- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Setelah Berfikir Jernih, Akhirnya Saya Pilih Capres Ini (bag 1)
TS
jayuzman86
Setelah Berfikir Jernih, Akhirnya Saya Pilih Capres Ini (bag 1)
Pilpres kali ini, menurut saya pribadi, kedua capres masih jauh dari sempurna (tak ada orang yang sempurna). Tapi namanya juga harus pilih salah satu, akhirnya saya kumpulkan berbagai data, black campaign dan bantahannya, dsb, agar bisa saya ambil keputusan, pilih yang mana. Dan akhirnya saya putuskan, saya akan coblos capres ini di pilpres nanti. Saya akan share pertimbangan saya.
Antara Prabowo dan Jokowi sebagai tokoh politik/pejabat, saya tahu Prabowo lebih dulu. Yaitu saat awal berdirinya Partai Gerindra. Dari iklan visi-misinya, saya kesengsem dengan Prabowo. Kesan yang bisa saya tangkap dari iklan-iklan tersebut adalah, Prabowo berkomitmen agar Indonesia menjadi negara berdaulat, yang bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri, tidak serba impor. Dikuatkan lagi dengan selanjutnya Prabowo menjadi ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Kemudian waktu Prabowo menjadi cawapres dari Megawati di pilpres sebelumnya, saya punya pilihan capres lain (bukan megawati-prabowo). Kemudian sekarang Prabowo maju sendiri sebagai capres.
Kalau Jokowi, saya tahunya seperti kebanyakan masyarakat Indonesia, yaitu ketika Jokowi mengurusi mobil Kiat Esemka. Seperti umumnya masyarakat waktu itu, langsung jatuh cinta sama Jokowi. Karena sejak itu, banyak pemberitaan tentang Jokowi yang sangat merakyat. Seorang pemimpin yang terbiasa turun ke bawah langsung di tengah masyarakat (blusukan). Bagi saya pribadi, ini betul-betul pemimpin ideal. Karena jangankan walikota, seorang kepala kelurahan saja jarang sekali ada yang mau begitu. Kemudian ketika menjadi Gubernur Jakarta, ternyata tetap setia dengan aktifitasnya turun ke bawah, sekali lagi, sesuatu yang sangat langka sebagai seorang gubernur. Kesan yang saya tangkap, Jokowi adalah tipe orang yang mau bekerja, dan pola kerjanya adalah melihat langsung sumber masalahnya lalu dicarikan solusinya, sehingga dia merasa harus melihat dulu langsung ke bawah, dan cenderung kurang percaya jika hanya mengandalkan laporan melalui birokrasi. Itu juga terlihat dengan programnya melelang jabatan lurah dan camat untuk mencari yang siap bekerja, sebuah terobosan. Dan saat itu, saya berharap agar Jokowi maju di pilpres dan terpilih.
Sebelum pemilu legislatif, kesan saya terhadap Prabowo dan Jokowi baru sebatas itu. Menjelang pemilu legislatif, Jokowi didaulat PDIP menjadi capresnya. Saat itu saya berencana akan memilih Jokowi jika belum ada capres lain yang menurut saya lebih baik. Sejak saat itu mulai bermunculan pro kontra terhadap pencapresan Jokowi. Saya cenderung menyimak saja.
Setelah pemilu legislatif, ada satu kesan luar biasa saya terhadap Prabowo. Saya menilai bahwa Prabowo adalah orang yang cerdas dalam hal strategi politik. Ini dibuktikan dengan melejitnya suara untuk Gerindra. Bahkan partai lain yang lahirnya relatif bersamaan dengan Gerindra, yaitu Hanura yang didirikan oleh seorang Jendral juga, yaitu Wiranto, itu saja suaranya jeblok. Dari situ saya menganggap Prabowo ini pintar strategi seperti SBY yang dengan Demokratnya bisa menjadi presiden dua periode penuh. Walaupun entah Prabowo yang pintar strategi politiknya atau tim suksesnya.
Kemudian saat capres akhirnya resmi hanya antara Prabowo dan Jokowi, saya bersyukur karena keduanya menurut saya memiliki kelebihan yang layak untuk dipilih menjadi presiden, walau tetap keduanya masih jauh dari sempurna. Awalnya saya masih berencana memilih Jokowi. Namun berbagai isu negatif seputar Jokowi cukup mengganggu saya. Saya pun harus mencari data-data untuk memastikan, apakah isu negatif tersebut adalah fakta atau sekedar kampanye hitam. Dari berbagai pertimbangan dari luar, lebih mengarah untuk sebaiknya tidak memilih Jokowi, dan tidak ada pilihan lain selain Prabowo. Kebetulan saya adalah mantan kader sebuah partai dan sekarang masih menjadi simptisannya, dimana partai saya ini mendukung Prabowo. Dan saya bekerja di perusahaan milik kiai kondang yang juga mendukung Prabowo. Namun saya merasa harus memastikan berbagai isu negatif seputar Jokowi tadi, agar ketika memilih antara Prabowo dan Jokowi nanti saya merasa tenang dan mantap.
Ketika saya kumpulkan, ternyata cukup banyak isu negatif seputar Jokowi ini. Dan ternyata ada satu sumber yang berisi tentang fitnah dan fakta seputar Jokowi (sumbernya di sini : http://presiden-indonesia.com/fitnah-dan-fakta-jokowi/ ). Dari data tersebut, paling tidak saya sudah memiliki penilaian sementara tentang isu negatif seputar jokowi yang ternyata lebih banyak berupa kampanye hitam dan bukan fakta. Penelusuran saya beralih ke isu negatif seputar Prabowo. Menurut penelusuran saya, tidak banyak isu negatifnya yang booming selain Prabowo dituduh sebagai dalang yang terlibat dalam hilangnya aktifis di tahun 1998. Untuk hal ini, memang simpang siur faktanya. Dan saya mengambil sikap, bahwa Prabowo saat itu bertindak berdasar komando atasan, kalau Prabowo terlibat, itu karena ada perintah dari atasannya, dan kalau Prabowo tidak terlibat, berarti Prabowo telah menjadi korban skenario atasannya sampai ia harus diberhentikan. Jadi, atasannyalah yang punya tanggung jawab lebih pada kasus tersebut, dalam hal ini bisa jadi Wiranto atau mungkin Suharto (presiden). Nah, selain isu negatif tersebut, ada juga isu-isu negatif lain seputar Prabowo yang muncul, tetapi tidak banyak digaungkan, sehingga untuk mencari bantahannya malah saya kesulitan.
Lalu memasuki masa kampanye dan debat capres pertama, saya masih belum menentukan pilihan pasti. Hasil debat capres pertama pun masih relatif belum terlihat mana yang lebih menonjol. Akhirnya saya coba putuskan berdasar data yang telah saya telusuri, dengan berfikir jernih, siapa capres yang akan saya pilih nanti. Diantara pertimbangan saya, sebagai berikut :
1. Kedua capres pantas menjadi presiden.
2. Semua hal negatif seputar kedua capres, lebih kepada bentuk kampanye hitam, bukan fakta sesungguhnya.
3. Masing-masing capres membawa keuntungan sekaligus kerugian sendiri-sendiri jika terpilih.
Karena saya menilai kedua capres relatif sama dalam hal kelebihan dan kekurangan, maka saya membuat kriteria yang saya harapkan menjadi presiden nanti, lalu tinggal saya bandingkan mana yang lebih dekat dengan kriteria yang saya buat tersebut. Diantara kriteria presiden versi saya pribadi tersebut adalah :
1. Tidak terlalu berambisi terhadap jabatan presiden itu sendiri.
2. Keseriusan menjadi presiden lebih karena niat bekerja.
3. Tidak ada rencana bagi-bagi kekuasaan dengan pendukung2nya.
4. Punya visi dan rencana kerja yang bisa dipahami.
5. Pedulia terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat.
6. Peduli pada perbaikan moral masyarakat.
7. Tegas, tidak lambat.
8. Menghormati aturan setiap agama dan memfasilitasi terlaksananya ajaran agama terhadap pemeluknya.
Sebenarnya ada kriteria lain yang penting juga, namun menurut saya 8 poin di atas sudah cukup merangkum.
Berikut ini hasil pertimbangan saya :
Poin 1 (tidak berambisi) : menurut saya, keduanya sama2 punya ambisi untuk menjadi presiden. Lalu saya telusuri bagaimana keduanya akhirnya menjadi capres. Prabowo terlihat ingin menjadi presiden sejak mendirikan partai Gerindra dan membuat iklan politiknya. Lalu untuk Jokowi, ternyata aslinya dari awal Jokowi tidak pernah menyebutkan ingin menjadi presiden. Jokowi hanya ditunjuk oleh partai, lalu Jokowi bersedia dicalonkan. Ketika maju gubernur pun bukan Jokowi yang ingin, tetapi justru saat itu Prabowo yang meminta Jokowi maju menjadi calon gubernur setelah Megawati sudah dilobi oleh Prabowo. Perbedaan proses menjadi capres antara Prabowo dan Jokowi ini yang saya nilai bahwa untuk ambisi menjadi presiden, Jokowi aslinya tidak terlalu berambisi. Jika tidak ada yang meminta, maka Jokowi tidak akan menjadi capres, atau pun cagub, termasuk menjadi walikota Solo. Walaupun ketika sudah resmi menjadi capres, Jokowi terlihat serius untuk memenangi pilpres, begitu juga Prabowo yang sama seriusnya memenangi pilpres ini. Poin pertama ini, saya jatuhkan pilihan saya untuk Jokowi.
Poin 2 (niat bekerja) : Baik Prabowo maupun Jokowi, keduanya terlihat serius memiliki niat bekerja. Prabowo terlihat dari bagaimana impiannya tentang Indonesia (menjadi macan Asia). Sesuatu yang sangat serius. Ini menunjukkan niatnya untuk bekerja keras jika sudah menjadi presiden nanti. Lalu untuk Jokowi, niat untuk bekerjanya tidak terlalu tampak dari visi yang dikampanyekan, walau begitu, cara Jokowi bekerja ketika menjadi Walikota Solo dan Gubernur Jakarta selama total 12 tahun, justru lebih memberi kesan yang betul-betul menjadi presiden untuk bekerja, bukan sekedar gengsi gelar/jabatan. Yang paling jelas yaitu gaya blusukannya dijalankan selama 12 tahun. Jika itu hanya pencitraan, tentu tidak akan awet/bertahan selama itu. Saya yakin, itu karena memang tipe Jokowi yang seorang pekerja keras baik sebagai pengusaha maupun sebagai kepala daerah. Karena kedua capres saya nilai punya niat bekerja yang sama-sama serius, saya pakai pendekatan lain, yaitu pendekatan resiko. Maksud saya, kira-kira kalau nanti terpilih jadi presiden, niat serius itu akan terbukti atau tidak, jangan-jangan hanya karena kampanye saja terlihat seriusnya. Dari segi resiko, saya merasa Jokowi lebih aman untuk dipilih. Ini karena berdasar track record-nya. Selama menjadi kepala daerah, Jokowi terus bisa dilihat benar-benar bekerja. Berbeda dengan Prabowo yang memang belum ada pengalaman memimpin masyarakat. Bukan berarti meragukan Prabowo, ini hanya karena pendekatan saya menggunakan pendekatan resiko, dimana saya sudah meyakini kedua capres punya niat serius untuk bekerja. Untuk itu, pada poin ke 2 ini saya kembali memberikan pilihan saya untuk Jokowi.
Poin ke 3 (tidak bagi-bagi kursi) : bagian ini jujur, saya langsung memberikan pilihan saya kepada Jokowi. Alasannya, proses terbentuknya koalisi masing-masing capres ini, saya mengikuti beritanya dari awal. Dan dari pernyataan Prabowo di beberapa kesempatan yang saya dengar/baca, baik secara tersirat maupun tersurat, sudah menujukkan akan adanya bagi-bagi kekuasaan, yaitu pada penunjukan menteri nantinya. Namun Jokowi malah sebaliknya, sejak koalisi belum terbentuk, Jokowi sudah beberapa kali menyatakan tidak menjanjikan jabatan apapun kepada partai pendukungnya jika nanti terpilih menjadi presiden. Jika saya membandingkan berdasar berita yang saya ikuti, proses terbentuknya koalisi partai pendukung Prabowo, ini yang saya lihat :
1. PPP : partai ini mendukung Prabowo dengan ketuanya Suryadharma Ali sebagai orang yang paling ngotot mendukung. Yang membuat terlihat adanya deal antara Suryadharma dengan Prabowo adalah, Suryadharma sudah berani menyatakan dukungannya terhadap pencapresan Prabowo bahkan ketika pemilu legislatif belum berlangsung. Yang wajar kan kalau dukung-mendukung itu setelah tahu berapa perolehan suara masing-masing partai. Apalagi, Suryadharma tidak meminta persetujuan resmi dari parpolnya, padahal dia adalah ketua yang jika bicara tentu dianggap mewakili partai. Terbukti setelah itu, PPP hampir pecah karena pengurus tidak setuju terhadap dukungan Suryadharma kepada Prabowo. Endingnya, lewat pertemuan-pertemuan, PPP resmi mendukung Prabowo. Kesan yang saya tangkap, Suryadharma sudah dijanjikan kesepakatan tertentu oleh Prabowo, tetapi dia tahu bahwa internal PPP kurang mendukungnya, sehingga Suryadharma terkesan nekat mengambil langkah sendiri. Ia berani nekat, karena sudah ada kesepakatan dengan Prabowo.
2. PAN : tidak perlu dibahas PAN akan mendapat jabatan apa jika Prabowo terpilih, sudah jelas PAN minimal dapat jabatan wakil presiden.
3. Golkar : awalnya Golkar mengajukan Aburizal Bakrie menjadi capres. Sempat ada pembicaraan dengan Prabowo dan ada kesepakatan berpasangan, namun belum disepakati siapa menjadi capresnya. Sambil menanti keputusan Demokrat mendukung siapa, Prabowo pun mendekati PAN, sedangkan Golkar mendekati PDIP. Ketika Prabowo sudah hampir pasti berpasangan dengan Hatta, dan Demokrat masih belum jelas bahkan cenderung netral, Aburizal pun merapat ke Jokowi, tetapi kemudian mundur dan merapat ke Prabowo lalu resmi mendukung Prabowo. Ketika Jokowi ditanya tentang sempat merapatnya ARB ke Jokowi, Jokowi menjawab, antara dirinya dengan ARB tidak ada titik temu, maka ARB mundur. Sedangkan Prabowo dengan jelas mengatakan akan memberikan jabatan mentri utama kepada ARB jika terpilih nanti, dan akan dicarikan dasar/peraturan yang memungkinkan jabatan mentri utama tersebut. Di kemudian hari, Jokowi menyampaikan bahwa tidak adanya titik temu antara dirinya dengan ARB diantaranya mengenai permintaan jabatan oleh ARB dan Jokowi tidak memberi kesepakatan, sehingga ARB mundur.
4. PKS : partai ini mendukung Prabowo nampaknya bukan karena adanya deal politik tertentu, tetapi lebih pada kekhawatiran PKS akan dukungan Syiah terhadap Jokowi. Sedangkan Prabowo berani memberi jaminan terhadap PKS akan mengakomodasi kepentingan Islam.
5. PBB : idem dengan PKS.
Sedangkan proses terbentuknya koalisi partai pendukug Jokowi :
1. Nasdem : di awal-awal penghitungan cepat hasil pemilu legislatif diketahui, Jokowi langsung menghubungi beberapa petinggi parpol, dan Nasdem langsung merespon cepat dengan memberikan dukungan kepada Jokowi. Awalanya, saya merasa ini ada deal politik antara Jokowi dengan Surya Paloh, karena terlihat cepat sekali bisa langsung sepakat berkoalisi. Dan feeling saya, Surya Paloh akan jadi cawapres. Tetapi ketika Nasdem mengajukan nama Jusuf Kalla sebagai cawapres, kecurigaan saya memudar. Karena setahu saya Jusuf Kalla bukanlah kader Nasdem, tetapi kader Golkar. Nasdem mengajukan JK lebih karena figurnya. Ini yang saya merasa Nasdem fair. Mengajukan seorang tokoh bukan karena pertimbangan politik semata, namun karena tokoh tersebut dinilai memiliki kemampuan dan sesuai dengan visi partai. Saya semakin respek, ketika Surya Paloh menyatakan mendukung Jokowi justru karena Jokowi berani tidak membahas bagi-bagi kursi untuk menentukan koalisi, yang dibahas adalah kesamaan persepsi dalam membangun bangsa nanti.
2. PKB : Saat ada pertemuan antara Jokowi dengan Muhaimin Iskandar selaku ketua PKB, Muhaimin sempat menyampaikan bahwa dirinya dan Jokowi adalah pasangan yang serasi. Saya merasa Muhaimin akan jadi cawapres (ada bagi-bagi kursi), tetapi pada perkembangannya sampai menjelang penentuan cawapres, nama Muhaimin sama sekali tidak masuk dalam bursa cawapres. Jokowi pun kembali menegaskan belum membahas jatah mentri. Dan memang sejak sebelum diresmikan menjadi capres, Jokowi sudah menyatakan telah menyampaikan kepada Megawati bahwa dirinya siap menjadi capres asal tetap diberi wewenang penuh dalam menentukan kebijakan-kebijakan nanti (tidak didikte).
3. Hanura : dukungan partai ini kepada Jokowi, bukan soal bagi-bagi kursi, tetapi lebih karena faktor tidak harmonisnya Prabowo dengan Wiranto di masa lalu. Sehingga sulit bagi Hanura untuk mendukung Prabowo.
4. PKPI : sebagai partai kecil, tidak terlalu signifikan adanya potensi bagi-bagi kursi.
Dari pemberitaan yang saya ikuti terkait proses terbentuknya koalisi tersebut, berdasar kriteria tidak bagi-bagi kursi, saya memilih Jokowi untuk menjadi presiden.
Poin ke 4 (visi misi bisa dipahami) : visi misi capres, saya bagi menjadi dua kategori, yaitu visi misi lewat kampanye dan lewat debat capres. Untuk visi misi lewat kampanye, setelah saya amati, saya memilih Prabowo. Lewat kampanyenya, Prabowo bisa menyampaikan dengan jelas apa yang menjadi visi misinya. Ini sudah terlihat sejak awal ketika Prabowo mendirikan partai Gerindra. Visi misinya jelas. Berbeda dengan Jokowi yang saya amati, media kampanyenya mayoritas hanya berisi slogan/jargonnya saja, misalnya "Jokowi-JK adalah kita", "Presiden yang lahir dari rakyat", dan "Jujur merakyat sederhana". Sehingga, visi misinya tidak jelas. Lalu untuk visi misi yang terurai lewat debat capres, saya mulai dari debat capres pertama. Debat pertama, belum ada yang terlihat jauh lebih menonjol. Kedua capres relatif berimbang. Yang membedakan masing-masing capres lebih kepada gayanya. Misalnya gaya bicara, pilihan kata, dan kepercayaan diri. Prabowo terlihat sebagai orator, sedang Jokowi malah seperti kurang lancar. Pilihan kata Prabowo lebih umum, sedang Jokowi lebih agak detail atau teknis. Kepercayaan diri Prabowo terlihat lebih baik dibanding Jokowi. Namun perbedaan-perbedaan tersebut tidak terlalu penting. Karena inti dari pemaparan masing-masing capres masih relatif sebanding. Lalu di debat kedua, saya melihat Jokowi sedikit lebih baik dibanding Prabowo, yaitu dalam hal menggambarkan rencana kerja atau misi dari visinya. Pemaparan Prabowo relatif sama dengan debat pertama dengan inti penyampaian yaitu, untuk menjalankan visi visi besarnya terutama kesejahteraan masyarakat, kuncinya ada pada anggaran negara yang besar dan caranya yaitu dengan menutup kebocoran anggaran. Dari berbagai tema atau masalah yang berbeda-beda, penjelasan Prabowo relatif berkutat pada menutup anggaran negara yang bocor. Sedangkan Jokowi mampu memberi jawaban yang lebih variatif sesuai masalah yang dibahas. Dan Jokowi juga lebih mampu merinci strategi yang akan dijalankan jika terpilih nanti. Untuk pandangan saya dalam debat ketiga dan selanjutnya, akan saya uraikan nanti, karena waktu itu saya akhirnya memutuskan memilih capres siapa setelah debat capres kedua. Jadi belum ada debat yang ketiga. Nah, untuk visi misi yang terbahas lewat debat capres pertama dan kedua, saya menjatuhkan pilihan pada Jokowi. Sehingga untuk poin visi misi ini, saya menilai antara Prabowo dan Jokowi seimbang. Karena Prabowo menang lewat kampanye, sedang Jokowi menang lewat debat capres.
Poin ke 5 (menyejahterakan masyarakat) : menurut pandangan saya, kedua capres punya komitmen yang sama untuk menyejahterakan masyarakat. Prabowo lebih jelas terlihat lewat kampanyenya, sedang Jokowi terlihat dari kinerjanya selama menjadi walikota dan gubernur serta penjelasannya dalam debat capres. Jadi, saya anggap berimbang.
Poin ke 6 (perbaikan moral) : menurut pandangan saya, jika dilihat secara personal, Jokowi lewat pernyataan-pernyataannya, memiliki komitmen perbaikan moral. Misalnya lewat pendidikan yang ditekankan pada pendidikan akhlak sejak di tingkat dasar. Atau lewat revolusi mentalnya. Sedangkan Prabowo kurang menekankan itu, karena relatif selalu menekankan pada peningkatan kesejahteraan. Jadi, untuk poin ini saya memilih Jokowi.
Poin ke 7 (tegas, tidak lambat) : pada poin ini, mayoritas masyarakat langsung memilih Prabowo dengan alasan latar belakang militernya. Saya pernah punya pandangan yang sama, yaitu ketika SBY maju menjadi capres tahun 2004. Namun selama 10 tahun memerintah, sepertinya ketegasan militernya tidak terlalu tampak. Sehingga saya tidak lagi menjadikan latar belakang militer sebagai indikator ketegasan, tetapi lebih melihat pada track record-nya. Dan menurut track record kepemimpinan masyarakat, Jokowi termasuk tipe pemimpin yang tegas dan cukup gesit. Memang, bisa jadi Prabowo juga tegas dan gesit, namun karena belum ada pengalaman menjadi pemimpin pemerintahan, maka saya menjatuhkan pilihan untuk poin ini pada Jokowi.
Poin ke 8 (menjamin keberlangsungan agama) : ormas islam nampaknya takut jika Jokowi menjadi presiden akan kurang melindungi islam, sehingga mereka mendukung Prabowo. Dari berbagai data yang saya baca, memang PDIP memiliki track record kurang mendukung islam. Walaupun memang agama di Indonesia bukan hanya islam, tetapi karena mayoritasnya islam, maka ini bisa menjadi indikator juga, terjamin atau tidaknya keberlangsungan agama di Indonesia. Untuk poin ini, saya memilih Prabowo.
Dari 8 poin tersebut, setelah saya hitung, skor nya adalah Prabowo : Jokowi = 1 : 5 (ada dua poin yang nilainya imbang)
Setelah saya pertimbangkan, dengan berfikir jernih, akhirnya saya jatuhkan pilihan saya untuk Jokowi sebagai presiden berikutnya. Nanti, saya akan tuliskan, setelah saya memilih Jokowi, ada debat capres ketiga, lalu keempat, serta beberapa acara wawancara eksklusif Parobowo maupun Jokowi yang semakin memantapkan pilihan saya untuk Jokowi menjadi presiden.
Bersambung
Antara Prabowo dan Jokowi sebagai tokoh politik/pejabat, saya tahu Prabowo lebih dulu. Yaitu saat awal berdirinya Partai Gerindra. Dari iklan visi-misinya, saya kesengsem dengan Prabowo. Kesan yang bisa saya tangkap dari iklan-iklan tersebut adalah, Prabowo berkomitmen agar Indonesia menjadi negara berdaulat, yang bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri, tidak serba impor. Dikuatkan lagi dengan selanjutnya Prabowo menjadi ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Kemudian waktu Prabowo menjadi cawapres dari Megawati di pilpres sebelumnya, saya punya pilihan capres lain (bukan megawati-prabowo). Kemudian sekarang Prabowo maju sendiri sebagai capres.
Kalau Jokowi, saya tahunya seperti kebanyakan masyarakat Indonesia, yaitu ketika Jokowi mengurusi mobil Kiat Esemka. Seperti umumnya masyarakat waktu itu, langsung jatuh cinta sama Jokowi. Karena sejak itu, banyak pemberitaan tentang Jokowi yang sangat merakyat. Seorang pemimpin yang terbiasa turun ke bawah langsung di tengah masyarakat (blusukan). Bagi saya pribadi, ini betul-betul pemimpin ideal. Karena jangankan walikota, seorang kepala kelurahan saja jarang sekali ada yang mau begitu. Kemudian ketika menjadi Gubernur Jakarta, ternyata tetap setia dengan aktifitasnya turun ke bawah, sekali lagi, sesuatu yang sangat langka sebagai seorang gubernur. Kesan yang saya tangkap, Jokowi adalah tipe orang yang mau bekerja, dan pola kerjanya adalah melihat langsung sumber masalahnya lalu dicarikan solusinya, sehingga dia merasa harus melihat dulu langsung ke bawah, dan cenderung kurang percaya jika hanya mengandalkan laporan melalui birokrasi. Itu juga terlihat dengan programnya melelang jabatan lurah dan camat untuk mencari yang siap bekerja, sebuah terobosan. Dan saat itu, saya berharap agar Jokowi maju di pilpres dan terpilih.
Sebelum pemilu legislatif, kesan saya terhadap Prabowo dan Jokowi baru sebatas itu. Menjelang pemilu legislatif, Jokowi didaulat PDIP menjadi capresnya. Saat itu saya berencana akan memilih Jokowi jika belum ada capres lain yang menurut saya lebih baik. Sejak saat itu mulai bermunculan pro kontra terhadap pencapresan Jokowi. Saya cenderung menyimak saja.
Setelah pemilu legislatif, ada satu kesan luar biasa saya terhadap Prabowo. Saya menilai bahwa Prabowo adalah orang yang cerdas dalam hal strategi politik. Ini dibuktikan dengan melejitnya suara untuk Gerindra. Bahkan partai lain yang lahirnya relatif bersamaan dengan Gerindra, yaitu Hanura yang didirikan oleh seorang Jendral juga, yaitu Wiranto, itu saja suaranya jeblok. Dari situ saya menganggap Prabowo ini pintar strategi seperti SBY yang dengan Demokratnya bisa menjadi presiden dua periode penuh. Walaupun entah Prabowo yang pintar strategi politiknya atau tim suksesnya.
Kemudian saat capres akhirnya resmi hanya antara Prabowo dan Jokowi, saya bersyukur karena keduanya menurut saya memiliki kelebihan yang layak untuk dipilih menjadi presiden, walau tetap keduanya masih jauh dari sempurna. Awalnya saya masih berencana memilih Jokowi. Namun berbagai isu negatif seputar Jokowi cukup mengganggu saya. Saya pun harus mencari data-data untuk memastikan, apakah isu negatif tersebut adalah fakta atau sekedar kampanye hitam. Dari berbagai pertimbangan dari luar, lebih mengarah untuk sebaiknya tidak memilih Jokowi, dan tidak ada pilihan lain selain Prabowo. Kebetulan saya adalah mantan kader sebuah partai dan sekarang masih menjadi simptisannya, dimana partai saya ini mendukung Prabowo. Dan saya bekerja di perusahaan milik kiai kondang yang juga mendukung Prabowo. Namun saya merasa harus memastikan berbagai isu negatif seputar Jokowi tadi, agar ketika memilih antara Prabowo dan Jokowi nanti saya merasa tenang dan mantap.
Ketika saya kumpulkan, ternyata cukup banyak isu negatif seputar Jokowi ini. Dan ternyata ada satu sumber yang berisi tentang fitnah dan fakta seputar Jokowi (sumbernya di sini : http://presiden-indonesia.com/fitnah-dan-fakta-jokowi/ ). Dari data tersebut, paling tidak saya sudah memiliki penilaian sementara tentang isu negatif seputar jokowi yang ternyata lebih banyak berupa kampanye hitam dan bukan fakta. Penelusuran saya beralih ke isu negatif seputar Prabowo. Menurut penelusuran saya, tidak banyak isu negatifnya yang booming selain Prabowo dituduh sebagai dalang yang terlibat dalam hilangnya aktifis di tahun 1998. Untuk hal ini, memang simpang siur faktanya. Dan saya mengambil sikap, bahwa Prabowo saat itu bertindak berdasar komando atasan, kalau Prabowo terlibat, itu karena ada perintah dari atasannya, dan kalau Prabowo tidak terlibat, berarti Prabowo telah menjadi korban skenario atasannya sampai ia harus diberhentikan. Jadi, atasannyalah yang punya tanggung jawab lebih pada kasus tersebut, dalam hal ini bisa jadi Wiranto atau mungkin Suharto (presiden). Nah, selain isu negatif tersebut, ada juga isu-isu negatif lain seputar Prabowo yang muncul, tetapi tidak banyak digaungkan, sehingga untuk mencari bantahannya malah saya kesulitan.
Lalu memasuki masa kampanye dan debat capres pertama, saya masih belum menentukan pilihan pasti. Hasil debat capres pertama pun masih relatif belum terlihat mana yang lebih menonjol. Akhirnya saya coba putuskan berdasar data yang telah saya telusuri, dengan berfikir jernih, siapa capres yang akan saya pilih nanti. Diantara pertimbangan saya, sebagai berikut :
1. Kedua capres pantas menjadi presiden.
2. Semua hal negatif seputar kedua capres, lebih kepada bentuk kampanye hitam, bukan fakta sesungguhnya.
3. Masing-masing capres membawa keuntungan sekaligus kerugian sendiri-sendiri jika terpilih.
Karena saya menilai kedua capres relatif sama dalam hal kelebihan dan kekurangan, maka saya membuat kriteria yang saya harapkan menjadi presiden nanti, lalu tinggal saya bandingkan mana yang lebih dekat dengan kriteria yang saya buat tersebut. Diantara kriteria presiden versi saya pribadi tersebut adalah :
1. Tidak terlalu berambisi terhadap jabatan presiden itu sendiri.
2. Keseriusan menjadi presiden lebih karena niat bekerja.
3. Tidak ada rencana bagi-bagi kekuasaan dengan pendukung2nya.
4. Punya visi dan rencana kerja yang bisa dipahami.
5. Pedulia terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat.
6. Peduli pada perbaikan moral masyarakat.
7. Tegas, tidak lambat.
8. Menghormati aturan setiap agama dan memfasilitasi terlaksananya ajaran agama terhadap pemeluknya.
Sebenarnya ada kriteria lain yang penting juga, namun menurut saya 8 poin di atas sudah cukup merangkum.
Berikut ini hasil pertimbangan saya :
Poin 1 (tidak berambisi) : menurut saya, keduanya sama2 punya ambisi untuk menjadi presiden. Lalu saya telusuri bagaimana keduanya akhirnya menjadi capres. Prabowo terlihat ingin menjadi presiden sejak mendirikan partai Gerindra dan membuat iklan politiknya. Lalu untuk Jokowi, ternyata aslinya dari awal Jokowi tidak pernah menyebutkan ingin menjadi presiden. Jokowi hanya ditunjuk oleh partai, lalu Jokowi bersedia dicalonkan. Ketika maju gubernur pun bukan Jokowi yang ingin, tetapi justru saat itu Prabowo yang meminta Jokowi maju menjadi calon gubernur setelah Megawati sudah dilobi oleh Prabowo. Perbedaan proses menjadi capres antara Prabowo dan Jokowi ini yang saya nilai bahwa untuk ambisi menjadi presiden, Jokowi aslinya tidak terlalu berambisi. Jika tidak ada yang meminta, maka Jokowi tidak akan menjadi capres, atau pun cagub, termasuk menjadi walikota Solo. Walaupun ketika sudah resmi menjadi capres, Jokowi terlihat serius untuk memenangi pilpres, begitu juga Prabowo yang sama seriusnya memenangi pilpres ini. Poin pertama ini, saya jatuhkan pilihan saya untuk Jokowi.
Poin 2 (niat bekerja) : Baik Prabowo maupun Jokowi, keduanya terlihat serius memiliki niat bekerja. Prabowo terlihat dari bagaimana impiannya tentang Indonesia (menjadi macan Asia). Sesuatu yang sangat serius. Ini menunjukkan niatnya untuk bekerja keras jika sudah menjadi presiden nanti. Lalu untuk Jokowi, niat untuk bekerjanya tidak terlalu tampak dari visi yang dikampanyekan, walau begitu, cara Jokowi bekerja ketika menjadi Walikota Solo dan Gubernur Jakarta selama total 12 tahun, justru lebih memberi kesan yang betul-betul menjadi presiden untuk bekerja, bukan sekedar gengsi gelar/jabatan. Yang paling jelas yaitu gaya blusukannya dijalankan selama 12 tahun. Jika itu hanya pencitraan, tentu tidak akan awet/bertahan selama itu. Saya yakin, itu karena memang tipe Jokowi yang seorang pekerja keras baik sebagai pengusaha maupun sebagai kepala daerah. Karena kedua capres saya nilai punya niat bekerja yang sama-sama serius, saya pakai pendekatan lain, yaitu pendekatan resiko. Maksud saya, kira-kira kalau nanti terpilih jadi presiden, niat serius itu akan terbukti atau tidak, jangan-jangan hanya karena kampanye saja terlihat seriusnya. Dari segi resiko, saya merasa Jokowi lebih aman untuk dipilih. Ini karena berdasar track record-nya. Selama menjadi kepala daerah, Jokowi terus bisa dilihat benar-benar bekerja. Berbeda dengan Prabowo yang memang belum ada pengalaman memimpin masyarakat. Bukan berarti meragukan Prabowo, ini hanya karena pendekatan saya menggunakan pendekatan resiko, dimana saya sudah meyakini kedua capres punya niat serius untuk bekerja. Untuk itu, pada poin ke 2 ini saya kembali memberikan pilihan saya untuk Jokowi.
Poin ke 3 (tidak bagi-bagi kursi) : bagian ini jujur, saya langsung memberikan pilihan saya kepada Jokowi. Alasannya, proses terbentuknya koalisi masing-masing capres ini, saya mengikuti beritanya dari awal. Dan dari pernyataan Prabowo di beberapa kesempatan yang saya dengar/baca, baik secara tersirat maupun tersurat, sudah menujukkan akan adanya bagi-bagi kekuasaan, yaitu pada penunjukan menteri nantinya. Namun Jokowi malah sebaliknya, sejak koalisi belum terbentuk, Jokowi sudah beberapa kali menyatakan tidak menjanjikan jabatan apapun kepada partai pendukungnya jika nanti terpilih menjadi presiden. Jika saya membandingkan berdasar berita yang saya ikuti, proses terbentuknya koalisi partai pendukung Prabowo, ini yang saya lihat :
1. PPP : partai ini mendukung Prabowo dengan ketuanya Suryadharma Ali sebagai orang yang paling ngotot mendukung. Yang membuat terlihat adanya deal antara Suryadharma dengan Prabowo adalah, Suryadharma sudah berani menyatakan dukungannya terhadap pencapresan Prabowo bahkan ketika pemilu legislatif belum berlangsung. Yang wajar kan kalau dukung-mendukung itu setelah tahu berapa perolehan suara masing-masing partai. Apalagi, Suryadharma tidak meminta persetujuan resmi dari parpolnya, padahal dia adalah ketua yang jika bicara tentu dianggap mewakili partai. Terbukti setelah itu, PPP hampir pecah karena pengurus tidak setuju terhadap dukungan Suryadharma kepada Prabowo. Endingnya, lewat pertemuan-pertemuan, PPP resmi mendukung Prabowo. Kesan yang saya tangkap, Suryadharma sudah dijanjikan kesepakatan tertentu oleh Prabowo, tetapi dia tahu bahwa internal PPP kurang mendukungnya, sehingga Suryadharma terkesan nekat mengambil langkah sendiri. Ia berani nekat, karena sudah ada kesepakatan dengan Prabowo.
2. PAN : tidak perlu dibahas PAN akan mendapat jabatan apa jika Prabowo terpilih, sudah jelas PAN minimal dapat jabatan wakil presiden.
3. Golkar : awalnya Golkar mengajukan Aburizal Bakrie menjadi capres. Sempat ada pembicaraan dengan Prabowo dan ada kesepakatan berpasangan, namun belum disepakati siapa menjadi capresnya. Sambil menanti keputusan Demokrat mendukung siapa, Prabowo pun mendekati PAN, sedangkan Golkar mendekati PDIP. Ketika Prabowo sudah hampir pasti berpasangan dengan Hatta, dan Demokrat masih belum jelas bahkan cenderung netral, Aburizal pun merapat ke Jokowi, tetapi kemudian mundur dan merapat ke Prabowo lalu resmi mendukung Prabowo. Ketika Jokowi ditanya tentang sempat merapatnya ARB ke Jokowi, Jokowi menjawab, antara dirinya dengan ARB tidak ada titik temu, maka ARB mundur. Sedangkan Prabowo dengan jelas mengatakan akan memberikan jabatan mentri utama kepada ARB jika terpilih nanti, dan akan dicarikan dasar/peraturan yang memungkinkan jabatan mentri utama tersebut. Di kemudian hari, Jokowi menyampaikan bahwa tidak adanya titik temu antara dirinya dengan ARB diantaranya mengenai permintaan jabatan oleh ARB dan Jokowi tidak memberi kesepakatan, sehingga ARB mundur.
4. PKS : partai ini mendukung Prabowo nampaknya bukan karena adanya deal politik tertentu, tetapi lebih pada kekhawatiran PKS akan dukungan Syiah terhadap Jokowi. Sedangkan Prabowo berani memberi jaminan terhadap PKS akan mengakomodasi kepentingan Islam.
5. PBB : idem dengan PKS.
Sedangkan proses terbentuknya koalisi partai pendukug Jokowi :
1. Nasdem : di awal-awal penghitungan cepat hasil pemilu legislatif diketahui, Jokowi langsung menghubungi beberapa petinggi parpol, dan Nasdem langsung merespon cepat dengan memberikan dukungan kepada Jokowi. Awalanya, saya merasa ini ada deal politik antara Jokowi dengan Surya Paloh, karena terlihat cepat sekali bisa langsung sepakat berkoalisi. Dan feeling saya, Surya Paloh akan jadi cawapres. Tetapi ketika Nasdem mengajukan nama Jusuf Kalla sebagai cawapres, kecurigaan saya memudar. Karena setahu saya Jusuf Kalla bukanlah kader Nasdem, tetapi kader Golkar. Nasdem mengajukan JK lebih karena figurnya. Ini yang saya merasa Nasdem fair. Mengajukan seorang tokoh bukan karena pertimbangan politik semata, namun karena tokoh tersebut dinilai memiliki kemampuan dan sesuai dengan visi partai. Saya semakin respek, ketika Surya Paloh menyatakan mendukung Jokowi justru karena Jokowi berani tidak membahas bagi-bagi kursi untuk menentukan koalisi, yang dibahas adalah kesamaan persepsi dalam membangun bangsa nanti.
2. PKB : Saat ada pertemuan antara Jokowi dengan Muhaimin Iskandar selaku ketua PKB, Muhaimin sempat menyampaikan bahwa dirinya dan Jokowi adalah pasangan yang serasi. Saya merasa Muhaimin akan jadi cawapres (ada bagi-bagi kursi), tetapi pada perkembangannya sampai menjelang penentuan cawapres, nama Muhaimin sama sekali tidak masuk dalam bursa cawapres. Jokowi pun kembali menegaskan belum membahas jatah mentri. Dan memang sejak sebelum diresmikan menjadi capres, Jokowi sudah menyatakan telah menyampaikan kepada Megawati bahwa dirinya siap menjadi capres asal tetap diberi wewenang penuh dalam menentukan kebijakan-kebijakan nanti (tidak didikte).
3. Hanura : dukungan partai ini kepada Jokowi, bukan soal bagi-bagi kursi, tetapi lebih karena faktor tidak harmonisnya Prabowo dengan Wiranto di masa lalu. Sehingga sulit bagi Hanura untuk mendukung Prabowo.
4. PKPI : sebagai partai kecil, tidak terlalu signifikan adanya potensi bagi-bagi kursi.
Dari pemberitaan yang saya ikuti terkait proses terbentuknya koalisi tersebut, berdasar kriteria tidak bagi-bagi kursi, saya memilih Jokowi untuk menjadi presiden.
Poin ke 4 (visi misi bisa dipahami) : visi misi capres, saya bagi menjadi dua kategori, yaitu visi misi lewat kampanye dan lewat debat capres. Untuk visi misi lewat kampanye, setelah saya amati, saya memilih Prabowo. Lewat kampanyenya, Prabowo bisa menyampaikan dengan jelas apa yang menjadi visi misinya. Ini sudah terlihat sejak awal ketika Prabowo mendirikan partai Gerindra. Visi misinya jelas. Berbeda dengan Jokowi yang saya amati, media kampanyenya mayoritas hanya berisi slogan/jargonnya saja, misalnya "Jokowi-JK adalah kita", "Presiden yang lahir dari rakyat", dan "Jujur merakyat sederhana". Sehingga, visi misinya tidak jelas. Lalu untuk visi misi yang terurai lewat debat capres, saya mulai dari debat capres pertama. Debat pertama, belum ada yang terlihat jauh lebih menonjol. Kedua capres relatif berimbang. Yang membedakan masing-masing capres lebih kepada gayanya. Misalnya gaya bicara, pilihan kata, dan kepercayaan diri. Prabowo terlihat sebagai orator, sedang Jokowi malah seperti kurang lancar. Pilihan kata Prabowo lebih umum, sedang Jokowi lebih agak detail atau teknis. Kepercayaan diri Prabowo terlihat lebih baik dibanding Jokowi. Namun perbedaan-perbedaan tersebut tidak terlalu penting. Karena inti dari pemaparan masing-masing capres masih relatif sebanding. Lalu di debat kedua, saya melihat Jokowi sedikit lebih baik dibanding Prabowo, yaitu dalam hal menggambarkan rencana kerja atau misi dari visinya. Pemaparan Prabowo relatif sama dengan debat pertama dengan inti penyampaian yaitu, untuk menjalankan visi visi besarnya terutama kesejahteraan masyarakat, kuncinya ada pada anggaran negara yang besar dan caranya yaitu dengan menutup kebocoran anggaran. Dari berbagai tema atau masalah yang berbeda-beda, penjelasan Prabowo relatif berkutat pada menutup anggaran negara yang bocor. Sedangkan Jokowi mampu memberi jawaban yang lebih variatif sesuai masalah yang dibahas. Dan Jokowi juga lebih mampu merinci strategi yang akan dijalankan jika terpilih nanti. Untuk pandangan saya dalam debat ketiga dan selanjutnya, akan saya uraikan nanti, karena waktu itu saya akhirnya memutuskan memilih capres siapa setelah debat capres kedua. Jadi belum ada debat yang ketiga. Nah, untuk visi misi yang terbahas lewat debat capres pertama dan kedua, saya menjatuhkan pilihan pada Jokowi. Sehingga untuk poin visi misi ini, saya menilai antara Prabowo dan Jokowi seimbang. Karena Prabowo menang lewat kampanye, sedang Jokowi menang lewat debat capres.
Poin ke 5 (menyejahterakan masyarakat) : menurut pandangan saya, kedua capres punya komitmen yang sama untuk menyejahterakan masyarakat. Prabowo lebih jelas terlihat lewat kampanyenya, sedang Jokowi terlihat dari kinerjanya selama menjadi walikota dan gubernur serta penjelasannya dalam debat capres. Jadi, saya anggap berimbang.
Poin ke 6 (perbaikan moral) : menurut pandangan saya, jika dilihat secara personal, Jokowi lewat pernyataan-pernyataannya, memiliki komitmen perbaikan moral. Misalnya lewat pendidikan yang ditekankan pada pendidikan akhlak sejak di tingkat dasar. Atau lewat revolusi mentalnya. Sedangkan Prabowo kurang menekankan itu, karena relatif selalu menekankan pada peningkatan kesejahteraan. Jadi, untuk poin ini saya memilih Jokowi.
Poin ke 7 (tegas, tidak lambat) : pada poin ini, mayoritas masyarakat langsung memilih Prabowo dengan alasan latar belakang militernya. Saya pernah punya pandangan yang sama, yaitu ketika SBY maju menjadi capres tahun 2004. Namun selama 10 tahun memerintah, sepertinya ketegasan militernya tidak terlalu tampak. Sehingga saya tidak lagi menjadikan latar belakang militer sebagai indikator ketegasan, tetapi lebih melihat pada track record-nya. Dan menurut track record kepemimpinan masyarakat, Jokowi termasuk tipe pemimpin yang tegas dan cukup gesit. Memang, bisa jadi Prabowo juga tegas dan gesit, namun karena belum ada pengalaman menjadi pemimpin pemerintahan, maka saya menjatuhkan pilihan untuk poin ini pada Jokowi.
Poin ke 8 (menjamin keberlangsungan agama) : ormas islam nampaknya takut jika Jokowi menjadi presiden akan kurang melindungi islam, sehingga mereka mendukung Prabowo. Dari berbagai data yang saya baca, memang PDIP memiliki track record kurang mendukung islam. Walaupun memang agama di Indonesia bukan hanya islam, tetapi karena mayoritasnya islam, maka ini bisa menjadi indikator juga, terjamin atau tidaknya keberlangsungan agama di Indonesia. Untuk poin ini, saya memilih Prabowo.
Dari 8 poin tersebut, setelah saya hitung, skor nya adalah Prabowo : Jokowi = 1 : 5 (ada dua poin yang nilainya imbang)
Setelah saya pertimbangkan, dengan berfikir jernih, akhirnya saya jatuhkan pilihan saya untuk Jokowi sebagai presiden berikutnya. Nanti, saya akan tuliskan, setelah saya memilih Jokowi, ada debat capres ketiga, lalu keempat, serta beberapa acara wawancara eksklusif Parobowo maupun Jokowi yang semakin memantapkan pilihan saya untuk Jokowi menjadi presiden.
Bersambung
0
3.2K
15
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan