Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aoikuniedaAvatar border
TS
aoikunieda
Pidato dan Debat Capres pengaruhi Pemilih
Di situs media sosial

Facebook pagi ini (4/6) sempat beredar kabar bahwa pada acara deklarasi Pemilu Damai Selasa (3/6) malam, seorang calon presiden disebut-sebut sempat menolak adanya acara ‘Debat Capres’ di rangkaian Pilpres kali ini.

Bukan saatnya untuk mengupas siapa capres tersebut. Saya juga tak tertarik untuk mempersoalkan kekakuan salah seorang capres pada acara itu. Soal ‘kaku’ atau tidak, menurut saya mungkin saja memiliki hubungan dengan apakah otot-otot menua para capres itu sudah dipijat atau tidak.

Maklumlah, di atas 40 tahun, rematik pun gampang njebul. Untuk soal itu barangkali para ahli pijat dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), atau Pak Soewondo—juru pijat mendiang Gus Dur, lebih ‘faqih’
menjelaskannya. Paling tidak, kalau di kantor kami, soal itu kami serahkan sepenuhnya
kepada Pak Yadi, pengasuh rubrik ‘Klinik Pak Yadi’ di laman ini. Beliau tak hanya piawai soal salah urat, tetapi juga masalah sebangsa otot kaku tersebut.

Yang buat saya menarik, justru untuk melihat seberapa besar rakyat Indonesia diuntungkan oleh acara tersebut, serta mencoba menilai signifikansi acara itu terhadap pilihan pemilih.

Bagi saya, acara debat capres yang disiarkan jaringan televisi itu sama sekali tak berguna kalau saja Indonesia masih berada di era 1960-an. Kita tahu, bahkan di kantor kelurahan pun saat itu belum ada pesawat tv. Apalagi milik pribadi di rumah-rumah, untuk ajang tontonan sekeluarga. Tetapi saat ini, siapa bisa bilang tidak? Kita bahkan sebenarnya tak lagi perlu aneka survei dan pendapat para ahli tentang pengaruh tv pada rakyat. Paling tidak, bila survei A.C. Nielsen saja bilang, rata-rata orang Indonesia menonton tv lebih dari 4 jam setiap hari. Itu artinya sembilan tahun dari umur kita habiskan sepenuhnya dengan memelototi layar televisi. Dengan asumsi usia rata-rata 65 tahun, mana mungkin kita bisa mengelak bahwa pengaruh tv begitu besarnya.

Malah mungkin sebenarnya kita bisa mengatakan, Tuhan kita saat ini adalah tv! Bagaimana tidak, bila waktu untuk bertemu tv jauh lebih lebih banyak dibanding waktu kita bercengkerama dengan Tuhan, yang untuk seorang Muslim hanya 5 menit kali 5 waktu salat, alias 25 menit saja! Alhasil, tv sebenarnya telah menjadi Tuhan baru masyarakat pasca modern ini. Itu saja cukup untuk mempertegas pendapat Melvin De Fleur, yang menyatakan bahwa televisi mampu mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat.

Artinya, bila tv dianggap penting oleh rakyat, penting juga para capres itu membuka apa mau mereka di tv. Setidaknya, itu kana membuat Pilpres tak hanya lebih demokratis, tetapi juga lebih terbuka dan transparan tentang siapa dan apa yang ada di benak para capres. Itu akan lebih sangkil dan mangkus lewat penyiaran acara debat tersebut. Mungkin untuk soal ini kita bisa berkaca kepada sejarah AS.

Menurut Bruce Morton, seorang awak desk politik CNN, perdebatan televisi pertama kandidat presiden pada Senin 26 September 1960, antara Senator Partai Demokrat John F. Kennedy dan Wakil Presiden Richard M. Nixon dari Partai Republik, merupakan debat bersejarah yang telah mengubah lanskap politik AS ke arah yang lebih baik. Momentum itulah yang menurut dia membuka era baru perdebatan televisi.

Pada putaran terakhir dari empat putaran, acara berlangsung di New York, 21 Oktober. Dan itu mengubah pilihan publik AS. Jika jauh hari sebelumnya hasil jajak pendapat menempatkan Nixon sebagai kandidat yang diunggulkan, sementara Kennedy hanya sekadar jual tampang dan
berbekal ‘pencitraan’, debat di New York itu mengubah segalanya.

Apa pasal? Sejatinya, hanya karena pada debat yang dimoderatori Howard K. Smith dari jaringan CBS News itu Kennedy tampil tenang, santai, luwes serta meyakinkan. Ia juga cekatan dan tangkas menanggapi pertanyaan dan ulasan, tak hanya dari kompetitornya, Nixon, tapi juga dari moderator. Ia sering menebar senyum ke arah kamera — kepada para penonton – bukan hanya menatap lawan debat. Sebaliknya, Nixon tampak tegang. Ia terlihat seolah ketakutan.

Bicaranya kurang lancar. Belum lagi wajahnya selalu terlihat keringatan. Meski tak bisa mencium bau bacin keringatnya, penonton langsung tak mempercayainya. Publik tak percaya sosok Nixon yang tegang dan kaku, ibarat batang kayu.

Mengapa banyak yang percaya momen itulah yang memenangkan Kennedy? Karena hasil suara terakhir yang berselisih suara tipis pada popular vote: Kennedy 49,7 % dan Nixon 49,6 %.

Oh ya, kali ini mungkin lebih subjektif. Saya sendiri sepakat bahwa capres harus berdebat.

Bukan karena saya tidak sepakat manakala satu capres berkata, yang penting adalah kerja, kerja dan kerja.

Tetapi mengingat demokrasi--dan
kita semua bukan pedagang kucing karungan, tak baik banyak berahasia tentang apa yang akan dikerjakan. Soalnya, ujung-ujungnya pasti rakyat juga yang kena dampaknya.

Belum lagi mungkin rakyat pun perlu tontonan. Mereka akan kecewa dan mempertanyakan,” Kerja kerja, kerja apa? Emang apa yang mau Anda kerjakan?

[url]www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=326677emoticon-Stick Out Tongueidato-dan-debat-capres-menentukan&catid=77:fokuredaksi&Itemid=131[/url]

Koment Ts.... Semoga Prabowo tampil bagus pada debat capres nanti
Diubah oleh aoikunieda 09-06-2014 06:28
0
687
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan