assasin46Avatar border
TS
assasin46
[CATPER] Menembus Hutan Rimba Menuju Puncak Gunung Salak
Mendaki gunung dan mendaki gunung sebuah kegiatan yang tidak akan ada bosannya untuk dilakukan. Kegiatan yang menuntut kemampuan fisik, manajemen perjalanan yang efektif dan kemampuan navigasi ini menjadi favorit para petualang.


Puncak Salak Dua tertutup awan dilihat dari Puncak Salak Satu. Puncak Salak Dua ini yang sebenarnya menjadi target pendakian.


Dalam perjalanan kali ini saya mencoba untuk mendaki salah satu gunung yang menurut kalangan pendaki gunung memiliki tingkat kesulitan yang sangat sulit. Konon di gunung ini merupakan favorit tempat untuk pendidikan para calon anggota pencinta alam tingkat sekolah menengah maupun universitas di jakarta. Ya, gunung ini adalah Gunung Salak, walaupun gunung ini hanya berketinggian 2200 meter di atas permukaan laut tapi medan yang ditempuh sangat sulit dibandingkan gunung “tetangga”, Gunung Gede.

Gunung Salak sendiri terletak di Provinsi Jawa Barat. Gunung Salak sendiri mempunyai beberapa puncak seperti Puncak Salak Satu, Salak Dua, Salak Tiga, Salak Empat dan seterusnya. Setiap puncak memiliki perbedaan ketinggian dan cenderung memiliki jalur pendakian yang cukup menguras fisik. Gunung Salak dapat didaki melalui jalur Cimelati dan Cidahu. Jalur tersebut merupakan jalur yang biasa didaki oleh pendaki pada umumnya.Namun kali ini saya mencoba jalur pendakian melalui Sukamantri, Ciapus dan tujuan pendakian saya adalah Puncak Salak Dua.

Tiga hari sebelum keberangkatan menuju Gunung Salak, saya bersama teman-teman telah mempersiapkan jalur yang akan kami daki. Jalur yang kami daki tergolong jalur yang sulit dan juga termasuk jalur pendidikan. Plotting jalur di peta dan pemilihan emergency exit point telah kami tentukan. Beberapa jalur di punggungan menuju Puncak Salak terlihat curam di peta. Perkiraaan perjalanan selama empat hari telah saya antisipasi dengan logistik yang mencukupi. Alat komunikasi seperti HT saya persiapkan untuk media berhubungan dengan anggota tim. Untuk mengantisipasi medan-medan yang sulit, tali karmantel, carbinner, webbing kami persiapkan.

Menuju Entry Gunung Salak

Senja berganti malam, di antara ransel-ransel yang sudah terisi dengan barang bawaan, kami segera bersiap berangkat menuju Sukamantri dari Sekretariat Mapala UI. Sesuai dengan kebiasaan sebelum memulai perjalanan, kami berfoto dan berdoa di depan sekretariat. Dengan langkah yakin, kami melangkah bergerak menuju Stasiun Pondok Cina dan menggunakan kereta untuk menuju Stasiun Bogor. Dengan menggunakan kereta ekonomi, kami melaju menuju Bogor. Kereta idaman masyarakat ini terlihat cukup lengang walaupun di saat lalu lintas padat. Tak berapa lama kemudian sekitar 20 menit, kami sampai di Stasiun Bogor dan kami melanjutkan menggunakan kendaraan angkutan kota menuju Sukamantri, Ciapus. Malam yang cerah, udara dingin khas Kota dan bintang-bintang yang bertebaran di langit menemani kami sepanjang jalan menuju Sukamantri. Angkutan kota ini melewati jalan yang melenggak lenggok menaik menuju Sukamantri hingga sampai pemberhentian akhir di sebuah pertigaan. Pertigaan ini dikenal oleh orang-orang sekitar sebagai “Pertigaan Ciapus-PLN”. Saya bersama teman-teman segera turun dan mengeluarkan carrier yang beratnya hampir mencapai 25 kg. Hampir semua carrier yang berukuran rata-rata 60+15 dan berberat 20 kg ini diisi dengan empat buah air mineral ukuran 1.5 L, logistik, alat memasak, baju-baju pribadi hingga alat-alat rescue. Merogoh kantong celana, kami mengeluarkan total biaya perjalanan dari Stasiun Bogor hingga Pertigaan Sukamantri-PLN sebesar Rp 8000.

Sejenak beristirahat di pinggir jalan yang sepi ini, kami berusaha mencari sebuah warung untuk makan malam karena perut sudah berbunyi. Pilihan jatuh kepada bubur ayam yang hanya satu-satunya ada di sana. Selepas makan malam ini, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga pintu masuk Sukamantri yang berjarak hampir 2 km dengan medan yang menanjak. Rumah-rumah yang cukup rapat, terkadang terdengar suara hewan peliharaan dan suara penduduk sekitar menghiasi perjalanan yang menanjak ini. Sukamantri ini merupakan salah satu jalur yang jarang digunakan oleh pendaki pada umumnya dikarenakan jalur yang kurang jelas dan tertutup oleh vegetasi yang didominasi oleh pakis dan rotan. Tak lama memasuki berjalan di entry Sukamantri, kami bergerak masuk ke punggungan di sebelah barat. Vegetasi rotan, jalan yang cukup sempit dan tanah yang gembur menyambut awal perjalanan kami di hutan ini. Setelah berjalan hampir sekitar satu jam, kami memutuskan untuk mendirikan kemah untuk mengistirahatkan badan malam ini. Dengan menggunakan fly sheet berukuran 3x4 m kami bertujuh berlindung dari embun dan dinginnya malam.


Hutan di Gunung Salak cenderung sangat rapat. Pengaruh hujan membuat pohon-pohon ini tumbuh secara baik


Perjalanan Sebenarnya Baru Dimulai

Sinar mentari perlahan lahan muncul di ufuk timur. Hangatnya mencoba membangunkan kami yang tidur terlelap. Beruntung tadi malam tidak turun hujan.Jam menunjukkan pukul 7.00 pagi, kami bersiap untuk membongkar kemah dan memasak untuk sarapan pagi. Mengingat perjalanan mendaki gunung membutuhkan tenaga yang ekstra, menu pagi ini adalah nasi goreng, ayam goreng ditambah renyahnya kerupuk udang dan tak lupa sereal maupun teh manis menjadi pembuka pagi ini. Perut kenyang, hati pun senang dan kami siap melanjutkan perjalanan setelah beberapa dari kami melakukan orientasi medan untuk menentukan jalur pendakian ini.

Dengan karakteristik hutan di Jawa Barat yang cenderung bervegetasi rapat ini, kami mulai mendaki pukul 8.00 pagi sesuai dengan rencana perjalanan yang disusun di sekretariat sebelum berangkat. Punggungan yang terlihat cukup jelas kami melangkah pasti tapi tetap berpatokan kepada jalur plotingan di peta dan arah bearing di kompas. Dua jam pertama pendakian ini terasa melelahkan, langkah kaki ini terkadang harus bertemu dengan dada untuk mencapai tempat selanjutnya dalam jalur. Jalur ini banyak kami lewati dengan teknik scrambling, dengan bantuan akar pohon yang ada dan juga kami pasang webbing sebagai safety line mengingat di tepi kiri dan kanan kami adalah lembahan yang sangat terjal. Dominasi rotan yang menutup rapat jalur juga menyulitkan kami, terlihat sekali bahwa jalur ini sangat jarang atau bahkan tidak dilalui oleh pendaki. Terpaksa tim di depan untuk membersihkan jalur dari rotan-rotan yang menghadang agar dapat melewati. Walaupun sudah dibersihkan, rotan tajam itu pun masih membelai kami serasa ingin memberikan oleh-oleh untuk dibawa pulang. Awal perjalanan di hari kedua ini serasa menguras tenaga, vegetasi rotan dan pakis tak kunjung habis menghadang kami. Akhirnya tepat jam 1.00 siang, tim memutuskan untuk berhenti istirahat dan makan siang


Setelah menerabas rapatnya pakis, waktunya makan siang di ketinggian 1100 mdpl.


Sebuah punggungan tipis diselingi vegetasi yang masih didominasi rotan menjadi tempat santap siang kami.Berbekal tramontina, rotan-rotan tajam dibabat untuk menjadikan tempat ini layak sebagai tempat mengistirahatkan badan yang sudah diserang lelah. Sinar matahari yang tembus mengintip ragu-ragu menembus lebatnya hutan menyapa kami yang duduk sambil tertawa riuh mencoba menghilangkan rasa lelah. “Yuk ngopi yuk, keluarin kompor coy, yang packing roti keluarin yee” ujar Fajri yang hari ini bertugas sebagai PJ Teknis perjalanan ini. Waktu istirahat ini tak berlangsung lama, kami segera bergegas melanjutkan perjalanan menuju target selanjutnya yaitu Puncak Salak Empat.

Perut kenyang, kalori dari santap siang ini menjadi penambah energi. Medan menanjak naik, terkadang harus memegang akar-akar pohon untuk menambah ketinggian. Nafas terengah-engah mungkin karena kesulitan mengatur nafas, diselingi umpatan-umpatan ketika menghadapi jalur pendakian yang dirasa tidak masuk akal ini. “This mountain is crazy than Elbrus” eluh pendaki asal Rusia ketika melakukan SAR Sukhoi tahun lalu kepada Ridwan Hakim, anggota Mapala UI yang ikut dalam operasi SAR tersebut. Jalur “bonus” kadang kami dapatkan walaupun harus dilanjutkan dengan turunan curam. Sore hari kami disambut oleh hujan yang turun dengan deras. Kaki melangkah dengan hati-hati menuruni punggungan untuk kembali menaikinya menuju Puncak Salak Empat. Menerobos hujan, kami akhirnya sampai di puncak. Matahari sudah tak terlihat, sore berganti malam, flysheet dibentangkan untuk berlindung. Makan malam dipersiapkan, sementara yang lain sibuk membuat api unggun untuk menghangatkan. Baju basah kuyup, warnanya pun berganti agak kecoklat-coklatan karena tanah. Karena itu kami segera menyalin dengan baju kering dan segera makan malam. Beruntung hujan berhenti, malam ini kami dapat beristirahat dengan lelap.


Kala pagi hari menjelang di Puncak Salak Empat, waktunya packing untuk beranjak ke Puncak Salak Satu.



Dilihat dari Puncak Salak Empat, punggungan utama menuju Puncak Salak Dua dipisahkan lembahan yang sangat terjal.


Summit Attack?

Pagi menyambut kami di hari kedua di Gunung Salak. Matahari menghangatkan pagi membuat tubuh ini malas bergerak keluar dari kemah kami.Namun waktu terus memburu dan kami segera harus melanjutkan perjalanan. “coba cek beringan berapa nih nanti kita jalan, tuh lu liat puncakan, lu tembak, kira-kira berapa jauh lagi kita sampe Salak Satu” tanya Ridwan kepada Tebe yang menjadi PJ Navigasi. Usai sarapan dan merapikan camp, pendakian dilanjutkan. Medan pendakian masih sama, mungkin hingga puncak seperti ini. Jelas terlihat di peta jalurnya memang kadang membuat kesal. Puncak tipuan banyak menipu kami. Kiri-kanan jalur merupakan lembahan terjal. Di kanan punggungan yang kami jalani terlihat tebing yang ditabrak oleh pesawat buatan Rusia yang membuat gempar Indonesia. tahun lalu. Bekas vegetasi yang hilang akibat tabrakan itu masih terlihat gundul. Tak lama dari pemandangan tersebut kemudian kami menjejaki di Puncak Salak Tiga. Di peta yang kami bawa, terlihat jalur EEP (Emergency Exit Point) yang kami plot jika terjadi hal yang tidak sesuai rencana. Kami mengecek jalur tersebut sebelum meninggalkan puncak ini.

Jalur EEP ini menuju Cijeruk di Sukabumi, cukup cepat untuk menuju desa terdekat di kaki gunung. Dengan medan yang cukup menurun tajam, pilihan jalur ini dirasa tepat. Meninggalkan jalur EEP ini, Puncak Salak Satu sudah menunggu kami di depan. “Wah ngehe ini mahh, lehernyee lebih sadis daripada leher Pangrango di Bergspot, tokai lah” umpat saya yang membandingkan dengan kondisi di Pangrango. Ya walaupun sudah dekat tapi jalur ini terasa sangat jauh. Tak mau berlama-lama, langkah kaki kami percepat untuk mencapai puncak. Dan akhirnya Puncak Salak Satu kami raih. Namun ada yang berbeda di puncaknya. Tenda-tenda dari terpal berdiri berjajar sekitar lima buah. Police line juga terpasang mengelilingi tenda-tenda tersebut. Terlihat juga beberapa pemuda berbaju agak lusuh, menggunakan sepatu boot, kupluk di kepalanya sedang memasak di puncak. “Punten kang” sapa kami kepada pemuda-pemuda tersebut. Diperkirakan umurnya sekitar 25 tahun walaupun ada juga yang sudah berumur paruh baya. Obrol punya obrol ternyata mereka adalah petugas pembersihan virus bekas kecelakaan Sukhoi tahun lalu. “Saya mah udah sebulan di sini kang, bersihin virus-virus” tegas seorang pemuda dengan logat Sunda di Puncak Salak Satu. Memang korban-korban meninggal tersebut meninggalkan wabah penyakit jika tidak ditangani. Namun heran terbesit diantara kami, mengapa baru sekarang pekerjaan itu dilakukan. Pasti rentang waktu satu tahun sudah cukup untuk virus-virus itu menyebar.


Puncak Salak Satu merupakan beberapa puncak Gunung Salak. Di puncak ini tahun lalu dijadikan helipad Operasi SAR SUKHOI.



Tim pendakian tiba di Puncak Salak Satu siang hari, hari ketiga pendakian. Di Puncak Salak Satu ini sedang dijadikan basecamp untuk pembersihan virus pasca kecelakaan Sukhoi


Pemandangan di Puncak Salak Satu ini cukup indah walaupun sempat dibabat untuk pembangunan helipad untuk kepentingan SAR Sukhoi.Puncak Salak Dua yang menjadi target kami dapat dilihat dengan cukup jelas. Jalurnya cukup terjal, menantang untuk dicoba. Sejenak matahari berada di atas kepala kami, pertanda untuk segera menyantap makan siang. Sambil makan kami kembali mengobrol dengan petugas tersebut untuk mencoba melintasi jalur yang tertutup oleh garis polisi yang membentang. Namun apa disangka ternyata kami tidak dapat melintas dan terpaksa kami harus menggunakan jalur EEP untuk turun. Berselang waktu istirahat yang makin menipis, siang hampir berganti menjadi sore kami kembali menuju Salak Empat untuk berbelok ke punggungan jalur EEP. Hingga Salak Empat perjalanan kami masih sama ketika mencapai Salak Satu, mengesalkan tetapi mengasyikkan. Tak perlu berlama-lama kami segera menuruni punggungan yang kami yakini sebagai emergency exit point. 30 menit berjalan, kami sudah menuruni sekitar 200 meter dari ketinggian 1900 mdpl. Hujan kembali turun membasahi bumi, jalur kami menjadi sangat licin ditambah lagi terjalnya jalur, kami harus berjalan hati-hati. Namun tak jarang terpeleset karena tanah-tanah yang dipijak tidak lagi padat. Canda dan tawa yang riuh menjadi teman saat kami turun.

Lampu kerlap-kerlip di daratan Sukabumi di kala malam hari sebelum beranjak pulang

Malam pun datang, kelelahan menghampiri kami yang berjalan di tengah hujan. Cahaya headlamp bersinar di tengah gelap gulitanya hutan. Jalur berubah menjadi tidak lagi bersahabat dengan kami. Terkadang jurang-jurang menyapa kami di sisi kanan dan kiri punggungan jalur kami turun. Kondisi tim yang sudah mulai kelelahan, agaknya mulai frustasi dengan jalur ini. Jalur yang tidak kami ketahui ini sempat sepakat dinamakan “Cingehe”, karena menurut kami jalurnya ngehe banget. Akhirnya setelah hampir empat jam menuruni jalur yang tidak bersahabat ini, kami sampai di batas vegetasi hutan. Tawa riang sambil mengingat jalur yang cukup gila itu menjadi akhir dari perjalanan ini. Kami memutuskan untuk menginap di batas hutan ini. Mengingat persediaan logistik yang masih cukup banyak, kami pun berpesta di tengah pemandangan lampu kota Sukabumi dan Gunung Gede Pangrango yang serasa menyampaikan ucapan selamat datang pada kami.


Gunung Gede Pangrango terlihat dari exit point pendakian Gunung Salak di Cijeruk, Sukabumi. Cuaca yang baik membuat pemandangan semakin indah.



Tim pendakian berada di exit point pendakian Gunung Salak di Kampung Loji, Cijeruk Sukabumi. Di exit point ini, terdapat hamparan perkebunan teh yang dikelola oleh warga.


Hari ketiga pun datang, matahari pelan-pelan mulai memanjat langit luas. Kami pun harus mengakhiri perjalanan ini.Exit point yang terlihat jelas di depan mata ini menunggu untuk dituruni. Langit pagi ini yang sangat bersih membuat Gunung Gede Pangrango terlihat jelas. Perkebunan teh menghampar sejauh mata memandang. Ibu-ibu yang mengelola perkebunan teh ini terlihat sedang berada di tengah-tengah teh yang hampir siap dipanen. Bergegas turun, kami bertanya kepada ibu-ibu itu lokasi yang entah tak kami ketahui ini "bu, kalo boleh tau ini kampung apa ya?" , sambil tersenyum ibu itu menjawab dan bertanya "kampung Loji, Cijeruk Sukabumi dek, bade munggah gunung dek?" seraya berjalan, kami menjawab dan tersenyum "iya bu, terima kasih ya.." .

Akhirnya kami pun menyusuri perkebunan teh yang berkelok-kelok. Cukup teduh kala itu. Hingga pada akhirnya sampai ke perkebunan kopi, kami bertemu kembali dengan perumahan. Perjalanan ini sungguh menguras energi. Kami kembali ke Depok dengan bersuka ria. Lelah hilang ketika mengingat kejadian yang terjadi selama perjalanan. Namun akhirnya kami kalah dengan rasa lelah. Kami pun tertidur.
Diubah oleh assasin46 22-04-2014 14:20
0
13.3K
32
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan