- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Uang Istri Milik Siapa????


TS
registered109
Uang Istri Milik Siapa????
Sorry kl thread neh Repost..ane mu share ja bagi yg blm membaca artikel ni
Tulisan saya sebelumnya mengenai Uang Suami, Uang Istri ternyata menyisakan beberapa pertanyaan dari pembaca. Di antara pertanyaan yang masih banyak didiskusikan: Apakah penghasilan istri yang bekerja sepenuhnya menjadi hak istri?
Membaca beragam komentar dari pembaca, saya melihat ada dua titik ekstrem. Pertama, yang menganggap gaji istri yang bekerja sepenuhnya hak istri karena dia yang bersusah payah. Tidak bisa diganggu-gugat oleh suami.
Kedua, ada juga yang menulis komentar, jika istri yang bekerja maka gajinya menjadi hak suami. Sebab suami yang memberikan izin pada istrinya untuk bekerja. Dengan begitu, suami berhak meminta gaji tersebut. Setelah itu, suami yang mengatur nafkahnya.
Saya lebih senang agar kita menyelesaikan permasalahan ini bukan dengan “benar” atau “salah”, tapi mencari jalan terbaik bagi kedua belah pihak yang telah memutuskan hidup bersama. Untuk mengingatkan, bisa dilihat kembali paragraf terakhir pada tulisan saya sebelumnya:
Hak adalah batas maksimal yang kita minta. Kewajiban adalah batas minimal yang kita berikan. Karena cinta pada pasangan, kita berikan lebih dari yang diwajibkan atas diri kita. Karena cinta, tak perlu menuntut hak yang terlewat dari pasangan. Bukankah kita sudah memutuskan untuk hidup dalam kebersamaan?
Jika diselesaikan hanya dengan melihat hak dan kewajiban saja, ada benarnya istri yang bekerja bisa mengatur sendiri gajinya. Dia yang bersusah payah. Tapi di sisi lain, suami juga punya hak untuk tidak mengizinkan istrinya bekerja di luar rumah. Jika ini yang terjadi, keduanya sama-sama rugi. Hubungan menjadi tidak harmonis, keuangan pun berantakan.
Biarlah istri menikmati hasil pekerjaanya. Tapi, mengingat istri bekerja atas izin suami, tak berlebihan jika terjadi kompromi agar istri ikut berkontribusi dalam keuangan keluarga. Saya rasa itu adalah solusi paling adil untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bagaimana dengan yang berpendapat bahwa gaji istri menjadi sepenuhnya hak suami? Menurut saya, ini semacam bentuk halus dari perbudakan. Istri diminta bekerja oleh suaminya, lalu gajinya dikuasai juga oleh sang suami. Padahal, bukan itu maksud pernikahan dijalankan.
Kita kembalikan saja pada maksud dan tujuan pernikahan, yaitu membangun kebersamaan dalam kebaikan. Jika istri memiliki kekurangan, tugas suami mencukupinya. Jika suami berada dalam kelemahan, tugas istri menyokongnya. Termasuk, jika suami berada dalam kondisi lemah secara ekonomi, itu peluang bagi istri untuk memberikan sedekah yang paling baik, yaitu kepada suaminya sendiri.
Kalau begitu, mengapa harus repot mengatur uang istri dan uang suami? Kalau sudah hidup bersama, disatukan saja hartanya. Mengapa tidak?
Saya menghormati komentar atau pendapat seperti itu. Memang tidak salah untuk menyatukan harta menjadi milik bersama atas kehendak kedua pihak. Tapi, kita juga tidak boleh egois. Ada hak orang lain dalam harta kita, yaitu para ahli waris.
Dalam kondisi tertentu, ahli waris dari suami dan istri mungkin berbeda orang. Bukan hanya anak-anaknya, tapi bisa melibatkan saudara atau orang tua kandung kedua pihak. Harta peninggalan suami diwariskan sebagian kepada istri, anaknya, serta saudara kandungnya. Begitu juga harta istri, sebagian diwariskan kepada suami, anak, serta saudara kandungnya.
Jangan sampai, ketidakjelasan ini menjadi potensi masalah di masa depan. Misalnya, ada seorang janda yang diusir dari rumahnya setelah ditinggal mati suaminya, padahal ia berhak atas bagian hartanya sendiri dan hak warisnya.
Karena itu, tak perlu repot tegas membedakan harta suami dan istri dengan cara yang kaku. Penghasilan bisa dinikmati bersama. Untuk harta-harta yang bernilai besar seperti properti, kendaraan , dan aset keuangan, ada baiknya diperjelas dari sisi kepemilikan.
Ingat, harta tak dibawa mati. Sebaiknya harta menjadi maslahat untuk yang ditinggalkan. Bukan masalah yang membawa pada perpecahan.
Salam berkah,
Tulisan saya sebelumnya mengenai Uang Suami, Uang Istri ternyata menyisakan beberapa pertanyaan dari pembaca. Di antara pertanyaan yang masih banyak didiskusikan: Apakah penghasilan istri yang bekerja sepenuhnya menjadi hak istri?
Membaca beragam komentar dari pembaca, saya melihat ada dua titik ekstrem. Pertama, yang menganggap gaji istri yang bekerja sepenuhnya hak istri karena dia yang bersusah payah. Tidak bisa diganggu-gugat oleh suami.
Kedua, ada juga yang menulis komentar, jika istri yang bekerja maka gajinya menjadi hak suami. Sebab suami yang memberikan izin pada istrinya untuk bekerja. Dengan begitu, suami berhak meminta gaji tersebut. Setelah itu, suami yang mengatur nafkahnya.
Saya lebih senang agar kita menyelesaikan permasalahan ini bukan dengan “benar” atau “salah”, tapi mencari jalan terbaik bagi kedua belah pihak yang telah memutuskan hidup bersama. Untuk mengingatkan, bisa dilihat kembali paragraf terakhir pada tulisan saya sebelumnya:
Hak adalah batas maksimal yang kita minta. Kewajiban adalah batas minimal yang kita berikan. Karena cinta pada pasangan, kita berikan lebih dari yang diwajibkan atas diri kita. Karena cinta, tak perlu menuntut hak yang terlewat dari pasangan. Bukankah kita sudah memutuskan untuk hidup dalam kebersamaan?
Jika diselesaikan hanya dengan melihat hak dan kewajiban saja, ada benarnya istri yang bekerja bisa mengatur sendiri gajinya. Dia yang bersusah payah. Tapi di sisi lain, suami juga punya hak untuk tidak mengizinkan istrinya bekerja di luar rumah. Jika ini yang terjadi, keduanya sama-sama rugi. Hubungan menjadi tidak harmonis, keuangan pun berantakan.
Biarlah istri menikmati hasil pekerjaanya. Tapi, mengingat istri bekerja atas izin suami, tak berlebihan jika terjadi kompromi agar istri ikut berkontribusi dalam keuangan keluarga. Saya rasa itu adalah solusi paling adil untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bagaimana dengan yang berpendapat bahwa gaji istri menjadi sepenuhnya hak suami? Menurut saya, ini semacam bentuk halus dari perbudakan. Istri diminta bekerja oleh suaminya, lalu gajinya dikuasai juga oleh sang suami. Padahal, bukan itu maksud pernikahan dijalankan.
Kita kembalikan saja pada maksud dan tujuan pernikahan, yaitu membangun kebersamaan dalam kebaikan. Jika istri memiliki kekurangan, tugas suami mencukupinya. Jika suami berada dalam kelemahan, tugas istri menyokongnya. Termasuk, jika suami berada dalam kondisi lemah secara ekonomi, itu peluang bagi istri untuk memberikan sedekah yang paling baik, yaitu kepada suaminya sendiri.
Kalau begitu, mengapa harus repot mengatur uang istri dan uang suami? Kalau sudah hidup bersama, disatukan saja hartanya. Mengapa tidak?
Saya menghormati komentar atau pendapat seperti itu. Memang tidak salah untuk menyatukan harta menjadi milik bersama atas kehendak kedua pihak. Tapi, kita juga tidak boleh egois. Ada hak orang lain dalam harta kita, yaitu para ahli waris.
Dalam kondisi tertentu, ahli waris dari suami dan istri mungkin berbeda orang. Bukan hanya anak-anaknya, tapi bisa melibatkan saudara atau orang tua kandung kedua pihak. Harta peninggalan suami diwariskan sebagian kepada istri, anaknya, serta saudara kandungnya. Begitu juga harta istri, sebagian diwariskan kepada suami, anak, serta saudara kandungnya.
Jangan sampai, ketidakjelasan ini menjadi potensi masalah di masa depan. Misalnya, ada seorang janda yang diusir dari rumahnya setelah ditinggal mati suaminya, padahal ia berhak atas bagian hartanya sendiri dan hak warisnya.
Karena itu, tak perlu repot tegas membedakan harta suami dan istri dengan cara yang kaku. Penghasilan bisa dinikmati bersama. Untuk harta-harta yang bernilai besar seperti properti, kendaraan , dan aset keuangan, ada baiknya diperjelas dari sisi kepemilikan.
Ingat, harta tak dibawa mati. Sebaiknya harta menjadi maslahat untuk yang ditinggalkan. Bukan masalah yang membawa pada perpecahan.
Salam berkah,
Spoiler for Sumur:
Spoiler for Yang Mengerti:
Diubah oleh registered109 24-12-2013 13:28
0
3.3K
29


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan