- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Caleg Perempuan Bali Dipaksa Berjuang Lebih Keras
TS
noviaputrii
Caleg Perempuan Bali Dipaksa Berjuang Lebih Keras
Quote:
Sebagai penyiar radio senior, nama Putu Santy Sastra sudah sangat dikenal di Bali. Kiprahnya di dunia hiburan lokal pun nyaris sulit ditandingi. Kini popularitas itu menjadi modalnya untuk maju sebagai calon legislator (caleg) DPRD Bali pada pemilu 9 April nanti.
“Tapi saya sadar modal itu belum cukup. Saya harus banyak turun ke masyarakat,” katanya, Kamis, 30 Januari 2014, setelah mengikuti pelatihan dan pembekalan caleg perempuan yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di Sanur, Denpasar, Bali.
Sejak dinyatakan masuk dalam daftar calon tetap (DCT) Partai Gerindra sekitar dua bulan lalu, wanita yang akrab dipanggil Mbak Santy ini langsung tancap gas. Ia berusaha mendekati berbagai kelompok warga, termasuk ke banjar (dusun di Bali) dan desa adat yang punya pengaruh besar di Bali.
Sayang, Santy harus bertemu dengan kenyataan pahit karena rata-rata setiap wilayah banjar sudah menjadi blok caleg laki-laki. Blok itu akan makin kuat ketika daerah itu dipegang oleh caleg inkumben yang sudah melakukan “pembinaan” selama lima tahun menjabat di DPRD.
Akibatnya, Santy kerap kesulitan melakukan kegiatan yang langsung menyentuh warga. “Caleg laki-laki lebih gampang bersosialisasi ke sana karena hampir semua kelian (kepala banjar) laki-laki,” ujarnya.
Pertemuan-pertemuan banjar untuk mengambil keputusan, termasuk keputusan mendukung calon tertentu, umumnya hanya diikuti oleh para pria dewasa. Karena situasi itu, Santy memilih lebih banyak melakukan pendekatan ke pemilih pemula dan jaringan perempuan. Pada komunitas semacam itu, dia bisa langsung menjelaskan visi perjuangannya.
Kesulitan yang sama juga dirasakan Wayan Sumariati, 47 tahun, caleg perempuan untuk DPRD Klungkung dari daerah pemilihan Nusa Penida. Untungnya, sejak masih muda, dia sudah aktif dalam berbagai kegiatan perempuan seperti di kelompok PKK (Perkumpulan Kesejahteraan Keluarga).
“Jejaring ini yang saya manfaatkan. Soalnya kalau masuk ke kelompok laki-laki susah sekali,” ujarnya. Tuntutan saat bertemu dengan kelompok laki-laki pun lebih beragam dan membutuhkan biaya lebih besar. Sebagian besar pria, kata Sumariati, terlihat belum rela diwakili oleh politikus perempuan.
Ketua LSM Perempuan Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu, menyatakan caleg perempuan di Bali memang harus bekerja dua kali lipat lebih keras dibanding caleg laki-laki. Sebelum terjun ke masyarakat, mereka dituntut sudah paripurna menyelesaikan urusan internalnya dengan para suaminya.
“Apalagi untuk soal dana politik yang akan digunakan. Kalau caleg laki-laki, semua terserah mereka,” ujarnya.
Caleg perempuan di Bali juga harus menghadapi persoalan-persoalan teknis seperti waktu pertemuan-pertemuan yang kerap berlangsung pada malam hari, lokasi kampanye yang jauh dari rumah, rumah tangga yang kurang terurus, dan lain-lain. Itu menjadi tantangan tersendiri karena perempuan Bali umumnya sangat dibutuhkan dalam persiapan acara-acara adat.Frekuensi acara adat biasanya cukup tinggi.
Karena berbagai alasan itulah sampai sekarang keterwakilan perempuan Bali di lembaga legislatif masih sangat rendah. Pada Pemilu 2009, keterwakilan itu hanya 7,5 persen. Padahal jumlah penduduk perempuan di Pulau Dewata sedikit lebih banyak dibanding jumlah laki-laki.
Penetapan kuota 30 persen pada Pemilu 2014 telah menambah jumlah caleg perempuan. Kini ada 1.186 orang caleg wanita dari total 3.230 caleg. Kondisi ini memperbesar peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen.
“Tapi syaratnya, caleg perempuan harus mau bekerja sama meskipun lintas partai. Minimal jangan ikut saling menjatuhkan,” ujar Luh Riniti yang pernah menjadi anggota KPU Bali 1999-2004 itu. Menurut Riniti, caleg perempuan bisa saling menguatkan, terutama untuk caleg dari daerah pemilihan yang berbeda.
Pada saat hari-H pemilu, Riniti juga meminta para caleg perempuan bisa berbagi tugas dan saksi agar suara mereka tidak dirampok caleg lain. Selama ini suara buat caleg perempuan rawan menjadi dicuri baik ketika dihitung maupun dipindahkan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberi perhatian khusus pada masalah keterwakilan perempuan pada Pemilu 2014. Menurut Asisten Deputi Gender dalam Politik Kementerian, Dr A Darsono Sudibyo M.Si, partisipasi perempuan menjadi kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan pasca-Millenium Development Goals (MDGs) 2015. “Karena perempuan pasti lebih peduli untuk persoalan perlindungan anak, kesehatan para ibu, keadilan gender dan masalah-masalah yang dekat dengan mereka,” katanya.
Bersama United Nation Development Program (UNDP), Kementerian telah mengadakan pembekalan bagi caleg perempuan di sembilan provinsi. Materi pembekalan meliputi agenda-agenda kunci dalam perjuangan perempuan dan strategi meraih kursi pada Pemilu 2014.
Kondisi saat ini untuk caleg perempuan memang masih memprihatinkan. Di tingkat nasional, jumlah anggota DPR RI perempuan baru 18 %, di MPR baru 20 persen dan di DPD sekitar 27 persen. Untuk tingkat provinsi, baru lima provinsi yang keterwakilan perempuannya mencapai 30 persen. Sisanya, lima provinsi masih di level 21-30 persen, 16 provinsi 11- 20 persen dan 11 provinsi sisanya baru memiliki 2-10 persen anggota DPRD perempuan.
“Tapi saya sadar modal itu belum cukup. Saya harus banyak turun ke masyarakat,” katanya, Kamis, 30 Januari 2014, setelah mengikuti pelatihan dan pembekalan caleg perempuan yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di Sanur, Denpasar, Bali.
Sejak dinyatakan masuk dalam daftar calon tetap (DCT) Partai Gerindra sekitar dua bulan lalu, wanita yang akrab dipanggil Mbak Santy ini langsung tancap gas. Ia berusaha mendekati berbagai kelompok warga, termasuk ke banjar (dusun di Bali) dan desa adat yang punya pengaruh besar di Bali.
Sayang, Santy harus bertemu dengan kenyataan pahit karena rata-rata setiap wilayah banjar sudah menjadi blok caleg laki-laki. Blok itu akan makin kuat ketika daerah itu dipegang oleh caleg inkumben yang sudah melakukan “pembinaan” selama lima tahun menjabat di DPRD.
Akibatnya, Santy kerap kesulitan melakukan kegiatan yang langsung menyentuh warga. “Caleg laki-laki lebih gampang bersosialisasi ke sana karena hampir semua kelian (kepala banjar) laki-laki,” ujarnya.
Pertemuan-pertemuan banjar untuk mengambil keputusan, termasuk keputusan mendukung calon tertentu, umumnya hanya diikuti oleh para pria dewasa. Karena situasi itu, Santy memilih lebih banyak melakukan pendekatan ke pemilih pemula dan jaringan perempuan. Pada komunitas semacam itu, dia bisa langsung menjelaskan visi perjuangannya.
Kesulitan yang sama juga dirasakan Wayan Sumariati, 47 tahun, caleg perempuan untuk DPRD Klungkung dari daerah pemilihan Nusa Penida. Untungnya, sejak masih muda, dia sudah aktif dalam berbagai kegiatan perempuan seperti di kelompok PKK (Perkumpulan Kesejahteraan Keluarga).
“Jejaring ini yang saya manfaatkan. Soalnya kalau masuk ke kelompok laki-laki susah sekali,” ujarnya. Tuntutan saat bertemu dengan kelompok laki-laki pun lebih beragam dan membutuhkan biaya lebih besar. Sebagian besar pria, kata Sumariati, terlihat belum rela diwakili oleh politikus perempuan.
Ketua LSM Perempuan Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu, menyatakan caleg perempuan di Bali memang harus bekerja dua kali lipat lebih keras dibanding caleg laki-laki. Sebelum terjun ke masyarakat, mereka dituntut sudah paripurna menyelesaikan urusan internalnya dengan para suaminya.
“Apalagi untuk soal dana politik yang akan digunakan. Kalau caleg laki-laki, semua terserah mereka,” ujarnya.
Caleg perempuan di Bali juga harus menghadapi persoalan-persoalan teknis seperti waktu pertemuan-pertemuan yang kerap berlangsung pada malam hari, lokasi kampanye yang jauh dari rumah, rumah tangga yang kurang terurus, dan lain-lain. Itu menjadi tantangan tersendiri karena perempuan Bali umumnya sangat dibutuhkan dalam persiapan acara-acara adat.Frekuensi acara adat biasanya cukup tinggi.
Karena berbagai alasan itulah sampai sekarang keterwakilan perempuan Bali di lembaga legislatif masih sangat rendah. Pada Pemilu 2009, keterwakilan itu hanya 7,5 persen. Padahal jumlah penduduk perempuan di Pulau Dewata sedikit lebih banyak dibanding jumlah laki-laki.
Penetapan kuota 30 persen pada Pemilu 2014 telah menambah jumlah caleg perempuan. Kini ada 1.186 orang caleg wanita dari total 3.230 caleg. Kondisi ini memperbesar peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen.
“Tapi syaratnya, caleg perempuan harus mau bekerja sama meskipun lintas partai. Minimal jangan ikut saling menjatuhkan,” ujar Luh Riniti yang pernah menjadi anggota KPU Bali 1999-2004 itu. Menurut Riniti, caleg perempuan bisa saling menguatkan, terutama untuk caleg dari daerah pemilihan yang berbeda.
Pada saat hari-H pemilu, Riniti juga meminta para caleg perempuan bisa berbagi tugas dan saksi agar suara mereka tidak dirampok caleg lain. Selama ini suara buat caleg perempuan rawan menjadi dicuri baik ketika dihitung maupun dipindahkan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberi perhatian khusus pada masalah keterwakilan perempuan pada Pemilu 2014. Menurut Asisten Deputi Gender dalam Politik Kementerian, Dr A Darsono Sudibyo M.Si, partisipasi perempuan menjadi kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan pasca-Millenium Development Goals (MDGs) 2015. “Karena perempuan pasti lebih peduli untuk persoalan perlindungan anak, kesehatan para ibu, keadilan gender dan masalah-masalah yang dekat dengan mereka,” katanya.
Bersama United Nation Development Program (UNDP), Kementerian telah mengadakan pembekalan bagi caleg perempuan di sembilan provinsi. Materi pembekalan meliputi agenda-agenda kunci dalam perjuangan perempuan dan strategi meraih kursi pada Pemilu 2014.
Kondisi saat ini untuk caleg perempuan memang masih memprihatinkan. Di tingkat nasional, jumlah anggota DPR RI perempuan baru 18 %, di MPR baru 20 persen dan di DPD sekitar 27 persen. Untuk tingkat provinsi, baru lima provinsi yang keterwakilan perempuannya mencapai 30 persen. Sisanya, lima provinsi masih di level 21-30 persen, 16 provinsi 11- 20 persen dan 11 provinsi sisanya baru memiliki 2-10 persen anggota DPRD perempuan.
sumber: TEMPO
wah di bali ternyata seperti itu ya sulitnya, kalau di daerah lain gimana?
0
909
Kutip
5
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan