- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengenal lebih dekat John Lie , Pahlawan Nasional dari Etnis Tionghoa yg Pertama
TS
blokE18
Mengenal lebih dekat John Lie , Pahlawan Nasional dari Etnis Tionghoa yg Pertama
moga2 g repost
Akhirnya, John Lie menjadi Pahlawan Nasional
Pada Hari Pahlawan 10 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan mendiang Laksamana Muda John Lie sebagai pahlawan nasional. Dengan demikian, John Lie menjadi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa pertama yang tercatat sebagai pahlawan nasional. Siapakah John Lie itu?
Di kalangan masyarakat umum, bahkan termasuk warga Tionghoa sendiri, nama John Lie kurang dikenal. Orang tentu lebih kenal Laksamana Cheng Hoo, panglima armada Tiongkok sekaligus penyebar agama Islam di berbagai belahan dunia. Namun, di kalangan pelaut, TNI Angkatan Laut, Laksamana John Lie tank asing lagi. Bahkan, sebelum ditetapkan sebagai pahlawan nasional pun, John Lie sudah dianggap sebagai salah satu role model bagi pelaut-pelaut muda tanah air.
Nama John Lie, yang juga dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma, mulai banyak dibicarakan setelah adanya iklim keterbukaan pada era 2000-an. Ketika tahun baru Imlek dijadikan hari libur nasional, agama Khonghucu diakui (kembali), maka sejumlah aktivis Tionghoa mengusulkan agar John Lie dijadikan pahlawan nasional. Seminar-seminar pun digelar, buku tentang John Lie diterbitkan, dan media-media Tionghoa banyak memuat profil John Lie.
"Adanya pahlawan nasional dari etnis Tionghoa justru sangat penting bagi masyarakat Indonesia keseluruhan yang bisa melihat bahwa etnis Tionghoa itu sama dengan etnis lain, yakni sama-sama berjuang untuk kemerdekaan bangsa," ujar Dr Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Aswi termasuk cendekiawan yang banyak bicara di seminar dan menulis artikel-artikel tentang sosok John Lie.
John Lie lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911, dan meninggal di Jakarta pada 27 Agustus 1998. Almarhum menerima Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995. Karena itu, John Lie dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kebijakan politik Orde Baru yang tidak kondusif bagi warga Tionghoa membuat nama John Lie tenggelam. Jangankan mengusulkan putra pasangan suami-istri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio itu sebagai pahlawan nasional. Membicarakan jasa-jasa John Lie dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia saja tidak banyak dilakukan.
Awalnya, John Lie bekerja sebagai mualim kapal niaga milik Belanda, kemudian bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), sebelum diterima di Angkatan Laut RI. Semula dia bertugas di Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini John berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi Sekutu. Atas jasanya, John dinaikkan pangkatnya menjadi mayor.
Sejak itu John Lie memperlihatkan kemampuannya sebagai pelaut dan patriot sejati. Pada awal kemerdekaan, 1947, John ditugaskan mengamankan pelayaran kapal-kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri.
Di antaranya, mengawal kapal pengangkut karet 800 ton untuk diserahkan kepada Utoyo Ramelan, kepala perwakilan RI di Singapura. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata-senjata itu diserahkan kepada pejabat di Sumatera seperti bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.
Ingat, meski sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, pasukan Belanda yang didukung Sekutu masih bercokol di Indonesia. Setelah Jepang kalah, Belanda ingin kembali menjajah Indonesia.
Nah, perjuangan John Lie dan kawan-kawan di kapal tidak ringan mengingat kapal-kapal AL Belanda rajin patroli. Belum lagi harus menghadapi gelombang samudra yang besar untuk ukuran kapal mereka yang belum secanggih saat ini.
Dalam operasi ini, John Lie mengemudikan kapal kecil cepat bernama The Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit John Lie melakukan 15 kali operasi 'penyelundupan'. Ketika membawa 18 drum minyak kelapa sawit, John sempat ditangkap perwira Inggris.
Di pengadilan Singapura, John dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Saat membawa senjata semiotomatis dari Johor (Malaysia) ke Sumatera, kapal John dihadang pesawat patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas.
Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap, mengarahkan senjata ke The Outlaw. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan The Outlaw tanpa insiden.
Jiwa patriotisme, cinta tanah air, membela negara, tak hanya diperlihatkan Laksamana Muda John Lie lewat kata-kata, tapi perbuatan. Sejak bergabung dengan TNI Angkatan Laut pada awal kemerdekaan, sebagian besar hidup John Lie dibaktikan kepada negara dan bangsanya di lautan.
Karena itu, John Lie yang dilahirkan di Manado, 9 Maret 1911, ini tidak suka dengan istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' yang dinilai hanya menyudutkan orang Tionghoa di Indonesia. Istilah 'nonpribumi' ada era Orde Baru selalu merujuk pada orang Tionghoa. Dan konotasinya selalu jelek. Nah, John Lie ini punya pandangan sendiri tentang pribumi dan nonpribumi.
"Siapakah orang pribumi dan nonpribumi itu? Orang pribumi adalah orang-orang yang jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan nonpribumi adalah adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu sama juga menusuk kita dari belakang," kata John Lie seperti dikutip Mayor (P) Salim, komandan KRI Untung Suropati,dalam sebuah artikelnya.
Menurut John, orang yang tidak mementingkan atau membela nasib bangsa Indonesia--apa pun latar belakang suku, ras, etnis, agama--adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa. "Jadi, soal pribumi dan nonpribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan, melainkan dari sudut pandang kepentingan siapa yang mereka bela," tegasnya.
Laksamana Muda John Lie, menurut Mayor (P) Salim, terlibat aktif dalam sejumlah operasi penumpasan pemberontakan di dalam negeri seperti Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan PRRI/Permesta. Aksi separatis ini sangat mengganggu keutuhan Republik Indonesia yang usianya masih sangat hijau.
Pada 1 Mei 1950 Menteri Panglima AL Raden Soebijakto memerintahkan kapal perang AL untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. John Lie menjadi komandan kapal–kapal korvet RI Rajawali. Kemudian KRI Pati Unus dikomandani Kapten S Gino, KRI Hang Tuah dipimpin Mayor Simanjuntak. Pendaratan di Pulau Buru dilaksanakan pada 13 Juli 1950.
TNI AL mengerahkan kekuatan eskader-eskader di bawah komando Mayor Pelaut John Lie, dilanjutkan dengan pendaratan di Pulau Seram dan Pulau Piru. Melalui tiga titik pendaratan ini, yang dibantu kekuatan gabungan TNI, pasukan RMS pun terdesak. Pada 15 November 1950, operasi pembersihan RMS di Ambon dan sekitarnya selesai.
Pemberontakan DI/TII kali pertama muncul di Jawa Barat pada 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Namun, pengaruh DI meluas hingga ke Aceh pada 1950 dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh dan di Sulawesi Selatan pada 1953 di bawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan operasi militer dan operasi pemulihan keamanan yang melibatkan seluruh elemen pertahanan, termasuk TNI AL.
Nah, kapal TNI AL menggelar operasi patroli pantai dipimpin oleh Mayor (P) John Lie.
Pada 1958 pemerintah juga menggelar operasi untuk menumpas Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi. Operasi gabungan TNI ini dikomandani Kolonel Ahmad Yani, dengan wakil komandan Letkol (P) John Lie dan Letkol (U) Wiriadinata.
Dalam operasi ini TNI AL membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17) yang dipimpin Letkol (P) John Lie, dan melibatkan KRI Gajah Mada, KRI Banteng, KRI Pati Unus, KRI Cepu, KRI Sawega, dan KRI Baumasepe, serta satu batalyon KKO (Marinir). Kapal-kapal melakukan bombardemen sekitar kota Padang dan kemudian mengadakan operasi pendaratan pasukan KKO.
Setelah operasi Permesta 1958-1959, John Lie dikirim ke India selama setahun untuk tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington. Pada 1960, John Lie diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong dari unsur TNI AL.
Kemudian, pada 1960–1966 John Lie menjabat kepala inspektur pengangkatan kerangka kapal di seluruh Indonesia. Sebelumnya, pada 5 Oktober 1961 Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa kepahlawanan kepadanya.
sumber
sumber
sumber
ini adalah post ane yang ke 1000
kalo ada yang mau ngasi ane cendol ane terima dengan senang hati
terimakasih yang ud ngasi ane abugosok
dari kaskuser
Akhirnya, John Lie menjadi Pahlawan Nasional
Pada Hari Pahlawan 10 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan mendiang Laksamana Muda John Lie sebagai pahlawan nasional. Dengan demikian, John Lie menjadi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa pertama yang tercatat sebagai pahlawan nasional. Siapakah John Lie itu?
Quote:
Di kalangan masyarakat umum, bahkan termasuk warga Tionghoa sendiri, nama John Lie kurang dikenal. Orang tentu lebih kenal Laksamana Cheng Hoo, panglima armada Tiongkok sekaligus penyebar agama Islam di berbagai belahan dunia. Namun, di kalangan pelaut, TNI Angkatan Laut, Laksamana John Lie tank asing lagi. Bahkan, sebelum ditetapkan sebagai pahlawan nasional pun, John Lie sudah dianggap sebagai salah satu role model bagi pelaut-pelaut muda tanah air.
Nama John Lie, yang juga dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma, mulai banyak dibicarakan setelah adanya iklim keterbukaan pada era 2000-an. Ketika tahun baru Imlek dijadikan hari libur nasional, agama Khonghucu diakui (kembali), maka sejumlah aktivis Tionghoa mengusulkan agar John Lie dijadikan pahlawan nasional. Seminar-seminar pun digelar, buku tentang John Lie diterbitkan, dan media-media Tionghoa banyak memuat profil John Lie.
"Adanya pahlawan nasional dari etnis Tionghoa justru sangat penting bagi masyarakat Indonesia keseluruhan yang bisa melihat bahwa etnis Tionghoa itu sama dengan etnis lain, yakni sama-sama berjuang untuk kemerdekaan bangsa," ujar Dr Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Aswi termasuk cendekiawan yang banyak bicara di seminar dan menulis artikel-artikel tentang sosok John Lie.
John Lie lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911, dan meninggal di Jakarta pada 27 Agustus 1998. Almarhum menerima Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995. Karena itu, John Lie dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kebijakan politik Orde Baru yang tidak kondusif bagi warga Tionghoa membuat nama John Lie tenggelam. Jangankan mengusulkan putra pasangan suami-istri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio itu sebagai pahlawan nasional. Membicarakan jasa-jasa John Lie dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia saja tidak banyak dilakukan.
Awalnya, John Lie bekerja sebagai mualim kapal niaga milik Belanda, kemudian bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), sebelum diterima di Angkatan Laut RI. Semula dia bertugas di Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini John berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi Sekutu. Atas jasanya, John dinaikkan pangkatnya menjadi mayor.
Sejak itu John Lie memperlihatkan kemampuannya sebagai pelaut dan patriot sejati. Pada awal kemerdekaan, 1947, John ditugaskan mengamankan pelayaran kapal-kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri.
Di antaranya, mengawal kapal pengangkut karet 800 ton untuk diserahkan kepada Utoyo Ramelan, kepala perwakilan RI di Singapura. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata-senjata itu diserahkan kepada pejabat di Sumatera seperti bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.
Ingat, meski sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, pasukan Belanda yang didukung Sekutu masih bercokol di Indonesia. Setelah Jepang kalah, Belanda ingin kembali menjajah Indonesia.
Nah, perjuangan John Lie dan kawan-kawan di kapal tidak ringan mengingat kapal-kapal AL Belanda rajin patroli. Belum lagi harus menghadapi gelombang samudra yang besar untuk ukuran kapal mereka yang belum secanggih saat ini.
Dalam operasi ini, John Lie mengemudikan kapal kecil cepat bernama The Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit John Lie melakukan 15 kali operasi 'penyelundupan'. Ketika membawa 18 drum minyak kelapa sawit, John sempat ditangkap perwira Inggris.
Di pengadilan Singapura, John dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Saat membawa senjata semiotomatis dari Johor (Malaysia) ke Sumatera, kapal John dihadang pesawat patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas.
Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap, mengarahkan senjata ke The Outlaw. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan The Outlaw tanpa insiden.
Jiwa patriotisme, cinta tanah air, membela negara, tak hanya diperlihatkan Laksamana Muda John Lie lewat kata-kata, tapi perbuatan. Sejak bergabung dengan TNI Angkatan Laut pada awal kemerdekaan, sebagian besar hidup John Lie dibaktikan kepada negara dan bangsanya di lautan.
Karena itu, John Lie yang dilahirkan di Manado, 9 Maret 1911, ini tidak suka dengan istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' yang dinilai hanya menyudutkan orang Tionghoa di Indonesia. Istilah 'nonpribumi' ada era Orde Baru selalu merujuk pada orang Tionghoa. Dan konotasinya selalu jelek. Nah, John Lie ini punya pandangan sendiri tentang pribumi dan nonpribumi.
"Siapakah orang pribumi dan nonpribumi itu? Orang pribumi adalah orang-orang yang jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan nonpribumi adalah adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu sama juga menusuk kita dari belakang," kata John Lie seperti dikutip Mayor (P) Salim, komandan KRI Untung Suropati,dalam sebuah artikelnya.
Menurut John, orang yang tidak mementingkan atau membela nasib bangsa Indonesia--apa pun latar belakang suku, ras, etnis, agama--adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa. "Jadi, soal pribumi dan nonpribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan, melainkan dari sudut pandang kepentingan siapa yang mereka bela," tegasnya.
Laksamana Muda John Lie, menurut Mayor (P) Salim, terlibat aktif dalam sejumlah operasi penumpasan pemberontakan di dalam negeri seperti Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan PRRI/Permesta. Aksi separatis ini sangat mengganggu keutuhan Republik Indonesia yang usianya masih sangat hijau.
Pada 1 Mei 1950 Menteri Panglima AL Raden Soebijakto memerintahkan kapal perang AL untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. John Lie menjadi komandan kapal–kapal korvet RI Rajawali. Kemudian KRI Pati Unus dikomandani Kapten S Gino, KRI Hang Tuah dipimpin Mayor Simanjuntak. Pendaratan di Pulau Buru dilaksanakan pada 13 Juli 1950.
TNI AL mengerahkan kekuatan eskader-eskader di bawah komando Mayor Pelaut John Lie, dilanjutkan dengan pendaratan di Pulau Seram dan Pulau Piru. Melalui tiga titik pendaratan ini, yang dibantu kekuatan gabungan TNI, pasukan RMS pun terdesak. Pada 15 November 1950, operasi pembersihan RMS di Ambon dan sekitarnya selesai.
Pemberontakan DI/TII kali pertama muncul di Jawa Barat pada 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Namun, pengaruh DI meluas hingga ke Aceh pada 1950 dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh dan di Sulawesi Selatan pada 1953 di bawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan operasi militer dan operasi pemulihan keamanan yang melibatkan seluruh elemen pertahanan, termasuk TNI AL.
Nah, kapal TNI AL menggelar operasi patroli pantai dipimpin oleh Mayor (P) John Lie.
Pada 1958 pemerintah juga menggelar operasi untuk menumpas Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi. Operasi gabungan TNI ini dikomandani Kolonel Ahmad Yani, dengan wakil komandan Letkol (P) John Lie dan Letkol (U) Wiriadinata.
Dalam operasi ini TNI AL membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17) yang dipimpin Letkol (P) John Lie, dan melibatkan KRI Gajah Mada, KRI Banteng, KRI Pati Unus, KRI Cepu, KRI Sawega, dan KRI Baumasepe, serta satu batalyon KKO (Marinir). Kapal-kapal melakukan bombardemen sekitar kota Padang dan kemudian mengadakan operasi pendaratan pasukan KKO.
Setelah operasi Permesta 1958-1959, John Lie dikirim ke India selama setahun untuk tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington. Pada 1960, John Lie diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong dari unsur TNI AL.
Kemudian, pada 1960–1966 John Lie menjabat kepala inspektur pengangkatan kerangka kapal di seluruh Indonesia. Sebelumnya, pada 5 Oktober 1961 Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa kepahlawanan kepadanya.
Quote:
sumber
Quote:
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat Pramono Edhie Wibowo mendukung nama John Lie diabadikan dalam salah satu KRI multi role light frigate (MRLF). John Lie, ujar Pramono, yang bernama lengkap John Lie Tjeng Tjoan kemudian berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma adalah Laksamana Angkatan Laut.
Ia warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang mendapat gelar pahlawan nasional serta Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 November 2009. Menurut Pramono, ide bagus mengabadikan nama John Lie sebagai salah satu nama KRI MRLF.
"Seluruh warga negara Indonesia yang memberikan dharma bakti kepada bangsa dan negaranya layak diabadikan dalam penamaan KRI," katanya.
Latar belakang suku dan agama, ujar Pramono, bukan alasan dalam menilai kepahlawananan sesorang. "John Lie adalah contoh bagaimana seseorang dari keluarga kaya minoritas memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Laut untuk menumpas kelompok separatis Maluku demi mempertahankan eksistensi Republik," ujarnya.
John Lie yang dijuluki the black speed boat, kata Pramono, pensiun pada tahun 1967 sebagai Laksamana Angkatan Laut berbintang dua. "Penamaan John Lie sebagai nama salah satu KRI saya harap dapat memberikan contoh dan motivasi kepada seluruh warga Indonesia akan kecintaan dan pengorbaan sesorang demi mempertahankan kesatuan bangsa dan negara," katanya.
Tiga MRLF yang baru dibeli Angkatan Laut rencananya masing-masing akan dinamakan KRI Bung Tomo, KRI Usman Harun, dan KRI John Lie.
Ia warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang mendapat gelar pahlawan nasional serta Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 November 2009. Menurut Pramono, ide bagus mengabadikan nama John Lie sebagai salah satu nama KRI MRLF.
"Seluruh warga negara Indonesia yang memberikan dharma bakti kepada bangsa dan negaranya layak diabadikan dalam penamaan KRI," katanya.
Latar belakang suku dan agama, ujar Pramono, bukan alasan dalam menilai kepahlawananan sesorang. "John Lie adalah contoh bagaimana seseorang dari keluarga kaya minoritas memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Laut untuk menumpas kelompok separatis Maluku demi mempertahankan eksistensi Republik," ujarnya.
John Lie yang dijuluki the black speed boat, kata Pramono, pensiun pada tahun 1967 sebagai Laksamana Angkatan Laut berbintang dua. "Penamaan John Lie sebagai nama salah satu KRI saya harap dapat memberikan contoh dan motivasi kepada seluruh warga Indonesia akan kecintaan dan pengorbaan sesorang demi mempertahankan kesatuan bangsa dan negara," katanya.
Tiga MRLF yang baru dibeli Angkatan Laut rencananya masing-masing akan dinamakan KRI Bung Tomo, KRI Usman Harun, dan KRI John Lie.
sumber
Quote:
tambahan
Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie Tjeng Tjoan, atau yang lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma (lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 – meninggal di Jakarta, 27 Agustus 1988 pada umur 77 tahun) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Terdapat versi lain atas tanggal lahir beliau yaitu 11 Maret 1911.
Ia lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Ayahnya (Lie Kae Tae) pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai). Sebagaimana yang diceritakan oleh Rita Tuwasey Lie, keponakan John Lie, menginjak usia 17 tahun, John Lie kabur ke Batavia karena ingin menjadi pelaut. Di kota ini, sembari menjadi buruh pelabuhan, ia mengikuti kursus navigasi. Setelah itu John Lie menjadi klerk mualim III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, perusahaan pelayaran Belanda. Pada 1942, John Lie bertugas di Khorramshahr, Iran, dan mendapatkan pendidikan militer. Ketika Perang Dunia II berakhir dan Indonesia merdeka, dia memutuskan bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI.
Semula ia bertugas di Cilacap, Jawa Tengah, dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Kemudian dia memimpin misi menembus blokade Belanda guna menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan lainnya. Daerah operasinya meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila, dan New Delhi.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
Menurut kesaksian Jenderal Besar AH Nasution pada 1988, prestasi John Lie ”tiada taranya di Angkatan Laut” karena dia adalah ”panglima armada (TNI AL) pada puncak-puncak krisis eksistensi Republik”, yakni dalam operasi-operasi menumpas kelompok separatis Republik Maluku Selatan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Rakyat Semesta.
Kesibukannya dalam perjuangan membuat beliau baru menikah pada usia 45 tahun, dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya dengan Jahja Daniel Dharma.
Beliau meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.
Terdapat beberapa buku dan liputan mengenai John Lie, sebagai berikut:
-“Guns—And Bibles—Are Smuggled to Indonesia”, yang terbit pada 26 Oktober 1949, oleh Roy Rowan, wartawan majalah Life.
-"John Lie Penembus Blokade Kapal-kapal Kerajaan Belanda" yang terbit pada 1988, oleh Solichin Salam.
-"Dari Pelayaran Niaga ke Operasi Menembus Blokade Musuh Sebagaimana Pernah Diceritakannya Kepada Wartawan" yang dimuat dalam buku "Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar 'Zaman Singapura' 1945-1950" karya Kustiniyati Mochtar terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2002.
-"Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie" (2008), yang diterbitkan Penerbit Ombak, Yogyakarta dan Yayasan Nabil, oleh M Nursam.
Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie Tjeng Tjoan, atau yang lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma (lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 – meninggal di Jakarta, 27 Agustus 1988 pada umur 77 tahun) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Terdapat versi lain atas tanggal lahir beliau yaitu 11 Maret 1911.
Ia lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Ayahnya (Lie Kae Tae) pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai). Sebagaimana yang diceritakan oleh Rita Tuwasey Lie, keponakan John Lie, menginjak usia 17 tahun, John Lie kabur ke Batavia karena ingin menjadi pelaut. Di kota ini, sembari menjadi buruh pelabuhan, ia mengikuti kursus navigasi. Setelah itu John Lie menjadi klerk mualim III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, perusahaan pelayaran Belanda. Pada 1942, John Lie bertugas di Khorramshahr, Iran, dan mendapatkan pendidikan militer. Ketika Perang Dunia II berakhir dan Indonesia merdeka, dia memutuskan bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI.
Semula ia bertugas di Cilacap, Jawa Tengah, dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Kemudian dia memimpin misi menembus blokade Belanda guna menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan lainnya. Daerah operasinya meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila, dan New Delhi.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
Menurut kesaksian Jenderal Besar AH Nasution pada 1988, prestasi John Lie ”tiada taranya di Angkatan Laut” karena dia adalah ”panglima armada (TNI AL) pada puncak-puncak krisis eksistensi Republik”, yakni dalam operasi-operasi menumpas kelompok separatis Republik Maluku Selatan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Rakyat Semesta.
Kesibukannya dalam perjuangan membuat beliau baru menikah pada usia 45 tahun, dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya dengan Jahja Daniel Dharma.
Beliau meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.
Terdapat beberapa buku dan liputan mengenai John Lie, sebagai berikut:
-“Guns—And Bibles—Are Smuggled to Indonesia”, yang terbit pada 26 Oktober 1949, oleh Roy Rowan, wartawan majalah Life.
-"John Lie Penembus Blokade Kapal-kapal Kerajaan Belanda" yang terbit pada 1988, oleh Solichin Salam.
-"Dari Pelayaran Niaga ke Operasi Menembus Blokade Musuh Sebagaimana Pernah Diceritakannya Kepada Wartawan" yang dimuat dalam buku "Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar 'Zaman Singapura' 1945-1950" karya Kustiniyati Mochtar terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2002.
-"Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie" (2008), yang diterbitkan Penerbit Ombak, Yogyakarta dan Yayasan Nabil, oleh M Nursam.
sumber
ini adalah post ane yang ke 1000
kalo ada yang mau ngasi ane cendol ane terima dengan senang hati
Quote:
terimakasih yang ud ngasi ane abugosok
Quote:
dari kaskuser
Quote:
Quote:
Original Posted By ifinVocAtMiami►
ane juga heran gan..kok gak semua pahlawan yang membela negara kita..pada muncul di buku sejarah waktu sekolah ya??padahal uda banyak perjuangan yang luar biasa dari mereka..
ane juga heran gan..kok gak semua pahlawan yang membela negara kita..pada muncul di buku sejarah waktu sekolah ya??padahal uda banyak perjuangan yang luar biasa dari mereka..
Quote:
Original Posted By Crossloki►"Siapakah orang pribumi dan nonpribumi itu? Orang pribumi adalah orang-orang yang jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan nonpribumi adalah adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu sama juga menusuk kita dari belakang," kata John Lie
cakeppp
cakeppp
Quote:
Original Posted By Dedooo►Mendukung, jangan lihat latar belakangnya, lihat bagaimana kontribusinya terhadap bangsa ini
Quote:
Original Posted By cleonal►Setuju ama kata2nya... Justru yg pribumi g sdikit yg menusuk dari belakang negara indonesia ini... Tp yg disebut keturunan jg g sdikit yg skeptis...
Diubah oleh blokE18 12-03-2014 16:26
0
9.5K
Kutip
30
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan