang mengoreksi berbagai kegagalan hukum formal.
Rakyat diam-diam mengamati bagaimana hukum mengalami kegagalan demi kegagalan untuk menghukum para koruptor. Tetapi dengan sekali gebrakan, rakyat mampu membuat para pamong desa yang korup bertekuk lutut dan mengembalikan uang yang mereka tilep. Lebih menarik lagi, rakyat lalu menyerahkan proses hukum selanjutnya kepada hukum formal. Dalam kasus ini terlihat betapa kompleks dan cairnya hukum itu yang dipertontonkan dalam bentuk kaitan antara ketertiban dan kekacauan.
Teori kekacauan memberi harapan dan semangat untuk keluar dari keterpurukan dan krisis yang kini kita alami. Aneka ketertiban-kekacauan ternyata ada pada aras sama yang beranyaman satu sama lain dan bersambungan.
Bila kita ingin keluar dari penderitaan keterpurukan, maka kita harus berbuat sesuatu untuk di satu sisi menyingkirkan hambatan dan di sisi lain mendorong kekuatan-kekuatan atau proses yang positif-produktif. Dengan teori kekacauan kita tetap memiliki harapan besar bahwa pada suatu saat nanti Indonesia akan kembali menjadi negara yang tertib, teratur, dan sejahtera.
-- Sumber: hukumprogresif.com--
0
2.1K
Kutip
4
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan