picemAvatar border
TS
picem
Mengkritisi Berita Tempo Soal Label Halal MUI
–: Mari kembali belajar membaca media, agar tidak tergiring jurnalisme prasangka.

Bismillah …
Islam memerintahkan umatnya untuk mengkonsumsi makanan / minuman yang halal, dan menghindari yang haram. Halal-haram bagi Islam menyangkut akherat. Pangan yang halal baik dari segi bahan baku, bahan tambahan, cara produksinya sampai bisa dikonsumsi orang Islam harus jelas agar tidak menimbulkan dosa. Karena rumitnya pengelolaan ini, maka perlu ada sebuah lembaga khusus untuk mengaudit dan memberikan sertifikasi halal. Dengan lahirnya Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) sejak 6 Januari 1989, setidaknya memberi harapan besar pada umat Islam di Indonesia.

Entah apakah karena ingin menggagalkan RUU Jaminan Produk Halal yang kini sedang digodok di DPR, Majalah Tempo edisi 24 Februari – 2 Maret 2014 telah mendiskreditkan LPPOM-MUI. Tempo berupaya mencari titik lemah lembaga ini lewat salah satu Ketua MUI ‘yang diduga bermain uang’ untuk pelabelan halal ini.

tempo mui
COVER TEMPO EDISI CETAK


Cover majalah berupa ilustrasi kaleng dengan gambar babi dengan tulisan dibawahnya “DIJAMIN HALAL” dengan logo MUI. Di samping kaleng itu ada tulisan: “ASTAGA! LABEL HALAL. Petinggi Majelis MUI ditengarai memperdagangkan label halal. Tempo melacak hingga Australia dan Belgia.”

MUI adalah lembaga yang diberi wewenang melabeli halal suatu produk, termasuk produk luar yang akan masuk Indonesia. Meski di negara masing-masing telah dinyatakan halal, produk luar harus memperoleh sertifikat halal dari MUI. MUI juga memberi izin atau semacam lisensi kepada perusahaan di luar negeri untuk memberi sertifikat halal yang diakui di Indonesia.
Dengan populasi muslim terbesar di Indonesia atas pasar produk halal yang besar, banyak perusahaan asing mengincar label halal untuk bisa memasarkan produknya. Di Australia, banyak perusahaan mengajukan izin untuk menjadi pemberi label halal dengan sertifikasi MUI. Ruang lingkup wilayah kerja mereka adalah satu negara bagian. Pengurusan izin sertifikasi halal itu sebenarnya gratis. MUI akan meninjau perusahaan yang mengajukan izin sertifikasi halal. Semua biaya perjalanan ditanggung perusahaan.

Dalam prakteknya, disebut dalam laporan utama Tempo, MUI ditengarai “bermain” dengan memainkan kesempatan label halal dijajakan secara “haram”. Ambil contoh sapi impor dari Australia, karena ongkos mahal MUI tak mungkin awasi semua proses produksi dari hulu ke hilir. MUI bekerjasama dengan perusahaan sertifikasi di banyak negara. MUI memegang monopoli untuk memilih perusahaan itu. Di sini celah permainan. Salah seorang petinggi MUI, Amidhan Shaberah, banyak meminta “fee” lain. Beberapa ditransfer ke rekening pribadinya. Pengusaha yang menolak memberi suap, izin sertifikasi halal-nya akan dicabut. Atau bisa tidak diperpanjang lagi setelah 2 tahun. Di Belgia, Amidhan juga ditempatkan sebagai penasihat perusahaan pemberi label halal. Tujuannya, agar lolos dari audit oleh MUI. Walhasil, ada beberapa produk yang mengandung babi tetap dinyatakan sebagai produk halal.

Liputan di Australia juga menemukan pabrik pengolahan yang mencampur sapi dan babi di satu tempat. Jauh dari standar halal. Anehnya, daging dari tempat itu memperoleh sertifikat halal dari perusahaan yang mengantongi izin dari MUI.

Itulah intisari Laporan Utama Majalah Tempo edisi 24 Februari – 2 Maret 2014. Benarkah apa yang diberitakannya tersebut? Mari kita bahas sekaligus belajar mengkritisi suatu berita.

.
BANTAHAN

Pada tanggal 24 Februari 2014, Dewan Sertifikat Makanan Halal Eropa (Halal Food Council of Europe / HFCE) yang berkedudukan di Brussel, Belgia mengirimkan surat yang membantah pemberitaan Majalah Tempo soal sertifikat produk halal. Isi surat bantahan bisa dibaca di sini [inilah..com]. Poin penting bantahannya adalah bahwa Ketua MUI Amidhan Shaberah tidak ada dalam jajaran Advisory Board HFCE dan tidak mendapat gaji/bayaran dari HFCE, tidak seperti yang diberitakan Tempo. Bagi HFCE, pemberitaan Tempo sengaja menjatuhkan nama baik Amidhan sebagai Ketua MUI dan HFCE sendiri.

Dalam siaran pers MUI, pada tanggal 26 Februari 2014, menyebutkan Rubrik Opini halaman 29 alinea kelima Majalah Tempo menulis:

Demi mengantongi izin perusahaan sertifikasi di Australia, menurut laporan The Sunday Mail, Brisbane, Oktober tahun lalu, memberi “hadiah” kepada MUI yang nilainya mencapai Aus$ 78 juta atau sekitar 820 miliar.

MUI menganggap tulisan itu menyesatkan, karena dana sebesar itu, sepeser pun tidak pernah masuk ke MUI atau petinggi MUI. The Sunday Mail tidak menuliskan angka Aus$78 juta itu. The Sunday Mail juga tidak menyebutkan uang itu untuk MUI, tetapi untuk lembaga sertifikasi di Australia yang di-endorse oleh MUI. Jadi wartawan Tempo salah menerjemahan berita itu.

Pembaca blog ini bisa membuktikannya langsung dengan membaca artikel yang digunakan Tempo sebagai sumber berita dan opini:
Religious levy costs Queensland abattoirs thousands each month
[Edisi cetak Sunday Mail, 20/10/2013, berjudul: ‘Islamic Levy Cuts Deep at Abattoirs’]

Lihatlah, betapa tidak jujurnya Tempo dalam mengutip / menerjemahkan berita dari media Australia.

Kemudian pada tanggal 26 Februari 2014, MUI telah memberikan Klarifikasi terhadap Pemberitaan Tempo tentang Sertifikasi Halal. Bantahan atas berita Bohong yang ditulis Tempo terhadap MUI dan Amidhan, lengkapnya sila cek di situs Halal MUI.

Tempo sepertinya tidak berniat investigasi jujur, media ini tidak menganut pemberitaan berimbang karena sumbernya tidak valid, menggunakan sumber anonym. Sehingga hanya melestarikan jurnalisme prasangka di negeri ini. Namun demikian, laporan Tempo ini memang patut ditindaklanjuti MUI dengan membentuk tim penyelidik internal, semacam komisi etik. Ini penting, karena bisa jadi berita tersebut mengandung kebenaran, meski konstruksi Tempo banyak ditemukan kejanggalan. Apa saja kejanggalan tersebut, mari kita bedah satu-satu.

.
KEJANGGALAN – KEJANGGALAN ISI BERITA

Kejanggalan 1:

Lihat halaman 34-35.
Dalam laporan utama majalah Tempo, Ketua MUI Amidhan Shaberah diberitakan menerima sejumlah uang dari perusahaan luar negeri dalam hal ini dari Australia, agar perusahaan itu mendapatkan sertifikat halal produk-produk mereka. Faktanya perusahaan tersebut tidak lolos sertifikasi. Ada berita tentang transfer uang Rp 105 Juta ke rekening Amidhan. Terduga penyuapnya adalah Mohammed Lotfi dan Ali Chawk. Namun dua orang tersebut menolak memberikan konfirmasi tentang transfer uang tersebut, tetapi ada saksi yang melihat bukti transfer namanya Syahrudi Muhammad Idji (Wakil Ketua Dewan Dakwah Tangerang). Kata Tempo, Syahrudi adalah orang yang sedang menyiapkan perusahaan pemberi label halal di Melbourne.
Pertanyaanya, apakah Tempo melihat sendiri copy bukti transfer ke Amidhan yang dilihat Syahrudi?
Komite etik MUI juga harus tabayyun ke Syahrudi, minta copy bukti transfernya, biar jelas transfernya ke rekening mana setelah dilacak. Dari tabayyun ini bisa disimpulkan, apakah Syahrudi ini beneran ingin membongkar suap, ataukah karena ada unsur kepentingan dirinya sebagai pemain pemberi label halal juga.

Faktanya, MUI tidak meloloskan sertifikasi Australian Halal Food Services / AHFS, (meski kemudian AFHS bersalin rupa menjadi Halal Certification Council), dengan alasan proses penyembelihan sapi tidak sesuai dengan syariah. Nah, kalau dibilang MUI menerima suap, BAGAIMANA mungkin orang yang menerima suap malah tidak meloloskan perusahaan yang memberi suap? Ini kejanggalan yang sangat mendasar.

Kejanggalan 2:

Lihat halaman 35.
Tempo memuat capture “Statutory Declaration”, surat sumpah pengakuan Mohammed El-Mouelhy di depan notaris yang mengaku menyuap petinggi MUI. Amidhan telah mengakui ada trip ke Australia pada tahun 2006.
Pada surat pengakuan Mouelhy jelas tertulis ada saksinya, lihat poin 6 surat tersebut, bahwa pembayaran disaksikan pejabat Konsulat RI dan pejabat Australia. Pertanyaannya, apakah itu uang saku atau uang suap? Kalau itu uang suap, APAKAH logis menyuap terang-terangan begitu disaksikan pejabat yang berwenang?
Yang namanya disaksikan pejabat penting dari perwakilan negara, maka itu jelas perjanjian di atas tangan, bukan perjanjian bawah tangan dalam pengertian suap. Kecuali kalau kita ikutan menuduh pejabat konsulat Indonesia dan perwakilan Australia ikut serta dalam acara suap-menyuap atau gratifikasi tersebut… tapi ini malah menambah kekonyolan.

Kejanggalan 3:

Lihat halaman 36.
Kata berita Tempo, ada berita tentang seorang bekas manajer keuangan yang mencairkan Aus$ 50 ribu untuk dibawa bosnya ke Jakarta pada akhir 2011. Bos perusahaan itu menemui Amidhan karena diancam akan dicabut izinnya dengan tuduhan memberikan label halal lintas negara bagian. Kepada bawahannya, bos perusahaan itu mengatakan akan menyuap 4 petinggi MUI di Jakarta. Setelah pertemuan dengan Amidhan, pencabutan izin tak pernah benar-benar dikeluarkan. Perusahaan itu masih beroperasi, memberikan label halal hingga kini.
Pertanyannya, apa nama perusahaan itu? Tempo tidak menyebutkan. Padahal ini penting buat pembaca yang peduli dengan kehalalan suatu produk. Nama perusahaan penting dibuka agar konsumen muslim pembaca Tempo hati-hati membeli produknya.

Mantan manajer ditulis anonym, nama bos anonym, nama perusahaan juga anonym. Mantan manajer yang anonym itu tidak melihat sendiri penyuapan, dia hanya mendengar cerita bosnya (yang juga anonym). Anonym mendengar info dari anonym. Lha ini apa bedanya dengan obrolan gosip yang membahas tentang “katanya si anu dari si anu” ? Bagaimana ini bisa dipercaya?

Kejanggalan 4:

Lihat halaman 37.
Kata Tempo, ada kabar dari orang dalam HFCE bahwa Amidhan menerima gaji rutin US$ 5000. Kabar tersebut berasal dari sumber anonym.
Pertanyannya, pemberian gaji tersebut via apa? Apakah via transfer rekening, ataukah utusan, ataukah ambil sendiri?
Jika lewat rekening, tim etik MUI harus print out rekening. Lalu umumkan. Jika benar kata Tempo, MUI harus fair dan ambil tindakan. Jika tidak, segera bersihkan namanya.
Faktanya, menurut HFCE, Amidhan tidak berada dalam Advisory Board HFCE, sehingga tidak ada gaji rutin.

Kejanggalan 5:

Lihat halaman 37.
Kata Tempo, karena tidak pernah diaudit MUI, produk-produk yang mengandung gelatin babi tetap diberi label halal oleh HFCE. Misalnya produk obat dari Belgia yang mengandung trypsin, senyawa yang berasal dari babi.
Pertanyaannya, apa nama produk obat tersebut?
Apakah obat itu masuk ke Indonesia?
Apakah perusahaan yang tidak pernah diaudit MUI itu memasukkan produknya ke Indonesia?
Adanya penjelasan soal ini sangat penting, namun anehnya di berita Tempo itu tidak disebutkan.
Kabar terakhir, informasi tersebut dibantah oleh Sumunar Jati, Wakil Direktur LPPOM MUI. LPPOM tidak pernah memberikan sertifikat atau label halal produk yang mengandung babi, lembaga tersebut juga telah mengingatkan kepada HFCE. [baca IslamPos: MUI Akan Somasi Majalah Tempo]

Kejanggalan 6:

Lihat halaman 38.
Pada laporan utama berjudul: “Dua Label Daging Flemington” mengungkap adanya daging yang dinyatakan halal diolah ditempat yang sama dengan produk nonhalal di Flemington, Melbourne, Australia. Yang kata Tempo, tetap mendapat sertifikat berstandar MUI. Tempo menulis: “di selasar yang sama”, maksudnya kalau pagi tempat pengolahan itu buat daging sapi, kalau sore buat daging babi. Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV) yang mengawasi pabrik itu membantah pengolahan daging sapi dan babi itu di satu atap. Dari adanya pertentangan ini, seharusnya laporan utama Tempo diupayakan untuk lebih meyakinkan pembaca, misalnya ada foto / denah grafis. Nyatanya tidak ada. Dan jika benar pengolahan di Flemington campur-baur, nyatanya ICCV telah memastikan bahwa pabrik daging Flemington tidak mengirim produknya ke Indonesia. Artinya, masyarakat muslim Indonesia aman, tidak terkontaminasi produk Flemington.
Lha masalahnya dimana, kok soal ini diangkat media Tempo?
Apakah ada bukti bahwa daging di Flemington yang ditinjau Tempo itu dikirim ke Indonesia? Tidak ada penjelasan di berita.
Apakah ada bukti pabrik Flemington yang dipantau Tempo itu diberi sertifikat halal oleh ICCV atas approval MUI? Juga tidak ada penjelasan berita.
Lantas, apa salah MUI dalam hal ini?
Adanya kedekatan Esad Alagic (pemimpin ICCV) dengan Amidhan Shaberah (Ketua MUI) dikonstruksi supaya pembaca terbawa alur bahwa Amidhan bermain curang, melapangkan jalan masuk produknya ke Indonesia. Hati-hati membaca framing berita seperti ini, ilusi Anda bisa kebablasan yang berakibat buruk sangka!

Kejanggalan 7:

Lihat halaman 40-41.
Pada laporan utama berjudul “Pengakuan ‘Dosa’ Pemain Utama “ mengungkap tentang pemalsuan label halal daging dari Amerika Serikat yang kemudian dimaafkan MUI. Halal Transaction of Omaha (HTO), lembaga sertifikasi halal yang berkantor di Nebraska, Amerika Serikat, menginformasikan ke MUI bahwa ada sertifikat halal dipalsu CV. Sumber Laut Perkasa (SLP). Kemudian MUI mengirim surat ke Kementerian Pertanian (Kementan). Kementan lalu bertindak mengawasi SLP berdasar surat MUI. SLP meminta maaf ke MUI dengan alasan anak buahnya curang, dan telah dipecat. MUI menerima maaf. Pelaksanaan impor harus sesuai aturan, sertifikat palsu tidak memberi jaminan kehalalan produk.
Kemudian ketika SLP beroperasi lagi, tidak ada bukti dan keterangan satu sumber pun yang mengkonfirmasi bahwa SLP telah menyuap MUI, juga tidak ada bukti dan keterangan satu sumber pun yang mengkonfirmasi bahwa MUI menerima suap dari SLP. Lantas, apakah sertifikat SLP berikutnya itu sertifikat yang masih palsu atau sudah asli/halal? Tempo tidak menyajikan data dan kesimpulan.
Berita dengan judul “Pengakuan ‘Dosa’ Pemain Utama” itu (lagi-lagi) murni framing agar pembaca berilusi seolah-olah ada kasus suap antara SLP dengan MUI.

…..

Demikianlah, ada sekitar 7 kejanggalan dalam pemberitaan Majalah Tempo. Model seperti ini sama dengan melecehkan integritas pers. Kita selayaknya berhati-hati terhadap media-media yang mengandalkan jurnalisme prasangka, yang kemudian menyihir pembaca tanpa sadar berilusi bahwa benar terjadi kejahatan. Jangan mudah terbawa opini negatif yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Kita patut kritis.

Pada saat MUI merilis klarifikasi MUI atas Pemberitaan Majalah Tempo, halaman pada situs resminya yang memuat klarifikasi tersebut saya forward ke Arif Zulkifli, pemimpin redaksi Tempo [Twit 1]. Namun, kemudian Arif Zulkifli menyodorkan link berita ke saya tentang: Australia Sodorkan Bukti Biaya Perjalanan MUI [Twit 2]
Dalam link berita Tempo yang diberikannya tersebut memuat bukti tiket pesawat perjalanan petinggi MUI ke Autralia 2-8 April 2006.
Kemudian saya balas: “Sesuai klarifikasi MUI poin 5, tim MUI ke sana untuk ngaudit. Apa MUI hrs suruh bayar sendiri ke Aussie?” [Twit 3]

Pada laporan utama Tempo halaman 36, diberitakan bahwa sesuai dengan aturan, sebelum memberikan izin, MUI akan menyurvei perusahaan pemohon untuk meninjau kelayakannya. Maka tanggal kunjungan ditetapkan pada 2-8 April 2006. Kata Mouelhy, mereka meminta sangu Aus$ 300 orang per hari. Total ada tujuh anggota tim peninjau. Pada akhirnya hanya 5 orang peninjau, karena yang 2 orang pulang duluan. Pada saat pamitan di bandara Melbourne itulah, ia memberikan 7 amplop yang jumlahnya Aus$ 26 ribu (sekitar Rp 275 Juta). Kronologi peristiwa dan pernyataan menyuap itu ia buat dalam pernyataan bersumpah di depan notaris. Namun, dalam pernyataan sumpah yang di-capture Tempo dan dimuat di halaman 35 itu tidak memuat besar uang yang dimasukkan dalam amplop [baca suratnya di sini].

Dari link berita yang diberikan Arif Zulkifli, seolah-olah menggiring pembaca untuk berilusi lagi bahwa benar terjadi suap kepada MUI. Padahal itu cuma bukti tiket pesawat. Dimana dalam prosedur pengurusan sertifikat halal yang dimuat Tempo di halaman 42 (poin 2), mengatakan bahwa MUI akan meninjau perusahaan yang mengajukan izin sertifikasi halal. Semua biaya perjalanan ditanggung perusahaan. Pengalaman saya sebagai auditor manajemen mutu, pihak auditee (perusahaan yang diaudit) menanggung biaya transportasi, akomodasi, dan biaya audit sekian mandays. Jadi, wajar kalau ada bukti tiket pesawat yang ditanggung pemohon (Mouelhy). Apakah Tempo lagi-lagi mengajak pembaca berilusi melalui framing penunjukan tiket pesawat tersebut? Makanya saya berikan pertanyaan yang sampai sekarang belum dijawab:


Kalau memang MUI menerima uang suap itu. Kejanggalannya adalah adanya fakta bahwa sampai sekarang perusahaan pemohon itu tidak diloloskan proses sertifikasinya, dengan alasan tidak memenuhi syariah. Bagaimana mungkin, sudah menerima suap kok masih belum diloloskan. Ini kejanggalan yang amat mendasar, bukan?

Bila ternyata semuanya adalah kebohongan belaka, maka kita patut bertanya, ada apa dibalik usaha Tempo menerbitkan berita bohong tersebut? Patut diwaspadai.
Kemudian, mari kita dukung langkah-langkah para ulama melaporkan Tempo kepada Dewan Pers atas fitnah dan penyesatan publik.

Dan jika terbukti memang ada nila di dalam belanga MUI, bukan berarti kita setuju langkah delegitimasi halal. Legitimasi halal mutlak diperlukan bagi umat Islam. Saya mendukung, nila setitik yang merusak susu sebelanga itu diproses secara hukum, namun jangan mengorbankan LPPOM-nya.

(Sumber : http://iwanyuliyanto.wordpress.com/2...bel-halal-mui/)
0
4.1K
24
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan