Perkembangan animasi sebenarnya telah meluas di Indonesia, bahkan ada beberapa studio yang telah membuat animasi lisensi luar dikerjakan oleh tenaga ahli lokal atau dengan kalimat lain, Indonesia sudah lama terkenal hanya sebagai tempat produksi industri film animasi Jepang dan Amerika Serikat. Data Ainaki (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia) mencatat nama-nama studio animasi Indonesia, diantaranya adalah: Frozzty Entertainment,Dreamlight Animation, Tunas Pakar Integraha, Castle Production,CAM Solution,DreamTOoN, Mirage, Pustaka Lebah,Jogjakartun, Mrico, Animad Studio, Jelly Fish, Bulakartun, Griya Studio, Bening Studio, Studio Kasatmata, ADBstudio, Hicca Animation Studios, Asiana Wang Animation, Bintang Jenaka Cartoon Film, Red Rocket, Infinite Frameworks Studios Batam, Animotion Academy, Sianima Animation dan lain-lain.
Spoiler for Animasi:
Spoiler for vidio:
Sebetulnya Indonesia mampu membuat animasi yang mantab…video berikut kalau tidak salah hasil karya orang Indonesia… namun kenapa tidak membuat sebuah film animasi khusus buat anak-anak Indonesia…….. ???
Demikian juga dengan industri otomotif…”bisa”…tapi kok tidak bisa…?
Spoiler for kisah sukses:
Spoiler for mau seperti ini?:
Spoiler for atau seperti ini?:
Spoiler for boleh lah seperti ini?:
Spoiler for pesaing naga indosiar:
Spoiler for waw:
Sayangnya, seruan itu ternyata berbeda dengan misi yang diinginkan para pembuatnya. Berikut adalah tanggapan dari Lakon Animasi mengenai video itu yang ditayangkan di Facebook Page mereka:
Spoiler for bajaj:
Spoiler for komentar:
Menanggapi perkembangan yang terjadi pada terbitan video Lakon "Pada Suatu Ketika" ( LPSK ), kami merasa perlu menginformasikan kembali latar belakang pembuatan video dan mengembalikannya pada misi semula.
Pertama, LaKON animasi bukanlah Studio Produksi Animasi, melainkan lembaga/studi pelatihan animasi yang rencananya akan dilaksanakan di kota Solo. Kami berusaha ikut berpartisipasi, dalam kapasitas yang kami punya, untuk mendukung sektor industri yang kini sudah-sedang dan akan lebih berkembang, seperti yang sudah dimulai oleh studio-studio animasi di Jakarta-Bandung-Jogja-Batam dll.
Sebagai lembaga penciptaan SDM, kami memposisikan diri sebagai pelengkap dari institusi-institusi pelatihan lain, yang sebelumnya sudah lebih dulu ada dan berjalan. Studi LaKON baru akan dimulai pada tahun 2012, dalam format ujicoba.
Kedua, Video LPSK dibuat dalam rangka uji materi pembelajaran dan pelatihan. Reel tersebut dibuat untuk menemukan bugs ( cacat, kelemahan, kekurangan) yang terdapat dalam program yang tengah kami susun, baik itu dalam kurikulum, modul dan wawasan pelaksana program.
LPSK pada awalnya ditujukan untuk pemirsa terbatas di forum LaKON FB dan di media publik yang menekankan pada diskusi dan apresiasi, dalam hal ini situs video-sharing vimeo.
Tanpa mengurangi rasa hormat atas atensi dan tanggapan dari publik yang lebih luas, bahwa pada akhirnya reel tersebut melebar ke media lain, adalah di luar tujuan penerbitan video.
Ketiga, tidak ada wacana dalam agenda kami untuk menjadikan reel/showcase kami untuk keperluan produksi komersial ( film komersial, tv seri, dll). Showcase studi memang kami buat dalam kemasan 'film' ( unsur cerita dan tokoh ) dengan maksud untuk menghubungkan relevansi program pelatihan dengan kebutuhan industri.
Meski dalam kerangka non-komersial, kami akan tetap mempublikasikan showcase-studi berikutnya ke depan, tentunya dalam forum yang lebih terbatas.
Demikian informasi ini kami sampaikan untuk memperjelas status dan misi LaKON beserta showcase-studi kami.
Spoiler for semangat kemerdekaan:
Spoiler for :
buatan anak Amikom gan?
Spoiler for Bima Garuda:
Spoiler for kurang perhatian:
Dibandingkan Jakarta, industri ini justru berkembang di daerah. Sebut saja almarhum PT Marsha Juwita dan PT Atelier Karo di Bali yang sejak lama mengerjakan gambar antara (in between) dan gambar latar (back ground) film Doraemon dan Candy-Candy.
Meski di Jakarta ada banyak studio mapan seperti Bintang Jenaka Cartoon Film, Asiana Wang Animation hingga Mahaka Visual Indonesia. Namun gebrakan animasi nasional justru lagi-lagi dimulai di daerah.
Sebut saja saat Red Rocket Animation, Bandung memproduksi serial film fabel Cerita Aku dan Kau hasil kerjasama dengan PT Nestle Indonesia.
Selain film animasi, mereka juga memproduksi banyak iklan animasi hingga filler pergantian acara di Trans TV, Metro TV dan Seputar Indonesia RCTI.
“Kami juga memproduksi film Pok! Pok! Pok! untuk Malaysia tahun 2001 dan sempat dipercaya mengerjakan order iklan dari AS,” kata Risty A. Maskun, produser utama Red Rocket Animation.
Selain Red Rockets, ada unit animasi Manajemen Qolbu (MQ) TV pimpinan Dudung Abdul Gani. Perusahaan yang berdiri tiga tahun lalu itu telah menghasilkan film animasi Jang MQ dan Rai Raka.
Film kartun anak Islami ini selain tayang di MQTV juga muncul TV7 dan Lativi selama masa Ramadhan.
Sayang meski diakui banyak pihak produk animasi lokal mengagumkan, nasib produksi animasi Indonesia umumnya menyedihkan. Pasalnya, hasil karya lokal tak dihargai dengan layak.
“Orang kita masih belum berpikir kalau produk animasi itu paduan seni dan teknologi. Ada proses kreatif yang harus dihargai dengan wajar,” ujar AG Airlangga dari Splat! dan Animagic, yang menggarap iklan animasi Kondom Fiesta.
Senada dengan AG, Risty menyebutkan klien Indonesia lebih percaya untuk membayar lebih mahal pada perusahaan luar negeri dibanding ke perusahaan lokal. “Animasi asing paling hanya 20%-30% tapi uang yang mereka dapat ratusan kali lipat dari yang kami terima.” .
Tentu saja hal itu berimbas pada pendapatan yang diperoleh animator lokal. Pimpinan MQTV Dudung Abdul Gani membandingkan pendapatan animator lokal dan Singapura.
Dengan kualitas kerja yang sama, animator lokal hanya dihargai antara Rp900.000 hingga Rp2,5 juta/bulan bandingkan dengan gaji animator asal Singapura yang mencapai Rp25 juta/bulan.
Kondisi ini makin diperparah akibat praktik ‘pramuriaan’ alias banting harga gila-gilaan produk animasi yang dilakukan oleh perorangan di bawah harga standar yang dibuat perusahaan animasi.
AG Airlangga memberi gambaran untuk pembuatan iklan animasi Kondom Fiesta versi bunglon yang berdurasi 15 detik dibutuhkan dana Rp2 juta per detik. “Sekilas mahal. Tapi untuk bikinnya. Susah!”
Risty menambahkan, untuk membuat satu detik gambar gerak dibutuhkan sedikitnya 25 gambar, animator kadang harus tidak tidur selama dua malam bila sedang menggarap proyeknya.
“Sebenarnya saya senang kalau makin banyak orang Indonesia jago animasi, terbukti kualitas karya perusahaan dengan individu tidak jauh beda. Tapi ya, jangan jatuhkan harga gila-gilaan. Bersaing sehat lah,” ujarnya.
Kondisi ini langsung dirasakan industri animasi di Yogyakarta seperti Studio Bening, Studio Urek-Urek, Studio Kasatmata dan Studio Jutahira yang turun hampir 90%.
Menurut Risty hal itu karena industri animasi seolah ayam tak berinduk. Sejak awal tidak ada instansi yang menaungi sekalipun pemerintah tahu nilai ekonomi di dalamnya cukup tinggi.
Bandingkan perlakuan pemerintah China dan India yang mewajibkan agar perbankan memberi pinjaman tanpa agunan dan bebas bunga pada perusahaan animasi. Kalau terus begini mimpi kejayaan industri animasi Indonesia rasanya makin jauh saja.