cemenk...
TS
cemenk...
Soekarno: Ketika Sang Fajar Menyingsing di Surabaya
Spoiler for No repsol:




Soekarno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Sepotong informasi itu telah menjadi hal lumrah satu dekade terakhir. Tertulis demikian tidak hanya di otobiografi Soekarno, Penjambung Lidah Rakyat, tapi juga memoar yang ditulis putra tertua Ir. Soekarno, Guntur Soekarnoputra, yang diterbitkan ulang pada 2010. Ketika memoar ini pertama kali diterbitkan tahun 1977 (beberapa sumber menyebut 1978) di masa Orde Baru, buku ini adalah salah satu dari sedikit yang dengan gamblang menyebut Soekarno lahir di Surabaya. Sementara buku-buku terbitan pemerintahan Orde Baru didapati “menggeser” tempat kelahiran Soekarno ke Blitar karena alasan politis. “Dulu setelah G30S, semua buku sejarah ditarik dan diganti isinya di Pusat Sejarah TNI pimpinan Nugroho Notosusanto,” cerita Peter A. Rohi, pendiri The Soekarno Institute. “Yang saya heran adalah mengapa kota kelahiran Bung Karno ikut diganti?“ lanjut pensiunan KKO-Marinir ini. Peter Rohi, yang juga berprofesi sebagai jurnalis senior, berharap agar pemerintah ke depannya mengakui lagi bahwa kota kelahiran presiden RI pertama ini adalah di Surabaya.

Sebenarnya sudah banyak tulisan yang menulis bahwa Soekarno lahir di Surabaya. Tapi apakah masyarakat Surabaya, terutama generasi muda kota ini, mengetahui—atau paling tidak ingat—bahwa sang proklamator lahir di tempat yang tak terlalu jauh dari pusat keramaian kota Surabaya?

Spoiler for Rumah kelahiran Sukarno, Jalan Pandean IV/40.:


Rumah di Jalan Pandean IV nomor 40 itu menjadi awal mula dari Kusno Sosro Soekarno. Nama Soekarno di belakang ini ditambahkan oleh sang ayah, karena Sukarno mengaku waktu kecil sering sakit-sakitan, tetapi memiliki fisik yang kuat. Rumah ini telah mengalami perombakan di bagian fasadnya, sepertinya renovasi rumah berukuran 5 meter x 14 meter ini terjadi di tahun 1930-an dan 1950-an. Hal ini terlihat dari adanya perpaduan gaya arsitektur art deco dan fasad kotak serta lubang angin berbentuk geometris khas langgam Jengki. Rumah ini dulu ditempati oleh R. Soekemi Sosrodihardjo setelah menikahi istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai, dan pindah tugas dari Bali sebagai seorang guru. Sosrodiharjo dulu mengajar di Sekolah Pribumi Singaraja, Bali, tempat dia bertemu calon istrinya, Nyoman Rai.

Suasana di Jalan Pandean yang asri dan tenang sekali ini memang kontras dengan Jalan Peneleh yang berada di depannya atau Jalan Gemblongan dan Kramat Gantung di seberang Kali Mas yang tak pernah sepi dari kendaraan bermotor. Tak pernah ada yang menyangka bahwa di sebuah jalan kampung selebar tiga meter ini terletak rumah kelahiran Soekarno. Saat ini, sebuah prasasti terletak di ujung Jalan Pandean IV telah ditempatkan oleh Pemerintah Kota Surabaya atas inisiasi dari Soekarno Institute di tahun 2011, untuk menjelaskan bahwa di rumah nomor 40 di jalan tersebut adalah rumah orang tua Soekarno sekaligus tempat kelahiran beliau.

Memang pemilik rumah saat ini, Nyonya Jamilah, mengeluhkan mnimnya perhatian dari pihak-pihak yang selama ini sering melakukan kunjungan dan kegiatan seremonial di rumah tersebut. “Banyak yang datang berkunjung, lalu pulang begitu saja. Ya kami ini yang merawat dan membersihkan,” cerita Ny. Jamilah. “Saya hampir tiap hari kedatangan tamu, saya kadang hidup tidak tenang,” lanjut ibu berusia 56 tahun itu, “Kami minta ada pengertian atau bantuan dari pemerintah dan masyarakat.” Problem ini menjadi lagu lama dari penghuni bangunan-bangunan bersejarah di seluruh Indonesia—apalagi kalo bukan biaya perawatan rumah.

Spoiler for Toko Buku Peneleh, di dekat rumah kelahiran Sukarno:


Ketika penulis sempat iseng berjalan-jalan ke SD Negeri 2 Peneleh di Jalan Klimbungan I, penulis sempat berbicara dengan anak-anak SD kelas 5 yang sedang beristirahat di halaman sekolah. Para siswa kelas 5 ini baru saja menerima pelajaran sejarah yang materinya mulai mengajarkan periode Pergerakan Nasional. Waktu penulis menanyakan siapa Soekarno, mereka serentak menjawab presiden pertama Republik Indonesia, tapi saat ditanyakan di mana Soekarno lahir, hampir semua tidak tahu kecuali satu anak bernama Arief. Ternyata Arief mengetahui Soekarno lahir di Jalan Pandean karena teman mainnya satu jalan dengan rumah orang tua Soekarno. Suatu hal yang ironis bahwa anak-anak SD ini tak mengetahui bahwa Sang Proklamator lahir di lokasi yang hanya berjarak 100 meter dari tempat mereka bersekolah.

Keberadaan keluarga R. Soekemi Sosrodihardjo di Surabaya tidaklah lama di Surabaya. Lima bulan setelah Soekarno lahir, ayahnya dimutasi dari Surabaya ke Ploso, Jombang. Kusno Sosro yang beranjak dewasa, mulai membutuhkan sekolah menengah yang baik dan bermutu untuk dirinya. Sang Ayah tahu bahwa kualitas kepandaian anaknya membuatnya tak bisa bersekolah di sekolah pribumi biasa (Soekarno saat itu bersekolah di sekolah menengah pertama pribumi Eerst Inlandsche School di Mojokerto). R. Soekemi bahkan memindahkan sekolah anaknya ke Europeesche Lagere School (ELS) agar bisa masuk ke sekolah berkualitas, yang ketika itu dikhususkan untuk orang-orang Belanda dan kaum pribumi priyayi.

Sekolah menengah terbaik di Jawa Timur kala itu adalah Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya. Beruntung Sosrodihardjo memiliki teman baik dari kalangan priyayi bernama Haji Oemar Said Cokroaminoto. HOS Cokroaminoto yang seorang pedagang dan memiliki banyak jaringan karena aktivitasnya di bidang sosial dan kedudukannya sebagai priyayi, mampu membantu Soekarno untuk masuk ke HBS. HBS adalah sekolah menengah tingkat pertama dengan masa pendidikan 5 tahun dengan uang sekolah 15 guilder per bulan dan 75 guilder per semester untuk buku. Sekolah yang berdiri pada tahun 1875 ini pada awalnya berada di Kebon Rojo (Kantor Pos Besar sekarang), sebelum akhirnya pindah ke kawasan Ketabang pada tahun 1923, di bangunan yang sekarang menjadi SMA Negeri Kompleks (SMA Negeri 1, 2, 5 dan 9).

Di HBS di Kebon Rojo yang dirancang oleh arsitek J. Gerber inilah Soekarno belajar tentang berhitung, aljabar, biologi, geografi, bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jerman hingga menggambar tangan dan menggambar teknik. Semua pelajaran ini kelak akan berguna ketika Soekarno muda melanjutkan sekolahnya di Technische Hoge School (THS, sekarang ITB) dan ketika dirinya menjadi presiden pertama RI. Penguasaan berbagai bahasa asing yang ia pelajari HBS membuat Soekarno menjadi pemimpin negara ulung yang dihormati dan disegani negara-negara lain.

Spoiler for Rumah HOS Tjokroaminoto, Jalan Peneleh VII/29-31, Surabaya.:


Keberadaan Soekarno sebagai salah satu siswa di HBS tak lepas dari peran HOS Cokroaminoto yang membantu anak dari R. Soekemi Sosrodihardjo, kawan baiknya, untuk masuk sekolah eksklusif itu. Jaringan yang dimiliki Cokroaminoto inilah yang juga dimanfaatkan oleh Soekarno dalam menggalang pergerakan sosial politik yang nantinya bermuara pada pendirian Partai Syarekat Islam di tahun 1912. Rumah di Jalan Peneleh VII/29-31 itu menjadi tempat kos Sukarno saat menempuh pendidikan di HBS. Soekarno mengenang rumah Cokroaminoto sebagai “rumah buruk dengan pavilyun setengah melekat.” Soekarno muda tinggal di salah satu kamar kos yang jumlahnya ada 10 buah, termasuk kamar di loteng.

“Keluarga Pak Cokroaminoto tinggal di depan, sedangkan kami yang bayar-makan tinggal di belakang,“ demikian kenang Soekarno. Kamar loteng yang dimaksud oleh Bung Karno masih ada hingga kini dan dibiarkan kosong tanpa sekat. Ketika penulis masuk ke ruang loteng dengan hanya ada satu lubang kecil di tembok yang menjadi masuknya sinar matahari, terharu rasanya mengingat di ruang pengap inilah sebuah negara bernama Indonesia dirancang oleh Soekarno muda dan teman-teman kosnya. Sebut saja S.M. Kartosuwirjo, Semaun, Darsono, Muso, dan Alimin (yang Sukarno katakan memperkenalkannya pada Marxisme). Belum lagi Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Hendrik Sneevliet, yang sering singgah.

Rumah bergaya Indies dengan cat cream dan pintu, jendela kayu dan pagar bercat hijau itu sebenarnya cukup luas kala masih ditempati Cokroaminoto, istri dan tiga anaknya. Bangunan aslinya memanjang ke belakang. Bahkan ada tembok yang menyekat sayap kiri dan kanan. Di bagian belakang pun sebenarnya ada halaman yang cukup lebar, bahkan ada juga istal kuda, yang pernah jadi tempat menambat kuda yang diperoleh Soekarno muda dan kawan-kawan indekosnya dalam suatu sayembara di pertunjukan sirkus. Sekarang halaman belakang dan istal kuda itu sudah tidak ada, karena ditempati gedung sekolah Muhammadiyah. Begitu pun kamar kos pengap berbiaya 11 rupiah perbulan tempat Soekarno indekos, yang dalam kenangan Soekarno adalah kamar yang “harus dinyalakan lampunya bahkan di siang hari karena tidak ada jendela,” juga telah tak berbekas terkena imbas pembangunan sekolah tersebut.

Sosok Soekarno di tahun 1918 bukan saja seorang pemuda berusia 17 tahun yang matang, tetapi juga sudah penuh dengan berbagai ilmu yang ia dapat dari buku-buku yang ia pelajari dari Perpustakaan Teosofi Surabaya. Soekarno memperoleh akses ke perpustakaan ini karena koneksi dari ayahnya yang pengikut Islam-Theosof. Di perpustakaan ini Bung Karno berkenalan dengan karya-karya ilmuwan sosial macam Kant, Voltaire, Rousseau, dan juga Marx. Tak ketinggalan pula Soekarno mengikuti perkembangan Perang Dunia I melalui radio dan koran.

Ketika Soekarno masuk HBS tahun 1918 dan kos di rumah HOS Cokroaminoto, ilmunya juga semakin bertambah. Di saat kos di rumah Cokroaminoto inilah Soekarno mulai mengasah kemampuan pemikiran nasionalisme-religius-nya sebagai penulis di koran Oetoesan Hindia milik Syarekat Islam dengan nama samaran Bima, tokoh pewayangan yang terkenal kuat dan tangguh.

Soekarno juga akhirnya menikahi putri HOS Cokroaminoto bernama Oetari di tahun 1920. Cokroaminoto memang menjodohkan putrinya ini dengan Soekarno sebagai bentuk kekaguman beliau terhadap Soekarno yang ia nilai sebagai anak didiknya yang paling cemerlang.

Setahun kuliah di THS, Soekarno harus pamit pada Rektor THS (sekarang ITB), Profesor Klopper, untuk izin cuti sekolah agar bisa kembali ke Surabaya, menggantikan HOS Cokroaminoto yang ditahan pemerintah kolonial Belanda di tahun 1921 karena dianggap menggerakkan aksi mogok massal di Garut, Jawa Barat. Di Surabaya, Soekarno akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai klerk atau pegawai administrasi rendahan di Jawatan Kereta Api. Hingga saat ini masih dilakukan riset di stasiun mana Soekarno bekerja. Dengan gaji setara 165 Rupiah, Soekarno harus menghidupi istri, istri Cokroaminoto, dan kedua anak Cokroaminoto yang masih kecil. Selain menghidupi secara finansial, Soekarno juga menjadi guru bagi kedua adik Oetari, lantaran peraturan pemerintah Belanda yang mengharuskan anak-anak dari tokoh pergerakan yang ditahan tak boleh sekolah hingga orang tuanya dibebaskan.

Cokroaminoto akhirnya dibebaskan setelah tujuh bulan dipenjara dan Soekarno pun kembali ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya yang nyaris satu tahun tertunda. Soekarno pun akhirnya lulus sebagai arsitek di tahun 1926 dan sempat bekerja di biro arsitek pimpinan Charles Wolff Schoemaker yang karyanya banyak dijumpai di Bandung dan Jakarta. Tempaan hidup, pendidikan di bangku sekolah, pergaulan hingga didikan ideologis HOS Cokroaminoto membuat Soekarno berevolusi menjadi pribadi cerdas, strategis dan diplomatis seperti yang dikenal dalam riwayat sejarah dan tempaan itu terjadi di sini, di kota Surabaya. Tak salah jika penulis Cindy Adams dalam buku Sukarno: An Autobiography As Told To Cindy Adams, yang dalam bab pembahasan masa Sukarno berada di Surabaya, menyebut kota ini sebagai “dapur revolusi”.

Sumber
0
3.3K
7
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan