Abidin_DombaAvatar border
TS
Abidin_Domba
[BODOH ATAU IGNORANT] Kembalinya CSIS: Megawati Lupa Jasmerah?
INILAHCOM, Jakarta – Megawati melakukan blunder dengan bersedia melakukan pertemuan yang digagas tokoh CSIS Jacob Soetoyo. Partai Nasional Indonesia (PNI) sempat diacak-acak operasi Ali Moertopo.

Yang menarik, seiring munculnya Jacob Soetoyo sebagai ‘tokoh’ baru di pentas politik saat ini, akankah CSIS kembali mendominasi politik Indonesia seperti zaman Ali Moertopo dulu?

Seperti diketahui, Senin malam (14/4/2014) lalu Megawati-Jokowi menggelar pertemuan bersama beberapa duta besar negara asing, dengan tamu kehormatan Dubes AS, Robert Orris Blake. Pertemuan bertempat di rumah Jacob Soetoyo, mediator sekaligus tokoh kunci yang membawa ketujuh dubes tersebut.

Meski latar belakang Jacob adalah pengusaha, yang menarik adalah hubungannya dengan lembaga wadah pemikiran Center of Strategies and International Studies (CSIS). Sampai 2005 lalu Jacob adalah anggota Dewan Pengawas CSIS.

Mengapa menarik? CSIS tak mungkin dipisahkan dari sejarah Indonesia, khususnya Indonesia era Orde Baru. Zaman kekuasaan Soeharto itu memang ditandai dengan dominannya lembaga tersebut memengaruhi kebijakan sang pemimpin.

Dominasi CSIS saat itu sebenarnya secara langsung menegaskan posisi Indonesia dalam hubungannya dengan AS. CSIS adalah lembaga di balik beragam kebijakan Orde Baru di masa-masa awal. Sementara, nama CSIS yang didirikan Ali Moertopo, Soedjono Hoemardhani, Duo Wanandi (Sofyan dan Jusuf) serta Harry Chan Silalahi, itu sendiri diambil copy paste begitu saja dari lembaga sejenis di AS.

Di AS, CSIS didirikan tahun 1962 oleh David M. Abshire dan Admiral Arleigh Burke, sebagai lembaga think thank anti-Komunis di saat memanasnya perang dingin. Abshire sendiri adalah tokoh terkemuka yang sempat menjadi penasihat politik Presiden Reagan dan dubes AS untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Di Indonesia, sebagaimana buku terbitan Grup Tempo Media, ‘Rahasia-rahasia Ali Moertopo’, CSIS dibentuk untuk membantu Soeharto menjalankan pemerintahan baru. Soeharto awalnya bahkan mengusulkan lembaga itu masuk struktur pemerintahan. Jusuf dan kawan-kawan memilih mendirikan lembaga ”independen” di luar pemerintah. ”Agar bebas meneliti dan menyampaikan pendapat,” kata Jusuf Wanandi dalam buku itu.

Masalahnya, Ali Moertopo tak hanya pemikir. Yang lebih penting dia adalah tokoh intelijen dan politikus yang memiliki peranan penting pada masa-masa awal Orde Baru. Ali tak hanya berperan besar dalam melakukan modernisasi intelijen Indonesia. Ia juga terlibat dalam operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto.

Lihat saja. Pada 1968 Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika semua partai melebur menjadi tiga partai, Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis).

Yang monumental, Ali bahkan menerbitkan tulisannya, “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya dijadikan MPR sebagai strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP).

Malangnya, meski lembaga think-thank, tak jarang publik mengidentikkan CSIS dengan Ali. Saat Ali yang kala itu kepala Opsus ditugaskan melakukan rekayasa politik semacam penggalangan (conditioning) dan rekayasa dari atas (engineering from above), CSIS pun terbawa-bawa. Karena seringkali rekayasa itu merugikan kelompok Muslim, jadilah CSIS musuh bersama kelompok Muslim Tanah Air.

Bisa dibilang, saat itu Ali selalu dibawa-bawa dalam berbagai ‘kekacauan’ politik Indonesia, dari Malari sampai Peristiwa Banteng. Kelicinan Ali dan perannya dalam setiap riak politik Indonesia itu sempat membuat atasannya, Yoga Soegomo berkata, “Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat.”

Satu hal yang sering dinisbahkan kepada Ali dan CSIS: perusakan partai nasionalis terbesar, PNI. Operasi yang dilakukan Opsus menghasilkan terpilihnya Hadisubeno, menyingkirkan Mr Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwifungsi ABRI dan lebih cenderung pro Bung Karno.

Rekayasa itu diikuti utak-atik terhadap partai kecil IPKI dari kelompok nasionalis lainnya, sehingga kongres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro-pemerintah.

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” kata Bung Karno. Megawati pun seringkali mengutip perkataan ayahnya itu. Sayang sekali, sepertinya ia lupa kata-katanya sendiri. [dsy]

Sumber : [URL=http://nasional.inilah..com/read/detail/2092181/kembalinya-csis-megawati-lupa-jasmerah#.U03Wrfl_s-J]http://nasional.inilah..com/read/detail/2092181/kembalinya-csis-megawati-lupa-jasmerah#.U03Wrfl_s-J[/URL]

TS :
katanya sih enggak bakalan di setir asing....
tapi sayang ketemunya malah sama tokoh pembisik di era soeharto.

enggak tau apakah ini bodoh apa ignorant... emoticon-Cape d...
0
4.1K
33
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan