- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
‘Profetisme’ Kepemimpinan Hamengku Buwono IX
TS
Soetarnoto
‘Profetisme’ Kepemimpinan Hamengku Buwono IX
Selamat Jumpa Lagi. Di antara para Kaskuser mungkin akan ada yang menilai postingan saya ini tergolong ‘sensitif’. Sebenarnya niat saya adalah mengajak kita semua jujur belajar sejarah dan belajar dari hikmah sejarah. Agar kita sebagai bangsa dapat melangkah maju dengan lebih terarah. Sebenarnya kita bangsa Nusantara umumnya dan etnis Jawa khususnya telah diwariskan ajaran kearifan dari para leluhur. Nuwun. -----
Sri Sultan Hamengkubuwana IX memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan adalah sultan yang terakhir. Dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga“.
Sebagai raja yang mutlak Kanjeng Sultan memerintah tanpa undang-undang atau hukum positif melainkan sepenuhnya dari budi pekerti pribadi. Dan memang Sri Sultan memiliki banyak budi pekerti yang luhur.
Sri Sultan diakui mempunyai banyak sifat mulia yang dengan ungkapan sekarang: seorang negarawan, berjiwa relawan, sederhana, jujur, mengabdi tanpa pamrih, mengayomi semua orang yang menyukai dan menentangnya, tidak transaksional, seorang pembaharu, pejuang, pengambil keputusan yang tegas, tidak suka mengumbar janji, tapi sekali bicara ditepati. Atau, singkatnya, seorang ‘prophetic leader’.
Selama pemerintahannya sebelum kemerdekaan RI tidak terjadi gejolak sosial yang berarti. Mungkin karena memang sudah mencapai masyarakat ‘tata tentrem karta raharja’, seperti harapan kita. Didukung pula sifat-sifat para kawula orang jawa yang: lugu, prasaja, narimo ing pandum, mangan ora mangan asal ngumpul, unggah-ungguh/sopan, nderek slamet, dsb.
Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia..
Pada masa awal periode Kemerdekaan RI di bawah Presiden Soekarno Sri Sultan mempunyai andil jasa-jasa, sumbangsih dan pengorbanan yang tak ternilai bagi bangsa dan negara.
Dalam perjuangan melawan penjajah, Sultan HB IX adalah sosok nasionalis sejati. Ia selalu menggelorakan kemerdekaan RI seperti keikutsertaan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan peran yang sangat menentukan dengan kedudukannya sebagai Menteri Pertahanan.
Sultan pernah menyumbangkan dana 6 juta gulden kepada Indonesia sebagai modal awal terbentuknya negeri ini.
Dalam bidang pendidikan Sultan HB IX menjadi salah satu founding father Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Secara nyata Sultan HB IX juga memberikan bantuan dalam penyediaan sarana dan prasarana. Beberapa di antaranya adalah menyediakan tempat perkuliahan di Sitihinggil dan Pagelaran Kraton serta gedung lainnya di sekitar kraton. Ia pun menyediakan tanah kraton (sultan ground) untuk pendirian kampus UGM yang baru di wilayah Bulaksumur dan sekitarnya.
Jaman Berubah. Selama dibawah pemerintahan Jendral Soeharto Sri Sultan terjatuh kedalam situasi yang berbeda dan dalam posisi yang lebih strategis tetapi berseberangan haluan dengan pemerintahan Soekarno.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX selaku Menteri Koordinator Pembangunan. Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rejim baru yang sejatinya nanti akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Pengangkatan Sri Sultan itu rupanya hanyalah untuk diambil kharismanya oleh Soeharto. Pernyataan politik tersebut sebenarnya ditulis oleh Widjojo dan Sadli yang anggota mafia Berkeley.
Jenderal Suharto pun di belakang punggung Sultan kemudian secara diam-diam dan mendadak merancangkan susunan Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya tanpa Sri Sultan di dalamnya.
Benih Orde Baru tumbuh di atas genangan darah dan tetesan air mata rakyatnya. Arah pembangunan (Repelita) didesain sesuai dengan keinginan Washington dengan mengutamakan eksploitasi segenap kekayaan alam bumi Indonesia yang dikeruk habis-habisan dan diangkut ke luar guna memperkaya negeri-negeri Barat. Inti pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Jenderal Besar Suharto adalah berubahnya prinsip pembangunan ekonomi Indonesia, dari kemandirian menjadi ketergantungan.
Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
Pendapat tokoh Syafii Maarif mantan ketua Muhammadiyah: “Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat menjadi Wakil Predisen RI tahun 1978 adalah sosok seorang yang tidak mau berkonflik langsung dengan Soeharto. Meski dia mengetahui jika sikap Soeharto salah”,
Bagaimana pun juga disini berlaku hukum sebab-akibat yang aksiomatis:
“Kerusakan di muka bumi ini terjadi bukan saja oleh para pelakunya, melainkan juga adanya orang-orang yang tahu tetapi tidak berbuat apa-apa.”
Para leluhur kita sesungguhnya telah mewariskan ajaran ‘Hastabrata’ atau Delapan Kearifan. Filosofi kepemimpinan yang lengkap dan adiluhung. Hasta artinya delapan dan Brata yaitu perilaku atau tindakan pengendalian diri. Hastabrata melambangkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam yaitu bumi, matahari, api, samudra, langit, angin, bulan, dan bintang.
Sifat bumi, pemimpin harus mampu untuk memberi dan kokoh. Memberi tanpa pamrih pada masyarakat yang ia ayomi dan menjadi tempat pertama yang bisa diandalkan. Sifat bumi ini memang sangat menonjol dalam diri Sri Sultan.
Sifat api yang spontan namun stabil mencerminkan keberanian dan keyakinan kuat. Berani dan yakin untuk ‘menghancurkan’ masalah-masalah yang timbul di kemudian hari. Selain itu, sifat api yang muncul ketika menghadapi masalah juga merepresentasikan ketegasan dalam pengelolaan serta keberanian mengambil keputusan. Sifat api ini ternyata tidak tampak dalam diri Sri Sultan. yang justru sangat diperlukan untuk menegakkan keadilan dan melawan kebatilan.
Sri Sultan bagai seorang ksatria yang hanya bersenjatakan bulu merak untuk melawan serangan srigala dan bukan dengan bilah pedang yang tajam dan mematikan layaknya seperti Dewi Yustisia.
Hatur panuwun. Sumangga.
Sri Sultan Hamengkubuwana IX memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan adalah sultan yang terakhir. Dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga“.
Sebagai raja yang mutlak Kanjeng Sultan memerintah tanpa undang-undang atau hukum positif melainkan sepenuhnya dari budi pekerti pribadi. Dan memang Sri Sultan memiliki banyak budi pekerti yang luhur.
Sri Sultan diakui mempunyai banyak sifat mulia yang dengan ungkapan sekarang: seorang negarawan, berjiwa relawan, sederhana, jujur, mengabdi tanpa pamrih, mengayomi semua orang yang menyukai dan menentangnya, tidak transaksional, seorang pembaharu, pejuang, pengambil keputusan yang tegas, tidak suka mengumbar janji, tapi sekali bicara ditepati. Atau, singkatnya, seorang ‘prophetic leader’.
Selama pemerintahannya sebelum kemerdekaan RI tidak terjadi gejolak sosial yang berarti. Mungkin karena memang sudah mencapai masyarakat ‘tata tentrem karta raharja’, seperti harapan kita. Didukung pula sifat-sifat para kawula orang jawa yang: lugu, prasaja, narimo ing pandum, mangan ora mangan asal ngumpul, unggah-ungguh/sopan, nderek slamet, dsb.
Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia..
Pada masa awal periode Kemerdekaan RI di bawah Presiden Soekarno Sri Sultan mempunyai andil jasa-jasa, sumbangsih dan pengorbanan yang tak ternilai bagi bangsa dan negara.
Dalam perjuangan melawan penjajah, Sultan HB IX adalah sosok nasionalis sejati. Ia selalu menggelorakan kemerdekaan RI seperti keikutsertaan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan peran yang sangat menentukan dengan kedudukannya sebagai Menteri Pertahanan.
Sultan pernah menyumbangkan dana 6 juta gulden kepada Indonesia sebagai modal awal terbentuknya negeri ini.
Dalam bidang pendidikan Sultan HB IX menjadi salah satu founding father Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Secara nyata Sultan HB IX juga memberikan bantuan dalam penyediaan sarana dan prasarana. Beberapa di antaranya adalah menyediakan tempat perkuliahan di Sitihinggil dan Pagelaran Kraton serta gedung lainnya di sekitar kraton. Ia pun menyediakan tanah kraton (sultan ground) untuk pendirian kampus UGM yang baru di wilayah Bulaksumur dan sekitarnya.
Jaman Berubah. Selama dibawah pemerintahan Jendral Soeharto Sri Sultan terjatuh kedalam situasi yang berbeda dan dalam posisi yang lebih strategis tetapi berseberangan haluan dengan pemerintahan Soekarno.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX selaku Menteri Koordinator Pembangunan. Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rejim baru yang sejatinya nanti akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Pengangkatan Sri Sultan itu rupanya hanyalah untuk diambil kharismanya oleh Soeharto. Pernyataan politik tersebut sebenarnya ditulis oleh Widjojo dan Sadli yang anggota mafia Berkeley.
Jenderal Suharto pun di belakang punggung Sultan kemudian secara diam-diam dan mendadak merancangkan susunan Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya tanpa Sri Sultan di dalamnya.
Benih Orde Baru tumbuh di atas genangan darah dan tetesan air mata rakyatnya. Arah pembangunan (Repelita) didesain sesuai dengan keinginan Washington dengan mengutamakan eksploitasi segenap kekayaan alam bumi Indonesia yang dikeruk habis-habisan dan diangkut ke luar guna memperkaya negeri-negeri Barat. Inti pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Jenderal Besar Suharto adalah berubahnya prinsip pembangunan ekonomi Indonesia, dari kemandirian menjadi ketergantungan.
Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
Pendapat tokoh Syafii Maarif mantan ketua Muhammadiyah: “Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat menjadi Wakil Predisen RI tahun 1978 adalah sosok seorang yang tidak mau berkonflik langsung dengan Soeharto. Meski dia mengetahui jika sikap Soeharto salah”,
Bagaimana pun juga disini berlaku hukum sebab-akibat yang aksiomatis:
“Kerusakan di muka bumi ini terjadi bukan saja oleh para pelakunya, melainkan juga adanya orang-orang yang tahu tetapi tidak berbuat apa-apa.”
Para leluhur kita sesungguhnya telah mewariskan ajaran ‘Hastabrata’ atau Delapan Kearifan. Filosofi kepemimpinan yang lengkap dan adiluhung. Hasta artinya delapan dan Brata yaitu perilaku atau tindakan pengendalian diri. Hastabrata melambangkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam yaitu bumi, matahari, api, samudra, langit, angin, bulan, dan bintang.
Sifat bumi, pemimpin harus mampu untuk memberi dan kokoh. Memberi tanpa pamrih pada masyarakat yang ia ayomi dan menjadi tempat pertama yang bisa diandalkan. Sifat bumi ini memang sangat menonjol dalam diri Sri Sultan.
Sifat api yang spontan namun stabil mencerminkan keberanian dan keyakinan kuat. Berani dan yakin untuk ‘menghancurkan’ masalah-masalah yang timbul di kemudian hari. Selain itu, sifat api yang muncul ketika menghadapi masalah juga merepresentasikan ketegasan dalam pengelolaan serta keberanian mengambil keputusan. Sifat api ini ternyata tidak tampak dalam diri Sri Sultan. yang justru sangat diperlukan untuk menegakkan keadilan dan melawan kebatilan.
Sri Sultan bagai seorang ksatria yang hanya bersenjatakan bulu merak untuk melawan serangan srigala dan bukan dengan bilah pedang yang tajam dan mematikan layaknya seperti Dewi Yustisia.
Hatur panuwun. Sumangga.
0
2.6K
12
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan