kemalmahendraAvatar border
TS
kemalmahendra
Li Na Gapai Mimpi di Australia Terbuka
Tiga kali petenis China Li Na menggapai final Australia Terbuka. Namun dua kali ia harus menelan pill pahit di pertandingan puncak. Kali ini ia tidak mau sampai gagal lagi dan akhirnya Li Na meraih impiannya untuk menjadi yang terbaik pada turnamen grand slam Australia Terbuka.

Pada pertandingan final hari Sabtu, Li Na menghentikan perlawanan petenis Slovakia, Dominika Cibulkova 7-6 (7-3), 6-0. Ini merupakan gelar grand slam kedua dari petenis China tersebut setelah ia memenangi Perancis Terbuka pada tahun 2011.

Li Na merupakan fenomena bagi dunia tenis. Ia mampu menerobos jajaran elite tenis dunia yang selama ini dikuasai petenis Amerika Serikat, Eropa, dan Australia. Li Na menjadi petenis Asia pertama yang bisa memenangi turnamen grand slam.

Dengan permainan yang mengandalkan "speed and power game", memang petenis Asia nyaris tidak mampu bersaing. Postur tubuh yang relatif kecil membuat petenis Asia kalah dalam kecepatan dan juga kekuatan pukulan.

Pandangan ini sempat terpatahkan oleh kemenangan yang mampu dicatatkan petenis AS berdarah China, Michael Chang. Petenis bertubuh mungil di antara para raksasa petenis Amerika, Eropa dan Australia itu pernah membuat kejutan dengan memenangi Perancis Terbuka tahun 1989.

Namun ketika itu orang melihatnya sebagai sebuah kebetulan. Setelah itu memang tidak pernah ada petenis Asia yang bisa berjaya, termasuk Chang sendiri. Sampai kemudian Li Na tampil sebagai juara pada kejuaraan yang sama pada tahun 2011.

Prestasi Li Na memang tidak hanya diraih sekali di Perancis Terbuka 2011 saja. Di ajang Australia Terbuka 2011, ia mampu menembus partai final. Sayangnya setelah memenangi set pertama, Li Na harus menyerah kepada petenis Belgia Kim Clijster.

Pada tahun 2013 lalu, Li Na sekali lagi mampu menembus partai final. Seperti di final dua tahun sebelumnya, petenis China itu sangat perkasa di set pertama. Namun kemudian ia harus menyerah pada dua set selanjutnya dari petenis Belarusia, Victoria Azarenka.

Konsistensi penampilan Li Na pantas untuk diacungi jempol. Ia juga merupakan contoh atlet yang tidak pernah mengenal putus asa. Dua kali kekalahan pahit di ajang Australia Terbuka tidak membuatnya patah semangat, tetapi justru menjadi pemacu untuk bangkit lagi meraih kejayaan.

Li Na memang menjadi panutan bagi atlet-atlet China. Setelah keberhasilan di Perancis Terbuka 2011, banyak anak-anak Negeri Tirai Bambu yang menekuni dunia tenis. Beberapa mulai bermunculan sebagai calon juara baru.

Bahkan efek keberhasilan Li Na tidak hanya memacu anak-anak di China, tetapi juga anak-anak di negara Asia lainnya. Di ajang Australia Terbuka 2014 kita melihat tampilnya petenis putri Thailand Luksika Kumkhum yang mampu menyingkirkan petenis unggulan keenam Petro Kvitova di babak pertama. Di kelompok pria, kita mendapati petenis Jepang Kei Nishikori yang mampu melaju hingga babak keempat sebelum dihentikan petenis Spanyol, Rafael Nadal.

Kita mengharapkan efek Li Na itu mengimbas juga ke Indonesia. Sebelum petenis China berjaya, petenis indonesialah yang mampu berbicara di kancah tenis dunia. Kita pernah memiliki Yayuk Basuki yang pernah menembus perempat final Wimbledon.

Namun setelah era Yayuk Basuki justru dunia tenis Indonesia meredup. Pernah muncul petenis muda berbakat Angelique Widjaja. Namun cedera yang dialami Angie membuat prestasinya tidak pernah benar-benar bersinar.

Setelah era reformasi, prestasi olahraga kita secara keseluruhan memang cenderung menurun. Para pemimpin setelah era reformasi lebih memikirkan soal politik daripada prestasi anak bangsa. Mereka lebih khawatir kepada citra pribadinya daripada mendorong anak-anak muda untuk berprestasi.

Orientasi pemimpin setelah era reformasi juga lebih bertumpu kepada memperkaya diri daripada memperkaya bangsa ini dengan kebanggaan. Semua kebijakan lebih dilihat dari seberapa banyak bagian yang bisa didapat untuk dirinya daripada untuk kepentingan anak bangsa.

Lihat saja korupsi yang terjadi hampir dii semua kegiatan olahraga. Mulai dari Pekan Olahraga Nasional, SEA Games, dan pembangunan kompleks olahraga Hambalang sarat dengan korupsi. Kalau uang pembinaan olahraga dikorupsi bagaimana kita akan bisa memacu prestasi olahraga kita.

Sementara bangsa-bangsa lain berlomba meraih kejayaan, kita justru terpuruk dalam praktik korupsi. Sedih memang melihat nasib bangsa ini. Sementara bangsa China berbangga ada anak bangsanya yang menjadi juara di ajang grand slam.
0
861
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan