mat_indonAvatar border
TS
mat_indon
Manipulasi dalam Video Prabowo, Sang Patriot
Manipulasi dalam Video Prabowo, Sang Patriot

link sumber
13 June 2014







INDONESIA2014 - Kubu kampanye Prabowo nampaknya rela melakukan apapun, termasuk tindakan tak etis seperti memanipulasi pernyataan tokoh berpengaruh untuk keperluan pencitraan sang calon presiden.

Salah satu kasus penting adalah manipulasi dalam video kampanye Prabowo berjudul Sang Patriot. Yang jadi korban adalah seorang ilmuwan sejarah yang sangat dihormati.

Sang Patriot adalah film propaganda yang sengaja dibuat untuk mempromosikan kehebatan Prabowo. Didanai Hashim Djojohadikusumo, film ini beredar melalui pemutaran langsung di tingkat akar rumput, di kantor-kantor cabang Gerindra serta organisasi turunannya, dan juga melalui Youtube.

Sebelumnya, Hashim sudah menggelontorkan dana puluhan miliar rupiah untuk tiga film perang kolosal: Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010) dan Hati Merdeka (2011). Ketiga film ini mendapat sambutan lumayan di pasar, meski secara bisnis pasti tak membawa keuntungan finansial.

Berbeda dengan ketiga film sebelumnya, Sang Patriot adalah film dokumenter sejarah. Di sepanjang 33 menit film ini penonton akan dibawa menyaksikan betapa Prabowo adalah calon pemimpin Indonesia yang tak tertandingi. Dia memiliki silsilah keluarga yang luar biasa; dan dia juga adalah seorang perwira yang catatan prestasinya istimewa.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menjadi produser sekaligus penulis naskah film ini, sementara sentuhan artistik diarahkan oleh sutradara Helmi Adam yang mengaku melakukan riset tiga bulan sebelum membuat film tersebut, terutama untuk menelusuri garis keturunan Prabowo.

Sepanjang Sang Patriot, Prabowo digambarkan bak seorang superhero: dari perannya memimpin operasi pembebasan sandera di Mapenduma, Papua, pada pertengahan 1990an; keberhasilannya membawa tim pendaki ke puncak Everest; masa-masa penugasannya di Timor Leste, sampai aktivitas-aktivitasnya membina sejumlah perusahaan dan organisasi-organisasi kemasyarakatan.

Memang tak sekalipun Prabowo tampil diwawancara, namun ada sejumlah sosok yang muncul untuk memuji-muji Prabowo: Hashim, Fadli Zon, Yusuf Abraham Rawis (Ketua KPPI, paguyuban bekas aktivis angkatan ’66 yang mendukung Prabowo), Asmujiono (anak buah Prabowo di Kopassus), Efendi (mantan pelatih kungfu Kopassus), serta Dr. Ngadiran (Sekjen APPSI, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, yang diketuai Prabowo).

Namun mungkin yang paling penting adalah tokoh yang muncul di awal. Dia adalah Peter Carey, seorang ahli sejarah Jawa yang sangat dihormati dari universitas terkemuka, Oxford, Inggris. Carey dikagumi karena karyanya yang sangat fenomenal tentang Pangeran Diponegoro, berjudul ‘The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855’.

Carey menjadi penting karena dia adalah seorang ilmuwan independen yang tentu saja diharapkan akan membawa otoritas tatkala berbicara soal Prabowo.

Carey mengungkapkan bahwa Prabowo adalah keturunan Sultan Agung. Carey juga berkisah bahwa moyang Prabowo adalah salah seorang perwira kepercayaan Pangeran Diponegoro, bernama Banyak Wide, yang berjuang dalam perang pemberontakan yang heroik.

Dari penjelasan Carey itu, film ini kemudian beralih pada kakek Prabowo dan ayah Prabowo yang sama-sama berperan besar dalam perjalanan sejarah Indonesia, baik di masa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia maupun di masa pasca Indonesia merdeka.

Singkat kata, Prabowo digambarkan sebagai keturunan orang-orang hebat yang sejak dulu menjadi tokoh-tokoh utama yang menentukan sejarah menuju Indonesia merdeka.

Masalahnya, pemunculan Carey dalam film itu sebenarnya dimanipulasi. Pernyataan Carey di sana ternyata dimuat di luar konteks penjelasan aslinya. Carey bahkan tidak pernah diberitahu bahwa ia diwawancara untuk kepentingan pembuatan film propaganda Prabowo. Padahal di unggahan video Sang Patriot di Youtube, termuat sticker berbunyi: “Ini kata Sejarawan Oxford University, Dr. Peter Carey, tentang Letjen TNI (Purn) H. Prabowo Subianto. Setujukah anda?”

Kelicikan pembuatan film Sang Patriot ini diketahui setelah banyak pihak mempertanyakan integritas Carey pada Mei lalu. Dalam Asian Corespondents, misalnya, sejumlah penulis mengeritik Carey yang dianggap sampai ‘menjual diri’ karena bersedia tampil dalam film propaganda Prabowo.

Yang dipersoalkan para pengeritik adalah bagaimana mungkin Carey sebagai seorang ilmuwan yang selama ini dikenal komitmennya pada demokrasi dan HAM mengabaikan saja fakta Prabowo adalah seorang calon presiden yang memiliki rekam jejak pelanggaran HAM yang buruk.

Karena itulah, begitu tahu bahwa dirinya muncul dalam video kampanye tersebut, Carey melakukan klarifikasi untuk membersihkan namanya.

Dalam laman Facebooknya, Carey menjelaskan, kutipan pernyataannya dalam film dokumenter itu merupakan cuplikan dari wawancara 90 menit dengannya yang dilakukan jauh hari sebelum film itu dibuat.

Ketika itu, menurut Carey, ia diwawancara panjang lebar soal Perang Jawa dan bukan soal Prabowo. Dia memang menyebut adanya moyang Prabowo yang terlibat dalam perang tersebut, tapi tidak dalam konteks menunjukkan adanya pewarisan nilai-nilai heroisme kepada sang calon presiden.

Memang ada bagian yang agak janggal dalam film tersebut. Pada satu bagian digambarkan Hashim mengatakan bahwa pada dirinya dan Prabowo sejak kecil ditanamkan semangat juang, semangat ksatria, semangat pengabdian.

Lantas gambar beralih kepada Carey yang mengatakan bahwa, “secara turun temurun dia adalah orang yang jiwanya bukan sekadar yes man, bukan sekadar ikut-ikut saja… Jiwa Diponegoro memiliki jiwa yang berkobar, seorang pahlawan; dia rela mengorbankan hidupnya, hidup keluarganya, dan kekayaan dia . . ”

Dari cuplikan tersebut, terlihat bahwa penonton diarahkan untuk menduga bahwa Carey sedang bicara tentang keteguhan karakter Prabowo, padahal kemudian ternyata yang sebenarnya sedang dibicarakan adalah Pangeran Diponegoro, yang tidak memiliki hubungan darah apa-apa dengan Prabowo. Para penonton yang tidak mencermati isi film secara seksama tentu tidak akan menyadari ‘tipuan’ tersebut.

Carey mengatakan wawancara itu ditujukan untuk keperluan refleksi historis. “Kemunculannya dalam film tersebut diambil keluar dari konteks,” katanya menjelaskan.

Sebagai seorang ilmuwan yang merasa wajib tidak terlibat dalam politik Indonesia, Carey memang menganggap tak perlu mempersoalkan kasus ini lebih lanjut. Baginya, yang penting, masyarakat akademik tahu bahwa ia tidak terlibat dalam proses pembuatan film propaganda tersebut.

Bagaimanapun, ini kembali mengingatkan publik bahwa mesin propaganda Prabowo memang bersedia melakukan aksi ‘pemelintiran’ semacam ini untuk kepentingan tujuan politik mereka.

Video:

-------------------

Wawancara itu diambil keluar dari konteksnya’: Peter Carey

May 2, 2014.



Peter Carey [Facebook/Achi Pradipta]


Pengantar

Berikut ini adalah klarifikasi profesor Peter Carey kepada Satutimor.com saat diminta penjelasan soal penggunaan wawancara dengan dirinya dalam sebuah video tentang bakal calon Presiden Prabowo Subianto. Walaupun Yayasan Arsari milik adik Prabowo, Hashim Djojohadisumo adalah sponsor terbesar dalam penerjemahan karya Carey ‘The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855′ ke dalam bahasa Indonesia, Carey mengatakan wawancara dengannya telah dibuat jauh sebelumnya dan telah ditarik keluar dari konteksnya. Selain itu, sang professor ahli Indonesia dan Timor-Leste ini mengatakan kontribusinya untuk sejarah tidak dimaksudkan sebagai sebuah propaganda. Berikut penjelasan selengkapnya.




As regards my interview in the ‘Sang Patriot’ documentary, I am not sure how much I can add to my existing facebook explanation. Obviously, it was made many moons before the documentary was released – and made in a completely different context from a political documentary since it was part of a 90-minute interview which ranged widely over aspects of the background, course and impact of the Java War in which two immediate relatives / ancestors of the Djojohadikusumo fought (on DN’s side). The family relationship with Sultan Agung was not something discussed in any detail – partly because it is not something I know anything about, and partly because it is irrelevant to the Java War. These are all matters I have already clarified along with the role of the Yayasan Arsari Djojohadisumo foundation as a generous sponsor of the indonesian translation of my Power of Prophecy (2007). They were not the only sponsor – the Royal Institute for Linguistics and Anthropology (KITLV) in Leiden, paid for the entire translation (over 100 juta), but they were a major one surely and they have ensured the wide distribution of the book to tertiary institutions (universities, colleges) throughout Indonesia – for which I am also very grateful.

All I would add here is that in my view as regards my particular contribution on the historical side the interview I made was not aimed at propaganda. It was an historical reflection and as it appeared in the film was taken out of context.

The role of the two Djojohadikusumo relatives is a matter of historical record and something I have been aware of for over 40 years since I first corresponded with Pak Hashim’s grandfather -Raden Mas Margono – over the Java War and the tragedy which it brought both for Java and for individual families like his own. For history is never clear-cut or easy and it is dangerous to try to appropriate it to enhance personal reputations.

Take the Djojohadikusumo family itself – for them it was a form of civil war which brought much suffering. Some relatives – like the father of the historian Raden Tumenggung Djajadiningrat (raden Mas Margono’s great-grandfather) – lost his life in an ambush set by one of Diponegoro’s top commanders, Sbaik, in Lengkong in the Sleman district (DIY) (31 July 1826) and as he lay dying placed a curse on the Sbaik family forbidding any relative to marry into their line.

As for Raden Mas Margono, he was not able to visit the grave of another maternal great-grandfather in Gombong because he had placed a pemali (curse) that any relative who took service with the Dutch (as Margono had) would not be allowed to approach his gravesite. All this is discussed in intriguing detail in his marvellous memoir Herinneringen uit Drie Tijdperken (Kenang-kenangan dari tiga zaman) (1971) which I used extensively for my teaching in Oxford.

In a later generation the family relationships in relation to the Java war period became even more complicated because Mas Margono’s one surviving son, Professor Sumitro, married into a prominent Minhassan family – the scions of Benjamin Thomas Sigar who had served as a captain of native Minahassan auxiliaries (hulptroepen) for the Dutch and they took part in the destruction of the Javanese forces in the closing stages of the war. So again the ‘civil war’ aspects of the conflict too their toll. This is referred to amusingly in the memoir about Prof Sumitro – Sumitro Djojohadikusumo – Patriot, Economist, Teacher (eds Hendra Esmara, Aristides Katoppo and Heru Cahyono) (Jakarta: Yayasan Arsari, 2014) where on page 362 Sumitro is described referring jokingly to his wife as ‘(being) under a curse because your ancestors took sides with the Dutch General de Kock, while my ancestors took sides with the revolutionary Prince Diponegoro. So now you are being punished by having to marry me!’

So once one looks for certainties in family histories one begins to enter a quagmire. History is never simple. Even Diponegoro – perhaps especially him despite his pahlawan nasional status – has a bad press in some circles in Indonesia. I think here of the Yogya kraton or the Kampong Jawa Tondano (Minahassa) community – Kyai Mojo’s descendants – because they see him as having been consumed by worldly ambitions (the Mojo ‘santri’ view) or a traitor to his lawful sultan (HBV), for whom he was appointed guardian, the Yogya kraton view.

In this way the historiographical judgements of the Dutch continue to resonate and poison perceptions in modern Indonesia. At the end of the day the Java War was a tragedy which inflicted untold suffering on thousands (200.000 dead on the Javanese side _- 2 million victims of war as refugees). The Belgian infantry officer Captain Errembault de Dudzeele (1789-1830) spoke of the appalling stench of 400 rotting bodies in the alang-alang grass around AMANGKURAT I’s old keraton at Plered in June 1826 as he participated in the final assault on Diponegoro’s strongpoint. Whhere is the nobility and keluhuran here? As Pape John Paul II always said ‘war is part of the tragic history of the past’. Something to be profoundly distressed by – not a source of elevation for anyone. Still less a a future president of Indonesia. So those are my brief reflections. Semoga ada manfaat.

Peter

==========================


Prabowo the Patriot: Indonesia presidential hopeful produces propaganda flop

By Asian Correspondent Apr 24, 2014 12:55PM UTC



By Patrick Tibke

In recent times Prabowo Subianto’s presidential campaign has often manifested as a peculiar spectacle, characterised by colourful and highly unpredictable politicking. In one such unorthodox campaign manoeuvre, earlier last month, Prabowo released an autobiographical documentary entitled Prabowo Sang Patriot (‘Prabowo the Patriot’), in which he is self-indulgently portrayed as the mortal embodiment of myriad, vainglorious Javanese and Indonesian stereotypes – from ancient, indefatigable warrior descendent, to paternalistic agro-lover and solider of ‘the people.’ In light of this particular item of propaganda, there seems to be no limitations as to what kind of rhetoric or medium Prabowo is willing to appropriate in order to clinch and index his strongman, populist credentials.

Prabowo Sang Patriot, a cinematic experiment produced and funded by Prabowo’s billionaire younger brother, Hashim Djojohadikusomo, was released via the Gerindra party’s exclusive YouTube channel on March 4, though so far to scanty acclaim. And in typically obstinate fashion, the brothers have subsequently denied that the film is intended as campaign propaganda, even though its release seems to coincide uncannily with the run-up to the 2014 elections. Technicalities aside, Prabowo Sang Patriot is clearly a very high-budget production, bolstered by extensive use of archive footage and slick direction from Helmi Adam, as well as an orchestral score and a catchy little campaign ditty, unreservedly entitled Prabowo Presidenku (‘Prabowo, my president’).


In terms of casting, Prabowo has shrewdly chosen not to feature personally in the film, presumably so not to be seen as blowing his own trumpet on-screen, so to speak. Instead, Prabowo Sang Patriot employs the assistance of a motley crew of hand-picked talking heads, each commissioned to narrate the life-story of the presidential hopeful and heap seemingly munificent praise on his pre-eminent, elite lineage.
-------------------------

Luar biasa perjuangan kubu PraHara, sampai-sampai menyatut orang tanpa ijin, mengedit video seolah-olah orang itu sedang berbicara mengenai Prabowo. Lihai sekali....emoticon-Mad (S)

Dr. Peter Carey sudah minta videonya dihapus sejak Mei lalu, namun sampai hari ini masih bisa kita lihat di YouTube.


update 8 Juli 2014:

Diubah oleh mat_indon 08-07-2014 09:22
0
9K
62
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan