davearmstrongAvatar border
TS
davearmstrong
{CATATAN KECIL MAHLUK HALUS JILID 3 } "Ranjau Laut"




"Ranjau Laut tidak akan memenangkan pertempuran, akan tetapi Ranjau Laut akan menentukan jalannya suatu pertempuran”

Berdasarkan peta laut terbitan Dishidros TNI AL yang di adoptasi dari peta peninggalan Belanda, di perairan Indonesia banyak ditemukan daerah ranjau. Daerah-daerah ranjau tersebut diyakini merupakan peninggalan Jepang ketika menguasai Indonesia pada tahun 1942-1945. Benarkah di perairan utara Jawa banyak terdapat daerah ranjau peninggalan Jepang, dan mengapa mereka melaksanakan peranjauan di daerah tersebut ?

Selama Perang Dunia II, diperkirakan Jepang telah menyebar 50.000 ranjau di kawasan Pasifik Barat, termasuk di perairan Indonesia, terutama didaerah-daerah yang dianggap vital dan rawan serangan dari pihak Sekutu. Selain menggunakan Kapal Penyebar Ranjau (Mine Layer), tercatat bahwa pada 18-19 Desember 1941, kapal selam I-123 Jepang melaksanakan penyebaran ranjau di perairan Surabaya.

Lalu bagaimana mengatasinya?

Satuan Ranjau di TNI AL berdiri sejak tanggal 01 Juli 1952 berdasarkan Skep Kasal No.A-5/3/23 tanggal 21 Agustus 1952 dengan nama Dinas Ranjau Angkatan Laut Indonesia yang dipimpin Kepala Dinas Ranjau yang berkedudukan di Surabaya. Pada tahun 1953 namanya diubah menjadi Flotila Penyapu Ranjau berdasarkan Skep Kasal No.R/5/3/23 tanggal 24 Agustus 1953. Selanjutnya pada tahun 1959 berdasarkan Skep Kasal No.A-4/2/10 tanggal 14 September 1959 diubah lagi dengan nama Skuadron Dinas Ranjau dibawah Pembinaan Komando Armada.
Pada Bulan September 1962, kedudukan Skuadron Dinas Ranjau yang semula berada di Surabaya dipindahkan ke Semarang.

Tahun 1964 Skuadron Dinas Ranjau diubah menjadi Komando Dinas Ranjau dan pindah dari Semarang ke Ujung Pandang. Komando Dinas Ranjau dibagi menjadi tiga Divisi, yaitu : Divisi 711 OMS, Divisi 712 CMS dan Divisi 713 CMS. Tanggal 15 Juni 1971 mengalami perubahan lagi menjadi Satuan Kapal Ranjau (Satran). Selanjutnya pada tahun 2000 terjadi perubahan struktur Organisasi Armada menjadi Flotila, sehingga Satuan Kapal Ranjau berubah menjadi Skuadron Kapal Ranjau (Ronran) namun hal ini hanya berjalan kurang lebih 3 tahun . Pada tahun 2003 Organisasi Flotila dirubah kembali menjadi Satuan–satuan, hingga saat ini namanya Satuan Kapal Ranjau (Satran).

Sejak awal berdirinya Angkatan Laut Indonesia dalam arti sesudah penyerahan kemerdekaan/kedaulatan tahun 1950, unsur-unsur kapal ranjau yang dimiliki Angkatan Laut Indonesia seperti KRI Flores, KRI Jombang dan KRI Jampea. Mulai tahun 1955 pemerintah mulai mengadakan pembelian kapal-kapal ranjau dari Jerman Barat sebanyak 10 kapal jenis CMS. Kegiatan tersebut, merupakan tulang punggung dari Flotila Penyapu Ranjau Angkatan Laut dalam mengemban tugas utamanya yaitu Penyapuan Ranjau maupun operasi yang lain. Tahun 1962 mulai berdatangan kapal ranjau jenis OMS dari Rusia. Kehadirannya menambah kemampuan dalam melaksanakan peperangan ranjau, karena pada masa itu, ranjau merupakan senjata utama dalam pertahanan pangkalan. Semua yang ada 6 buah kapal dan 4 diantaranya ikut aktif dalam pembebasan Irian Barat.

Pada periode tahun 1992 – 1993, TNI AL menambah postur otot-ototnya dengan melakukan pengadaan armada kapal perang eks Jerman Timur, Sebanyak total 39 kapal perang baik dari jenis korvet, LST (landing ship tank), dan penyapu ranjau yang diboyong dalam waktu berkdekatan. Pasca reunifikasi Jerman, armada kapal Kondor tidak lagi diaktifkan. Selain dijual ke Indonesia, Kondor Class juga dijual ke AL Uruguay pada 1991 (3 unit) dan ada 2 unit yang dijual ke AL Latvia.

Kesembilan kapal tersebut adalah KRI Pulau Rote (721), KRI Pulau Raas (722), KRI Pulau Romang (723), KRI Pulau Rimau (724), KRI Pulau Rondo (725), KRI Pulau Rusa (726), KRI Pulau Rangsang (727), KRI Pulau Raibu (728), KRI Pulau Rempang (729)

Dari ketiga tipe kapal eks-Jerman Timur (Volksmarine) ini, armada Kondor Class sesuai dengan fungsi yang diembannya masuk dalam arsenal Satran (Satuan Kapal Penyapu Ranjau) TNI AL, baik Satran Koarmabar dan Satran Koarmatim. Kehadirannya melengkapi kekuatan Satran yang sebelumnya telah mengoperasikan kapal buru ranjau kelas Tripartite buatan Belanda.

Seiring berjalannya waktu beberapa kapal Kondor Class ini telah mengalami penurunan pada kemampuannya, terutama pada fungsi penyapuan ranjau. Nah, karena malfungsinya pada kemampuan sapu ranjau tersebut, dua dari kesembilan kapal tersebut akhirnya kemudian dimutasikan tugasnya, yang awalnya menjadi arsenal Satran kini beralih menjadi armanda Satrol (Satuan Kapal Patroli) TNI AL. Kedua kapal tersebut adalah KRI Pulau Rondo (725) yang berubah menjadi KRI Kelabang (826), dan KRI Pulau Raibu (728) yang berubah identitas menjadi KRI Kala Hitam (828)

Sementara itu Untuk KRI Pulau Rote (721), KRI Pulau Romang (723) dan KRI Pulau Rempang (729), Kemudian dihibahkan kepada Satuan Surveihidros (Satsurveihidros) TNI AL dengan memodifikasi kapal-kapal Kondor Class tersebut sesuai dengan tugasnya sebagai Kapal Survei.

Sedangkan untuk empat unit yang tersisa dilakukan pemuktahiran baik itu teknis kapal berupa platform maupun Sewaco (sensor, weapon, and command), hal ini dikarenakan banyak peralatan-peralatan yang mengalami kerusakan terutama peralatan yang diperlukan untuk mendukung fungsi asasinya sebagai kapal penyapu ranjau. Oleh Karena itu, untuk meningkatkan kemampuan tempur kapal kelas Kondor, perlu diadakan perbaikan peralatan-peralatan tertentu baik bidang platform maupun Sewaco sehingga fungsi asasi dan tugas pokoknya dapat terlaksana sesuai yang diharapkan.

Seperti pada bulan April tahun 2012 yang lalu, KRI Pulau Raas-722 dan KRI Pulau Rimau-724, KRI Pulau Rusa 726 dan KRI Pulau Rangsang 727 melaksanakan docking di Dock Jogja Fasharkan Surabaya dalam rangka perbaikan maupun pergantian peralatan khususnya dibagian Platform, seperti pergantian mesin pendorong (engine) yang dipesan langsung dari Verbuse Amerika, replate geladak, perbaikan akomodasi, dan pergantian beberapa peralatan untuk mendukung kegiatan operasional kapal. Diharapkan setelah melaksanakan perbaikan, ke dua kapal penyapu ranjau yang dimiliki TNI AL tersebut dapat kembali beroperasi sesuai fungsi asasinya.

Selain itu dilakukan pula solusi untuk memperpanjang usia dan kemampuan kapal ini. seperti dilakukan program repowering yang mencakup pengadaan motor pokok gear box dan sistem kontrol, perbaikan DG dan MSB, pengadaan cat bawah garis air dan zink anoda, perawatan bawah garis air, perbaikan sistem pendingin, perbaikan sistem akomodasi/ruangan-ruangan, pengadaan alat bahari, perbaikan kompresor berikut sistemnya, perbaikan dan pengadaan alat keselamatan, dan gear box baru.
Untuk tugas sapu ranjau, kapal ini dilengkapi teknologi deteksi sonar MG-11/Tamir-II. Sementara untuk menetralisir ranjau yang berhasil di deteksi, dapat menggunakan peralatan Double Oropesa Sweep, yaitu Alat Penyapu Ranjau (APR) mekanik yang dilengkapi dengan gunting ledak (Explosive Cutter) yang berfungsi untuk penyapuan ranjau jangkar. Peralatan ini sangat berguna untuk memutuskan rantai ranjau jangkar, sehingga bola ranjau jangkar yang terkena sapuan APR ini akan mengapung di permukaan air laut, yang kemudian selanjutnya bola ranjau ini bisa dinetralisasir oleh Tim EOD (Explosive Ordnance Disposal).

Dalam pengoperasiannya APR ini ditunda oleh Kapal Penyapu Ranjau atau Tug Boat Low Magnetic. Kemudian ada Mini Dyad Sweep, yaitu Alat Penyapu Ranjau (APR) yang terdiri dari beberapa batang/pipa magnetik (Orange pipe) yang bisa menghasilkan medan magnet pengaruh yang penggunaannya ditunda oleh Kapal Penyapu Ranjau. Rangkaian Mini Dyad Sweep juga dilengkapi dengan alat pembangkit suara (noise generator) sehingga bisa berfungsi ganda yaitu sebagai APR Akustik dan Magnetik.

Semantara untuk Kapal pemburu ranjau kelas Tripartite (Tripartite Class) yang jadi andalan Satran Koarmatim (Satuan Kapal Penyapu Ranjau Komando Armada Timur) TNI AL ini adalah Sosok kapal pemburu ranjau (mine hunter), kapal ini sejatinya bukan ‘barang’ baru lagi di arsenal TNI AL, Tripartite class dibangun oleh galangan GNM (Van der Gessen de Noord Marinebouw BV ) di Albasserdam, Belanda. Berbeda dengan frigat kelas Tribal dan frigat kelas Van Speijk yang merupakan kapal beli bakas pakai. Tripartite class TNI AL adalah barang baru, alias bukan alutsista second dan Kapal Perang ini hingga kini masih jadi andalan armada laut NATO.

Kedua kapal pemburu ranjau kelas Tripartite milik TNI AL tersebut adalah KRI Pulau Rengat (711) dan KRI Pulau Rupat (712). KRI Pulau Rengat mulai dibuat pada 19 Desember 1985 lalu diluncurkan pada 27 Agustus 1987 dan resmi memperkuat TNI AL pada 26 Maret 1988. Dirunut dari sejarahnya, kapal kelas Tripartite dirancang pada tahun 70-an dan mulai dibangun pada tahun 1981 hingga 1989 untuk mengisi kebutuhan armada NATO akan kapal pemburu ranjau yang lincah namun berbekal alat sensor canggih.

Awalnya kedua kapal ini dibangun untuk kebutuhan AL Belanda. KRI Pulau Rengat 711 dibuat untuk membangun M864 Willemstad dan KRI Pulau Rupat 712 untuk M863 Vlaardingen. Tetapi pada akhirnya kedua kapal ini berpindah tangan menjadi milik TNI AL. Sesuai namanya ‘Tripartite,’ kapal ini merupakan hasil kerja kongsi antara 3 negara NATO, yakni Perancis, Belanda dan Belgia. Seperti halnya dalam proyek pesawat komersial Airbus, masing-masing negara tadi menyumbang kontribusi dalam penciptaan kapal ini. Perancis dalam hal ini menyiapkan perangkat teknologi mine hunting, sedangkan Belgia menyiapkan perangkat elektronik, dan Belanda berperan dalam konstruksi dan tenaga gerak kapal.

Lambung kapal ini dibangun dari material khusus yang tidak menimbulkan jejak magnetik, yakni mengadopsi jenis plastik yang diperkuat dengan kaca (glass-reinforced plastic atau GRP). Untuk perangkat buru ranjaunya menggunakan sistem sensor dan processing 1 unit Sonar DUBM, 1 Thales underwater system TSM, side scan sonar, Sonar TSM 2022, 1 SAAB Bofors Double Eagle Mk III Self Propelled Variable Depth Sonar, dan 1 Consilium Selesmar Type T-250/10CM003 Radar. Sedangkan untuk kelengkapan navigasinya menggunakan radar Decca 1229. Untuk jenis ranjau yang bisa dipindai adalah ranjau kontak, ranjau akustik, dan ranjau magnetik.



Semantara untuk Kapal pemburu ranjau kelas Tripartite (Tripartite Class) yang jadi andalan Satran Koarmatim (Satuan Kapal Penyapu Ranjau Komando Armada Timur) TNI AL ini adalah Sosok kapal pemburu ranjau (mine hunter), kapal ini sejatinya bukan ‘barang’ baru lagi di arsenal TNI AL, Tripartite class dibangun oleh galangan GNM (Van der Gessen de Noord Marinebouw BV ) di Albasserdam, Belanda. Berbeda dengan frigat kelas Tribal dan frigat kelas Van Speijk yang merupakan kapal beli bakas pakai. Tripartite class TNI AL adalah barang baru, alias bukan alutsista second dan Kapal Perang ini hingga kini masih jadi andalan armada laut NATO.

Kedua kapal pemburu ranjau kelas Tripartite milik TNI AL tersebut adalah KRI Pulau Rengat (711) dan KRI Pulau Rupat (712). KRI Pulau Rengat mulai dibuat pada 19 Desember 1985 lalu diluncurkan pada 27 Agustus 1987 dan resmi memperkuat TNI AL pada 26 Maret 1988. Dirunut dari sejarahnya, kapal kelas Tripartite dirancang pada tahun 70-an dan mulai dibangun pada tahun 1981 hingga 1989 untuk mengisi kebutuhan armada NATO akan kapal pemburu ranjau yang lincah namun berbekal alat sensor canggih.

Awalnya kedua kapal ini dibangun untuk kebutuhan AL Belanda. KRI Pulau Rengat 711 dibuat untuk membangun M864 Willemstad dan KRI Pulau Rupat 712 untuk M863 Vlaardingen. Tetapi pada akhirnya kedua kapal ini berpindah tangan menjadi milik TNI AL. Sesuai namanya ‘Tripartite,’ kapal ini merupakan hasil kerja kongsi antara 3 negara NATO, yakni Perancis, Belanda dan Belgia. Seperti halnya dalam proyek pesawat komersial Airbus, masing-masing negara tadi menyumbang kontribusi dalam penciptaan kapal ini. Perancis dalam hal ini menyiapkan perangkat teknologi mine hunting, sedangkan Belgia menyiapkan perangkat elektronik, dan Belanda berperan dalam konstruksi dan tenaga gerak kapal.

Lambung kapal ini dibangun dari material khusus yang tidak menimbulkan jejak magnetik, yakni mengadopsi jenis plastik yang diperkuat dengan kaca (glass-reinforced plastic atau GRP). Untuk perangkat buru ranjaunya menggunakan sistem sensor dan processing 1 unit Sonar DUBM, 1 Thales underwater system TSM, side scan sonar, Sonar TSM 2022, 1 SAAB Bofors Double Eagle Mk III Self Propelled Variable Depth Sonar, dan 1 Consilium Selesmar Type T-250/10CM003 Radar. Sedangkan untuk kelengkapan navigasinya menggunakan radar Decca 1229. Untuk jenis ranjau yang bisa dipindai adalah ranjau kontak, ranjau akustik, dan ranjau magnetik.

PENYELAM TNI AL







Ya, Penyelam TNI AL ini masih berhubungan langsung dengan tugas-tugas dari Satran (satuan Ranjau) dan Satkasel (satuan Kapal Selam) maupun satuan-satuan TNI AL lainnya secara tidak langsung. Dalam tugas yang berhubungan dengan buru ranjau, Penyelam TNI AL biasanya menggunakan peralatan-peralatan yang biasa disebut AMASS (ADI Minesweeping And Support System) yang terdiri dari beberapa peralatan penunjang, antara lain :

Double Oropesa Sweep, yaitu Alat Penyapu Ranjau (APR) mekanik , Mini Dyad Sweep,





Ranjau Laut

Ranjau laut merupakan senjata strategis bagi negara Indonesia yang dapat memberikan pengaruh kuat terhadap pertahanan negara di laut. Oleh karena itu perlu adanya pemikiran yang lebih mendalam tentang perlunya memiliki senjata ranjau laut pintar (smart mines) dalam mendukung strategi pertahanan negara di laut dikaitkan dengan perkembangan teknologi saat ini dan kondisi wilayah perairan negara Indonesia.

Karakteristik perairan Indonesia sangat memungkinkan untuk dilaksanakannya operasi peranjauan, sehingga ranjau laut merupakan jenis senjata yang sangat efektif untuk mengantisipasi ancaman melalui laut yang membahayakan pertahanan Negara. Berdasar kondisi geografis wilayah Indonesia yang terbagi menjadi 2 (dua), yaitu kawasan perairan dangkal (shallow water) dan kawasan perairan dalam (deep water), maka hal ini merupakan peluang strategis memanfaatkan kondisi perairan Indonesia untuk disebari ranjau.

Perairan yang berpotensi sebagai daerah ranjau harus memiliki karakteristik kondisi lingkungan bawah air maupun permukaan air sesuai dengan spesifikasi ranjau laut yang dimiliki TNI AL, yang meliputi : bottom type (tipe dasar laut), arus, pasang surut, salinitas dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan supaya ranjau laut yang disebarkan di perairan tersebut tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan, sehingga dapat bekerja secara efektif.

Saat ini perkembangan teknologi di bidang desain kapal, telah memunculkan inovasi yang demikian pesat, diantaranya adalah desain kapal yang mampu menurunkan ship influence, khususnya pressure, magnetic dan acoustic influence. Hal ini dimaksudkan supaya ranjau pengaruh yang memiliki sensor pressure, magnetic dan acoustic akan sulit mendeteksi kapal tersebut sehingga kapal akan tetap aman meskipun melewati daerah ranjau.

Sejalan dengan perkembangan teknologi militer dunia khususnya di bidang peperangan ranjau yang didorong oleh beragamnya ancaman terhadap suatu negara, mendorong pula terhadap konsep pembangunan kekuatan TNI khususnya TNI AL di masa mendatang. Salah satunya adalah langkah nyata dalam memproyeksikan meremajakan ranjau-ranjau konvesional yang dimiliki TNI AL saat ini menjadi ranjau-ranjau pintar (smart mines) yang memiliki keunggulan dari berbagai aspek. Ranjau-ranjau pintar TNI AL harus bisa diaplikasikan di perairan Indonesia serta mempunyai kemampuan yang handal untuk mendukung strategi pertahanan negara Indonesia.

Ranjau laut TNI AL diharapkan mampu beroperasi pada kedalaman maksimal 300 meter, sehingga dapat diaplikasikan di beberapa perairan Indonesia yang memiliki kedalaman sampai dengan 300 meter. Selain itu dalam hal dimensi pada prinsipnya mengikuti kemampuan kedalaman operasional, semakin dalam kemampuan operasionalnya maka semakin besar dimensinya. Bentuk dan bahan dari badan ranjau sedapat mungkin supaya menyulitkan sonar kapal Buru Ranjau lawan untuk mendeteksi keberadaan ranjau tersebut, misalnya berbentuk kapsul, kerucut maupun bola.

Teknologi terbaru untuk kamuflase badan ranjau supaya sulit dideteksi sonar kapal lawan yaitu anechoic cover yang digunakan untuk melapisi badan ranjau sedemikian rupa sehingga mengurangi sonar target strength.
Sistem aktuasi dan sensor yang diharapkan yaitu memiliki multi-influence sensors (magnetic, acoustic, pressure, electric dan seismic inlfuence sensors serta sonar emission detector) dengan sistem sedemikian rupa sehingga ranjau yang sudah disebar di dasar laut masih bisa disetting dan dikontrol dari permukaan air (dengan acoustic link) sehingga memungkinkan perubahan kombinasi sensor sesuai yang diharapkan serta memudahkan aktivasi dan deaktivasi sensor ranjau. Hal ini sangat bermanfaat untuk fleksibilitas dalam pemilihan sasaran yang akan dihancurkan serta untuk keamanan kapal-kapal kawan yang akan melintas di daerah ranjau tersebut.


Ranjau juga sangat diperlukan ketahanlamaannya selama di dasar laut. Aspek ketahanlamaan ranjau yang diharapkan bahwa ranjau mampu beraktifasi minimal selama 365 hari (arming mine). Ketahanlamaan ini mencakup sistem sensorik ranjau maupun material pelindung (material chasing) sehingga keberadaan ranjau yang telah disebar akan mampu berfungsi secara efektif sesuai tujuan operasi. Struktur ranjau harus terbuat dari bahan non-korosif dan kuat sehingga bisa tahan terhadap air laut yang kadar salinitasnya cukup tinggi.



Dengan memperhatikan kondisi geografis negara Indonesia serta karakteristik perairan Indonesia, maka ranjau laut merupakan senjata strategis TNI AL yang sangat penting untuk mendukung strategi pertahanan negara di laut. Karena akan memberikan implikasi yang sangat positif yaitu pertahanan negara di laut akan diperhitungkan oleh negara lain yang akan mencoba mengancam kedaulatan NKRI. ( By ; Pocong Syereem )

“Jalesveva Jayamahe”
Sumber : http://patriotgaruda.com/2014/10/23/...u-pertempuran/
0
12.6K
22
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan