- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[SUKA SENI WAJIB BACA] Parmo Ahli Kendang Dari Wates [BEST SELLER]
TS
MaretKnow
[SUKA SENI WAJIB BACA] Parmo Ahli Kendang Dari Wates [BEST SELLER]
SELAMAT DATANG DI TRIT ANE YANG PERTAMA
Maaf sebelumnya kalo ane gan
Tapi ane juga udah cari2. Kayaknya belum ada yang pos gan.
FOR BUKTI
Spoiler for "Spoiler":
Semoga di trit ini dapat memberikan pencerahan bahwa masih banyak mereka walaupun sudah tua namun masih menggeluti untuk melestarikan kesenian daerah sendiri.
Spoiler for "Temukan Jawabanya":
PENGALAMANadalah guru paling berharga, demikian bunyi peribahasa. Beraneka pengalaman yang dijalani manusia secara pasti juga akan mengasah keterampilan dan kesetiaannya.
Spoiler for "Jawaban 1":
Mbah Mo Masih Setia Kelola Bengkel Kendang Tertua di Kulonprogo
PENGALAMANadalah guru paling berharga, demikian bunyi peribahasa. Beraneka pengalaman yang dijalani manusia secara pasti juga akan mengasah keterampilan dan kesetiaannya.
Peribahasa di atas kiranya sesuai untuk menggambarkan sosok Parmo atau yang biasa disapa sebagai Mbah Mo (60). Hingga usia menginjak senja, warga Pedukuhan Grawulan, desa Giripeni, Wates, Kulonprogo ini tetap setia menekuni pekerjaannya sebagai pembuat dan tukang reparasi kendang, alat musik tradisional tersebut. Bengkel seninya saat ini bahkan terbilang yang paling tua di Kulonprogo. Hal ini tentunya menjadi buah pengalamannya setelah puluhan tahun bergelut dengan alat musik tradisional Jawa tersebut.
Pria itu menuruni ketrampilan membuat kendhang dari sang ayah, Sastrodihardjo alias Sastro Ripiblik. Sastro sudah dikenal sebagai pembuat kendang andal di Kulonprogo pada era 1970-an. Sejak muda, Parmo sudah acapkali membantu ayahnya membikin alat musik pukul tersebut.
Dari semula hanya membantu memasang tali janget (pengatur nada kendhang), lama kelamaan dia mulai merambah keahlian membikin tebokan (kulit tabuh), selongsong tubuh kendang, dan lainnya. Kepiawaiannya pun semakin terasah hingga dia bisa nyetem (atur nada) dan membuat seperangkat gamelan lengkap.
“Tahun 1976 saya mulai bantu-bantu bapak bikin kendhang, gender, gambang, dan set gamelan lainnya. Setelah bapak meninggal pada 2004, saya yang nerusin usaha ini. Kalau saya ngga ada hasrat nguri-nguri budaya ya wegah temandang,” kata pensiunan pegawai negeri tersebut, belum lama ini.
Tak seperti bapaknya yang punya usaha jual beli perangkat gamelan, kini Parmo memang hanya menerima pesanan terbatas untuk pembuatan dan reparasi kendang. hal ini sesuai minat dan keahlian yang paling dikuasainya. Pun juga tenaganya tak sanggup jika harus membikin perangkat lengkap gamelan sementara dia tak mempekerjakan tenaga lain.
“Daripada saya cuma nglangut nunggu uang pensiunan tiap bulan, mending waktu dan tenaga saya alihkan untuk bikin kendang sesuai spesialisasi saya. Kalau harus bikin gamelan lengkap, repot,” kata dia.
Pelanggannya saat ini datang dari berbagai wilayah di Kulonprogo, Sleman, Purworejo bahkan ada juga pelanggan dari Pekan Baru, Riau. Umumnya para pelanggan tersebut mengenal dirinya melalui getok tular. Untuk pesanan pembuatan kendang, menurutnya terbilang sepi, hanya berkisar 3 pesanan dalam sebulan. Sementara untuk order perbaikan kendhang sedikitnya dia bisa menerima sebanyak 7 unit yang bisa diselesaikan dalam waktu sekitar 4 hari.
Tarif yang dikenakan menyesuaikan permintaan pelanggan atau tingkat kerusakan. Tarif reparasi berkisar antara Rp 180 ribu hingga Rp 450 ribu sementara tarif bikin kendang minimal Rp 450 ribu hingga Rp2 jutaan, tergantung ukuran dan kualitas bahannya.
“Kendhang paling besar yan pernah saya bikin itu diameternya sekitar 46 cm. Kalau soal bahan baku, yang bagus itu kayu nangka. Resonansinya tinggi jadi suaranya nyaring dan tebel,” imbuhnya.
Diakuinya, saat ini makin sedikit pengrajin kendang yang masihbertahan di Kulonprogo. Setahunya, pengrajin kendang dan perangkat gamelan yang masih bertahan hanya dirinya dan satu pengrajin di pedukuhan sebelah di Giripeni. Padahal, pada masa 1970-an hingga jelang 2000-an, di Kulonprogo ada beberapa pengrajin kendang kawakan yang masih bertahan. Antara lain di Pengasih, Wates, dan Lendah. Namun, karena tidak ada penerusnya, usaha tersebut lama-lama menghilang hingga hanya menyisakan bengkel seninya tersebut.
“Mungkin besok anak saya bisa meneruskan keahlian ini. Harapan saya, dia bisa meneruskan dan lebih berprestasi dari saya,” ujar duda dua anak itu.
Salah satu pelanggan asal Pedukuhan Sengir, desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Tugiyo (52), mengatakan dirinya merasa cocok dengan karakter suara kendhang miliknya yang diperbaiki Parmo. Menurut Penabuh kendang di kelompok jathilan Krido Mudho ini, kendahng tersebut sudah lama rusak dan terlantarkan. Bagian kulitnya sobek serta tali jangetnya rusak.
“Saya cocok dengan setemannya Mbah Mo, karakternya suaranya tebal seperti keinginan saya. Ini saya mau pakai lagi buat pentas jathilan nanti,” kata dia.(singgih wahyu nugraha)
Sumber
Quote:
Spoiler for "Jawban 2":
Kendang Mbah Mo Bertahan Melawan Zaman
Mungkin laki-laki yang usianya sudah menginjak kepala enam ini layak dinobatkan sebagai tukang reparasi dan pembuat alat musik kendang tertua di Kulonprogo. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Switzy Sabandar.
Di usianya yang beranjak senja, Mbah Mo, demikian Parmo akrab disapa, mempertahankan pekerjaannya yang digelutinya sejak belia, sekalipun terlihat menantang arus.
Dibilang melawan zaman, karena kian lama semakin minim orang yang memanfaatkan jasa Mbah Mo. Pelanggan tetap yang diandalkan mayoritas berasal dari kelompok kesenian. Jumlahnya mungkin banyak, tetapi mereka hanya datang ketika peralatan musik tabuhnya rusak. Dalam satu bulan terdapat tujuh kendang rusak yang membutuhkan perbaikan di bengkel reparasi yang berlokasi di Dusun Graulan, Kelurahan Giripeni, Kecamatan Wates, Kulonprogo.
Namun, hal itu tidak menyurutkan niat laki-laki yang sudah purna tugas dari pekerjaannya sebagai PNS di RRI Jogja untuk mempertahankan usaha warisan almarhum bapaknya. “Memperbaiki kendang menjadi satu-satunya kesibukan saya di masa pensiun ketimbang nglangut menunggu uang pensiunan,” ungkapnya beberapa waktu lalu.
Selain warisan berupa usaha reparasi kendang, keahlian Mbah Mo juga diturunkan dari bapaknya yang kala itu kondang dengan sebutan Sastro Ripiblik, sebagai pembuat kendang dan perangkat gamelan di Kota Binangun.
Parmo muda kerap membantu ayahnya membuat kendang. Memang, tidak langsung berwujud kendang utuh seperti sekarang, melainkan dimulai dari memasang tali janget atau pengatur nada kendang, membuat tebokan atau kulit tabuh, selongsong tubuh kendang, dan sebagainya. Ketrampilannya terasah sehingga ia mulai dapat menyetem atau mengatur nada kendang serta menghasilkan seperangkat alat gamelan.
Selain alasan menunggu waktu, laki-laki yang hidup sendirian sejak istrinya meninggal empat tahun silam ini merasa pekerjaannya bagian dari mempertahankan kebudayaan bangsa. Ia bercerita semasa usahanya masih dipegang oleh bapaknya, terdapat beberapa perajin kendang di Kecamatan Lendah dan Pengasih. Seiring berjalannya waktu, usaha-usaha tersebut gulung tikar karena tidak ada penerusnya.
Ia tidak menampik, saat ini terdapat banyak bengkel reparasi untuk partai besar. Maksudnya, tidak dikerjakan secara manual seperti yang ia lakukan. Tetapi, ia berkukuh untuk mempertahankan keberadaan usahanya, walaupun ia bekerja seorang diri tanpa dibantu siapapun.
Untuk reparasi kendang, bapak dari dua anak ini mematok biaya Rp180.000 hingga Rp450.000. Rata-rata persoalan kendang adalah pecah kulit, Kulit yang terkena air mengakibatkan rentan pecah saat dikencangkan. Sesekali ia juga melayani pembuatan kendang dengan pasaran di DIY sekitar Rp450.000 hingga Rp2 juta per unit. Hanya saja, pembuatan sebuah kendang memakan waktu hingga tiga bulan, sehingga tak banyak yang bisa ia produksi dalam satu tahun.
Kalau ditanya harapan, Mbah Mo masih menyimpan keinginan membuat pendapa yang dapat digunakan anak-anak berlatih gamelan. “Tapi yang terutama saya ingin ada salah satu dari anak saya meneruskan usaha ini,” tutupnya penuh harap.
Mbah Mo membuat kendang di rumah yang sekaligus berfungsi sebagai bengkel reparasi, beberapa waktu lalu.
Sumber :
Quote:
Spoiler for "Jawaban 3":
Sebulan Membuat Tiga Kendang, Paling Ramai Agustusan
Mbah Mo, Penjaga Eksistensi Kendang di Wates
Di tengah gempuran modernisasi, eksistensi alat musik tradisional dipertanyakan. Namun hal itu tidak berlaku bagi Mbah Mo, ahli reparasi alat musik kendang. Keahlian yang didapat dari orang tuanya itu, kini ia pertahankan sebagai misi melestarikan budaya dan kesenian Indonesia.
ALI MUFIDZ, WATES
SEHARI-HARI, mantan pegawai RRI ini disibukkan memperbaiki kendang. Di rumah bergaya jawa di Pedukuhan Grawulan, Desa Giripeni, Wates, Kulonprogo, meski di belakangnya terdapat bangunan permanen, tak menghilangkan kesan tradisional rumah pemilik bernama lengkap Parmo itu. Di dalam rumah berbentuk joglo itu, terdapat berbagai macam alat musik tradisional gamelan. Yang paling spesifik memang kendang, yang biasa ia perbaiki dari pelanggannya.“Ada bonang, gambang, gong, ada juga kendang. Kalau kendang memang saya biasa memperbaiki. Orang yang datang dari beberapa daerah, rata-rata dari kelompk jatilan atau sanggar musik tradisional,” kata Mbah Mo kepada Radar Jogja baru-baru ini.Mbah Mo tak merasa kewalahan dengan aktivitasnya setelah pensiun. Terang saja, sejak 1976, ia kerap melihat orang tuanya yang juga ahli membuat sekaligus memperbaiki alat musik tradisional. Berbekal dari pengalaman itu, Mbah Mo kini melanjutkan skill orang tuanya. Kini di rumahnya, terdapat beberapa alat musik yang dibuat oleh orang tuanya semasa masih hidup.Kegiatannya saat ini diakui sebagai salah satu upaya menjaga eksistensi seni dan budaya. Apalagi banyak orang yang datang ke rumah Mbah Mo untuk memperbaiki kendang. Mulai dari wilayah di DIJ, Purworejo, bahkan sampai keluar Jawa. Mbah Mo merasa bangga, keahliannya selama ini bisa bermanfaat bagi orang lain, apalagi berkaitan dengan musik tradisional. Sewaktu menjadi pegawai di RRI ia membidangi kesenian.“Ada juga pesanan kendang dari Riau. Itu alatnya belum jadi,” kata Mbah Mo sambil memahat bagian tengah kayu untuk dijadikan kendang.Untuk pesanan pembuatan kendang, Mbah Mo mengakui masih sepi. Dalam sebulan, paling banyak ada tiga pemesan. Sedangkan untuk perbaikan kendang, paling ramai menjelang bulan Agustus. Mungkin beberapa sanggar musik dan kelompok jatilan mempersiapkan pentas Agustusan, sehingga alatnya pun harus diperbaiki.Sedangkan tarif untuk perbaikan kendang, tergantung dari tingkat kerusakannya, yaitu berkisar antara Rp 180 ribu sampai Rp 450 ribu. Sementara untuk biaya pembuatan kendang berkisar Rp 450 ribu sampai Rp 2 juta.“Semakin bagus bahan bakunya, harganya juga mengikuti. Tapi untuk bahan baku yang bagus, pakai kayu nangka, sementara kulit kendangnya pakai kulit kerbau,” jelas bapak dua anak itu.Saat ini Mbah Mo mengaku bahwa perajin kendang di Kulonprogo yang masih bertahan tinggal sedikit. Padahal sekitar 1970-an sampai 2000-an, di Kulonprogo masih banyak perajin kendang. Seperti di Pengasih, Wates, dan Lendah. Terang saja kini mulai punah, karena tidak ada generasi penerus untuk melestarikan kerajinan kendang.“Harapan saya ada yang meneruskan, paling tidak anak saya bisa mengembangkan kerajinan ini menjadi usaha yang lebih maksimal,” kata Mbah Mo.Tugiyo, 52, salah seorang pelanggan asal Pedukuhan Sengir, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap sudah lama memperbaiki kendang di rumah Mbah Mo. Tugiyo mempercayakan perbaikan kendang karena kualitas reparasi Mbah Mo terjamin suaranya. Selain itu, pemain kendang dari kelompok jatilan Krido Mudho itu juga tidak meragukan keahlian Mbah Mo dalam memperbaiki kendang.“Stem (setelan) kendang kalau dipegang sama Mbah Mo cocok. Nadanya sesuai yang diharapkan. Kendangnya mau saya pakai untuk pentas jatilan,” kata Tugiyo. (*/iwa)
Sumber :
Quote:
Spoiler for "Jawaban 4":
Mbah Mo, Penjaga eksistensi kendang
SAAT ini, sebagian orang mungkin berfikir jika keberadaan alat musik tradisional dipertanyakan eksistensinya. Namun hal itu tidak berlaku bagi Mbah Mo, seorang ahli reparasi alat musik kendang. Warisan kreativitas dari orang tuanya itu, kini dipertahankan sebagai salah satu misi nguri-uri budaya dan kesenian Indonesia.
Sehari-harinya, mantan pegawai RRI ini disibukan memperbaiki alat musik kendang di rumah bergaya jawa di Pedukuhan Grawulan, Desa Giripeni, Wates, Kulon Progo. meski di belakangnya terdapat bangunan permanen, namun tak menghilangkan kesan tradisional rumah pemilik bernama lengkap Parmo ini.
Di dalam rumah bentuk joglo itu, terdapat berbagai macam alat musik tradisional gamelan. Tapi yang paling specifik memang alat music kendang, yang biasa ia perbaiki dari beberapa pelanggannya.
“Ada bonang, gambang, gong, ada juga kendang. Kalau kendang memang saya biasa memperbaiki. Orang yang datang dari beberapa daerah, rata-rata dari kelompk jathilan atau sanggar music tradisional,” kata Mbah Mo belum lama ini.
Mbah Mo tak merasa kewalahan dengan aktivitasnya setelah pensiun. Terang saja, sejak tahun 1976, ia kerap melihat orang tuanya yang juga ahli membuat sekaligus memperbaiki alat music tradisional. Berbekal pengalaman itu, Mbah Mo kini melanjutkan skill dari orang tuanya. Kini di rumahnya, terdapat beberapa alat music yang dibuat oleh orang tuanya semasa masih hidup.
Kegiatannya saat ini diakui sebagai salah satu upaya menjaga eksistensi seni dan budaya. Apalagi banyak orang yang datang kerumah Mbah Mo untuk memperbaiki kendang. Mulai dari wilayah DIY, Purworejo, bahkan sampai keluar Jawa. Mbah Mo merasa bangga, keahliannya bisa bermanfaat bagi orang lain, apalagi berkaitan dengan musik tradisional.
“Ada juga pesanan dari Riau untuk dibuatkan kendang. Itu alatnya belum jadi,” kata Mbah Mo sambil memahat bagian tengah kayu untuk dijadikan kendang.
Untuk yang satu ini, Mbah Mo mengaku masih sepi. Dalam sebulan saja, paling banyak ada 3 pemesan. Sedangkan untuk perbaikan kendang, paling ramai menjelang bulan Agustus. Mungkin karena beberapa sanggar musik dan kelompok jathilan mempersiapkan pentas Agustusan.
Sedangkan tarif untuk perbaikan kendang, tergantung dari tingkat kerusakannya, yaitu berkisar antara Rp180 ribu – Rp450 ribu. Sementara untuk biaya pembuatan kendang berkisar Rp450 ribu – Rp2 juta.
Pengrajin kendang yang masih bertahan di Kulon Progo, lanjutnya, tinggal sedikit. Padahal sekitar tahun 1970-an sampai 2000-an, masih banyak pengrajin. Seperti di Pengasih, Wates, dan Lendah. “Ya harapan saya ada yang meneruskan, paling tidak anak saya bisa mengembangkan kerajinan ini menjadi usaha yang lebih maksimal,” kata Mbah Mo.
Sumber
Quote:
Ini ada juga video dan berita-berita lainya gan
Spoiler for "Video":
Youtube
Bonus :
Quote:
Kalo Berkenan Bagiya gan.
Quote:
Jangan di
0
1.3K
Kutip
1
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan