morenotes02
TS
morenotes02
Bung Karno di antara Dua Karang
17 Agustus 1945, sebuah bangsa baru memproklamasikan kemerdekaannya. Bangsa ini, kemudian, dikenal ke seluruh dunia dengan nama Indonesia. Bangsa baru ini lahir di penghujung Perang Dunia II, yang akhirnya membuat Jepang takluk tanpa syarat. Perang Dunia II – yang dimenangkan oleh pihak sekutu – pada akhirnya mengubah wajah geo-politik dunia. Dunia terbagi menjadi dua blok besar yang saling berusaha mendominasi.

Blok Barat, pimpinan AS, berdiri tegak di atas kredo humanisme-liberal dengan menjadikan Declaration of Independence sebagai ajaran sucinya. Sementara itu, Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet menjadikan Komunisme sebagai panutannya. Manifesto Communist merupakan proyek praxis dari komunisme yang menjadi “ajaran suci” Blok Timur. Terjadilah transformasi dari PD II menjadi perang dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur.

Negara-negara di seluruh dunia ditarik-tarik untuk menjadi bagian Blok Barat atau menjadi bagian Blok Timur. Tak jarang, perebutan dominasi antara Blok Barat dan Blok Timur menghasilkan konflik berkepanjangan dan memecah-belah persatuan bangsa.Kasus terpecahnya Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan, Jerman menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur, dan Yaman menjadi Yaman Utara dan Yaman Selatan merupak beberapa contoh dampak dari perang dingin itu.

Hal serupa terjadi di Indonesia, bangsa belia yang baru lahir. Indonesia juga terjebak di tengah-tengah pertarungan antara Blok Barat dan Blok Timur itu. Kedua kekuatan super-power itu berusaha mengukuhkan dominasinya atas Indonesia.

Namun, para pemimpin Indonesia pada umumnya lebih memilih jalan tengah, bukan berpihak pada Blok Barat ataupun Blok Timur. Sang Dwi Tunggal, Soekarno-Hatta mempunyai posisi yang sama dalam hal ini. Bung Hatta, misalnya, dalam pidatonya di sidangan BPUPKI mengajukan gagasan tentang Politik Bebas-Aktif (PBA), yakni politik luar-negeri yang merangkul kedu blok yang saling bersitegang itu. Terdapat slogan terkenal dari Bung Hatta, “mendayung di antara dua karang”. Mengenai Politik Bebas Aktif, Bung Karno memberi penjelasan dalam pidatonya pada sidang BPUPKI, sebagai berikut :

“Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun, sedangkan aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa”.


Belakangan, Bebas-aktif menjadi proyek politik luar-negeri Indonesia yang merupakan manifestasi dari paragraph keempat pembukaan UUD 1945, yakni turut aktif mencipta perdamaian dunia. Indonesia, yang lahir di tengah kecamuk perang dingin berusaha menjadi bangsa yang mengambil jalan-tengah – tidak memihak Blok Barat maupun Blok Timur – untuk mencipta perdamaian (peace making) dan sekaligus menjaga perdamaian (peace keeping).

Mendayung di antara Dua Karang

Proyek politik luar-negeri Bebas-Aktif itu dipraktikkan oleh Soekarno dengan cara “mencoba” menjalin persahabatan dengan dua Negara adi-kuasa, yakni AS dan Uni Soviet. Pada bulan Mei 1956, Bung Karno melakukan lawatan ke AS, dan selang empat bulan kemudian, Bung Karno mengunjungi Uni Soviet. Saat kunjungan ke Uni Soviet inilah Bung Karno mendapat gelar kehormatan “Order Lenin” dan sekaligus mendapat bantuan 100 juta USD serta komitmen Uni Soviet untuk membantu Indonesia membangun infrastruktur.

Kunjungan Bung Karno ke AS dan Uni Soviet dalam kurun waktu yang berhimpitan merupakan ikhtiarnya untuk mendayung di antara dua karang. Bung Karno – mewakili Indonesia – berusaha menjalin persahabatan yang baik dengan kubu Blok Barat maupun Blok Timur. Di samping itu, kunjungan Bung Karno ke AS dan Uni Soviet juga mewakili 29 negara peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA), yang digelar setahun sebelum kunjungan Bung Karno itu. KAA merupakan cikal-bakal dari Gerakan Non-Blok (GNB), yakni sekumpulan Negara-negara dunia yang mempunyai opsi sama dengan Indonesia, tidak memihak kedua blok.

Namun, politik mendayung di antara dua karang ini ternyata tidak mudah. Kekuatan dua blok yang saling bersaing ini terus berusaha mengukuhkan kekuasaan dan ingin mendominasi Indonesia. Komunisme Internasional (Komintern) berusaha membangun jaringan global Partai Komunis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan, Partai Komunis Indonesia (PKI) – kala itu – merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Posisi Indonesia sangat diperhitung di Negara-negara Blok Timur.

Sebaliknya, kubu Blok Barat berusaha meredam dan melawan kekuatan komunisme dengan menyerang langsung Negara-negara yang dikhawatirkan menjadi komunis seperti Vietnam atau dengan menggunakan politik bantuan dana. Ford Foundation, Rocfellar Foundation, dan juga IMF mempunyai kontribusi besar meredam laju komunisme dengan memberi bantuan teknis dan uang ke Negara-negara dunia ketiga.

Di Indonesia, Ford dan Rockfellar membantu banyak proyek-proyek pendidikan, seperti memberi beasiswa kuliah ke luar-negeri atau mengirim tenaga teknis untuk mengajar di kampus-kampus perguruan tinggi, termasuk mengajar di Seskoad TNI AD. Kala itu, TNI AD (dan para akademisi) merupakan elemen yang sangat dekat dengan Blok Barat.

Terjadilah pertarungan yang cukup keras antara PKI dengan TNI AD. PKI yang komunis selalu mengkritik habis prilaku para jenderal di TNI AD yang dianggp berwatak borjuis. Demikian sebaliknya, TNI AD berusaha keras untuk menghambat laju PKI dalam pentas politik. TNI AD berperan penting memberi nasehat pada Bung Karno untuk menunda Pemilu tahun 1960 dengan alas an kondisi politik Indonesia belum siap. Namun, sebagaimana dituturkan oleh David Ransom, alasan sebenarnya adalah kekhawatiran TNI AD Pemilu akan dimenangkan oleh PKI.

Dalam kondisi inilah, Soekarno berusaha mati-matian menjadi Bapak Bangsa yang berada di tengah-tengah. Mencoba mengakomodasi kepentingan TNI AD dan juga kepentingan PKI. Soekarno berusaha mendayung di tengah dua karang dengan mengajukan gagasan NASAKOM, Nasionalis-Agama-Komunis (NASAKOM). NASAKOM merupakan usaha Soekarno untuk mensintesakan aliran-aliran kepentingan yang saling ingin berkuasa di Indonesia kala itu.

Tapi, ikhtiar Soekarno ini tidaklah mudah. Perkelahian antara Blok Barat dan Blok Timur terjadi sangat sengit. Terjadilah proyek kudeta Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965 versi Soekarno dan Gerakan 30 September versi Soeharto. Konflik antara Blok Barat dan Blok Timur, akhirnya, berujung pada banyaknya korab manusia-manusia Indonesia, menjadi tumbal sebuah persaingan dua gajah. Soekarno pun harus meratapi hari tua menjadi tahanan rumah, terasing di Wisma Yoso.

Soekarno bukan seorang Komunis, tetapi dia adalah seorang nasionalis. Namun, bagi AS, siapapun yang tidak berpihak pada liberalism adalah musuh dan harus dibungkam. Soekarno gagal menjadikan Indonesia bangsa yang mendayung di antara dua karang. Soekarno terjatuh dan tenggelam di antara dua karang. Indonesia – akhirnya – menjadi kapal yang bergerak ke arah Blok Barat.

- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1622....iMBKymLR.dpuf
0
3.8K
7
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan