Kisah Nyata Seorang Anak Pencuri Ilmu

Ketika SD kelas 6, ia, sebut saja si Fulan, mendapatkan wali kelas yg unik. Sebut saja namanya Pak Niwu, asli orang Bima. Metode belajar yg diterapkannya tergolong unik. Setiap hari ulangan. Jadwal belajar pun tidak mengikuti jadwal pelajaran yg ada. Semuanya terserah beliau. Dalam sehari, bisa belajar matematika, Bahasa Indionesia, IPS atau IPA. Bahkan tak jarang dalam seharu hanya mempelajari 1 mata pelajaran. Beliau memberi pertanyaan dan setiap siswa secara berurutan maju ke depan untuk menjawab soalnya. Jika tidak bisa, disuruh berdiri di depan kelas. Begitu seterusnya jika ada yg tidak bisa, sampai ada siswa yg bisa menjawab, barulah siswa tersebut memberi hukuman kepada teman-temannya yg tidak bisa menjawab soal tadi. Hukumannya cukup miris, yaitu punggung tangan dipukul keras menggunakan penggaris kayu atau penghapus papan tulis. Bletak!! Sudah hal yg biasa. Dan sakitnya jangan ditanya.

Dan ternyata, si Fulan tersebutlah yg paling sering bisa menjawab soal-soal dari guru "killer" tadi. Ketika Ebtanas pun si Fulan memperoleh NEM tertinggi. Saat bagi raport, pak Niwu berkata kepada ibu si Fulan : "Bu, di kelas ini kalau ga ada Fulan ga rame. Soal-soal seringnya ga ada yg bisa jawab kecuali Fulan. Memangnya buku-bukunya di rumah lengkap ya?" Jawab sang ibu sekenanya : "Iya lengkap." Padahal pada kenyataannya pada saat itu si Fulan hanya punya 2-3 buku tentang IPA dan IPS di rumah. Fulan berasal dari keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan, anggaran untuk beli buku juga sangat minim. Tapi memang tidak dipungkiri, si Fulan keranjingan baca. Yg sering dilakukannya adalah pergi ke toko buku bukan untuk membeli buku, tapi untuk membaca buku, istilahnya "mencuri ilmu". Sering ibunya bertanya saat si Fulan mau pergi : "Mau ke mana kamu?" Fulan menjawab : "Mencuri ilmu, Bu." (Maksudnya pergi baca buku ke toko buku-red).

Kemudian saat SMP, ketika mata pelajaran Matematika (pelajaran favoritnya), ada sebuah pertanyaan dari Pak Joko, guru matematika yg terkenal "killer". Ada 2 opsi jawaban yg berkembang saat itu, A atau B. Dari 40 siswa, 38 siswa menjawab A, tapi si Fulan menjawab B. Teman sebangkunya juga ikutan menjawab B meskipun dia tidak tahu kenapa bisa menjawab B, padahal 38 teman-temannya yg lain mantap menjawab A. Saat ditanya Pak Joko, siapa yg menjawab B? Si Fulan dan temannya tadi tunjuk tangan. Tapi temannya tadi ragu akhirnya tidak jadi tunjuk tangan, dia memilih A saja daripada nanti disuruh menjelaskan kenapa jawab B. Akhirnya tinggal si Fulan yg tunjuk tangan jawab B. Lalu Pak Joko mempersilakan si Fulan untuk menjelaskan jawabannya di depan kelas. Lalu dengan Pede, ia menjelaskan jawabannya. Dan benar jawabannya adalah B. Pak Joko pun dengan tersenyum bangga berkata kepada 39 siswa lainnya : "Ini baru anak pintar."

Beberapa tahun kemudian saat kuliah S2, ada juga kejadian unik. Saat itu seorang profesor/doktor memberi teka-teki Fisika. Beliau dengan sigapnya mengambil penghapus papan tulis dan sebuah kertas yg sudah dilipat-lipat sehingga berbentuk seperti bola kertas. Tangan kanan memegang bola kertas, tangan kiri memegang penghapus. Lalu kedua tangan beliau diangkat sedemikian rupa dalam posisi sejajar. Beliau memberi teka-teki : "Kalau 2 benda ini saya jatuhkan dalam waktu bersamaan, mana yg terlebih dahulu mencapai tanah?"

Dari 18 mahasiswa yg ada, 16 orang menjawab penghapus duluanlah yg sampai ke tanah karena lebih berat. Dan hanya 2 orang mahasiswa yg menjawab kertas dan penghapus tadi sampai ke tanah bersamaan. Dan Fulan adalah salah 1 dari mahasiswa tadi. Ketika dijatuhkan, benar, penghapus dan bola kertas menyentuh tanah bersamaan.

Inilah sekilas kisah tentang seorang anak yg memiliki keterbatasan ekonomi, tapi memiliki semangat untuk "mencuri ilmu" secara gratis dari mana saja, salah satunya dari toko buku. Setidaknya kisah nyata ini memberi insight kepada kita sebagai orang tua agar termotivasi mendidik anak untuk mencintai ilmu sejak kecil, meskipun dengan segala keterbatasan. Semoga.



Mohon sori klo trit berantakan, gan. Maklum bikinnya pake hape