Yoelia Paramitha Askar
Kamis, 23 Januari 2014 − 15:21 WIB
Kondisi Sungai Cisadane. (Foto: Amba Dini/Okezone)
Sindonews - Rencana proyek sodetan sungai Ciliwung-Cisadane yang digagas Pemprov DKI Jakarta ternyata hanya solusi sementara untuk menyelesaikan banjir Jakarta.
Menurut Peneliti Senior Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jan Sopaheluwakan, sodetan hanya menyelesaikan masalah banjir sementara.
Ia menegaskan, tuntaskan banjir di Jakarta seharusnya dibarengi dengan penataan ruang yang cerdas. Misalnya di selatan Jakarta lebih banyak ruang hijau. Sedangkan utara Jakarta untuk ruang biru.
"Maksudnya utara itu sebagai daerah-daerah parkirnya air dan selatan merupakan daerah resapan," terangnya kepada Sindonews di Gedung LIPI, Jakarta.
Jadi, lanjutnya, air yang tidak terserap di selatan tetap tertampung di utara dan tidak terbuang percuma ke laut.
"Sodetan bukan menjadi solusi satu-satunya penyelesaian secara keseluruhan dalam mengatasi banjir," ujarnya.
Jan menjelaskan, pada umumnya negara lain lebih cenderung menahan air selama mungkin di daratan. Caranya dengan membuat kawasan tampungan atau waduk.
Dengan konsep sodetan dan normalisasi, air akan langsung ke laut sehingga ketika musim kemarau Jakarta bisa kekeringan.
"Tujuan dilakukan sodetan kan untuk mengirimkan air secepat mungkin untuk kembali ke laut, sedangkan sedangkan air ini kan nantinya kita perlukan saat musim kemarau," terangnya.
Disarankan, Pemprov DKI memikirkan bagaimana air itu tetap tinggal di daratan sebanyak mungkin di ruang pori-pori tanah.
Jadi DKI Jakarta memiliki cadangan air yang cukup di dalam tanah.
Jan menyarankan, kembalikan sistem alam seperti semula. Relokasi warga yang berada di kawasan hijau untuk mengembalikan fungsi lahan.
hahaha.... ini langsung pengamatnya yang ngomong proyek sodetan sungai merupakan pembangunan yang tidak berkelanjutan.
btw, kok sering banget pemikiran wa sesuai dengan pemikiran para pengamat yang berwawasan luas dan pintar pintar yah, atau ini merupakan tanda tanda wa harus banting setir jadi pengamat LIPI kah
Referensi lain yang dapat menerangkan informasi dari berita utama thread ini silahkan baca berita berita dan quote dari kaskuser dibawah ini :
Quote:
Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara)
Sungai juga ada yang berada di bawah tanah yang disebut underground river. Misalnya sungai bawah tanah di goa hang soon dong di Vietnam, sungai bawah tanah di Yucatan Meksiko, sungai bawah tanah di goa pindul Filipina
Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara sederhana mengalir meresap ke dalam tanah sebelum menemukan badan air lainnya. Dengan melalui sungai merupakan cara yang biasa bagi air hujan yang turun di daratan untuk mengalir ke laut atau tampungan air yang besar seperti danau. Sungai terdiri dari beberapa bagian, bermula dari mata air yang mengalir ke anak sungai. Beberapa anak sungai akan bergabung untuk membentuk sungai utama. Aliran air biasanya berbatasan dengan kepada saluran dengan dasar dan tebing di sebelah kiri dan kanan. Penghujung sungai di mana sungai bertemu laut dikenali sebagai muara sungai.
Sungai merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Air dalam sungai umumnya terkumpul dari presipitasi, seperti hujan,embun, mata air, limpasan bawah tanah, dan di beberapa negara tertentu air sungai juga berasal dari lelehan es / salju. Selain air, sungai juga mengalirkan sedimen dan polutan.
Kemanfaatan terbesar sebuah sungai adalah untuk irigasi pertanian, bahan baku air minum, sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah, bahkan sebenarnya potensial untuk dijadikan objek wisata sungai. Di Indonesia saat ini terdapat 5.950 daerah aliran sungai (DAS).
Perlu juga dikemukakan bahwa sodetan sungai kini telah tergolong sebagai alternatif yang primitif jika ditinjau dari konsep ekohidrologi, serta tidak selaras dengan kesepakatan dunia pada KTT Bumi (Earth Summit) di Johannesburg bulan September 2002 yang mengklasifikasikan sodetan sungai (river diversion) sebagai pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Renaturalisasi Sungai dan Hutan Tak Bisa Ditawar Lagi
"Leuweung kudu terus dipiara, ngarah hirup urang teu leuleuweungan..."
PESAN para leluhur urang Sunda itu dulu sering disampaikan para orangtua kepada anak dan cucunya. Kini, pesan yang bermakna dalam itu sangat jarang lagi kita dengar. Akibatnya, sikap hormat banyak dari kita terhadap kelestarian hutan pun cenderung semakin berkurang.
Leuweung atau hutan dalam pepatah leluhur itu memang dikaitkan erat dengan kehidupan kita, dengan penegasan supaya hidup kita tidak leuleuweungan atau terlunta-lunta. Gambaran dalam pepatah leluhur itulah yang kini mulai menjadi kenyataan. Jengkal demi jengkal lahan hutan ditebangi untuk berbagai keperluan. Hidup sejumlah warga kita pun kemudian mulai terlunta-lunta. Rumah dan harta benda yang mereka kumpulkan, "habis" diterjang banjir atau longsoran tanah ketika musim hujan tiba.
Menurut pengamatan Dr Ir Mubiar Purwasasmita, hutan Jawa Barat akan habis pada tahun 2005 apabila penggundulan atau perambahannya tetap dengan kecepatan seperti sekarang ini. Hanya dengan tiga titik saja, berdasarkan pengamatan tahun 1990, 1994, dan 1997, kondisi hutan di Jabar seperti jatuh bebas. Dari formal yang menyebutkan kawasan hutan di Jabar masih 22 persen, saat ini faktanya tidak lebih dari tujuh persen.
"Oleh karena itu, langkah paling rasional adalah menghentikan itu. Kami dari DPKLTS dengan dorongan masyarakat memperjuangkan menyetop penebangan atau moratorium logging," ujar Mubiar.
Penghutanan kembali menjadi suatu keharusan agar kondisi rentang alam Jawa Barat kembali ke kondisi naturalnya seperti beberapa dekade lalu. Penghutanan kembali lahan-lahan hutan yang telah dialihfungsikan itu adalah bagian dari upaya mendesak untuk menghentikan masalah erosi yang luar biasa di Jabar.
Mubiar menjelaskan, erosi di Jabar terbilang kolosal, hampir 33 juta ton per tahun. "Kalau pakai truk tronton, itu hampir satu juta konvoi truk tronton yang mengangkut tanah paling subur di hutan-hutan, tanah pertanian di kawasan hulu kita. Tanah itu ditebar di laut menjadi pendangkalan, menutup cahaya Matahari sehingga kehidupan di laut kita juga mati," tandasnya.
Ia menambahkan, tidak banyak yang menyadari bahwa laut utara Jabar sesungguhnya sudah mati. Akan tetapi dianggap biasa saja karena perubahannya bertahap. "Mungkin kita baru sadar setelah anak-anak kita menggambar laut itu warnanya coklat, karena dari sejak kecil dia melihat lautnya warna coklat. Praktis belum ada upaya untuk mengatasi erosi yang kolosal itu," tambahnya.
Khusus untuk erosi di kawasan Citarum Hulu, menurut Dr Chay Asdak dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, dapat dilihat dari laju sedimentasi Sungai Citarum yang sebagian besar berasal dari kelima sub-DAS Citarum Hulu (sub-DAS Citarik, sub-DAS Cirasea, sub-DAS Cikapundung, sub-DAS Cisangkuy, dan sub-DAS Ciwidey) telah melebihi angka 4,0 juta meter kubik per tahun.
Berdasarkan data laju sedimentasi tahunan yang masuk ke Waduk Saguling, pada tahun 1987/1988 volume sedimen yang masuk ke waduk sebesar 1.583.463 meter kubik. Laju sedimentasi itu meningkat pesat menjadi 3.992.651 meter kubik pada tahun 1988/1989 dan kemudian menjadi 4.315.593 meter kubik pada tahun 1998/1999.
PENGHUTANAN kembali hanyalah salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi berbagai derita warga di sepanjang DAS Citarum.
Hal lain yang juga tak kalah penting, menurut Dr Ir Agus Maryono dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, adalah melakukan renaturalisasi Sungai Citarum. Banjir di alur Sungai Citarum Februari 2003 lalu membuktikan bahwa sudetan sungai justru menyebabkan banjir besar di daerah Bandung Selatan.
Agus menjelaskan, ratusan penggal sungai bekas pelurusan dan sudetan lainnya yang disebut oxbow ternyata telah menjadi kali mati dengan kualitas lingkungan sangat buruk. Ribuan proyek pembuatan talud sungai-sungai di setiap kota dan daerah pinggiran ternyata telah merusak ekosistem sungai dan mematikan sungai yang bersangkutan, di samping menciptakan bahaya banjir dan longsor yang lebih dahsyat.
Dampak dari sudetan sungai di antaranya dapat meningkatkan tendensi banjir dan sedimentasi di hilir sudetan, erosi dasar sudetan, peningkatan kecepatan air ke hilir, rusak atau matinya ekosistem sungai lama, dan penurunan konservasi air.
Di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Amerika, dan Kanada, menurut pakar hidrologi UGM itu, dampak buruk dari penyudetan sungai-sungai sudah mereka sadari sehingga mulai dilakukan usaha merestorasi atau melakukan renaturalisasi sungai-sungai yang telah disudet dan diluruskan.
Beberapa metode restorasi yang dilakukan antara lain menghidupkan kembali oxbow dengan membuka tanggul sudetan, menanami bantaran dengan tanaman-tanaman yang kuat, memperlebar bantaran sungai di tempat-tempat tertentu, dan membuat pulau sungai.
Pendekatan renaturalisasi sungai dan hutan sebagaimana diuraikan di atas, hanyalah salah satu upaya "teknis" untuk menyembuhkan kondisi DAS Citarum yang tengah sakit parah. Faktor lainnya yang juga tidak boleh dilupakan adalah faktor manusia, para stake-holders yang menjadi bagian dari seluruh upaya penyembuhan.
=========================================
komentar warga BP yang netral yang di comot dari thread sebelah :
boro2 liat hasil KTT bumi gan......yang ada malah ahli2 lingkungan dimaki maki ma dia
cerdas donk jadi pemimpin
*terserah ane mau dibilang panasbung.....emang idola panastak ngaco klo ngomong*
===================================
Komentar Warga BP yang menohok :
Quote:
Original Posted By .lex.divina.►sodetan sungai cina itu solusi dari zaman mao zedong jadi udah ketinggalan jaman. udah gitu biayanya gede, tidak menyelesaikan masalah, berpotensi ngrusak lingkungan pula..
Original Posted By GanSor►Menganggap sodetan sebagai solusi dalam mengatasi banjir DKI menandakan ketidakmampuan Jokowi dalam memimpin Ibukota. Jokowi tidak pernah bisa mengambil satu tindakan apapun terhadap kutu-kutu yang tinggal di PIK dan PM. Padahal area perumahan itu alaminya adalah muara air, tidak heran ketika musim penghujan datang, air meluber kemana-mana krn muaranya sudah tertutup. Sodetan hanyalah untuk melindungi aset kutu-kutu itu.
Oleh karena itu, masyarakat sebenarnya bisa menilai apakah Jokowi ini pemimpin yang adil dan merakyat atau tidak, Jika memang Jokowi merupakan seorang gubernur yang adil dan merakyat, dia mustinya memihak kepentingan rakyat banyak, Dia bisa mengambil kebijakan merevisi kebijakan gubernur sebelumnya yang nyata-nyata telah berdampak buruk bagi lingkungan. Tetapi sayangnya hal itu diabaikan sama sekali oleh Jokowi.
Pembangunan kawasan pemukiman Pantai Indah Kapuk (PIK) dari awal proyek sudah mengalami banyak pro dan kontra. Semula kawasan ni merupakan hutan bakau tempat dimana flora dan fauna berkembang, seperti monyet ancol, ular, buaya, dan rawa pantai sebagai tempat ‘parkir’ bagi jutaan meter kubik air payau. Area genangan air tersebut kemudian dikeringkan dan dijadikan pemukiman mewah dengan pompa air untuk drainase sendiri, sehigga wilyah elit ini tidak akan terendam air banjir, namun sebagai gantinya adalah genangan air di sekitar wilayah tersebut. Perkembangan dan pembangunan yang tidak terkendali ini menimbulkan masalah sosial yang serius, banjir yang ditimbulkan karena aktivitas manusia ini seperti ‘senjata makan tuan’, pembangunan fisik dibayar dengan kerusakan lingkungan dan kerugian fisik juga. Kerugian yang dirimbulkan secara materi menjadi rentan ketika menimpa orang-orang yang tidak siap secara kondisi sosial dan ekonomi, hal ini yang menyebabkan masalah lingkungan ini sebagai masalah sosial. Permasalahan ini semakin kompleks ketika pertentangan yang diajukan baik secara teoritis maupun praktis oleh banyak ahli tidak didengarkan oleh pemerintah. Meski tanpa disertai Analisa Dampak Lingkungan Pemda DKI Jakarta serta merta menertbitkan SIPPT (Surat Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah) yang kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Dan anehnya areal yang berdiri sudah lama itu baru memiliki Amdal pada tahun 1995. Konsekuensinya adalah kerugian-kerugian yang kini harus ditanggung oleh masyarakat akibat banjir.
Quote:
Original Posted By Stenliz►Hahaha.. Kadang Ahok memang Cuma bacot doang tanpa cari tau progres di wilayahnya, Kerjaanya cuma bikin panas tetangga sebelah.
Btw
Katanya Sodetan Ciliwung Ke BKT dari Otista-Cipinang udah Mulai di kerjain, Soil test udah beres, DED-nya udah Rampung, jadi tinggal ambil alat Bor, Bor Jalurnya, Bikin culvert dan trus di pasang. semoga cepat beres.
Spoiler for +++:
Kapasitas alir tunnel yang akan di bangun.
Jadi Sodetan Ciliwung - Cisadane dari katulampa bakal di tunda (tidak jadi), masih nunggu FS lagi dan hasil Efektifitas sodetan tunnel Ciliwung - BKT..
Kalau masih belum cukup entar di bikinin tanggul pas di persimpangan sungai Babakan bogor, aliran Ciliwung di kurangi trus di alirin lewat jalur Timur, via kota wisata, ciluengsi, kali bekasi trus di buang ke babelan....