reiwind
TS
reiwind
Masya Allah - Jumlah Anak-anak di jepang menurun
Assalamu'alaikum wr.wb.

Agan2 sekalian terus terang ini thead yg pertama kali saya buat di the lounge, selama ini saya hanya penyimak saya, sengaja saya gak hias2 thead ini supaya to the point aja sekedar share info aja.

Ketika saya buka situs republika.co.id pagi ini (7/4/2014) ada satu berita menarik yang saya lihat judulnya Ditinggalkan Anak-Anak, Produsen Mainan Jepang Garap Pasar Baru, setelah dilihat ternyata di berita lama (11/12/2013), tapi emang saya aja yang baru baca, ketika membaca awal beritanya ada satu point yg membuat saya penasaran

"Produsen mainan di Jepang mulai fokus pada target pasar baru, yakni perempuan usia 20 hingga 30-an. Ini menyusul menurunnya jumlah anak-anak di negeri Sakura tersebut."

Kenapa anak2 di jepang menurun, hal ini membuat saya kudu riset di google ada apaan sich di jepang kok bisa anak2 sampai turun jumlahnya, ternyata agan2 kemajuan jaman gak selamanya membuat kemajuan dalam hal kehidupan keluarga, setelah membaca blog Problematika Wanita Jepang ane baru paham ternyata begini kehidupan orang2 jepang. Dan masyarakat indonesia terutama di perkotaan tanpa sadar telah menempuh cara2 kehidupan seperti mereka (Nikah Telat, Mementingkan Karir, Kumpul Kebo, Sibuk pelihara anjing, sibuk cari duit dll),

Jadi inget kata Kiyai di pondok :
Ada 3 Jenis Makhluk
1. Binatang (punya nafsu gak punya akal)
2. Malaikat (punya akal gak punya nafsu)
3. Manusia (punya akal dan punya nafsu)
Kalo manusia gak pake akalnya ikut nafsunya maka gak bedanya dengan binatang bahkan lebih rendah lagi, sebaliknya kalo manusia gunakan akalnya dan menekan hawa nafsunya maka lebih mulia dari malaikat, kalo malaikat lazim taat karena emang gak punya nafsu, tapi kalo manusia di tengah gejolak nafsunya dia tekan hawa nafsunya itu maka dia jadi manusia yang mulia.

Berikut ini isi dari blog dari dailynomous.wordpress.com, jazakallah atas informasinya dr agan yang gak diketahui namanya


Problematika Wanita Jepang


Para wanita Jepang semula punya siklus lahir, besar, lulus perguruan tinggi, menikah, berhenti kerja dan mengurus anak.Ini bukannya wanita tidak ingin berkarier. Masalahnya adalah setelah melahirkan, gaji mereka–bahkan yang bekerja di bank–tidak cukup untuk membayar baby sitter. Boleh dititip ke tempat penitipan bayi tapi setelah usianya di atas dua tahun.Maka, wanita Jepang memilih mengurus anak, membesarkan mereka hingga sukses. Soal berikutnya muncul, anak-anak yang dibesarkan dengan susah payah itu semakin sukses semakin jauh dari orang tua.

Usia harapan hidup di Jepang sangat tinggi, termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Usia harapan hidup bahkan di atas 80 tahun. Artinya, setelah pensiun sebagai karyawan pada usia 65 tahun, orang tua Jepang masih harus menjalani hidup sekitar 15 tahun dengan menikmati hidup sebagai pensiunan atas biaya pemerintah.Lama-lama, jumlah pensiunan membengkak, jumlah anggaran pemerintah kian terbatas. Walhasil, jumlah tunjangan pensiunan makin turun.

Lalu, orang-orang tua itu hidup di panti jompo, sementara anak-anak mereka menikmati kesuksesan. Para wanita bertanya: lalu untuk apa punya anak? Pertanyaan berikut sudah bisa ditebak. Untuk apa menikah?

Pertanyaan tersebut menemukan jawaban berikut: para wanita ogah menikah, enggan punya anak. Mereka memilih karier.Itulah yang terjadi di Jepang saat ini. Para wanita lebih senang menghabiskan waktu di kantor, membangun karier, dan hidup mandiri.

Lama-lama, jumlah wanita lajang makin meningkat. Dampak ikutannya, jumlah bayi yang lahir semakin berkurang.Datanglah ke Tokyo. Sangat jarang kita menemukan wanita hamil atau bayi di tempat-tempat keramaian. Sebagian besar pemandangan adalah para wanita mandiri, yang modis, dan tidak takut ke McD atau resto tengah malam, seorang diri.Gejala itu mendorong struktur usia penduduk Jepang makin tua. Anak-anak masa depan Jepang makin berkurang jumlahnya. Seperti piramida terbalik.

Setiap tahun, ada saja taman kanak-kanak yang tutup karena kekurangan siswa. Sebaliknya, panti jompo–yang banyak mempekerjakan warga Indonesia dan Filipina–semakin bertambah jumlahnya.

Pemerintah yang risau mendorong para wanita untuk menikah dan punya anak. Stasiun TV didorong untuk menayangkan berita-berita tentang nikmatnya membangun keluarga. Satu keluarga beranak 10 merupakan berita besar bagi TV Jepang.Sambil imbauan itu belum memperlihatkan hasil, toko-toko anjing, toko pakaian anjing, dan tempat penyewaan anjing seperti Dogy Park di jalan menuju Gunung Fuji tumbuh subur. Bahkan banyak sekolah khusus untuk anjing.

Kenapa begitu? Ya, karena anjing merupakan kawan favorit para wanita lajang Jepang. Alangkah beruntungnya anjing-anjing di Jepang.

Well, kita bayangkan jika tarif perawatannya beigtu mahal, yaitu sebagai berikut :

Banyak wanita Jepang yang lebih memilih hewan peliharaan ketimbang menjadi ‘orangtua beneran’ alias orangtua yang memiliki bayi sungguhan. Yang mengejutkan; saat ini Jepang memiliki lebih banyak hewan peliharaan daripada anak-anak. Perkiraan resmi menyebutkan populasi hewan peliharaan berada di kisaran 22 juta ekor, tetapi hanya ada 16,6 juta anak di bawah usia 15 tahun.

Tinkerbell dan Ginger memiliki kamar mereka sendiri dan lemari penuh pakaian yang ber-merk. Mereka memiliki gaun, jas, topi, kacamata hitam dan bahkan sepatu kecil. Toshiko mengajak anjing-anjingnya berbelanja saat akhir pekan dan biasa membelikan mereka pakaian baru setiap musim. Di Jepang, desainer-desainer terkenal seperti Chanel, Dior, Hermes dan Gucci banyak menjual produk-produk untuk anjing dan kucing. Contohnya saja satu set kaos dan celana anjing bisa dijual dengan harga Rp. 2 juta.

Di Tokyo, lebih mudah untuk seseorang menemukan sebuah tempat penitipan hewan daripada mencari tempat khusus bayi. Jika ada yang mau pergi berlibur, mereka dapat membayar ¥8.000 (atau sekitar Rp. 800.000) per malam untuk menitipkan anjing mereka di hotel anjing.

Untuk ¥5.000 atau sekitar Rp.500.000 per sesi, seekor anjing bisa mendapatkan pelajaran berenang, bersantai mandi busa, dipijat menggunakan minyak aromaterapi dan layanan manicure. Ada juga kuil dimana anjing dan kucing yang mati dikuburkan dengan upacara ala agama Buddha; pemakaman mewah dan upacara kremasi yang lengkap bisa menelan biaya lebih dari ¥650.000 atau sekitar Rp. 65.000.000,-.

Dan mungkin beberapa paragraf di bawah ini bisa melengkapi artikel ini

Jumlah pernikahan di Jepang menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970pria menikah rata-rata di usia 27 tahun dan wanita di usia 24 tahun. Pada tahun 2005meningkat, usia menikah untuk pria rata-rata 29 tahun dan wanita usia 28 tahun. Adabeberapa fenomena yang terjadi di Jepang yang menyebabkan menurunnya jumlahpernikahan, yaitu mikon dan bankon. Mikon berarti belum menikah, mikonka berartiperubahan banyaknya orang yang belum menikah atau tidak menikah. Bankon berartiperkimpoian pada usia yang lebih lanjut, perkimpoian lambat, bankonka berartimelambatnya usia menikah.Sekarang ini tidak hanya pria yang membutuhkan karir yang baik, kaumwanita pun mendambakan karir dan penghasilan yang baik, karena pemikiranterhadap pernikahan yang dulunya merupakan tonggak perekonomian tempat parawanita bersandar kini sudah berubah. Para wanita lebih mandiri karena dapat mandiritanpa harus mengharapkan uang dari suaminya. Budaya menunda pernikahan(bankonka) ini meluas menjadi budaya tidak menikah. Para pria Jepang sekarang inikesulitan dalam menemukan seorang wanita yang dapat mengurus rumah dan anak untuk dinikahinya, ditambah lagi dengan tanggung jawab sebagai kepala rumahtangga, mereka harus memiliki kemapaman ekonomi. Oleh karena itu merekamemutuskan untuk bekerja mengejar karirnya dan memutuskan menjadi single. Sedangkan para wanita Jepang sekarang ini semakin giat dalam pekerjaannya, banyak dari wanita Jepang saat ini yang mencapai prestasi yang baik dalam karirnya.

Para wanita karir ini memutuskan untuk menjadi single karena mereka tidak ingin karirmereka terhambat dengan pernikahan yang mengharuskan mereka menjadi istrisekaligus ibu yang bertanggung jawab.Para wanita Jepang menyadari betul bahwa tanggung jawab pria adalahmencari nafkah sedangkan wanita merawat dan menjaga rumah dan anak. Jika parawanita ini tetap memutuskan bekerja walaupun sudah menikah maka saat merekasudah memiliki anak, mereka akan mengambil cuti hingga anaknya dianggap sudahbesar maka mereka akan kembali ke dunia kerjanya. Hal ini banyak dilakukan olehwanita Jepang. Namun tentu saja karir yang sudah dirintisnya akan menjadi sia – sia karena saat mereka kembali ke perusahaan tempat mereka bekerja, mereka akan sulitmendapatkan posisi atau jabatan yang sama seperti waktu ia mengambil cuti dariperusahaan tersebut. Dari sebagian para single ini ada yang disebut dengan parasite single.

Parasite single adalah para single yang sudah mempunyai pekerjaan namun masih tinggal bersama orang tuanya. Mereka merasakan hidup yang tanpa bebankarena mereka tinggal bersama orang tuanya. Semua kebutuhan telah dipenuhi olehorang tuanya, seperti saat ingin berangkat ke kantor maka sang ibu akan menyediakansarapan, mereka juga tidak perlu memikirkan tagihan – tagihan seperti angsuranrumah, listrik, air karena semuanya sudah diselesaikan oleh ayahnya. Dari hasilpenelitian di kota Fukui pada tahun 2002, dengan responden 160 orang (laki-laki 45orang, wanita 106 orang, dan tidak diketahui jenis kelaminnya 9 orang) didapatkan data bahwa alasan terbanyak mereka memilih parasite single adalah karena tidak memiliki uang yang cukup untuk hidup mandiri (47,8%) dan karena tidak memilikialasan untuk hidup mandiri (47,8%).

Para parasite single ini hanya bekerja dan bersenang – senang, gaji yang didapatnya dipergunakan untuk membeli barang – barang mewah, bersenang – senang dengan teman – temannya, dan berlibur ke luarnegri. Dengan segala kesenangan yang mereka nikmati sekarang ini, mengakibatkanmereka tidak tertarik terhadap pernikahan itu sendiri. Karena semua hal yang merekadapatkan, terutama kebebasan dalam bekerja dan bersenang – senang dengan temannya akan hilang jika mereka memutuskan untuk menikah.Selain itu para parasite single berhubungan pula dengan tuntutan para wanitasingle terhadap calon suaminya. Mereka tidak ingin menurunkan standar hidupnyakarena pernikahan, sehingga persyaratan yang diajukan untuk calon suaminyaberbeda dengan tuntutan wanita zaman dahulu. Dahulu, syarat yang diajukan parawanita pada calon suaminya adalah dapat memberikan uang bulanan minimal 20 ribuyen dan wisata ke luar negeri sekali dalam setahun. Sedangkan pada zaman sekarang,standar persyaratan mereka menjadi dua kali lipat.Karena semakin banyaknya generasi muda Jepang yang memilih untuk menjadi single, menyebabkan Jepang mengalami krisis angka kelahiran yangmenyebabkan populasi anak semakin berkurang. Masalah mengenai populasi anak yang semakin berkurang akan menjadi masalah yang besar nantinya bagi negaraJepang karena Jepang akan kekurangan generasi penerus yang akan meneruskan tonggak perekonomian Jepang. Jepang merupakan negara yang terkenal dengansumber daya manusianya yang panjang umur ini, akan mengalami masalah ekonomikarena Jepang akan mengeluarkan biaya untuk membayar biaya pensiun dantunjangan bagi orang tua.

Sebab-Sebab Perubahan Pola Pikir Wanita Jepang Modern Menunda Pernikahan

Pendidikan Perempuan Jepang, yang umumnya memiliki pendidikan yang bagus, memandang menikah sebagai sesuatu yang tidak harus segera dilakukan. Bahkan,banyak perempuan Jepang lebih memilih untuk hidup melajang hingga umur yangtidak muda lagi (30-40 tahun) daripada segera menikah.Sistem pendidikan Jepang yang berlaku saat ini didasarkan atas Undang-Undang Pendidikan Sekolah (1947) dan diciptakan sebagai sistem yangterintegrasikan yang memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan dari tingkatTaman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar (6 tahun), Sekolah Lanjutan Pertama (3 tahun)dan Sekolah Lanjutan Atas (3 tahun) disusul dengan akademi atau universitas.Perincian menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa pada tahun 1975 91,0% anak laki-laki memasuki Sekolah Lanjutan Atas dan 93,0% anak perempuanmemasuki sekolah-sekolah tersebut. Presentase anak perempuan yang masuk Sekolah Lanjutan Atas telah melebihi persentase anak laki-laki.

Mahasiswa yang mendaftarkan diri pada lembaga pendidikan tinggi tinggi 2 tahun yang berjumlah64.000 orang pada tahun 1953 menjadi 100.000 orang pada tahun 1962, dan melebihi200.000 orang pada tahun 1967. Pada tahun 1975 angka ini mencapai jumlah 350.000orang. Jumlah mahasiswi di universitas 4 tahun masih relatif rendah, yaitu kuranglebih 20%, tetapi di lembaga pendidikan tinggi 2 tahun jumlah anak perempuanmelebihi jumlah anak laki-laki dengan persentase yang mencapai 86,4% pada tahun1975.
Masyarakat Jepang yang permisif
Para orang tua di Jepang sekarang sudah lebih demokrasi, dengan membiarkan anak-anaknya memilih sesuatu berdasarkan kesukaaan atau bakatnya. Anak-anak tidak lagidiatur oleh orang tuanya apalagi ketika mereka mulai beranjak dewasa. Banyak darimereka yang lebih mengejar ciat-cita dan menempuh pendidikan setinggi-tingginyadari pada menikah. Seorang wanita yang menikah pada usia lebih dari 24 tahun, tidak lagi dianggap sebagai hal yang aneh oleh masyarakat Jepang. Hal ini menjadikanwanita Jepang lebih mementingkan pendidikan dan pekerjaan dan menjadi enggan untuk menikah.Selain enggan menikah, perempuan Jepang juga enggan memiliki anak. Bahkan, adakecenderungan saat ini bahwa perempuan-perempuan Jepang yang masih lajang lebih memilih untuk memelihara anjing daripada memiliki anak.
Memiliki anak di Jepang adalah sebuah keputusan yang menuntut konsekuensi ekonomi yang tidak ringan. Biaya untuk mengurus anak sangat mahal, danmembutuhkan investasi dalam hal pendidikan dan kesehatan yang tidak murah.Setelah melahirkan, gaji mereka–bahkan yang bekerja di bank–tidak cukup untuk membayar baby sitter. Boleh dititip ke tempat penitipan bayi tapi setelah usianya diatas dua tahun. Ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa anak-anak yangtelah sukses di Jepang justru menelentarkan orang tuanya ketika memasuki usia senja,sehingga memunculkan persepsi untuk apa berlelah-lelah memelihara anak kalau nantinya setelah sukses mereka tidak memperhatikan kita. Usia harapan hidup diJepang sangat tinggi, termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Usia harapan hidupbahkan di atas 80 tahun. Artinya, setelah pensiun sebagai karyawan pada usia 65tahun, orang tua Jepang masih harus menjalani hidup sekitar 15 tahun dengan menikmati hidup sebagai pensiunan atas biaya pemerintah. Kemudian, jumlah pensiunan membengkak, jumlah anggaran pemerintah kianterbatas. Dampaknya, jumlah tunjangan pensiunan makin turun. Hal ini menyebabkan para wanita tidak berkeinginan untuk menikah dan punya anak, sehingga memilih untuk berkarir.
Mereka lebih senang untuk menghabiskan waktu di kantor dan hidupmandiri.Konsekuensi dari hal ini sangat jelas, angka kelahiran di Jepang sangat rendah. Kalausudah seperti ini pertumbuhan penduduk bisa negatif (berkurang) dan gejala itumendorong struktur usia penduduk Jepang makin tua. Anak-anak masa depan Jepangmakin berkurang jumlahnya. Seperti piramida terbalik. Selain itu, struktur penduduk yang kian didominasi oleh kelompok usia tua akan menambah beban anggaranpemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada penduduk usia tua, yang tak lagi produktif secara ekonomi. Tidak heran kalau pemerintah Jepang saat ini tak henti-hentinya menghimbau rakyatnya untuk menikah dan memiliki anak. Stasiun TVdidorong untuk menayangkan berita-berita tentang nikmatnya membangun keluarga.Satu keluarga beranak 10 merupakan berita besar bagi TV Jepang.

Usia pernikahan

Umur rata-rata untuk perkimpoian pertama di Jepang meningkat bagi pria danwanita sebelum perang, dan mencapai umur 29,0 tahun untuk pria dan 24,6 tahununtuk wanita pada tahun 1940. Angka ini turun hingga 25,9 tahun untuk pria padatahun 1950 dan 22,9 tahun untuk wanita pada tahun 1947. Setelah bertahan pada taraf ini, terjadi kenaikan dalam umur perkimpoian pada belahan pertama tahun 1960an,dan kemudian pada tahun-tahun terakhir ini nampak ada sedikit penurunan. Padatahun 1974 angka-angka itu menjadi 26,8 tahun untuk pria dan 24,5 tahun untuk wanita yamng berarti perbedaan 2,3 tahun.

Nampak juga bahwa dari tahun ke tahunperbedaan ini semakin menurun. Pada tahun 1970 persentase pemuda Jepang yangmenikah pada golongan umur 20-24 tahun ialah 11,8% untuk pria dan 30,8% untuk wanita. Pada golongan usia 25-29 tahun persentase itu menanjak menjadi 51,0%untuk pria dan 77,6% untuk wanita. Jika dibandingkan dengan angka-angkainternsional, maka persentase dalam golongan usia 20-24 tahun cukup rendah. Padagolongan usia 25-29 tahun, angka untuk pria juga rendah dibandingkan dengan,misalnya, Kanada (72,3%) dan Inggris (72,7%), tetapi untuk wanita hampir sama dinegara-negara Barat. Secara keseluruhan, umur perkimpoian rata-rata lebih tinggi diJepang daripada di negara-negara maju.


Well agan2 what do you think ?
0
7.3K
50
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan