- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Rebutan Kekuasaan di Banten


TS
kemalmahendra
Rebutan Kekuasaan di Banten
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sejak akhir pekan lalu harus mendekam di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Tuduhan terlibat dalam kasus suap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak, membuat Ratu Atut tidak bisa menjalankan tugas pemerintahan bagi rakyat Banten.
Tidak bisanya seorang kepala daerah menjalankan tugas pemerintah tentunya merugikan masyarakat. Banyak hal yang merupakan kepentingan masyarakat banyak tidak bisa dijalankan. Salah satu yang dirasakan adalah batalnya pelantikan Wali Kota Tangerang, padahal persiapan sudah dilakukan.
Dalam kondisi seperti itu yang harus dipikirkan adalah bagaimana membuat kepentingan masyarakat tidak ikut terkorbankan. Jangan sampai ada kebijakan yang tidak bisa dilaksanakan, karena tidak ada kepala daerah.
Sayang yang sekarang ini lebih banyak mencuat bukannya mencari terobosan agar kepentingan rakyat tidak terabaikan, tetapi lebih menonjol perebutan kursi kekuasaan. Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan saling berebut untuk mengisi kursi gubernur.
Golkar menuduh PDI Perjuangan terus menghembuskan isu pelengseran Ratu Atut agar Wakil Gubernur Rano Karno bisa mengisi jabatan yang ditinggalkan Ratu Atut. PDI Perjuangan menolak dituduh memolitisasikan kasus Ratu Atut, tetapi di sisi lain menyatakan siap kadernya untuk menjadi tugas gubernur.
Terasa sekali bahwa yang dipikirkan hanyalah urusan jabatan dan kekuasaan. Padahal seharusnya yang harus menjadi pemikiran adalah apa hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dan langkah apa yang perlu dilakukan agar kepentingan masyarakat itu tidak sampai terbengkalai.
Sekali lagi kita dipertontonkan akan nafsu kekuasaan yang begitu tinggi. Mereka hanya berebut jabatan, tetapi tidak pada tanggung jawab yang melekat di balik jabatan itu. Padahal selalu kita katakan tentang makna noblesse oblige bahwa di balik kehormatan ada tanggung jawab.
Tanggung jawab seorang pemimpin itu tidaklah ringan. Ia harus bisa mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya. Seorang pemimpin dituntut pengorbanannya, bukan malah yang paling depan mengharapkan kenikmatan.
Sekarang ini kita justru melihat situasi yang terbalik. Orang mengemis-ngemis untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan, namun ketika harapan itu didapatkan, ia malah menuntut lagi rakyatnya untuk memberikan kenikmatan kepada dirinya. Fungsi pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat justru ditempatkan jauh di belakang.
Banyak pemimpin yang senang hidup bergelimang harta di tengah rakyatnya yang hidup dalam kemiskinan. Banten merupakan salah satu provinsi yang paling buruk tingkat kemiskinannnya. Tetapi para pemimpinnya tidak pernah peduli dan tetap saja hidup dengan kemewahan.
Padahal pemimpin seharusnya malu dan bahkan bersedih ketika rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Pemimpin yang punya hati tidak pernah bisa tidur nyenyak ketika ada rakyatnya yang menangis karena merasa lapar.
Wakil Gubernur Rano Karno seharusnya tidak perlu repot untuk memikirkan bagaimana menjadi seorang gubernur. Dengan jabatannya sekarang ini, jauh lebih penting untuk memikirkan apa yang segera bisa ia kerjakan untuk rakyat Banten.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sendiri selalu menyampaikan bahwa yang lebih penting bukanlah menjadi presiden, tetapi menjadi pemimpin. Sekarang ini lebih banyak orang sibuk untuk menjadi presiden, namun sebenarnya di mata rakyat ia bukanlah seorang pemimpin.
Seorang pemimpin yang sesungguhnya tidak pernah membutuhkan jabatan. Rakyat mengakui keberadaan seorang pemimpin karena karya yang ia lakukan. Ketika seseorang lebih memikirkan rakyat daripada kepentingan dirinya, ia merupakan pemimpin bagi rakyatnya.
Banyak sosok yang diakui sebagai pemimpin, walaupun ia tidak mempunyai jabatan. Kita mengenal sosok Mahatma Gandhi yang merupakan pemimpin bagi bangsa India atau Deng Xiaoping yang merupakan pemimpin bagi bangsa China.
Bagi kita rupanya jabatan jauh lebih penting daripada peran sesungguhnya dari seorang pemimpin. Semua itu disebabkan kekuasaan dianggap sebagai hak istimewa, power is privilege. Ini semakin mengonfirmasikan bahwa sistem kekuasaan yang berlaku pada kita bersifat feodal, sehingga kehormatan itu ditempatkan pada posisi yang paling tinggi.
Padahal kekuasaan itu adalah sebuah amanah. Jabatan itu hanyalah simbol bahwa seseorang harus bekerja untuk rakyat. Kasihan masyarakat Banten ketika dipimpin oleh orang-orang yang lebih memikirkan jabatannya, sehingga di tengah kekosongan kekuasaan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih memilih untuk reses, bukan mencari jalan bagaimana agar kepentingan rakyat Banten tidak terabaikan.
Seharusnya pemimpin itu menyelesaikan dulu urusannya rakyatnya baru berlibur. Pemimpin itu bekerja dulu bagi rakyatnya baru memikirkan jabatan. Bukan di balik seperti sekarang ini.
Tidak bisanya seorang kepala daerah menjalankan tugas pemerintah tentunya merugikan masyarakat. Banyak hal yang merupakan kepentingan masyarakat banyak tidak bisa dijalankan. Salah satu yang dirasakan adalah batalnya pelantikan Wali Kota Tangerang, padahal persiapan sudah dilakukan.
Dalam kondisi seperti itu yang harus dipikirkan adalah bagaimana membuat kepentingan masyarakat tidak ikut terkorbankan. Jangan sampai ada kebijakan yang tidak bisa dilaksanakan, karena tidak ada kepala daerah.
Sayang yang sekarang ini lebih banyak mencuat bukannya mencari terobosan agar kepentingan rakyat tidak terabaikan, tetapi lebih menonjol perebutan kursi kekuasaan. Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan saling berebut untuk mengisi kursi gubernur.
Golkar menuduh PDI Perjuangan terus menghembuskan isu pelengseran Ratu Atut agar Wakil Gubernur Rano Karno bisa mengisi jabatan yang ditinggalkan Ratu Atut. PDI Perjuangan menolak dituduh memolitisasikan kasus Ratu Atut, tetapi di sisi lain menyatakan siap kadernya untuk menjadi tugas gubernur.
Terasa sekali bahwa yang dipikirkan hanyalah urusan jabatan dan kekuasaan. Padahal seharusnya yang harus menjadi pemikiran adalah apa hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dan langkah apa yang perlu dilakukan agar kepentingan masyarakat itu tidak sampai terbengkalai.
Sekali lagi kita dipertontonkan akan nafsu kekuasaan yang begitu tinggi. Mereka hanya berebut jabatan, tetapi tidak pada tanggung jawab yang melekat di balik jabatan itu. Padahal selalu kita katakan tentang makna noblesse oblige bahwa di balik kehormatan ada tanggung jawab.
Tanggung jawab seorang pemimpin itu tidaklah ringan. Ia harus bisa mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya. Seorang pemimpin dituntut pengorbanannya, bukan malah yang paling depan mengharapkan kenikmatan.
Sekarang ini kita justru melihat situasi yang terbalik. Orang mengemis-ngemis untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan, namun ketika harapan itu didapatkan, ia malah menuntut lagi rakyatnya untuk memberikan kenikmatan kepada dirinya. Fungsi pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat justru ditempatkan jauh di belakang.
Banyak pemimpin yang senang hidup bergelimang harta di tengah rakyatnya yang hidup dalam kemiskinan. Banten merupakan salah satu provinsi yang paling buruk tingkat kemiskinannnya. Tetapi para pemimpinnya tidak pernah peduli dan tetap saja hidup dengan kemewahan.
Padahal pemimpin seharusnya malu dan bahkan bersedih ketika rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Pemimpin yang punya hati tidak pernah bisa tidur nyenyak ketika ada rakyatnya yang menangis karena merasa lapar.
Wakil Gubernur Rano Karno seharusnya tidak perlu repot untuk memikirkan bagaimana menjadi seorang gubernur. Dengan jabatannya sekarang ini, jauh lebih penting untuk memikirkan apa yang segera bisa ia kerjakan untuk rakyat Banten.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sendiri selalu menyampaikan bahwa yang lebih penting bukanlah menjadi presiden, tetapi menjadi pemimpin. Sekarang ini lebih banyak orang sibuk untuk menjadi presiden, namun sebenarnya di mata rakyat ia bukanlah seorang pemimpin.
Seorang pemimpin yang sesungguhnya tidak pernah membutuhkan jabatan. Rakyat mengakui keberadaan seorang pemimpin karena karya yang ia lakukan. Ketika seseorang lebih memikirkan rakyat daripada kepentingan dirinya, ia merupakan pemimpin bagi rakyatnya.
Banyak sosok yang diakui sebagai pemimpin, walaupun ia tidak mempunyai jabatan. Kita mengenal sosok Mahatma Gandhi yang merupakan pemimpin bagi bangsa India atau Deng Xiaoping yang merupakan pemimpin bagi bangsa China.
Bagi kita rupanya jabatan jauh lebih penting daripada peran sesungguhnya dari seorang pemimpin. Semua itu disebabkan kekuasaan dianggap sebagai hak istimewa, power is privilege. Ini semakin mengonfirmasikan bahwa sistem kekuasaan yang berlaku pada kita bersifat feodal, sehingga kehormatan itu ditempatkan pada posisi yang paling tinggi.
Padahal kekuasaan itu adalah sebuah amanah. Jabatan itu hanyalah simbol bahwa seseorang harus bekerja untuk rakyat. Kasihan masyarakat Banten ketika dipimpin oleh orang-orang yang lebih memikirkan jabatannya, sehingga di tengah kekosongan kekuasaan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih memilih untuk reses, bukan mencari jalan bagaimana agar kepentingan rakyat Banten tidak terabaikan.
Seharusnya pemimpin itu menyelesaikan dulu urusannya rakyatnya baru berlibur. Pemimpin itu bekerja dulu bagi rakyatnya baru memikirkan jabatan. Bukan di balik seperti sekarang ini.
0
965
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan