japekAvatar border
TS
japek
Bias Sejarah, Jalur Kereta Api dan Perang Diponegoro
Slamet Wiroatmojo (64), sesepuh Museum Sasana Wiratama sekaligus Monumen Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta, Rabu (19/2) lalu, menyapu pelataran di dekat batu comboran, tempat minum kuda peninggalan masa Diponegoro (1785-1855)

”KEKECEWAAN (Pangeran Diponegoro) itu memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya”. Demikian ulasan buku ajar Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Kelas V Sekolah Dasar terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional 2008, karangan Endang Susilaningsih dan Linda S Limbong.

Episode awal Perang Diponegoro memang tahun 1825. Tetapi, di dalam sejarah perkeretaapian Indonesia gagasan membangun jalur rel untuk mengoperasikan kereta api baru muncul pada 15 Agustus 1840, yakni 15 tahun setelah Perang Diponegoro, 1825-1830.

Usulan pembangunan transportasi baru di Jawa itu disampaikan Kolonel Jhr van der Wijk yang disambut Pemerintah Kerajaan Belanda dengan mengeluarkan Koninklijk Besluit (Surat Keputusan Kerajaan) Nomor 270 tanggal 28 Mei 1842. Isinya berupa penetapan rencana membangun jalur rel kereta api dari Semarang ke Kedu dan ke Surakarta-Yogyakarta.
Pada 1825, sejarah perkeretaapian dunia mencatat, Inggris baru memulai jalur rel kereta api Stockton-Darlington untuk penumpang umum pertama di dunia. Tipis kemungkinan di Indonesia pada 1825 sudah dipersiapkan pembangunan jalur rel kereta api.

Bias sejarah rel kereta api di dalam kisah Perang Diponegoro yang lain masih mudah dan banyak dijumpai. Beberapa situs internet mencantumkan hal serupa. Dalam pementasan dramatikal Babad Diponegoro ada juga yang menyebutkan tonggak jalur rel kereta api melintas makam leluhur Diponegoro-lah pemicu Perang Jawa yang berlangsung lima tahun itu.

Pandangan bias terhadap sejarah Diponegoro dikaitkan dengan pembangunan jalur rel kereta ternyata sempat terlintas dalam perbincangan di seputar Museum Sasana Wiratama yang mengabadikan jejak-jejak Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta.

Pancang jalan bukan rel
Rabu (19/2) pagi di Museum Sasana Wiratama, Tegalrejo, Yogyakarta, masih menampakkan kesenyapan. Slamet Wiroatmojo (64), sesepuh Museum Pangeran Diponegoro, tampak sedang menyapu pelataran tanah di sekeliling tiga batu legam berceruk.

Ketiga batu itu disebut batu comboran. Batu comboran adalah tempat minum kuda peninggalan masa Pangeran Diponegoro tinggal di Tegalrejo hingga terakhir kali diserbu pasukan Hindia Belanda bersama pasukan pribumi Kasultanan Yogyakarta di bawah Patih Danureja pada Juli 1825.

Merunut perbincangan bersama Slamet, ada tokoh penting Keraton Yogyakarta, yaitu Patih Danureja, yang ingin membuat jalur rel dari keraton ke Muntilan, lalu ke Magelang. Jalurnya melewati Tegalrejo menembus wilayah tanah kekuasaan Diponegoro.

”Pembangunan jalur rel itu hanya akal-akalan Belanda untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro,” kata Slamet.

Sejarawan Saleh As’ad Djamhari (76), pensiunan dosen di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, mengatakan, penyebutan rencana pembangunan rel kereta api menjelang terjadinya Perang Diponegoro adalah bias dari sejarah yang sesungguhnya.

Pada 28 September 2002, Saleh menyampaikan disertasi ”Stelsel Benteng dalam Pemberontakan Diponegoro 1825-1830, Suatu Kajian Sejarah Perang” untuk memperoleh gelar doktor Program Studi Sejarah di UI. Dari disertasi itu kemudian diterbitkan menjadi buku Strategi Menjinakkan Diponegoro oleh Komunitas Bambu, 2004.

”Tidak ada rencana pembangunan jalur rel kereta api pada masa awal pemberontakan Diponegoro,” kata Saleh saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Kamis (13/3).

Kejadian yang memicu pemberontakan Diponegoro pada 1825, menurut Saleh, adalah ”insiden pancang”. Residen Smissaert dari Pemerintah Hindia Belanda bersekongkol dengan Patih Danureja dari Kesultanan Yogyakarta memerintahkan pemasangan pancang sebagai tanda akan dibuat jalan baru melintasi tanah Diponegoro di Tegalrejo. Diponegoro tidak pernah mengizinkan tanahnya di Tegalrejo dilintasi jalan baru.

Diponegoro pun memerintahkan pancang-pancang itu dicabut. Pemasangan pancang kembali dilakukan dengan pengawalan pasukan Macanan, yaitu pasukan pengawal Kepatihan Danureja. Terjadilah pencabutan kembali pancang-pancang itu oleh pengikut Diponegoro. Bahkan, pancang-pancang diganti dengan tombak.

Insiden pancang pada pertengahan Juli 1825 mengundang simpati berbagai lapisan masyarakat yang memihak Diponegoro. Inilah awal mula Perang Diponegoro. Saleh menyatakan, Perang Diponegoro sebagai perang rakyat karena mampu menggugah sebagian besar rakyat untuk ikut berperang.

Hierarki Turki
Untuk menjalankan strategi perlawanan, Diponegoro menggunakan hierarki Turki untuk kepangkatan pasukannya. Ali Pasha setara komandan divisi diadopsi menjadi Alibasah. Di bawahnya, Pasha setara komandan brigade menjadi Basah.

Kemudian setara komandan batalyon adalah Dulah, yang diadopsi dari istilah kepangkatan Agadulah. Untuk setara komandan kompi diambil istilah Seh.

Dipaparkan Saleh, struktur pimpinan perlawanan Diponegoro meliputi dari yang tertinggi Pramudeng Prang (Sultan Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminim Sayidin Panotogomo Senopati ing Ngalogo Sabilullah, yaitu Pangeran Diponegoro sendiri).

Panglima Tentara adalah Alibasah Ngabdul Mustapa Sbaik Prawirodirjo. Komandan untuk kewilayahan perang (mandala) Pajang, Yogyakarta, dan Bagelen, berturut-turut Alibasah Kasan Besari, Alibasah Sumonegoro, dan Pangeran Diponegoro.

Perang Diponegoro sebagai perang rakyat meluas di sebagian wilayah Jawa. Saleh menuangkan catatan Letnan Gubernur Jenderal LPJ (Viscount) du Bus de Gissignies yang menyebutkan adanya pasokan senjata untuk pasukan Diponegoro melewati pantai selatan (Samudra Hindia) di sekitar wilayah muara Sungai Progo.

Pada 9 Agustus 1828, diketahui ada sebuah padewakang, kapal Bugis, bersama sejumlah besar perahu kecil berangkat dari muara Sungai Progo ke arah daratan. Menurut Saleh, peristiwa ini diduga sebagai penyelundupan senjata untuk pasukan Diponegoro.

”Siapa yang membantu penyelundupan senjata untuk pasukan Diponegoro sampai sekarang belum terungkap. Dari Turki hanya digunakan istilah hierarki kepangkatan tentara Diponegoro,” kata Saleh.

Yang jelas, dari fakta yang terungkap itu, sudah waktunya sejarah Perang Diponegoro direvisi.


Yang jelas penyusun buku pelajaran sejarah siap-siap revisi besar nih emoticon-Big Grin
0
1.6K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan