warsarawaAvatar border
TS
warsarawa
Ini Pasal UU P3H yang Dinilai Mengkriminalisasi Masyarakat Adat
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Koalisi Anti Mafia Hutan menilai Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(P3H) merupakan produk legislasi yang buruk.
Sehingga tidak bisa menjadi solusi dari penyelesaian
masalah yang hendak diaturnya. Padahal pembentukan
UU tersebut dalam konsiderannya dimaksudkan untuk mencegah perusakan hutan yang masif, transnasional
dan menggunakan modus operandi canggih yang telah
mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat. Sebaliknya, UU P3H justru melanggengkan konflik
kehutanan yang disebabkan tidak adanya jaminan
kepastian pengelolaan hutan oleh masyarakat dalam
UU. Pengaturan norma-norma dalam UU P3H sangat
tendensius menyasar masyarakat hukum adat,
masyarakat lokal, penduduk desa di sekitar dan bersinggungan langsung dengan kawasan hutan
sebagai pelaku perusakan hutan seperti yang terjadi
di Bengkulu dan banyak tempat di Indonesia. Padahal,
dalam banyak penelitian masyarakat yang tinggal di
dalam dan sekitar hutan justru punya peran penting
menjaga kelestarian hutan. Termasuk menjaga keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya
sejak ratusan tahun silam. "Karena itu, Koalisi Anti Mafia Hutan meminta
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU P3H. Jika MK
tidak mengabulkan permintaan itu, minimal meminta
ketentuan pidana terhadap perseorangan yang ada
dalam undang-undang ini dibatalkan," kata kuasa
hukum Koalisi Anti Mafia Hutan Andi Muttaqien di sidang lanjutan pengujian P3H dengan agenda
Perbaikan Permohonan (II) di gedung MK Jakarta ,
Selasa (28/10) Salah satu pasal dari 16 pasal yang mereka persoalkan
adalah Pasal 1 angka 3. Ketentuan pasal tersebut
dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip
Negara Hukum yang ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, serta Melanggar Kepastian Hukum yang dijamin
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 angka 3 UU P3H berbunyi "Perusakan hutan
adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan
melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan
hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang
bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian
izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses
penetapannya oleh Pemerintah". Berdasarkan pasal tersebut, kata Andi, tindakan
perusakan hutan yang dapat dipidana dengan undang-
undang adalah perusakan yang dilakukan di kawasan
yang telah ditetapkan, kawasan yang telah ditunjuk,
ataupun yang sedang dalam proses penetapan sebagai
kawasan hutan. Selanjutnya, seseorang dapat dikenakan sanksi, dikarenakan melakukan perbuatan
yang dilarang dalam UU P3H, meski di wilayah atau
kawasan yang baru ditunjuk atau dalam proses
penetapan sebagai kawasan hutan. Sementara mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (1)
UU Kehutanan, penunjukan kawasan hutan adalah salah
satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
"Proses penetapan suatu wilayah sebagai kawasan
hutan, tidak berarti bahwa wilayah tersebut sudah
final sebagai kawasan hutan," jelasnya. Dengan adanya frasa "kawasan yang telah ditunjuk,
ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh
Pemerintah" yang disebutkan Pasal 1 angka 3 UU P3H,
maka terjadi ketidakpastian hukum. Pasal ini
mempersamakan kedudukan hukum antara kawasan
hutan yang telah ditetapkan dengan kawasan hutan yang baru ditunjuk serta kawasan hutan yang sedang
dalam proses penetapannya. Padahal dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan
menyatakan, "Pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan
melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan
kawasan hutan, b. penataan batas kawasan hutan, c.
pemetaan kawasan hutan, dan d. penetapan kawasan hutan". "Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan, kawasan
hutan baru mempunyai kepastian hukum ketika sudah
melalui proses pengukuhan sebagaimana diatur dalam
Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan," jelasnya. Andi menilai, ketentuan Pasal 1 angka 3 UU P3H tidak
mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami,
dan dapat dilaksanakan secara adil (fair). Sebab
definisi perusakan hutan yang diberikan Pasal 1 angka
3 UU a quo melingkupi segala perusakan yang
dilakukan di kawasan yang secara definitif belum ditetapkan sebagai kawasan hutan. Dengan
memasukkan kawasan yang baru ditunjuk atau masih
diproses untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan,
Pasal 1 angka 3 UU P3H telah menyalahi asas kepastian
hukum yang menjadi salah satu ciri Negara Hukum.
Selain itu, ketentuan tersebut, memiliki potensi besar disalahgunakan secara sewenang-wenang oleh
penegak hukum. Terkait frasa penggunaan kawasan hutan tanpa izin
berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan,
dimana tafsir kawasan hutan merujuk pada status,
yakni kawasan hutan negara semata. Padahal,
pengertian kawasan hutan tidak merujuk pada status,
akan tetapi lebih pada fungsi hutan. Hal ini sebagaimana pengertian kawasan hutan yang diatur
Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, yang berbunyi "Kawasan
Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap". "Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang menjadi rujukan
definisi penggunaan kawasan hutan dalam Pasal 1
angka 3 UU P3H, tidak ada satu frasa pun yang
menyebutkan bahwa kawasan hutan dipersamakan
dengan hutan Negara, tegasnya. Sementara klasifikasi hutan dalam Pasal 5 UU
Kehutanan, berdasar status hutan terbagi menjadi
hutan negara dan hutan hak. Kemudian Pasal 6 UU
Kehutanan membagi hutan berdasar fungsi menjadi
hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
Sehingga pengaturan definisi kawasan hutan patut dianggap secara status terdiri dari hutan negara dan
hutan hak, serta secara fungsi terdiri dari
konservasi, lindung dan produksi. Karena itu, pemohon menilai, penyalahgunaan
kekuasaan sangat mungkin terjadi ketika penafsiran
kawasan hutan dilakukan dengan cara-cara otoriter
melalui mekanisme penafsiran tunggal. Dimana
mempersamakan kawasan hutan dengan hutan negara,
karena akan berimplikasi pada hilangnya hak-hak masyarakat atas hutan yang berada di kawasan hutan
hak. Cara-cara otoriter salah satunya adalah tidak adanya
inventarisasi dan penetapan kawasan hutan hak,
termasuk hutan adat di dalamnya yang telah dijamin
legalitasnya dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-
X/2012. Menurut pemohon, inkonsistensi yang ada di Pasal 1
angka 3 UU P3H tersebut menimbulkan ketidakpastian
hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang menentukan, "Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Serta pelanggaran atas prinsip Negara
Hukum sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
yang menyatakan, "Negara Indonesia Adalah Negara
Hukum". Koalisi yang terdiri Yayasan Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (Aman), Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch),
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Yayasan
Silvagama, Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo bersama perorangan yaitu Edi Kuswanto (NTB),
Rosidi (Jawa Tengah), Mursyid (Banten) meminta MK
menguji sejumlah pasal dalam UU P3H. Pasal-pasal itu adalah Pasal 1 angka 3; Pasal 6 ayat (1)
huruf d; Pasal 11 ayat (4); Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2);
Pasal 26; Pasal 46 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal
52 ayat (1); Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 83 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 84 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3); Pasal 87 ayat (1) huruf b, huruf c; ayat (2) huruf b, huruf c; dan ayat (3); Pasal 88; Pasal 92 ayat
(1); Pasal 94 ayat (1); Pasal 110 huruf b; dan Pasal 112.
Selain UU P3H, Para Pemohon juga menguji ketentuan
UUK 41/1999, pada Pasal berikut: Pasal 50 ayat (3)
huruf a., b., e., i., dan k.; Penjelasan Pasal 12; Pasal 15
ayat (1) huruf d; dan Pasal 81. Reporter : Karim Siregar
Redaktur : Ramidi
0
1.2K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan