arie121290Avatar border
TS
arie121290
Membangun Demokrasi (BI-08) Perkembangan Hukum, Masyarakat dan Politik
Membangun Demokrasi (BI-08)
Perkembangan Hukum, Masyarakat dan Politik

Dalam teori Max Weber tentang “The General Development of Law and Procedure”, mengemukakan terjadinya proses rasionalisasi hukum (rationalization of law is transition from substantively rational law to formally rational law). Secara garis besar perkembangan hukum menurutnya (1954: 320) sebagai berikut, pertama-tama dimulai dari pengadaan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara kharismatik. Pengadaan hukum secara demikian itu terjadi melalui apa yang disebutnya “law prophets”. Dan secara pengadaan secara “law prophets” ini sebagai pengadaan hukum yang kreatif, yang menciptakan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Berbeda dengan pengadaan hukum yang dilakukan oleh pakar-pakar hukum, sebagaimanapun selalu bertolak dari kaidah hukum yang sudah ada sebelumnya.

Tahapan pertama ini ditandai dengan mode kreasinya yang bersifat “kharismatik””, kualitas formalnya adalah “magical formalism plus irrational”, kemudian tipe keadilannya adalah “charismatic justice”.

Kemudian pada tahap kedua adalah penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para “legal honoratiores” yaitu penciptaan hukum oleh “cauntelary jurisprudence”. Pada tahapan ini metodenya mengandung seni dan keterampilan yang bersifat inovatif. Pengadaan hukum tidak jatuh begitu saja dari langit, melainkan tercipta melalui proses teknis dan ketrampilan yang tinggi. Preseden memainkan peranan yang memadai di mana penciptaannya itu diikat oleh preseden itu.

Berikutnya pada tahap ketiga adalah pembebanan (imposition) hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler atau teokratis. Tahapan ini oleh Weber ditandai dengan mode kreasinya yang bersifat “secular theoretic”, kualitas formalnya adalah “theocraticsubstantive rationality”, dan tipe keadilannya adalah “empirical justice”.

Terakhir, pada tahap keempat ini hukum dengan cara sistematis dan dilaksanakan secara professional oleh orang-orang yang memperoleh pendidikan formal hukum dengan metode ilmiah secara logis formal. Pada tahapan ini mode kreasinya bersifat “professionalised”, kualifikasi formalnya adalah “logical sublimation”, dan tipe keadilannya adalah “rational justice”.

Max Weber melihat bahwa masyarakat itu selalu berkembang dari masyarakat yang kharismatik tradisional dan itu adalah tahapan yang wajar jika dilihat dari pertumbuhan masyarakat Jerman dimana ia hidup. Pentahapan seperti itu tidak selalu benar jika mempelajari sejarah pertumbuhan masyarakat lain, terutama masyarakat yang pernah melakukan suatu revolusi sehingga memperoleh kemerdekaan bangsa dan negaranya. Perkembangan yang dianut oleh Weber adalah perkembangan yang menunjukkan keselarasan pertumbuhan hukum dan faktor lain yang terdapat dalam masyarakatnya.

Di Indonesia Sendiri

Di dalam masyarakat dari negara yang lahir dari revolusi seperti di Indonesia, perkembangan hukum dan perkembangan masyarakatnya tidak senantiasa selaras. Ada kemungkinan hukumnya sudah ada di tahap keempat, sementara beberapa sektor yang terdapat dalam masyarakatnya masih berada di tahap kedua atau ke tiga.

Dan juga di dalam masyarakat dari negara yang lahir karena revolusi, perkembangan hukum dan perkembangan masyarakatnya belum tentu sedemikian sistematis tahap perkembangannya, karena mungkin saja pada saat masyarakat itu masih dijajah, ia masih berada pada tahap kedua atau ketiga, dan begitu revolusi berhasil, mereka secara menerabas mau mengejar ketinggalan dan meloncat memperlakukan hukum modern yang sudah berada pada tahap keempat. Akibatnya terjadi kesenjangan antara kualitas hukumnya dan kualitas masyarakatnya. Warga masyarakat tidak memahami hukum positip yang diberlakukan pemerintah.

Ambil contoh saja, pada masa kolonial Belanda dulu, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan hukum yang berbeda bagi orang pribumi terjajah dengan hukum bagi orang-orang asing. Kalau dilihat secara sosiologis, terlepas dari pertimbangan politis, maka sikap pemerintah Belanda waktu itu sebenarnya tepat sekali. Bagaimanapun tidaklah tepat untuk memberlakukan “hukum modern” yang berjiwa barat kepada warga masyarakat pribumi yang waktu itu masih belum terpelajar dan masih lebih banyak yang berpikiran tradisional.

Tetapi setelah Indonesia merdeka, setelah kaum pribumi menjadi tuan di negeri sendiri, maka ratusan ribu sarjana telah “dicetak”, maka sangatl tidaklah tepat kalau masih terus menerapkan berbagai aspek hukum peninggalan kolonial Belanda itu.

Adapun di dalam perkembangan pada saat itu, di masa kolonial Belanda pun juga telah terjadi pasang surut dan pasang naik perkembangan konfigurasi politik di Indonesia, yaitu perubahan konfigurasi politik otoriter ke demokratis, dan sebaliknya.

Dimana hal itu juga dapat disimpulkan bahwa performance konfigurasi politik tidak selalu sama dengan ketentuan konstitusinya. Karena semua konstitusi yang berlaku sejak Indonesia merdeka secara eksplisit menyebut “demokrasi” sebagai salah satu prinsipnya yang fundamental, tetapi dalam prakteknya yang terjadi sebaliknya.

Adapun periodisasi, perkembangan konfigurasi politik dalam periode tersebut, sebagai berikut, demokrasi Liberal (1945 – 1959), demokrasi Terpimpin (1959 -1966), Orde Baru (966 - 1998).

Perlu kita tegaskan di sini, bahwa yang kita maksudkan dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian dengan kekuasaan resmi suatu pemerintahan negara.

Mungkin seluruh negara yang ada di dunia kini, apapun wujudnya (kerajaan atau republik; berfaham liberal atau sosialis; menggunakan sistem demokrasi ataupun otiriter/diktator) menyatakan negara mereka sebagai “negara hukum”. Olehnya itu senantiasa timbul pertanyaan, yang mana yang lebih dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan negara?

Mac Iver membedakan 2 jenis hukum. Yang pertama, hukum yang berada di bawah pengaruh politik, dan yang kedua hukum yang berada di atas politik. Yang berada di atas politik, hanya konstitusi, sedang sisanya semua berada di bawah politik. Penulis beranggapan inilah pandangan yang realistis tentang hubungan hukum dan politik. Salah satu contoh yang membuktikan kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah bahwa lahirnya undang-undang jelas karya para politisi.

Tidak dapat kita sangkal bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara hukum dan politik, antara asas-asas hukum dan pranata-pranata hukum, serta antara ideologi-ideologi politik dan lembaga-lembaga pemerintah.

Kita sangat sering mendengar pernyataan para yuris dengan slogan mereka bahwa : Hukum terdiri diatas dan melewati politik. Yang mereka maksudkan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan suatu masyarakat di mana para hakim tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik.

Ide seperti itu terasa sangat dipengaruhi oleh cara berpikir tria politica montesquieu, yang jelas-jelas memisahkan antara keuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun ide seperti itu agak berbeda dengan ide kekuasaan politik berdasarkan UUD 1945 misalnya, dimana kekuasaan presiden tidak hanya berada di bidang eksekutif semata, tetapi juga ada yang berada dalam bidang legislatif dan yudikatif. Sebagai contoh besarnya peran prsiden dalam meproduksi undang-undang; adanya kekuasaan presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Dan kekuasaan tersebut jelas konstitusional sifatnya karena berdasarkan konstitusi UUD 1945.

Pertanyaan yang bisa muncul di sini, siapakah yang mengatakan bahwa ajaran trias politicanya Mostesquieu yang benar? Bukankah masih ada kemungkinan lain dari ajaran itu? Bukankah dalam sejarah kita menemukan banyak pemerintahan kuno yang sukses memakmurkan rakyatnya, tanpa melaksanakan ajaran trias politica-nya Mostesquieu?

Jika persoalan kekuasaan politik ini dikaitkan dengan peradilan, maka dengan eksistensi Mahkamah Agung, oleh yuris yang dogmatik mengharapkan bahwa, meskipun suatu pemerintah ingin menggunakan undang-undang bagi pencapaian tujuan politik, pengadilan-pengadilan tetap diharapkan untuk tetap menjauhkan diri dari kontroversi-kontroversi forum politik. Harapan semacam itu jelas agak mustahil jika kita menerima kehadiran hukum sebagai sesuatu yang tidak otonom atau mandiri. Bagaimanapun, pengaruh timbal-balik antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik senantiasa mesti terjadi. Hal ini dijelaskan antara lain oleh harry C. Bredemeier dengan konsep inputs-outputsnya.

Dalam optik Harry C. Breidmeier (Vilhelm Aubert, 1969:54 dst) memandang kaitan antara pengadilan dan politik, dengan melihat keadaan di Amerika Serikat. Dikatakan bahwa pencapaian tujuan yang menjadi tugas sub sistem politik dilakukan dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai dengan menetapkannya menjadi perundang-undangan. Jika Undang-undang itu kemudian digugat keabsahannya, pengadilan yang akan menjatuhkan putusannya. Pengadilan menguji perundang-undangan itu.

sumber : http://writing-contest.bisnis.com/ar...at-dan-politik
0
906
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan