- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Dialog Ramalan Presiden 2014
TS
hiphop88wira
Dialog Ramalan Presiden 2014
Quote:
Tawanya yang terkekeh membuatku berpaling memandangnya. Itu bukan cara tawa orang biasa: entah tawa orang waskita yang menyindir, atau tawa tak bermakna dari orang kenthir! Dan kemungkinan kedualah simpulan yang segera kuambil begitu melihat sumber tawa itu: seorang yang tertawa-tawa sambil duduk memegangi kursi terbalik di depannya.
“Aja kesusu, Mas…! Aja kesusu…!” ia berbicara dengan suara sengau kecilnya, cempreng mengusik kuping. Entah pada siapa ia bicara, tapi karena matanya menatapku —mata tajam namun tak menusuk itu membuatku ragu-ragu, jangan-jangan orang ini cukup waras— spontan aku menjawab, sambil tersenyum juga, “Kesusu ngapa Lik?”
“Kesusu menyimpulkan aku iki kenthir…. Huahahahahahaha….. Iya to? Wuekekekekkkkkkkk….!”
Aku merasa jadi terdakwa tanpa didampingi pengacara, tohokan katanya tepat tak terbantah! “Lha tak kira ki kenthir padha aku je, Lik…! Hahahahahaha… Lha ketoke ngono to, Lik? Wuekekekekkkkk…!” Aku menirukan dua caranya tertawa, mencoba menyamakan frekuensi dengannya. Dan dia pun tersenyum lebar tanpa suara, sebuah bahasa keramahan yang membuatku merasa hangat dan tak canggung untuk segera duduk nglesot di dekatnya, di kain yang gelarnya dan baru kusadari warnyanya menyerupai warna bendera, hanya kotor dan kusam saja.
“Kok megang kursi terbalik gitu, to Lik? Terlambat kalau Sampeyan sekarang kampanye partai nomor 4, wong sekarang sudah jamannya kampanye Capres!” Aku omong asal saja, karena kursi yang dipegangnya membuatku spontan kepikir angka 4.
“Lha, rak kesusu to? Ini penyakit rakyat kita, Mas. Tergesa-gesa menyimpulkan. Wuekekkekekekkkkk….!”
“Terus, maksud Sampeyan apa, Lik?”
“Jan-jane ya rada pinter, Mas, lumayan tanggap juga Sampeyan mikir angka 4 begitu melihat kursi njungkir ini! Ning ya kecepeten…. Terlalu cepat kalau menyimpulkan aku kampanye partai nomor 4!”
“Lha memang ada apa je, Lik, dengan angka 4 itu?”
“Aku ini lagi memegangi kursi Sang Satriya Piningit Ke-4! Karena kita kita mau memasuki jaman ke-4!”
Mungkin ini caleg depresi, ya…. Sepertinya begitu kalau kudengarkan arah bicaranya yang mulai melantur tetapi juga bukan asal ngawur.
“Lho, kata orang khan sekarang ini sudah sampai zamannya Satriya ke 6, Lik! Besok 2014 kita ketemu yang ke-7. Bukannya begitu, Lik?”
“Lha ya itu, Mas… Aja kesusu… Aja kesusu… Jangan terlalu cepat menyimpulkan! Ngawur kalau jaman ini dikatakan jamannya ‘Satria Boyong
Pambukaning Gapura’ gak ada cocoknya babar blas…. Sama sekali tidak cocok! Siapa diboyong ke mana? Gapura apa yang dibuka? SBY kok Satriya Boyong…. Gakkkk…. Gak cocok babar blassss… Sama sekali tidak cocok!”
Hmmm… mungkin benar dia caleg gagal yang stress. Dia ngoceh, bukan tanpa referensi.
“Terus, piye Lik? Bagaimana?”
“Kita itu baru menyongsong jaman ke-4!”
“Kok ke-4? Lha wong besok itu sudah presiden ke-7 je, Lik… Belum lagi kalau Ketua Pemerintahan Darurat RI, Mr Sjafrudin Prawiranegara juga dihitung sebagai presiden, malah sudah ke-8.”
“Mr Sjafrudin itu hanya melaksanakan mandat darurat, Mas, makanya dia menyebut diri Ketua, bukan Presiden, dan mandat segera dikembalikan begitu kondisi berubah. Kalau presiden, memang yang ke-7, tapi kalau zaman, ini baru zaman ke-4 bagi Indonesia.”
“Maksud Sampeyan?”
“Ya ke-4! Wuekekekkkkk…..!”
“Dihitung dari mana, Lik, kok ketemu ke-4 itu?”
“Dari segala hitungan! Pokoke ke-4, percaya’a wae, Mas… Percaya saja, besok itu zaman ke-4! Dihitung dari penggolongan Orde? Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi…. Terus? Besok memasuki zaman setelah orde Reformasi itu… zaman ke-4! Natanagara? Besok itu kita baru masuk eranya Na-ta-na-ga, ke-4! Satriya dalam Jangka Jayabaya? Kita juga baru akan ketemu Satriya ke-4, Mas.”
“Coba jelaskan, Lik!” Jujur, pembicaraan setengah ngawur dan gila-gilaan dan setengahnya lagi tidak jelas ini jadi semakin menarik.
“Kalau ngomong Orde Lama, Orde Baru, itu kita ngomong jaman Mas, bukan ngomong presiden… Kebetulan saja zaman itu presidennya masing-masing satu orang dan memerintah sangat lama. Sekarang sudah zaman Reformasi, presidennya sudah ganti-ganti, tapi jamannya belum berubah. Jadi, dari zaman sesudah Pak Harto lewat sampai sekarang ini, kita belum berganti zaman. Baru akan ada perubahan besok ini, zaman ke-4!”
Aku tanpa terpaksa manggut-manggut membenarkan, memang benar juga… pergantian presiden tak selalu berarti perubahan keadaan, perubahan zaman. Entah, apa benar atau sekedar harapan, selanjutnya akan dimulai zaman baru… entahlah, tapi aku pun juga berharap ada arah baru sesudah pemerintahan tanpa arah ini.
“Natanagara, itu juga bicara soal zaman, Mas…! Notonagoro itu nukan No Sukarno, To, Suharto dan sesudah itu tidak jelas to? Masa Habibi mau dicocok-cocokkan dengan Na? Gus Dur Ga? Hahahaha…. Itu ngawur, Mas! Ngawur dan tidak cocok! Waton tanpa wewaton, asal dan tanpa dasar!”
“Terus?”
“Ya itu bicara zaman…. Zaman, Mas!”
“Maksudnya bagaimana, Lik?”
“Na itu artinya ANA, ada! Zaman pertama adalah saat negara kita mula ada, ana! Ya bener, itu zaman Bung Karno! Bung Karno itu yang menunjukkan Indonesia ini ana, ada dan dirasakan adanya: internal ditandai mula-mula dengan proklamasi kemerdekaan, eksternal ditandai dengan pengakuan eksistensi Indonesia dan ketokohan presidennya yang diakui dunia! Itulah zaman Na… Ana. Ada!”
“Terus?”
“Nata! Nata itu artinya raja, penguasa. Ya memang bener, itu zaman presiden ke-2 kita: zaman kekuasaan benar-benar tegak, zaman presiden benar-benar menjadi yang mahakuasa di seluruh negara. Zaman presiden benar-benar seperti raja, saat demokrasi pun tak jauh-jauh dari sekedar iya pada kata sang raja.”
Untung, dia mengatakannya sekarang, kalau dulu sudah bisa ditangkap, subversif…!
“Terus?” Aku kembali mengucap refren, entah ingin tahu entah menampakkan kebodohanku.
“Na-Ta-Na, ana nata ning ora ana, ana ning nana nata! Ada raja, ada pemimpin, tetapi seperti tidak ada! Wuekekekkkkkk…. Coba bayangkan, presiden-presiden berikutnya, Mas… hanya sebentar, tidak dihormati secara semestinya, dan keberadaannya segera ditiadakan! Habibie, tak genap satu setengah tahun memimpin dan berakhir dengan pertanggungjawaban yang ditolak. Gus Dur? Dia presiden hebat, tapi dilengserkan terlalu cepat. Tragis! Megawati? Dia memerintah sudah dengan jalur yang benar, tapi tak bisa memenuhi harapan rakyat yang terlalu besar! Sayang, kita itu kesusu, tergesa-gesa… orang-orang hebat dan benar itu tidak diberi waktu yang cukup karena kita terlalu tergesa-gesa ingin mengalami perubahan! Lha bagaimana bisa diubah dengan cepat, wong kekacauan yang ada itu sebegitu lama dan berat! Mulane, Mas… Aja kesusu, aja kesusu…!”
“Jadi, zaman Presiden Habibie, Gus Dur, Bu Mega itu kepemimpinan seperti ada dan tiada, na-ta-na? Begitu? Kalau zaman SBY?”
“Sssstttt…. !” digamitnya pundakku untuk mendekat, dan dia membisikkan ke telingaku… tak begitu jelas apa katanya, kalau tidak salah dia berbisik, “Ini lagi parah-parahnya, presiden in absentia… ada presiden tapi sungguh seperti tak ada saja!” Entah, bisik-bisiknya tak jelas, tapi memang pemerintahan presiden yang sekarang ini kuakui terlalu banyak pembiaran-pembiaran. Dan memang benar, kerusakan tak hanya terjadi karena perbuatan salah, tetapi ketika orang yang punya wewenang dan kewajiban berbuat memilih diam, akan muncul pula beragam kerusakan, yang parah bahkan. Kegemasanku tentang era pembiaran ini membuatku lebih asyik dengan pikiranku sendiri daripada mendengarkan bisik-bisiknya yang memang tidak kudengar jelas suaranya.
“Terus?” Aku kembali dengan refren pertanyaan bodohku, sambil agak menjauh agar dia bicara lebih jelas dan tidak bisik-bisik samar lagi.
“Aja kesusu, Mas…! Aja kesusu…!” ia berbicara dengan suara sengau kecilnya, cempreng mengusik kuping. Entah pada siapa ia bicara, tapi karena matanya menatapku —mata tajam namun tak menusuk itu membuatku ragu-ragu, jangan-jangan orang ini cukup waras— spontan aku menjawab, sambil tersenyum juga, “Kesusu ngapa Lik?”
“Kesusu menyimpulkan aku iki kenthir…. Huahahahahahaha….. Iya to? Wuekekekekkkkkkkk….!”
Aku merasa jadi terdakwa tanpa didampingi pengacara, tohokan katanya tepat tak terbantah! “Lha tak kira ki kenthir padha aku je, Lik…! Hahahahahaha… Lha ketoke ngono to, Lik? Wuekekekekkkkk…!” Aku menirukan dua caranya tertawa, mencoba menyamakan frekuensi dengannya. Dan dia pun tersenyum lebar tanpa suara, sebuah bahasa keramahan yang membuatku merasa hangat dan tak canggung untuk segera duduk nglesot di dekatnya, di kain yang gelarnya dan baru kusadari warnyanya menyerupai warna bendera, hanya kotor dan kusam saja.
“Kok megang kursi terbalik gitu, to Lik? Terlambat kalau Sampeyan sekarang kampanye partai nomor 4, wong sekarang sudah jamannya kampanye Capres!” Aku omong asal saja, karena kursi yang dipegangnya membuatku spontan kepikir angka 4.
“Lha, rak kesusu to? Ini penyakit rakyat kita, Mas. Tergesa-gesa menyimpulkan. Wuekekkekekekkkkk….!”
“Terus, maksud Sampeyan apa, Lik?”
“Jan-jane ya rada pinter, Mas, lumayan tanggap juga Sampeyan mikir angka 4 begitu melihat kursi njungkir ini! Ning ya kecepeten…. Terlalu cepat kalau menyimpulkan aku kampanye partai nomor 4!”
“Lha memang ada apa je, Lik, dengan angka 4 itu?”
“Aku ini lagi memegangi kursi Sang Satriya Piningit Ke-4! Karena kita kita mau memasuki jaman ke-4!”
Mungkin ini caleg depresi, ya…. Sepertinya begitu kalau kudengarkan arah bicaranya yang mulai melantur tetapi juga bukan asal ngawur.
“Lho, kata orang khan sekarang ini sudah sampai zamannya Satriya ke 6, Lik! Besok 2014 kita ketemu yang ke-7. Bukannya begitu, Lik?”
“Lha ya itu, Mas… Aja kesusu… Aja kesusu… Jangan terlalu cepat menyimpulkan! Ngawur kalau jaman ini dikatakan jamannya ‘Satria Boyong
Pambukaning Gapura’ gak ada cocoknya babar blas…. Sama sekali tidak cocok! Siapa diboyong ke mana? Gapura apa yang dibuka? SBY kok Satriya Boyong…. Gakkkk…. Gak cocok babar blassss… Sama sekali tidak cocok!”
Hmmm… mungkin benar dia caleg gagal yang stress. Dia ngoceh, bukan tanpa referensi.
“Terus, piye Lik? Bagaimana?”
“Kita itu baru menyongsong jaman ke-4!”
“Kok ke-4? Lha wong besok itu sudah presiden ke-7 je, Lik… Belum lagi kalau Ketua Pemerintahan Darurat RI, Mr Sjafrudin Prawiranegara juga dihitung sebagai presiden, malah sudah ke-8.”
“Mr Sjafrudin itu hanya melaksanakan mandat darurat, Mas, makanya dia menyebut diri Ketua, bukan Presiden, dan mandat segera dikembalikan begitu kondisi berubah. Kalau presiden, memang yang ke-7, tapi kalau zaman, ini baru zaman ke-4 bagi Indonesia.”
“Maksud Sampeyan?”
“Ya ke-4! Wuekekekkkkk…..!”
“Dihitung dari mana, Lik, kok ketemu ke-4 itu?”
“Dari segala hitungan! Pokoke ke-4, percaya’a wae, Mas… Percaya saja, besok itu zaman ke-4! Dihitung dari penggolongan Orde? Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi…. Terus? Besok memasuki zaman setelah orde Reformasi itu… zaman ke-4! Natanagara? Besok itu kita baru masuk eranya Na-ta-na-ga, ke-4! Satriya dalam Jangka Jayabaya? Kita juga baru akan ketemu Satriya ke-4, Mas.”
“Coba jelaskan, Lik!” Jujur, pembicaraan setengah ngawur dan gila-gilaan dan setengahnya lagi tidak jelas ini jadi semakin menarik.
“Kalau ngomong Orde Lama, Orde Baru, itu kita ngomong jaman Mas, bukan ngomong presiden… Kebetulan saja zaman itu presidennya masing-masing satu orang dan memerintah sangat lama. Sekarang sudah zaman Reformasi, presidennya sudah ganti-ganti, tapi jamannya belum berubah. Jadi, dari zaman sesudah Pak Harto lewat sampai sekarang ini, kita belum berganti zaman. Baru akan ada perubahan besok ini, zaman ke-4!”
Aku tanpa terpaksa manggut-manggut membenarkan, memang benar juga… pergantian presiden tak selalu berarti perubahan keadaan, perubahan zaman. Entah, apa benar atau sekedar harapan, selanjutnya akan dimulai zaman baru… entahlah, tapi aku pun juga berharap ada arah baru sesudah pemerintahan tanpa arah ini.
“Natanagara, itu juga bicara soal zaman, Mas…! Notonagoro itu nukan No Sukarno, To, Suharto dan sesudah itu tidak jelas to? Masa Habibi mau dicocok-cocokkan dengan Na? Gus Dur Ga? Hahahaha…. Itu ngawur, Mas! Ngawur dan tidak cocok! Waton tanpa wewaton, asal dan tanpa dasar!”
“Terus?”
“Ya itu bicara zaman…. Zaman, Mas!”
“Maksudnya bagaimana, Lik?”
“Na itu artinya ANA, ada! Zaman pertama adalah saat negara kita mula ada, ana! Ya bener, itu zaman Bung Karno! Bung Karno itu yang menunjukkan Indonesia ini ana, ada dan dirasakan adanya: internal ditandai mula-mula dengan proklamasi kemerdekaan, eksternal ditandai dengan pengakuan eksistensi Indonesia dan ketokohan presidennya yang diakui dunia! Itulah zaman Na… Ana. Ada!”
“Terus?”
“Nata! Nata itu artinya raja, penguasa. Ya memang bener, itu zaman presiden ke-2 kita: zaman kekuasaan benar-benar tegak, zaman presiden benar-benar menjadi yang mahakuasa di seluruh negara. Zaman presiden benar-benar seperti raja, saat demokrasi pun tak jauh-jauh dari sekedar iya pada kata sang raja.”
Untung, dia mengatakannya sekarang, kalau dulu sudah bisa ditangkap, subversif…!
“Terus?” Aku kembali mengucap refren, entah ingin tahu entah menampakkan kebodohanku.
“Na-Ta-Na, ana nata ning ora ana, ana ning nana nata! Ada raja, ada pemimpin, tetapi seperti tidak ada! Wuekekekkkkkk…. Coba bayangkan, presiden-presiden berikutnya, Mas… hanya sebentar, tidak dihormati secara semestinya, dan keberadaannya segera ditiadakan! Habibie, tak genap satu setengah tahun memimpin dan berakhir dengan pertanggungjawaban yang ditolak. Gus Dur? Dia presiden hebat, tapi dilengserkan terlalu cepat. Tragis! Megawati? Dia memerintah sudah dengan jalur yang benar, tapi tak bisa memenuhi harapan rakyat yang terlalu besar! Sayang, kita itu kesusu, tergesa-gesa… orang-orang hebat dan benar itu tidak diberi waktu yang cukup karena kita terlalu tergesa-gesa ingin mengalami perubahan! Lha bagaimana bisa diubah dengan cepat, wong kekacauan yang ada itu sebegitu lama dan berat! Mulane, Mas… Aja kesusu, aja kesusu…!”
“Jadi, zaman Presiden Habibie, Gus Dur, Bu Mega itu kepemimpinan seperti ada dan tiada, na-ta-na? Begitu? Kalau zaman SBY?”
“Sssstttt…. !” digamitnya pundakku untuk mendekat, dan dia membisikkan ke telingaku… tak begitu jelas apa katanya, kalau tidak salah dia berbisik, “Ini lagi parah-parahnya, presiden in absentia… ada presiden tapi sungguh seperti tak ada saja!” Entah, bisik-bisiknya tak jelas, tapi memang pemerintahan presiden yang sekarang ini kuakui terlalu banyak pembiaran-pembiaran. Dan memang benar, kerusakan tak hanya terjadi karena perbuatan salah, tetapi ketika orang yang punya wewenang dan kewajiban berbuat memilih diam, akan muncul pula beragam kerusakan, yang parah bahkan. Kegemasanku tentang era pembiaran ini membuatku lebih asyik dengan pikiranku sendiri daripada mendengarkan bisik-bisiknya yang memang tidak kudengar jelas suaranya.
“Terus?” Aku kembali dengan refren pertanyaan bodohku, sambil agak menjauh agar dia bicara lebih jelas dan tidak bisik-bisik samar lagi.
Quote:
“Besok, kita memasuki zaman “NATA NAGA” zaman menjinakkan naga! Kalau dibaca dengan kacamata gelap, natanaga itu berarti saat mengalahkan para koruptor, pengusaha serakah yang nakal, dan golongan sektarian pengacau dan perusak, yang selama ini menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya. Kalau dibaca dengan kacamata putih, ini bearti saat mengelola aneka sumber daya, alam maupun manusia dan juga energi spiritual…. Mengelola dan mengoptimalkan untuk membangun negara… Ini awal kejayaan, tapi masih harus sabar karena belum sampai zaman kejayaan yang sesungguhnya, zaman NATA NAGARA! Nah, untuk menggerakkan energi spiritual itu, yang bisa hanyalah seorang yang banyak doa dan gemar bertapa namun juga ekaligus rajin bekerja! Cocok dengan figur Satriya ke-4, “Satriya Lelana, Tapa Ngrame”
Quote:
Penjelasannya semakin aneh dan absurd, tapi menggugah penasaran juga…. Pilihan kata-katanya pun semakin meloncat-loncat dari ranah ilmiah ke wilayah klenik, dari bahasa politis ke mistis… ah, kacau tapi membuatku manggut-manggut tanpa keterpaksaan.
“Satriya pertama adalah Satria Kinunjara Murwa Kuncara, ini sudah tak perlu penjelasan, pemimpin Orde Lama sangat jelas dengan gambaran ini, seorang pemimpin yang keluar masuk penjara, bahkan kematiannya pun dalam keterpenjaraan, tapi tetap bersinar sampai sekarang. Satria kedua, Satriya Mukti Wibawa Kesandung Kesampar, juga tak perlu banyak penjelasan cocok dengan presiden zaman Orde Baru: sangat berwibawa, bahkan ditakuti, tetapi berakhir dengan kehinaan, kesandhung kesampar, terjatuh dan terinjak-injak, tak dihargai setelah sekian lama sedemikian dihormati. Kasihan juga sebenarnya, tapi kesalahannya sendiri juga…”
“Lalu?” aku mencoba mengganti kata, untuk memancing kelanjutan uraiannya.
“Yang berikutnya ini yang sering mulai ditafsirkan tergesa-gesa, kesusu! Satriya Jinumput Sumela Atur! Apa artinya jinumput? Dipungut, persisnya gambarannya seperti mengambil dengan jari, kecil-kecil, diambil begitu saja atau dipungut beberapa bersamaan! Jadi, Satriya Jinumput ini bukan satu orang!”
Entah ngawur entah masuk akal, aku manggut-manggut mendengarkannya, bukan langsung setuju tapi supaya dia melanjutkan uraiannya.
“Habibie, orang tak pernah merencanakan atau menghendakinya menjadi presiden. Tapi saat itu dia adalah wakil presiden, maka mau tak mau, suka tak suka, dia jinumput, dipungut dan ditahtakan. Gus Dur? Hahaha… dia pun tokoh yang jinumput, karena sebenarnya perolehan suara dan dukungan politik dalam pemilu saat itu tidak menempatkan dia sebagai tokoh yang sewajarnya jadi Presiden. Juga jangan percaya begitu saja, orang yang pertama menjagokan dia itu serius untuk mengusung dia. Itu hanya lewa-lewa saja sebenarnya, menawarkan pura-pura agar diserahkan pada yang menawarkannya, tapi ternyata penawaran pura-pura itu ditanggapi serius oleh yang ditawarinya. Sewajarnya, Megawati yang jadi presiden waktu itu, tapi Gus Dur yang dipungut, jinumput, sementara Mega malah ditenggelamkan sekedar sebagai wakil saja. Tapi ya begitulah, ketika Gus Dur dijatuhkan oleh orang-orang yang dulu mengangkatnya, Mega yang semula disingkirkan dipungut kembali! Mereka inilah para Satriya Jinumput itu! Dari tak diperhitungkan tiba-tiba jadi terkemuka dan ditaruh di depan, maka disebut jinumput sumela atur.”
“Apakah SBY juga termasuk Satriya Jinumput?”
“Hahaha…. Memangnya dia terpilih karena hebat? Bukan… dia terpilih karena dipandang seolah orang baik yang teraniaya saja!”
“Jinumput juga? Terpungut dari ketersia-siaan, begitu?”
“Hahahaha…. Memangnya dia mau kausebut Satria ke-4? Hahahaha… jelas gak ada cocok-cocoknya! Hahahaha… Iya khan? Wuekekekkkkkk….!” Kembali ia terkekeh dengan tawa yang membuatku membayangkan sosok mBilung, punakawan sabrangan.
“Satria ke-4 itu baru akan muncul, ini kursinya masih aku pegang ini, seperti angka 4 khan? Ini masih kupegang terbalik, supaya tidak ada yang menduduki… Wuekekekkkkk…. Satria ke-4 itu disebut Satriya Lelana Tapa Ngrame, dia akan banyak berkeliling untuk berbuat baik, bertirakat dalam perbuatan. Dia tidak dikenal sebagai ulama, tetapi spiritualitasnya sangat dalam, maka disebut tapa ngrame. Keimanannya dibuat bukan dengan berdakwah kata-kata tapi lewat pekerjaan dan perbuatan nyata. Dia seperti ini: duduk di kursi terbalik, tidak duduk di tahta tapi turun melayani rakyatnya! Inilah Sang Penjinak Naga dan Penggerak Daya yang hebat itu. Tapi ya jangan tergesa-gesa, aja kesusu, jangan berharap sudah akan segera memasuki zaman kejayaan. Setelah Sang Satriya Lelana ini, kita masih memasuki zaman berikutnya sebelum kita memasuki zaman kejayaan, zaman NATA NAGARA, zamannya kita benar-benar mampu mengelola dan menata negara kita, zaman yang dipimpin oleh Sang Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu.”
Hmmm… jujur, ada bayangan cukup jelas, tentang tokoh yang cocok dengan gambaran “Satriya Lelana Tapa Ngrame” ini, tapi aku tidak mau menyimpulkan apa-apa, karena pasti nanti akan dia jawab, “Aja kesusu, jangan tergesa-gesa!” Jadi aku lebih memilih diam tentang tokoh yang kusimpulkan. Lagi pula, aku tidak mau dikatakan kampanye untuk Capres tertentu.
“Satriya pertama adalah Satria Kinunjara Murwa Kuncara, ini sudah tak perlu penjelasan, pemimpin Orde Lama sangat jelas dengan gambaran ini, seorang pemimpin yang keluar masuk penjara, bahkan kematiannya pun dalam keterpenjaraan, tapi tetap bersinar sampai sekarang. Satria kedua, Satriya Mukti Wibawa Kesandung Kesampar, juga tak perlu banyak penjelasan cocok dengan presiden zaman Orde Baru: sangat berwibawa, bahkan ditakuti, tetapi berakhir dengan kehinaan, kesandhung kesampar, terjatuh dan terinjak-injak, tak dihargai setelah sekian lama sedemikian dihormati. Kasihan juga sebenarnya, tapi kesalahannya sendiri juga…”
“Lalu?” aku mencoba mengganti kata, untuk memancing kelanjutan uraiannya.
“Yang berikutnya ini yang sering mulai ditafsirkan tergesa-gesa, kesusu! Satriya Jinumput Sumela Atur! Apa artinya jinumput? Dipungut, persisnya gambarannya seperti mengambil dengan jari, kecil-kecil, diambil begitu saja atau dipungut beberapa bersamaan! Jadi, Satriya Jinumput ini bukan satu orang!”
Entah ngawur entah masuk akal, aku manggut-manggut mendengarkannya, bukan langsung setuju tapi supaya dia melanjutkan uraiannya.
“Habibie, orang tak pernah merencanakan atau menghendakinya menjadi presiden. Tapi saat itu dia adalah wakil presiden, maka mau tak mau, suka tak suka, dia jinumput, dipungut dan ditahtakan. Gus Dur? Hahaha… dia pun tokoh yang jinumput, karena sebenarnya perolehan suara dan dukungan politik dalam pemilu saat itu tidak menempatkan dia sebagai tokoh yang sewajarnya jadi Presiden. Juga jangan percaya begitu saja, orang yang pertama menjagokan dia itu serius untuk mengusung dia. Itu hanya lewa-lewa saja sebenarnya, menawarkan pura-pura agar diserahkan pada yang menawarkannya, tapi ternyata penawaran pura-pura itu ditanggapi serius oleh yang ditawarinya. Sewajarnya, Megawati yang jadi presiden waktu itu, tapi Gus Dur yang dipungut, jinumput, sementara Mega malah ditenggelamkan sekedar sebagai wakil saja. Tapi ya begitulah, ketika Gus Dur dijatuhkan oleh orang-orang yang dulu mengangkatnya, Mega yang semula disingkirkan dipungut kembali! Mereka inilah para Satriya Jinumput itu! Dari tak diperhitungkan tiba-tiba jadi terkemuka dan ditaruh di depan, maka disebut jinumput sumela atur.”
“Apakah SBY juga termasuk Satriya Jinumput?”
“Hahaha…. Memangnya dia terpilih karena hebat? Bukan… dia terpilih karena dipandang seolah orang baik yang teraniaya saja!”
“Jinumput juga? Terpungut dari ketersia-siaan, begitu?”
“Hahahaha…. Memangnya dia mau kausebut Satria ke-4? Hahahaha… jelas gak ada cocok-cocoknya! Hahahaha… Iya khan? Wuekekekkkkkk….!” Kembali ia terkekeh dengan tawa yang membuatku membayangkan sosok mBilung, punakawan sabrangan.
“Satria ke-4 itu baru akan muncul, ini kursinya masih aku pegang ini, seperti angka 4 khan? Ini masih kupegang terbalik, supaya tidak ada yang menduduki… Wuekekekkkkk…. Satria ke-4 itu disebut Satriya Lelana Tapa Ngrame, dia akan banyak berkeliling untuk berbuat baik, bertirakat dalam perbuatan. Dia tidak dikenal sebagai ulama, tetapi spiritualitasnya sangat dalam, maka disebut tapa ngrame. Keimanannya dibuat bukan dengan berdakwah kata-kata tapi lewat pekerjaan dan perbuatan nyata. Dia seperti ini: duduk di kursi terbalik, tidak duduk di tahta tapi turun melayani rakyatnya! Inilah Sang Penjinak Naga dan Penggerak Daya yang hebat itu. Tapi ya jangan tergesa-gesa, aja kesusu, jangan berharap sudah akan segera memasuki zaman kejayaan. Setelah Sang Satriya Lelana ini, kita masih memasuki zaman berikutnya sebelum kita memasuki zaman kejayaan, zaman NATA NAGARA, zamannya kita benar-benar mampu mengelola dan menata negara kita, zaman yang dipimpin oleh Sang Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu.”
Hmmm… jujur, ada bayangan cukup jelas, tentang tokoh yang cocok dengan gambaran “Satriya Lelana Tapa Ngrame” ini, tapi aku tidak mau menyimpulkan apa-apa, karena pasti nanti akan dia jawab, “Aja kesusu, jangan tergesa-gesa!” Jadi aku lebih memilih diam tentang tokoh yang kusimpulkan. Lagi pula, aku tidak mau dikatakan kampanye untuk Capres tertentu.
Quote:
"Sssstt... tak bilangi, tapi jangan cerita siapa-siapa ya... gini, aku sebenarnya berharap dan berdoa, bahwa Satriya berikutnya itu benar-benar piningit, tersembunyi, artinya, kalau tokoh itu disebut Satriya Piningit Hamong Tuwuh, tak perlulah dia harus jadi pemimpin, tetapi cukuplah tersembunyi di padhepokan, sambil memelihara tunas kepemimpinan berikutnya. Tahu kenapa? Supaya bangsa ini tidak terlalu lama menanti kejayaannya! Jangan bilang 'Aja kesusu...' ini namanya juga doa dan pengharapan, apa kenyataannya nanti, biarlah yang terjadi kehendak Tuhan, tapi bukankah doa kita juga dapat didengar dan dikabulkan... Nah, kalau segera nanti setelah Sang Satriya Lelana Tapa Ngrame itu disusul segera oleh Satriya Boyong Pambukaning Gapura, semakin cepatlah kemakmuran rakyat dan kejayaan bangsa! Sampeyan tidak usah protes, diam kalau tidak setuju atau ikut berdoa saja kalau punya harapan yang sama! Wuekekekekekkk....!"
“Apakah tokoh setelah Satriya Lelana ini, yang disebut Satriya Boyong Pambukaning Gapura itu tokoh seperti Ahok?” Aku pun tertarik dan kebetulan ada kecocokan dengan tokoh yang untuk zaman ini paling kupercayai kejujurannya, dan aku suka sekali dengan gayanya, hehehe… “Aku rasa Satriya Boyong Pambukaning Gapura itu cocok sekali dengan Ahok! Dia cocok kalau disebut Satriya Boyong, karena dia dari konteks ramalan Jawa, dia adalah orang dari luar Jawa, dari konteks etnisitas juga sering disebut non-pribumi (aku jujur termasuk orang yang sebel dengan istilah ini, tapi untuk kecocokan ramalan itu, kata-kata ini indah juga, hehehe…), jadi kalau dia jadi Presiden pas sekali disebut Satriya Boyong. Dan orang seperti itu memang berkarakter pambuka gapura, pendobrak gerbang ke zaman baru, tetapi sekaligus tidak akan berlama-lama mencengkeram kekuasaan, membuka dan merelakan orang berikutnya yang memasuki istana. Satriya Boyong Pambukaning Gapura ini pasti Ahok khan Lik?”
“Hahahahaha….!”
Dia tertawa keras. Aku menebak, dia akan mengatakan lagi, “Aja kesusu, jangan tergesa-gesa!” Tapi ternyata dia tidak mengatakan itu. Dia berdiri dan mengangkat kursi terbalik itu di atas kepalanya.
“Wuekekkkkkkkk…. Ning iki mau mung karepe Si Bilung…. Wuekekekkkkk….!”
Dia terkekeh, ngeloyor pergi dengan tawa mBilungnya…
0
2K
Kutip
7
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan