stevobravesAvatar border
TS
stevobraves
Merapi & Keraton Mistik Jawa (reposted detik)
Gunung Merapi meletus.
Letusannya mengundang banyak
tafsir. Di balik itu, Gunung Slamet
dan Gunung Dieng di Jawa Tengah
berstatus waspada. Juga Gunung
Bromo dan Gunung Semeru di Jawa
Timur. Tanda apakah gerangan?

Inilah kalkulasi mistik soal itu. Boleh
percaya boleh tidak, tapi inilah
kepercayaan sebagian masyarakat
Jawa. Jika tidak percaya anggap ini
bagian dari pengetahuan tentang
budaya. Namun kalau percaya,
begitulah nenek-moyang manusia Jawa
melihat jaman ke depan melalui
tanda-tanda.

Dalam keyakinan Jawa,
tertib jagat sangat penting. Itu dalil
aksioma. Alam dan manusia
ciptaanNya, dan satu serta yang lain
tidak boleh mengganggu, gangguan
bersifat destruktif. Sebab jika satu
terganggu yang lain krodit. Dan
kroditisitas itu bersifat
cakramanggilingan. Berlaku asas roda
pedati yang berputar. Pengganggu
akan terganggu dan kena ganggu.
Dalam menggambarkan tertib dunia
itu, manusia Jawa memampangkan
melalui sketsa kuasa dan keraton.
Keraton ini bisa ditafsir sebagai
kerajaan atau negara. Keraton
pertama disebut sebagai Keraton
Manusia yang diperintah manusia.
Keraton kedua adalah Keraton Api
yang berupa gunung-gunung berapi.
Dan keraton ketiga adalah Keraton
Laut yang kekuasaannya di lautan.
Jika Keraton Manusia bisa ditafsir
penguasanya sekarang adalah Sultan
Hamengkubuwono X atau Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai Presiden
Republik Indonesia yang bisa
berganti-ganti, maka Kraton Api
justru lebih permanen. Juga sinyal
mistik yang ditangkap darinya.
Kraton Api ini dalam keyakinan itu
terbagi dalam tiga grade. Grade
pertama dipandegani trah Mataram
dan trah Majapahit. Trah Mataram itu
diidentifikasi manjing (tinggal) di
Gunung Merapi. Itu tersurat jelas
dalam babad, saat Pajang menyerang
Mataram, Panembahan Senopati
berbagi tugas dengan Ki Juru Martanu,
dan Gunung Merapi meletus
membinasakan pasukan Pajang (de
Han & de Graff).

Sedang trah Majapahit manjing di
Gunung Lawu. Itu bisa dirujuk dari
keyakinan mokswa-nya Raja
Brawijaya di Alang-Alang Kumitir di
Candi Cetho, Jenawi, dan bukti
sejarah Candi Sukuh sebagai area
ritus sang raja sehabis lengser
keprabon dan madeg pandhito. (Turun
tahta sebagai raja dan menjadi
pendeta).

Kelak ketika Islam kian subur
menjamur di Tanah Jawa, maka
Gunung Lawu mendapat sebutan baru
sebagai areanya Sunan Lawu, yang
konotasinya sama, mimikri Brawijaya.
Untuk apologia mitos ini, maka dalam
serat digambarkan bagaimana prosesi
Brawijaya masuk Islam yang tidak
disetujui Sabdo Palon Noyo Genggong
sebagai penasehat spiritual Brawijaya.
Juga diikuti ancaman 'Sang Raja
Demit' ini kelak membinasakan Tanah
Jawa di lima ratus tahun sejak
Brawijaya jadi mualaf. Padahal
sejarah mencatat, Brawijaya wafat
dan diperabukan di Candi Brahu.
Grade kedua adalah Keraton Api
sekadar sebagai tanda. Gunung yang
berfungsi seperti ini adalah Gunung
Slamet yang bertindak sebagai
tetenger (tanda) adanya kebaikan.
Gunung Dieng sebagai tetenger
nikmatnya mereka yang melakukan
kebaikan yang disimbolisasikan dengan
Istana Kahyangan. Dan Gunung
Bromo sebagai tetenger penggembira.
Amuk akan tambah njegadrah
(berkobar-kobar) jika Gunung Merapi
meletus diikuti dengan letusan Gunung
Bromo. Kalau ini terjadi, maka dalam
keyakinan Jawa ada kemungkinan
suksesi di Tanah Jawa terrealisasi.
Sedang grade ketiga adalah Kraton
Api sebagai kekuatan konstruktif,
pinandito, dan gunung sepuh (tua).
Gunung yang masuk kategori ini
adalah Gunung Kelud yang berada di
wilayah Kediri dan Blitar. Gunung ini
diyakini sebagai manjing Raja
Jayabaya yang akan datang di akhir
jaman yang dijemput senopati Tunggul
Wulung.

Nama ini acap dikaitkan dengan
Kristenisasi di daerah Mojowarno.
Tokoh asal Pati sebagai cikal-bakal
Kristen Jawi Wetan itu menyebut
dirinya Kiai Tunggul Wulung yang kelak
melahirkan Kiai Sadrach (1835) yang
mengamalkan sinkretisme Kristen. Dia
merasa terdapat kemiripan antara
Nabi Isa dan Raja Jayabaya, serta
melakukan dakwah itu setelah turun
dari bertapa di Gunung Kelud (van
Akkeren).

Gunung lain yang masuk klasifikisai
gunung tua adalah Semeru. Gunung ini
simbol kearifan, kesaktian, dan
peredam gejolak amarah. Gunung
Semeru diyakini tempat bertapanya
Semar. Tokoh wayang ini merupakan
personifikasi orang Jawa yang
sempurna. Berwatak rendah hati,
sederhana, ikhlas menerima suratan
miskin, hidup di desa, tapi punya
kewaskitaan dan kesaktian luar biasa.
Ini senjata pamungkas kalau sewaktu-
waktu dinista dan dizalimi penguasa.
Sedang Kraton Laut diperintah
perempuan dengan nama bervariasi
tetapi satu. Ada yang menyebut Dewi
Lanjar, Nyi Ratu Kidul, Nyi Roro Kidul,
atau Nyi Loro Kidul. Dalam mitos tokoh
ini dekat dengan Mataram. Konon
pernah bertemu dengan Panembahan
Senopati di Parang Kusumo, pernah sua
dengan Sunan Kalijogo di Gua Langse,
dan bercinta dengan Sultan Agung
sambil mengitari dunia.
Namun itu semua hanyalah simbol.
Ekspresi dari keyakinan Jawa tentang
sangkan-paraning dumadi. Tentang
asal dan akhir manusia. Dari
pertemuan lingga (kemaluan laki-laki
disimbolkan gunung) dan yoni
(kemaluan perempuan disimbolkan
lautan) menjadi embrio, lahir, hidup,
dan kelak kembali ke asal tanah (serat
wirid hidayat jati). Namun simbol-
simbol yang sangat filosofis itu
inheren terkandung perspektif
kejadian yang akan datang. Tertib
dunia yang konotasinya harmoni
merupakan pakem soal itu. Artinya,
sebelum amuk laut dan amuk gunung
ini mereda, masih akan ada amuk
pamungkasnya. Itu adalah amuk di
jagat manusia.

Berdasar kepercayaan itu, maka hari
ini dan hari-hari yang akan datang
suasana panas akan melanda negeri
ini. Keributan rentan tersulut. Manusia
gampang terpancing emosi.
Perselisihan diselesaikan melalui adu
phisik. Dan dari sisi politik, rebut
kekuasaan, perang intrik dan fitnah
tak terhindarkan. Ritme ini terus
meninggi sampai semuanya reda
kembali. Lahir kembali harmonisasi
Kraton Laut, Kraton Api, dan Kraton
Manusia. Namun jika Gunung Merapi
bertahan dengan letusannya sekarang
disusul letusan Gunung Bromo,
gunung-gunung lain di luar Jawa dan
diimbangi dengan tenangnya Gunung
Semeru, Gunung Dieng, Gunung
Slamet, dan Gunung Kelud, maka ini
yang sangat bahaya bagi ketentraman
negeri ini. Sebab situasinya akan
chaostis yang mungkin saja disusul
suksesi.

Dan sebagai penutup, sekarang kita
amati pergerakan amuk gunung yang
puluhan berstatus waspada itu. Kita
cocokkan prediksi serat-serat kuno itu
masih mempunyai relevansi atau tidak
sambil introspeksi diri agar tidak
terpancing emosi. Selain itu, kita juga
jangan terlalu percaya dengan
suratan ini. Sebab hakekatnya para
pujangga yang menuliskan itu sedang
mengamalkan sastra puja. Suratan
metafisis untuk menambah spirit sang
raja.

Mari kita lihat, pantau, dan renungkan
berbagai bencana yang sedang
melanda negeri ini. Tentu, sambil
berdoa.

*) Djoko Suud Sukahar adalah
pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.
Kolom Djoko Suud

Merapi & Keraton Mistik Jawa
Djoko Suud Sukahar - detikNews
Diubah oleh stevobraves 07-02-2014 03:16
0
2.2K
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan