afrid4fidaAvatar border
TS
afrid4fida
ENAKNYA JADI PEMINPIN (ALESAN KENAPA ORANG2 BEREBUT JADI PEMIMPIN)


Cemas karena anak-anak sekarang mulai apatis, tidak punya cita-cita, saya bertanya kepada cucu saya.
"Agus, nanti kalau sudah besar kau mau jadi apa?"
Cucu saya dengan tegas menjawab, "Mau jadi pemimpin."
Saya tertegun. Bangga karena penerus saya punya cita-cita besar. Perkara bisa kejadian atau hanya sekadar mengkhayal, tidak apa. Punya impian paling tidak membuat ada arah yang pasti di tengah kebingungan dunia yang edan ini.
"Jadi pemimpin?"
"Ya! Memang kenapa?"
"Tidak apa-apa. Semua cita-cita itu baik. Tapi kenapa kamu mau jadi pemimpin?"
Agus kontan menjawab seakan-akan pertanyaan itu sudah lama ditunggunya.
"Karena aku sudah bosan diperintah. Disuruh bangun pagi. Disuruh sekolah. Disuruh belajar. Disuruh nganterin pergi belanja. Disuruh ikut arisan. Disuruh nemenin kalau ada resepsi pernikahan. Disuruh jaga rumah. Disuruh anteng kalau ada tamu. Capek ah! Sekarang aku mau memerintah!"
"O jadi kamu pikir pemimpin itu tukang ngasih perintah?"
"Bukan tukang perintah doang, tukang larang Juga! Tidak boleh begadang, tidak boleh kkelua malam! Tidak boleh ngomong jorok! Tidak bbole main motor. Tidak boleh cemberut kalau ada tamu! Tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh! Ini tidak boleh, itu tidak boleh, semuanya tidak boleh! Capek deh!"
"Itu artinya kamu mau bebas?!"
"Persis!"
Saya bengong.

"Kamu pikir pemimpin itu raja bebas?"
"Ya dong! Kalau tidak bebas itu bukan pemimpin."
"Salah! Pemimpin itu justru orang yang paling tidak bebas. Buat seorang pemimpin tidak ada hari Minggu, tidak ada hari libur, semua hari adalah kerja!"
"Itu pemimpin yang bodoh," Kata Agus seraya melanjutkan "Kalau rakyat antre beli minyak tanah, pemimpin tinggal makan saja, yang masak kan rakyat. Masak pemimpin masak sendiri. Kalau rakyat tidak boleh masuk jalan bebas kendaraan bermotor, pemimpin bablas saja nggak ada yang berani larang. Kalau rakyat dibakar karena maling ayam, pemimpin yang makan uang rakyat triliunan diampuni dan dijadikan pahlawan. Kalau rakyat ketiduran waktu kerja dipecat, tapi pemimpin main SMS dan ngorok, yang selingkuh pada jam kerja, malah jadi selebriti! Masak Kakek tidak tahu?"
***

Beberapa tahun kemudian, ketika cucu saya lulus SMA saya kembali bertanya-tanya. Saya cemas, karena di depannya sekarang terbentang banyak jalan yang harus dipilih dengan tepat. Salah pilih resikonya berat.
"Sebelum memastikan kamu mau melanjutkan ke mana, kamu harus tentukan dulu sebenarnya kamu mau jadi apa, Agus?"
Cucu saya yang sudah mulai pakai kumis menjawab tanpa ragu-ragu.
"Aku ingin jadi pemimpin."
”Lho, itu kan cita-citamu yang dulu?"
"Memang!"
"Kenapa?"
"Sebab pemimpin itu punya banyak fasilitas yang tidak dimiliki orang biasa!"
"Fasilitas?"
"Ya! Kemudahan-kemudahan. Rumah, kendaraan, keamanan, kesejahteraan, semuanya
dicukupi. Tidak perlu memikirkan apa-apa, semuanya sudah ada. Masak pemimpin naik
angkot? Paling sedikit Mercy. Ngapain naik bus, pasti naik kapal terbang dan mesti kelas satu. Masak pemimpin ngontrak rumah, pasti rumah bertingkat dengan taman dan penjaga dan pengawalan kalau lagi jalan. Masak pemimpin makan nasi kucing, pasti steak sirloan. Masak pemimpin gajinya sama dengan tukang ojek, paling sedikit 45 juta satu bulan, belum lagi uang sidang dan berbagai fasilitas plus kemudahan lain. Belum lagi hadiah-hadiah, sumbangan, kado, bingkisan dari masyarakat dan para konglomerat yang mendukung, Paling sedikit kunci mobil yang harganya 3 miliar." Saya tercengang.

"Lho kamu pikir pemimpin itu seperti itu?"
"Lebih dari itu, Kek!"
"Masak?"
"Ya! Lihat saja pemimpin-pemimpin itu. Pasti kaya. Mobilnya paling sedikit 5. Rumahnya di mana-mana. Padahal gajinya kecil. Berapa sih? Tapi kenapa bisa punya hotel, perkebunan, saham, pabrik, puluhan perusahaan?"

Saya mulai marah. Jelek-jelek saya juga pernah jadi pemimpin. Minimal saya menjabat RT selama 30 tahun di pemukiman kami dulu.
"Pemimpin itu tidak begitu!"
"Memang tidak! Pemimpin itu abdi masyarakat. Aturannya dia orang kelas dua, karena dia hanya mewakili rakyat. Wakil kan orang suruhan. Tapi kalau orang datang maksa-maksa ngasih kunci mobil, kunci rumah, ngasih duit segepok bahkan ngasih perempuan, bagaimana bisa menolak? Orang bisa tersinggung, terhina, marah kalau ditolak mentah-mentah. Jadi pemimpin harus bisa memuaskan hati rakyat. Bukan hanya rakyat yang memerlukan sandang-pangan, juga rakyat yang kelebihan dan ingin memberi. Mendapatkan banyak fasilitas yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa. Ya kan, Kek?"

Saya mau membantah. Tiba-tiba cucu saya mengulurkan sebuah kotak kecil.
"Apa itu?"
"Hadiah buat ulang pernikahan Kakek dan Nenek. Agus beli dengan uang tabungan Agus sendiri."
Cucu saya kemudian membuka kotak itu. Istri saya yang nyamperin ketika melihat cucunya mengulurkan sebuah kotak, menjerit.
"Berlian!"
"Ya. Ini kalung berlian untuk Nenek dan jam tangan untuk Kakek!"
Sebelum saya bisa menjawab, istri saya sudah langsung menyambut kotak itu dan memeluk cucunya. Lalu ia terbang ke tetangga untuk Menyiarkan kebanggaannya mendapat hhadia berlian dari cucu, walaupun saya yakin bberlian itu palsu.
"Kakek boleh menolak kalau berani," kata Agus.

Saya tidak bisa menjawab. Saya mengerti apa yang hendak dikatakan oleh cucu saya.
Bagaimana saya akan bisa menolak, kalau istri saya, neneknya itu, begitu bangga dengan pemberian itu.

Saya lupakan saja soal berlian itu. Kalau Agus Memang mau jadi pemimpin, ya sudah jadiin saja. Saya mendukungnya. Siapa tahu dia akan menjadi pemimpin yang lain. Pemimpin yang berbeda dari pemimpin-pemimpin yang selama ini kita sesali.

Dengan sungguh-sungguh saya ikuti sepak terjang Agus dari jauh. Sekolahnya melaju
dengan bagus. Akibat tempaan asrama yang ketat, dia menjadi gigih dan berdisiplin. Tidak jauh dari target yang sudah tersedia, dia bisa menyelesaikan pendidikan tingginya dengan baik. Tidak istimewa, tetapi dia lulus tepat pada waktunya.

Agus langsung bekerja. Di samping itu seperti juga orang tuanya, ia aktip berorganisasi. Dalam waktu yang pendek, karirnya menanjak. Kemudian dengan tidak terasa, ia mulai
mendapat jabatan penting. Lalu akhirnya pegang pucuk pimpinan. Agus yang nakal itu kini sudah jadi orang. Ia menikah dengan seorang bekas Ratu Dangdut. Kehidupan keluarganya serasi. Anaknya sudah dua. Namanya bagus. Masyakat mencintainya.
Dia benar-benar memenuhi hasratnya untuk menjadi seorang pemimpin.
****

Lalu saya mencari kesempatan baik dan bicara dari hati ke hati.
"Agus," kata saya dengan blak-blakan, "sebagai lelaki dengan lelaki, Kakek ingin bicara terus-terang kepada kamu sekarang."
"Apa yang bisa saya bantu, Kek?"
"Tidak. Kakek tidak minta dibantu. Kakek hanya mau bertanya. Sekarang kamu sudah jadi pemimpin."
"Ya lebih kurang begitu kata orang."
"Itu berarti kamu sudah mencapai cita-citamu."
"Ya, bisa dikatakan begitu."
"Jangan menjawab dengan: bisa dikatakan begitu. Yang tegas saja. Memang kamu sudah mencapai cita-citamu jadi pemimpin. Betul tidak?"
"Ya, betul tapi mungkin tidak seperti Kakek bayangkan."
"Maksudmu?"
"Saya memang seorang pemimpin sekarang."
"Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang pernah kamu rindukan dulu kan?!"
Agus tersenyum.
"Betul."
"Tidakada yang memerintah kamu lagi. Karena kamulah yang memberikan perintah?!"
"Ya memang."
"Kamu dapatkan banyak fasilitas yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa. Orang antre mau beli karcis Java Jazz, nabung untuk beli karcis Lionel Richie, setumpukan karcis diantarkan kepada kamu dengan jemputan mmobilny sekalian. Betul?"
Agus ketawa.
"Betul."
"Orang kepingin punya perusahaan untuk jaminan masa tua, tapi pengusaha malah datang kepada kamu dan minta kamu jadi Presdir perusahaan penerbangan baru. Betul?"
Agus mengangguk.
"Betul."

Saya tertawa, karena si Agus cucu saya tidak bisa membantah. Saya juga bangga, sebab apa yang dilamunkannya sudah jadi kenyataan. Itu tidak akan terjadi kalau dia tidak ampuh dan hebat.
"Kakek bangga karena kamu tidak hanya mimpi dan melamun tapi bekerja nyata!"
Agus ketawa.
"Terima kasih, Kek. Memang betul apa yang Kakek bilang. Tapi terus-terang, cara Kakek
melihat itu tidak adil."
"Maksudmu?"
"Ya Kakek menceritakan semua itu seperti menceritakan tentang orang yang mendaki Gunung Himalaya, lalu menancapkan bendera di puncaknya."
"Tapi memang begitu kan? Kamu seorang pendaki gunung yang sukses!"

Muka Agus tiba-tiba murung.
"Seorang pemimpin tidak sama dengan pendaki gunung yang sukses, Kek. Kelihatannya memang sama, tapi beda. Pendaki gunung setelah sukses
tinggal menikmati prestasinya. Tapi seorang pemimpin?"
"Sama kan?"
"Tidak. Sesudah menjadi pemimpin, aku tidak bisa lagi menjadi Agus, cucu Kakek. Aku harus memimpin. Aku harus bertanggung jawab terhadap segala hal. Bahkan terhadap semua kekeliruan dan dosa-dosa orang lain yang menjadi tanggung jawabku. Aku harus mengurus banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan aku. Aku tidak punya hak untuk tertawa, tersenyum, apalagi tidur seperti manusia biasa. Aku sudah jadi mesin, robot, bulan-bulanan dan tong sampah. Ada ayam mati juga aku yang ditoleh dan ditanya kenapa? Ada orang kejepit juga aku yang disalahkan, sebab di puncak
segala-galanya aku yang harus bertanggung jawab."
Agus berhenti bicara dan menahan dirinya, sebab kelihatannya semua mau tumpah. Aku belum pernah melihat dia curhat dan menderita seperti itu.
"Aku sudah mati, Kek."

"Kalau begitu lebih baik kamu berhenti. Kami lebih senang kamu tetap hidup daripada menjadi pemimpin, tapi mati."
Agus tersenyum.
"Terima kasih, Kek. Aku juga sudah berusaha, tapi tidak bisa."
"Tidak bisa? Apa susahnya berhenti?"
"Tidak bisa, Kek."
"Ah, jangan bilang, tidak ada yang tidak bisa mengganti. Lihat di sekitarmu, mereka antre seabrek-abrek bahkan gontok-gontokan untuk mengganti, kalau kamu mau mundur."
"Itu betul."
"Makanya berhenti saja!"
"Tidak bisa, Kek!"
"Kenapa?"
Agus tersenyum pahit.
"Kenapa?"
"Karena, meskipun mati, jadi pemimpin itu ternyata enak, Kek." ***
0
2.5K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan