Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ammoniumAvatar border
TS
ammonium
Politik Prostitusi PDIP di Gang Dolly
Ketika kali terakhir mengunjungi Gang Dolly -- lokalisasi pramuriaan di Surabaya -- sekitar lima tahun lalu, seorang kawan mengatakan; "Di sini, semua orang punya kepentingan. Mulai dari polisi sampai politisi."

Saat menghadiri Hari Pers Nasional di Bengkulu, Ainur Rofiq -- pemenang Adinegoro kategori investigasi bertajuk Hari-hari Jelang Runtuhnya Gang Dolly -- berbicara banyak tentang fakta yang luput ditulis dalam laporan itu. Dalam cerita itu, saya juga menangkap ada aroma politik di balik perkembangan Gang Dolly.

Karena letaknya yang jauh dari wilayah kerja, saya tak tertarik menelusuri dan menuliskannya. Terlebih, politik prostitusi di Gang Dolly seolah tidak muncul ke permukaan pada hari-hari pertama setelah Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengemukakan gagasan menutup lokalisasi pramuriaan terbesar di Asia Tenggara itu.

Pekan ini, muncul pertentangan antara Tri Rismaharini dengan Wisnu Sakti Buana, wakil walikota Surabaya. Wakilnya sendiri. Bu Risma, demikian Tri Rismaharini biasa dipanggil, tetap pada keputusannya menutup Gang Dolly sebelum Ramadhan 2014. Wisnu menggunakan pendekatan politik untuk menentang kebijakan sang atasan.

Risma telah mempersiapkan penutupan sejak satu tahun terakhir; dengan sosialisasi dan tawaran solusi. Wisnu, sesuai kapasitasnya sebagai politisi, beretorika tentang realitas sosial dan ekonomi warga terkena dampak penutupan Gang Dolly.

Kesalehan sosial Risma kini berhadapan dengan politik prostitusi PDIP.

Sejenak melihat ke belakang, politik prostitusi Gang Dolly bukan sesuatu yang baru. Cemi Fitriani Jamal, mahasiswi Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, sempat mengungkap politik prostitusi Gang Dolly dalam skripsi S1-nya.

Menurut Cemi, politik prostitusi Gang Dolly mulai terlihat tahun 1987, atau 20 tahun setelah Dolly Chavid (bukan nama sebenarnya) mendirikan rumah bordil di kawasan itu. Saat itu, selaih rumah-rumah bordil milik Tante Dolly, bertumbuhan rumah-rumah pramuriaan milik oknum aparat.

Tidak hanya oknum militer, salah satu partai berbasis Islam juga sempat 'bermain' di lokalisasi ini. Tahun 1989, saat Tante Dolly meninggal dunia, Gang Dolly secara politik sempat disebut 'daerah hijau'.

Golkar, tulis Cemi Fitriani, tak mau kalah. Sebagai partai berkuasa, Golkar tanpa kesulitan melakukan 'kuningisasi'. Namun Cemi tidak menyebut apakah pada Pemilu terakhir di era Orde Baru Golkar menang di Gang Dolly.

Yang pasti, setelah era reformasi. PDIP mengambil alih. Warga Gang Dolly, Jl Jarak, Jl Putat, dan sekitarnya, menyebut diri 'orang merah'. Kata 'merah' merujuk pada partai, yaitu PDIP.

Orang merah di Gang Dolly, terutama pelaku bisnis lendir, kini memainkan 'kartu'nya yang lewat Wisnu Sakti Buana, untuk mempertahankan eksistensi kawasan itu. Risma mungkin tak punya kartu apa-apa, selain kesalehan sosial dan tekad menuntaskan tugas ilahiah; membersihkan Surabaya dari maksiat. [dsy]

[URL="http://nasional.inilah..com/read/detail/2102677/politik-prostitusi-pdip-di-gang-dolly#.U3y1yChEUis"]sumber[/URL]

Risma walikota yang mengusung PDIP namun dia bukan kader PDIP, sekarang dia mau menutup dolly, eh ditentang sama wakilnya si wisnu (kader PDIP)
Misalkan Jokowi jadi presiden, berani gak dia ikut campur untuk nutup dolly ? Ane kok ragu ya dia brani nglawan PDIP


Politik Prostitusi PDIP di Gang Dolly
0
3.6K
19
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan