syaefulbachriAvatar border
TS
syaefulbachri
Permisi Ya, Revisi KUHAP Jangan Jadi Blunder Dan Keblinger.
Jakarta, 6 Februari 2014 (KATAKAMI.COM) —
Hampir sebulan terakhir ini, selain heboh
karena ibukota terus menerus direndam banjir
yang datang silih berganti, hal lain yang juga
terjadi adalah memanasnya hal ihwal
kontroversi pembahasan Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang saat ini sedang
diproses di Komisi III DPRI-RI.
Seolah sedang terjadi “perang bubat” antara
para pendukung Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melawan DPR.
Masih ingat apa yang dimaksud dengan
perang bubat dalam pelajaran sejarah ?
Perang Bubat adalah perang yang terjadi
pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada
abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan
raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi
akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah
Mada dari Majapahit dengan PrabuMaharaja
Linggabuana dari Kerajaan
Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang
mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan
Sunda.
Sekarang, perang bubat versi baru seolah
bangkit kembali dalam versi yang lain terkait
pembahasan RUU KUHAP di parlemen.
KPK dan seluruh pendukungnya yang sangat
kredibel di negara ini meyakini bahwa
pembahasan RUU KUHAP ini akan serta merta
dalam memangkas berbagai kewenangan KPK.
Dan istilah yang lebih sederhana, RUU KUHAP
ini akan otomatis menjadi sebuah
kesengajaan melakukan pelemahan terhadap
kewenangan KPK
Dan inilah 12 poin dalam RUU KUHAP yang
berpotensi “membunuh” KPK dan upaya
pemberantasan korupsi.
1. RUU KUHAP menghapus ketentuan
penyelidikan
Ketentuan RUU KUHAP menghapuskan
ketentuan penyelidikan dan hanya mengatur
ketentuan penyidikan (Pasal 1 RUU KUHAP).
Peniadaan fungsi penyelidik memiliki
konsekuensi hukum bagi seluruh institusi
penegak hukum, termasuk KPK.
Hilangnya penyelidik dari institusi penegak
hukum akan membuat beberapa kewenangan
juga turut hilang. Penyelidik punya wewenang
untuk memerintahkan pencekalan,
penyadapan, pemblokiran bank termasuk
melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Karena penyelidikan hilang, maka di KPK tidak
boleh lagi dilakukan tindakan-tindakan itu,
Pada tahap penyelidikan, penyelidik akan
mengumpulkan barang bukti untuk
meningkatkan perkara ke tahap penyidikan.
Jika dua alat bukti sudah terkumpul, maka
sebuah perkara bisa lanjut dari penyelidikan
menjadi penyidikan.
Namun, kalau penyelidikan ditiadakan dan
langsung ke tahap penyidikan, dengan begini
penyidikan di KPK tidak dapat berjalan.
Tanpa penyelidikan, KPK dan lembaga
penegak hukum lain tak bisa menelusuri,
meminta keterangan, dan mengumpulkan alat
bukti yang diperlukan untuk menetapkan
seseorang menjadi tersangka suatu kasus.
2. KUHAP berlaku terhadap tindak pidana
yang diatur dalam KUHAP
Pasal 3 ayat 2 RUU KUHAP mengatur tentang
ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap
tindak pidana yang diatur dalam UU di luar
KUHP, kecuali undang-undang tersebut
menentukan lain. Ketentuan ini bisa
meniadakan hukum acara khusus dalam
penanganan kasus korupsi (sebagaimana
diatur dalam UU KPK) yang saat ini
digunakan KPK.
3. Penghentikan penuntutan suatu perkara
Pasal 44 RUU KUHAP mengatur tentang
penuntut umum dapat mengajukan suatu
perkara kepada Hakim Pemeriksa
Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak
layak untuk dilakukan penuntutan ke
pengadilan. Berdasarkan ketentuan ini,
penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK
dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa
Pendahuluan.
Ini bertentangan dengan semangat melakukan
pemberantasan kejahatan tindakan luar biasa
dalam UU KPK. Dalam UU KPK, KPK tidak
dapat menghentikan penyidikan atau
penuntutan.
4. Tidak memiliki kewenangan perpanjangan
penahanan pada tahap Penyidikan
Pasal 58 RUU KUHAP mengatur tentang
persetujuan penahanan pada tahap
penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali
dua puluh empat). KPK dapat dianggap tidak
memiliki kewenangan. Sebab, RUU KUHAP
hanya menyebutkan kepala kejaksaan negeri
dalam hal penahanan dilakukan oleh
kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi
dalam hal penahanan dilakukan oleh
kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan
Kejaksaan Agung dalam hal penahanan
dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
5. Masa penahanan kepada tersangka lebih
singkat
Masa Penahanan dalam RUU KUHAP lebih
singkat dari UU KUHAP yang saat ini berlaku.
Dalam Pasal 60 RUU KUHAP, masa
penahanan ditingkat penyidikan hanya 5 hari
dan dapat diperpanjang hingga 30 hari.
Bandingkan dengan masa penahanan dalam
Pasal 24 KUHAP yang saat ini berlaku yaitu
selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh
penuntut umum yang berwenang untuk paling
lama 40 hari. Jangka waktu penahanan
penyidikan yang lebih singkat dari KUHAP
saat ini dapat mengganggu proses
penyidikan. Apalagi dalam menangani kasus
korupsi, jumlah saksi jauh lebih banyak
daripada jumlah saksi dalam persidangan
kasus tindak pidana umum.
6. Hakim dapat menangguhkan Penahanan
yang dilakukan penyidik
Pasal 67 RUU KUHAP mengatur bahwa
Penangguhan Penahanan dapat diajukan oleh
tersangka atau terdakwa. Dampaknya, jika
tersangka atau terdakwa meminta, maka
Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat
menangguhkan penahanan yang dilakukan
oleh KPK.
7. Penyitaan harus diizinkan hakim
Pasal 75 RUU KUHAP mengatur bahwa
penyitaan harus mendapat izin Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dapat menolak memberikan
persetujuan penyitaan, dan barang yang disita
harus segera dikembalikan kepada pemilik.
8. Penyadapan harus mendapat izin hakim
Pasal 83 RUU KUHAP mengatur bahwa
penyadapan pembicaraan harus mendapat izin
Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Penyadapan
pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila
mendapat persetujuan dari hakim. Jika hakim
tidak setuju, KPK tidak dapat melakukan
penyadapan.
9. Penyadapan (dalam keadaan mendesak)
dapat dibatalkan oleh hakim
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur bahwa dalam
keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap
tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa
Pendahuluan. Dalam ketentuan lain,
disebutkan jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan
tidak memberi persetujuan penyadapan, maka
penyadapan KPK dapat dihentikan.
10. Putusan Bebas tidak dapat
diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur tentang
terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan kasasi kepada
Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kasus korupsi
yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas di
tingkat pertama atau banding, maka tidak
dapat dikasasi.
11.Putusan Mahkamah Agung tidak boleh
lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
Pasal 250 KUHAP mengatur tentang Putusan
Mahkamah Agung mengenai pemidanaan
tidak boleh lebih berat dari putusan
pengadilan tinggi. Dampaknya, jika kasus
korupsi yang diajukan KPK divonis berat di
tingkat pengadilan pertama atau banding,
maka dapat dipastikan vonisnya lebih rendah
jika diajukan di kasasi. Ini menjadi celah bagi
koruptor untuk mendapatkan diskon masa
hukuman jika prosesnya berlanjut hingga
kasasi.
12.Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur
RUU KUHAP tidak mengakomodir pembalikan
beban pembuktian untuk kejahatan korupsi
dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dalam Undang-undang TPPU yang sekarang
berlaku, beban pembuktian terbalik sempurna,
di mana seseorang harus menjelaskan asal-
usul kekayaannya.
RUU KUHAP awalnya diusulkan pemerintah
dan sehak 2013 lalu telah dibahas oleh
Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP dari Komisi
III DPR yang dipimpin Aziz Syamsudin dari
Fraksi Golkar.
Beralasan mendalami subtansi, Panja RUU
KUHAP bahkan juga telah studi banding ke
beberapa negara seperti Rusia.
Panja juga telah memanggil sejumlah pihak—
kecuali KPK—untuk membahas RUU KUHAP.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto
Terkait masalah ini, Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi, Bambang
Widjojanto, meminta agar Dewan
Perwakilan Rakyat menghentikan
pembahasan revisi Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bambang mengungkapkan beberapa alasan
kenapa Komisi III DPR harus menghentikan
pembahasan tersebut. Salah satunya, waktu
yang terlalu singkat untuk membahasnya.
“Waktu yang sempit dibanding masalah
yang substansial dan kompleks. Waktu kerja
DPR periode ini tinggal 108 hari kerja,
sementara (DIM) cukup banyak sekitar 1169
dan pasal yang dibahas sangat banyak,”
ujar Bambang dalam keterangannya, Kamis
6 Februari 2014.
Selain itu naskah yang dimiliki KPK
dipandang masih jauh memadai. Karena
mampu menjelaskan secara utuh problem
fundamental KUHAP mendatang berikut
solusi penanganannya.
Dan yang terakhir, menurut Bambang,
dalam pembahasan revisi tersebut, rakyat
sebagai pemilik kedaulatan tidak
diikutsertakan.
“Rakyat sang pemilik kedaulatan justru
disingkirkan dalam seluruh pembahasan
yang saat ini terjadi. Begitupun dengan KPK
sebagai user tidak pernah sekalipun diajak
berpartisipasi,” ujar Bambang.
Ilustrasi gambar : “TANGKAP KORUPTOR”
yang merupakan aksi demo GMNI. ©2012
Merdeka.com/Dwi Narwoko
Menanggapi seruan dari pihak KPK, maka
tak lama kemudian salah seorang anggota
Komisi III DPR RI yaitu Ahmad Yani
mempertanyakan permintaan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) agar DPR RI,
khususnya Komisi III DPR RI menghentikan
pembahasan Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).”KPK arogan.
Atas hak apa KPK minta seperti itu. RUU
KUHAP itu untuk reformasi, sudah cukup
lama, jauh sebelum ada KPK,” kata Yani di
Jakarta, Kamis (6/2/2014).
KPK, sarannya, sebaiknya tidak teriak-
teriak seperti layaknya LSM.
Sebab, Wakil Ketua KPK, Bambang
Widjojanto bersama dirinya membahas RUU
KUHAP tahun 90-an sewaktu masih di
YLBHI.
“Jangan teriak-teriak, kayaknya LSM saja.
Saya bersama Bambang Widjojanto tahun
1990-an membuat draf RUU KUHAP waktu
dia masih di YLBHI. BW termasuk
penggagas perubahan KUHAP,” kata Yani
menegaskan.
Yani menjelaskan, sikap KPK itu
dikarenaketidaktahuannya bahwa
pemerintah yang mengajukan RUU KUHAP
dengan diketahui Kejaksaan, Kepolisian dan
Kementerian Hukum dan HAM.
“Pembuat UU itu kan DPR – Pemerintah,
bukan KPK. KPK ini user , kenapa meminta
DPR memberhentikan. KPK mestinya
mendebat dulu dengan pemerintah, bukan
ke DPR. Ini kok ke DPR, kebencian ke DPR
terlalu tinggi buat KPK tidak rasional,” kata
Yani.
Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin
dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny
Indrayana
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin
menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) tidak perlu khawatir dengan Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) karena di dalamnya
sudah mengatur kewenangan khusus lembaga
anti korupsi itu.
“Sebenarnya yang ingin saya harapkan mari
kita inventarisasi pasal-pasal mana yang
dianggap akan menjadi penghalang KPK
dalam menjalankan tugasnya,” kata Amir di
Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.
Sebagaimana diketahui, kata Amir, KPK
adalah badan khusus yang memiliki
kewenangan khusus yang juga bisa
diperlakukan dengan aturan yang khusus.
“Kenapa tidak kekhususannya itu
dipergunakan,” kata Amir.
Dia menyebutkan, kalau KPK hanya
menangani ratusan kasus, sementara KUHAP
diperlukan untuk perlindungan jutaan warga
negara dipelosok tanah air, terutama
pelindungan kepada mereka sesuai dengan
konvensi internasional mengenai perlindungan
terhadap HAM, masa penahanan, di KUHAP
sangat dibatasi.
“Tidak boleh orang ditahan begitu saja dalam
jangka waktu panjang kemudian dilepas
seperti tidak ada masalah. Khusus KPK, saya
mengerti ada kewenangan khusus masalah
penahanan yang diperlukan oleh KPK
karenanya kita perlu dan KPK sudah punya
aturan secara khusus yang bisa digunakan
saat ini. Itu tidak menutup kemungkinan akan
tetap terbuka untuk diberikan ke KPK,” kata
Amir.
“Saya kira tidak ada orang berakal waras
berani menganulir kewenangan KPK,” ujar
Amir.
Jajaran Pimpinan KPK periode 2011-2015
Hal yang paling fatal yang telah dilakukan
oleh Kementerian Hukum dan HAM saat
mengajukan pembahasan RUU KUHAP ini ke
DPR adalah tidak mengikut-sertakan KPK
dalam pembahasan atau pengajuannya.
Sementara, KPK sebagai user atau pengguna
memang sangat amat berkepentingan
terhadap apapun yang terjadi pada RUU
KUHAP ini.
Pertanyaannya, mengapa KPK tidak
dilibatkan ?
Mengapa seolah ada indikasi terjadinya unsur
kesengajaan dimana KPK memang tidak perlu
dilibatkan.
Sebab kalau dari awal KPK diberitahu atau
dilibatkan, maka lembaga antikorupsi yang
satu ini tentu akan memprotes.
Terbukti, setelah RUU KUHAP ini dibahas, KPK
memang bereaksi keras.
Bukan cuma 1 pasal, tetapi ada 12 pasal yang
dinilai sangat kontroversial dan berpotensi
melemahkan, sekaligus memangkas secara
radikal kewenangan KPK.
Akhirnya yang terlibat dalam “perang bubat”
adalah KPK dan seluruh pendukungnya yang
masing-masing punya kredibilitas yang tinggi,
melawan Komisi III DPR-RI (khususnya
masing-masing anggota Komisi III DPR-RI
yang duduk sebagai Panja RUU KUHAP).
Situasi yang panas ini bisa berdampak buruk
pada anggota-anggota Komisi III DPR RI yang
sedang membahas RUU KUHAP sebab mereka
akan dituding menghalangi kerja KPK dalam
pemberantasan korupsi.
Sementara 2 bulan lagi, Pemilu Legislatif akan
dilaksakan di Indonesia — dimana para
anggota Panja RUU KUHAP akan
mencalonkan kembali diri mereka untuk dipilih
sebagai wakil rakyat periode berikutnya.
Lalu Pemerintahan yang saat ini sedang
berjalan, usia pemerintahannya pun hanya
tinggal beberapa bulan yaitu hanya tinggal 8
bulan lagi.
Sementara KPK akan tetap ada di Indonesia,
walau periode kepemimpinan yang saat ini
dipimpin oleh Abraham Samad akan berakhir
masa baktinya pada akhir tahun 2015
mendatang.
Artinya, anggota DPR dan anggota kabinet
Indonesia Bersatu Jilid 2 yang sama-sama
akan mengakhiri masa bakti mereka dalam
hitungan bulan pada tahun 2014 ini, tidak
perlu meninggalkan bom waktu terkait produk
hukum yang sangat penting.
Kementerian Hukum dan HAM harus
diingatkan bahwa kontroversi yang terjadi
saat ini bisa diilustrasikan sebagai sabung
ayam, dimana antara ayam yang satu di adu
dengan ayam yang lain.
Dalam hal ini, KPK di adu dan seolah
dibenturkan dengan Komisi III DPR, sementara
Kementerian Hukum dan HAM hanya duduk
manis sebagai “penonton”.
Saat ini semua menyaksikan bahwa KPK
mulai bersitegang dan saling serang di media
dengan Komisi III DPR.
Padahal yang mengajukan pembahasan RUU
KUHAP ini kepada DPR adalah Kementerian
Hukum dan HAM, diketahui oleh pihak
Kejaksaan Agung dan Mabes Polri (tanpa
melibatkan KPK).
Kementerian Hukum dan HAM harus bersikap
bijaksana.
Pimpinan KPK
Jangan berbasa basi bahwa KPK tak perlu
kuatir dan pasal-pasal yang
memang dianggap akan menjadi penghalang
KPK dalam menjalankan tugasnya bisa di
inventarisasi.
Jelas saja, dan wajar KPK kuatir, sebab
kewenangan mereka yang akan dipangkas
secara radikal lewat 12 pasal kontroversial
yang sudah diuraikan di bagian tulisan ini.
Sudah bukan inventarisasi namanya, kalau
proses yang bergulir di parlemen adalah
sebuah proses yang sangat serius dan tak
bisa dianulir lagi kalau misalnya sudah
dicapai sebuah keputusan yang bersifat final.
Kalau memang tahapannya hanya dilokalisir
sebatas melakukan inventarisasi pasal-pasal
mana yang tidak perlu diutak-atik demi
kelancaran tugas KPK dalam memberantas
korupsi, maka Kementerian Hukum dan HAM
harus mengajukan permohonan resmi kepada
DPR agar proses pembahasan itu dijeda dan
dibuat vakum untuk sementara waktu.
Kalau RUU KUHAP ini dipaksakan maka besar
kemungkinan akan menjadi blunder.
Blunder adalah sebuah kesalahan atau
keteledoran fatal yang tak termaafkan.
Jadi, jangan sampai pembahasan RUU KUHAP
ini menjadi blunder, yang ujung-ujungnya
akan membuat semangat dan upaya
pemberantasan korupsi di negara ini menjadi
keblinger atau salah arah.
KPK harus didukung, dan jangan jusru
kewenangannya dibuat menjadi buntung.
Kalau kewenangan KPK dibuat menjadi
buntung maka perjuangan Indonesia dalam
memerangi korupsi yang sudah sangat
mengerikan, akan menjadi luntang lantung.
Dan akhirnya, kita akan tersadarkan bahwa
Indonesia sudah kalah melawan korupsi. (*)
0
1.6K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan