zamanstoriesAvatar border
TS
zamanstories
The Act of Killing (Jagal)
Halo Gan, newbie mau numpang share tulisan perdana di KASKUS. Semoga dapat memberikan perspektif baru untuk agan/wati sekalian. emoticon-I Love Kaskus (S)

Spoiler for Poster The Act of Killing (Jagal):


Pernahkah kita membayangkan bahwa tumpukan karung goni tidak terpakai, puluhan potongan kayu yang kita lewati tiap hari, atau untaian kawat yang kita pikir tak berguna, mendadak bisa berubah menjadi medium pengantar hidup seseorang pada sebuah kematian?
Benda-benda yang awalnya kita anggap hanya onggokan tak penting yang tak diperhitungkan sebelumnya mendadak menjelma menjadi alat pembunuh berdarah dingin tak kenal ampun yang paling sadis dan mematikan.
Premis itu yang saya dapatkan setelah menonton film dokumenter berjudul The Act of Killing (Jagal). Film dokumenter besutan sutradara asal Amerika Serikat Joshua Oppenheimer tahun 2013 ini berdurasi panjang 159 menit.
Film dokumenter ini berisi intervieu dan rekonstruksi ulang para eksekutor simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 yang dibungkus dalam bentuk pembuatan film secara yang berlokasi di daerah Sumatera Utara.
Adalah Anwar Congo pimpinan dari kelompok yang nantinya bernama Pemuda Pancasila yang memimpin gerakan penumpasan para simpatisan PKI di daerah Sumatera Utara tersebut. Dari pengakuannya telah lebih dari seribu orang yang mereka bunuh alih-alih atas nama kesucian pancasila, bergeser menjadi pembantaian yang mereka lakukan untuk mendapatkan uang dan ketenaran sebagai seorang preman kelas atas saat itu.
Selama lebih dari dua jam saya menyaksikan Anwar Congo beserta teman-temannya menceritakan detail demi detail bagaimana mereka menghabisi satu demi satu orang-orang yang mereka anggap sebagai simpatisan PKI. Mereka bercerita dengan begitu casual, tenang, dan penuh kebanggaan. Seolah yang mereka lakukan tidak lebih dari sekadar mencetak gol dalam permainan sepak bola.
‘Tidak ada yang tersisa, mereka semua dibunuh dengan cepat,’ ujar Anwar Congo pada salah satu wawancaranya.

Spoiler for Bagaimana Anwar Congo memparaktikan rekonsialisasi kejadian:

Sinopsis

Spoiler for Sinopsis Film:


Film Dokumenter Sebagai Media Penyampai Pesan

Mengapa kata komunisme membekas dengan begitu perih dalam ingatan Indonesia? Sampai-sampai ada orang yang begitu meradang dengan kata tersebut? Tetapi sebenarnya bagaimana awalnya sebuah ‘kata’ dapat membuat traumatis jutaan orang di Negara ini?
Sejarah tahun 65 memang masih menyimpan segudang misteri. Bagaimana ihwal terjadinya, siapa dalang kejadiannya, hingga berapa banyak jumlah korban dalam kejadian itu pun masih menjadi debat panjang tanpa ujung sampai sekarang.
Maraknya media baik dari dalam maupun luar negeri Indonesia yang memuat kisah 65 dengan begitu epiknya baik dalam bentuk buku maupun film marak bertebaran. Tentunya anda masih ingat betapa kejinya PKI dalam film penghianatan G30 S PKI yang selalu diputar tiap tahunnya oleh pemerintah Indonesia saat masa orde baru. Pengulangan ini membuat masyarakat terindoktrinisasi dengan makna bahwa komunisme adalah kejahatan, bahaya laten, dan sesuatu yang harus ditumpas. Lalu ada film kontroversial berjudul The Year of Living Dangerously yang dibintangi Mel Gibson yang dibanned oleh orde baru. Membuktikan bahwa kisah 65 merupakan kisah panas yang tak habis untuk digali. Karena pembuktiannya masih jauh dari kata selesai.
Kali ini di tahun 2013 seorang sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer mengambil angle yang berbeda dari banyaknya kisah 65 yang diangkat ke layar publik. Baik literature maupun film lainnya biasanya mengambil sudut pandang korban sebagai isu utamanya. Namun film dokumenter ini berbicara melalui kaca mata pelaku, si eksekutor, si jagal. Sesuatu yang belum pernah dibuat. Bagaimana para pelaku menuturkan motif mengapa dan bagaimana mereka membunuh para korban 65 tersebut.
Dengan kekuatan film dokumenter, presentasi film ini tampil dengan jujur, mencekam, dan provokatif. Ketika adegan demi adegan dalam penceritaan film ini sangat santai menghidupkan kembali prosesi kesadisan para eksekutor dalam menjagal para korbannya. Anwar beserta kawan-kawannya pun sempat menari-nari dengan riang gembira saat berada di lokasi mereka menumpas para korban dahulu. Seolah dengan membunuh mereka mendapatkan kepuasan yang menyenangkan. Disinilah kekuatan film ini. Para penonton disajikan tontonan nyata, seseorang yang bisa kita temui sehari-hari, pernah dengan begitu mudahnya mengambil nyawa orang lain, yang dalam film tersebut mengharapkan para korban dapat meninggal dengan ikhlas di tangan mereka.
Film ini seolah ingin mengatakan bahwa dikotomi kemanusiaan dan kejahatan hilang dan melebur menjadi satu. Penoton dibuat mempertanyakan kembali, siapa yang manusia di sana, siapa yang jahat di sana?
Apakah Anwar Congo benar-benar bersalah? Membunuh ribuan orang adalah kejahatan? Ataukah mereka melakukannya karena saat itu penggiringan opini bahwa komunisme sebagai kesesatan begitu massive hingga membuat siapa pun yang memberantas mereka-mereka yang berbau komunisme adalah benar.
Dalam beberapa adegan film ini menampilkan unsur humanisme Anwar sebagai seorang kakek dengan dua orang cucu yang mengajarkan anak-anak kecil itu untuk meminta maaf pada bebek yang mereka sakiti. Bayangkan, seseorang yang bahkan tidak tega menyakiti seekor bebek tak berdaya mampu membunuh seribu orang tanpa ampun.
Apakah ini yang disebut Hannah Eredith sebagai banality of evil, ketika kemanusian hilang dalam diri manusia. Saat kejahatan telah menjadi bagian dari keseharian manusia, dan menolerir hal tersebut menjadi hal biasa.
Kekuatan film dokumenter ini pun dimanfaatkan dengan baik oleh sang sutradara. berbagai aspek verbal seperti overhead exchange (yaitu rekaman pembicaraan antara dua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung) begitu kuat terasa. Perbincangan Anwar dan Adi akan apa yang mereka perbuat terdahulu, pergolakan batin, dan penyangkalan masing-masing tokoh begitu mengoyak.
Seperti dalam percakapan Adi dan Anwar saat mereka memancing yang kurang lebih,
'Bagaimana jika kau jadi mereka, War. Orang tua mereka aku bunuh, mereka tak kau beri pekerjaan, dan dihukum pula. Apa kau tak benci?' tanya Adi.
'Tapi mereka yang salah, mau enaknya saja. Dulu merampas, sekarang rasakan akibatnya,' jawab Anwar.

Dari situ terlihat sekali pesan yang ingin disampaikan adalah mereka para eksekutor masih menganggap bahwa para simpatisan PKI lah yang bersalah. Tetapi sebenarnya yang mereka tidak tahu, apakah mereka para kaum tani, etnis tionghoa yang mereka pangkas kepalanya itu tahu tentang Marxisme dan Leninisme itu sendiri. Pantaskah mereka dibunuh?
Kemudian kesaksian (rekaman pengamatan, pendapat atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar, dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan utama dari wawancara). Satu persatu para narasumber di film ini dengan jujurnya menyampaikan kesadisan mereka dengan lugu. Motif yang banal. Semuanya menjadikan film ini seperti berbicara dengan para penonton. Bukan menghakimi atau menguliahi. Penontonlah yang menentukan persepsi itu sendiri.
Film dokumenter seperti yang didefinisikan Misbach Yusabiran sebagai dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk mempengaruhi (mempersuasi) penonton dan lebih ke arah propaganda berhasil ditampilkan di film ini. Penonton di bawa ke dalam perspektif Anwar beserta kawan-kawannya, bagaimana satu persatu argumentasi itu runtuh dengan sendirinya dengan merekonstruksi ulang apa yang dulu pernah mereka perbuat. Film ini mengajak para penonton untuk lebih peka pada motif mengapa para eksekutor ini melakukan pekerjaannya. Bukan sekadar bagaimana mereka membunuhnya saja.
Sang sutradara tidak langsung membuat Anwar Congo terlihat seperti penjahat bak Lord Voldemort yang hitam dan kelam. Jika ditilik lebih ke belakang. Mereka tidak lebih dari sekadar anak muda yang berprofesi sebagai preman bioskop yang tidak memiliki tujuan jelas dan akhirnya mendapatkan misi penting dalam hidupnya.
Merekalah si kayu, kawat, dan karung goni yang dipelintir pikirannya dan dimanfaatkan kekuatannya oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan sayangnya, mereka selanjutnya melakukannya secara sadar dan penuh rasa kemenangan tanpa penyesalan sedikit pun.
Namun film ini pun tidak luput dari cela, tanda tanya saya sebagai penonton bahwa apa sang sutradara memanipulasi narasumbernya dan tidak memberitahukan niat sebenarnya? Apakah mereka sempat melihat film ini secara utuh?
Karena jujur saja, mereka adalah pembunuh/preman/gangster nomor satu di Medan. Bagaimana bisa mau seorang Herman Koto yang begitu buasnya mau melakukan crossdressing dan di make up dengan begitu noraknya?
Bagaimana pendekatan sang sutradara sebenarnya?
Menonton tiap segmen dan adegan seperti mengumpulkan satu demi satu fragmen yang tidak utuh. Semacam ada missing link yang tidak diceritakan oleh sang sutradara.
Yang paling jelas terasa adalah ketika jeda panjang saat Anwar kembali lagi ke lantai atas lokasi di mana ia mengeksekusi ribuan orang merupakan titik balik yang sangat provokatif di film sepanjang 2 setengah jam ini. Semua emosi melebur dalam adegan ini, Anwar yang muntah-muntah karena memori masa lalu yang terus mengejarnya. Entah rasa takut atau rasa bersalah. Satu persatu menggerogoti keyakinan Anwar selama ini. Anwar muntah, berceloteh, dan turun dengan casualnya.
Maaf, tapi apakah seharusnya momen tersebut adalah off the record? Tapi dalam film ini ditampilkan dengan begitu jelas.
Terlepas dari itu semua, film dokumenter ini merupakan pengingat masyarakat Indonesia untuk menolak lupa. Untuk menilik kembali sejarah paling kelam di era modern Indonesia. Dampak besar ini tidak hanya berpengaruh pada praktisi film saja, namun lebih besarnya lagi pada mereka yang menonton. Film ini sebagai agen of change yang mengajak mereka yang menonton untuk megetahui bahwa it happened and we should do something. Kesadaran baru bahwa kasus 65 belumlah selesai. Pemerintah masih bergerak pasif. Keadilan dan kebenaran masih belum ditegakkan.
Sebagai generasi muda, tidaklah elok bahwa urusan kita tidak jauh tentang masalah sepele yang jauh dari awareness akan masalah ini. Kita bagian dari sejarah. Kita tak lebih dari Anwar Congo. Jika dia melakukannya dengan membunuh, sedangkan kita melakukannya dengan bertindak pasif. Seolah membiarkan ini menjadi hal biasa yang terlupakan. Apakah ketakutan Hannah Eredith telah menjadi nyata? Bahwa masyarakat Indonesia telah terbiasa dengan kejahatan yang ada di samping mereka?

Setelah semuanya, apakah anda masih menganggap bahwa komunisme adalah kepercayaan anti ketuhanan?

NB : Jangan lupa untuk menonton film ini dan membagikannya pada teman-teman yang lain. Sebarkan film ini sebagai salah satu bentuk kita sebagai generasi muda untuk bersuara dan membuka banyak mata lainnya untuk mengetahui kisah ini.

Terima kasih

Salam

@zamanstories

sumber:

Penulis banyak mengambil data dari referensi blog seperti,
Spoiler for Sumber tulisan:


emoticon-Blue Guy Cendol (L)
Diubah oleh zamanstories 15-01-2014 09:32
0
7.4K
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan